Rabu, 28 Desember 2011

A Game of Shadows: Sebuah Review

Sir Arthur Conan Doyle barangkali ngakak sekaligus terharu di alam kubur ketika ia melihat tokoh rekaannya, Sherlock Holmes, tampil begitu atraktif dengan pendekatan ala Guy Ritchie. Apalagi di film kedua, Sherlock Holmes: A Game of Shadows, yang muncul sebagai film penutup akhir tahun 2011.

Memang, Guy Ritchie berhasil menciptakan sosok Holmes yang benar-benar unik. Impresi yang barangkali terkesan ganjil bagi para Sherlockian (sebutan bagi penggemar Sherlock Holmes), sebab penggambaran ala Guy Ritchie memang berbeda dengan visualisasi yang dimunculkan oleh Conan Doyle di semua novelnya.

Sebagaimana di film pertama, Sherlock Holmes diperankan oleh Robert Downey Jr, yang berhasil menjadi  Holmes yang sama sekali berbeda dengan Holmes yang selama ini menjadi ikon bagi cerita-cerita detektif. Bukan Holmes yang berpipi tirus, berahang tegas, berambut klimis ala pria british, tidak bisa berpisah dengan pipa cangklong, jangkung dan cenderung priyayi. Holmes ala Ritchie adalah Holmes yang berambut acak-acakan yang bisa dibilang gondrong, urakan, kurang tidur, dan cenderung kumuh.

Tapi saya yakin, tidak akan ada sumpah serapah di dalam pusara Conan Doyle, sebab ciri khas Holmes tetap melekat kuat di sosok Holmes ala Ritchie. Holmes masih eksentrik, punya metode deduksi yang sulit ditebak (dan selalu benar), teliti, dan gila riset.

Dan bagaimana dengan Watson? Oh, Jude Law seperti tidak ada masalah dalam memerankan sosok sidekick ini. Ia berhasil menjadi sosok yang seolah-olah menjadi soulmate bagi Holmes.

Lalu apa yang menjadi poin utama cerita film ini?Film yang diadaptasi dari  novel The Final Problems (1893) ini adalah pertarungan strategi, metode dan karakter antara Holmes dengan musuh bebuyutannya, Profesor James Moriarty (Jared Harris). Moriarty adalah seorang guru besar, penulis, sekaligus psikopat yang jenius. Holmes menjulukinya "The Napoleon of Crime".
Moriarty merancang berbagai macam kejadian yang ia harapkan akan bermuara pada perpecahan antar negara di Eropa, lalu ia yang menguasai sumber daya yang ada.

Cerita diawali saat Holmes menangani kasus peledakan bom di Strassbourg. Dari kejadian itu ia menelusuri jejak dan motif Moriarty. Penelusuran itu mengantarkannya pada pertemuan dengan wanita bohemian peramal kartu tarot, Madam Shimza (Naomi Rapace) yang menjadi titik kunci upaya Holmes. Madam Shimza sendiri mau berkolaborasi dengan Holmes untuk menemukan adiknya, Rene, yang dijadikan boneka oleh Moriarty.

Setting cerita Holmes ini berpindah-pindah. Mulai dari London dan Baker Street 221 B yang legendaris itu, sampai ke Paris, Swiss, dan Jerman. Tak lain untuk berkejar-kejaran dengan Moriarty dan menggagalkan perpecahan negara-negara Eropa.

Di film ini, Holmes juga meminta bantuan kakaknya yang berusia tujuh tahun lebih tua, Mycroft Holmes (Stephen Fry), yang tak kalah nyentriknya dengan Holmes. Mycroft sendiri adalah diplomat sekaligus mata-mata yang bekerja untuk kerajaan Inggris. Sedang John Watson, sidekick dari sosok Holmes, diceritakan menikah dengan Mary Morstan (Kelly Reilly). Namun tak ada bulan madu bagi mereka. Bahkan upaya percobaan pembunuhan oleh anak buah Moriarty sedari awal  sudah menjadi kado pernikahan untuk mereka.

Sisi manusiawi Holmes  mencoba digurat oleh Ritchie. Holmes, yang di novel diceritakan sebagai sosok yang dingin, "tidak berperasaan", dan rasional an sich, toh tetap galau manakala sahabatnya, Watson, memutuskan menikah. "...saya akan mati sendirian," gerutu Holmes.
Atau saat satu-satunya wanita yang pernah singgah di hatinya, Irene Adler (Rachel Mc Adams), meninggal dunia. Holmes tampak begitu sedih saat mencium sapu tangan Adler, lalu membuangnya ke tengah lautan. Di sisi lain, Holmes tampil sebagai komedian yang cerdas dan satir. Humor-humor yang keluar dari mulutnya dan gerak tingkahnya membuatnya lebih "menyentuh bumi" daripada sekedar sosok detektif legendaris tanpa tanding.

Secara umum, film ini bagus. Menghibur tentunya. Ritchie piawai menata alur dan jeli di detail di 128 menit durasi film ini. Efek visualnya juga sangat memanjakan mata. Ritchie juga mahir menyimpan kejutan, yang ia munculkan di momen-momen  yang tepat.

Yang menjadi kekurangan, konflik misteri kurang diperdalam. Sedari awal, penonton diajak untuk mengikuti kejar-kejaran antara Sherlock Holmes dan James Moriarty. Berbeda dengan prekuelnya, saat Holmes menguak misteri jaringan ilmu hitam pimpinan Blackwood, yang penuh dengan intrik.

Satu lagi, kurangnya penggalian karakter James Moriarty. Sebagai sosok antagonis yang paling merepotkan karakter Holmes sepanjang kariernya sebagai detektif, sosok Moriarty mendapat porsi yang terlalu sedikit. Sayang sekali. Jika di prekuel film ini karakter Moriarty terkesan disimpan, maka harusnya di film ini karakter Moriarty digali dalam-dalam. Ini adalah film tentang pertarungan Holmes dan Moriarty, bukan?

Sebagai film yang merupakan adaptasi dari novel legendaris (yang biasanya jauh dari harapan), film ini cukup memuaskan. Kalaupun ada yang masih menggerutu soal hal-hal yang tidak didapati di novel atau bahkan sebaliknya, saya kira itu hanya upaya Ritchie melakukan pendekatan dengan caranya sendiri.
Toh, poinnya bukan itu. Tapi menjaga "keabadian" karakter Holmes sebagai legenda-bahkan mitos-cerita detektif. Dan itu berhasil dilakukan film ini.

Skor 3,5 dari 5.

Rabu, 14 Desember 2011

Alternatif

Gambar diambil dari sini
Kasus I
Seorang anak perempuan, usianya sekitar 9 tahun, datang ke UGD dengan diantar oleh bapaknya. Tangannya terbebat balutan. Sepanjang siku sampai pergelangan. Dari balutannya, itu bukan balutan biasa. Maksud saya, balutan itu terlihat dilakukan oleh orang awam.

Dan benar, anak itu ternyata sebelumnya memeriksakan diri ke dukun patah tulang. Orang di tempat saya  menyebutnya sangkal putung. Ceritanya, anak itu terjatuh sekitar 7-10 hari sebelum dia datang ke UGD siang itu. Tulang radius-ulnanya patah. Close fracture radius ulna 1/3 tengah. Orang tua si anak berinisiatif membawa anaknya ke sangkal putung. Merasakan ketidaknyamanan, si anak mengeluh pada orang tuanya. Si Bapak lalu berpindah haluan dengan membawa anaknya ke rumah sakit.

Begitu bebat dibuka, ada yang membuat terperanjat. Lengan anak itu menghitam. Jaringan nekrose, jaringan mati. Areanya cukup luas, sepanjang siku sampai pergelangan. Itu compartment syndrome. Solusinya, operasi vasotomy. Itu bukan tanpa pertaruhan. Resiko paling mengerikan adalah tangan sang anak bisa diamputasi, bila jaringan tak juga membaik . Resiko yang sedikit lebih ringan, tangan si anak memiliki peluang kontraktur yang praktis mengubah fungsi, maupun citra diri.

Kasus II
Seorang  lelaki setengah baya. Usia sekitar 40 tahun. Badannya kekar, berotot dan tegap. Tampak benar jika dia karib dengan aktifitas fisik yang berat. Keluhan nyeri perut hebat. Begitu dilakukan pemeriksaan fisik, perutnya kaku. Keras seperti papan. Nyeri  tekan di semua lapang perut. Dia datang ke UGD setelah dipijat oleh seorang tukang pijat beberapa hari sebelumnya. Dugaan kuat ileus obstruktif. Pemeriksaan penunjang dilakukan. Operasi ditawarkan. Ternyata benar, ususnya melilit terkena pijatan. Aliran darah ke area usus berhenti. Terbentuk jaringan mati. Usus dipotong sekitar 30 centi.


***

Minggu, 27 November 2011

Hijrah


Saya sedang bermalas-malasan di hari itu. Mumpung libur. Hari-hari yang melelahkan di rumah sakit patut diganjar oleh kegiatan yang sama sekali tidak giat. Praktis, saya cuma berbaring di tempat tidur, menghidupkan laptop, blogwalking sebentar, mengoceh di twitter, makan dan kemudian membaca buku. Saya sudah sampai di level mahir untuk sekedar membuang -buang waktu.
Sampai sebuah pesan pendek  membunyikan ponsel saya."Maafin bapak kalau bapak ada salah. Maafin. ya?"
Saya terdiam sejenak. Membayangkan si pengirim pesan yang sudah terlampau saya kenal sedang dalam kondisi yang limbung kalau tidak boleh dibilang sedang kalut.
"Kamu pulang?", balas saya singkat.
"Iya, bapak sedang sakit keras". Dia kembali membalas.

Pikiran saya lantas teringat pada sosok yang sering ia ceritakan. Sosok yang keras kepala, tapi juga sebenarnya penuh kasih sayang ke anak-anaknya. Pria yang cenderung antipati ke segala macam jenis pengobatan, tapi juga berupaya sembuh meski dengan sedikit mencuri-curi kesempatan untuk melanggar larangan-larangan. Pria kecil dengan harga diri dan kepercayaan diri yang tinggi. Lelaki yang lemah diserang koalisi penyakit macam penyakit saluran empedu, diabetes, hipertensi, gangguan fungsi ginjal dan penurunan albumin, namun masih juga menjaga sholatnya meski tubuhnya terbaring lemah dan mengigau.

"Maafin bapak. Ya?"
Saya lalu membalas, bahwa untuk hal-hal tertentu, saya benar- benar pengingat yang buruk. Sedikit susah buat saya untuk menyimpan masalah sampai terlalu larut. Barangkali kalau saya hidup di lingkungan mafia Sisilia, saya bakal tewas pertama kali karena saya tidak cakap benar dalam memupuk rasa sakit hati.
Intinya, saya memaafkan. Karena bagi saya, beliau sebenarnya tidak punya salah.

                                                                        ***

Lalu siang tadi, dia kembali mengirimkan pesan ke ponsel saya. Saya membalas sambil tergesa. Lalu saya telepon dia, tak ada jawaban. Akhirnya diai mengirim pesan lagi. "Aku telepon nanti saja".
Saya juga membalas, "Selepas maghrib saja".
Saya melanjutkan pekerjaan sampai sore, dan lalu pulang saat mendung mulai menghitam. Tak langsung ke rumah, saya mampir sebentar ke toko buku, menyuplai stok bacaan bulanan.

Ketika saya pulang, mendung kian pekat. Petir berkali-kali menyambar. Hujan lalu seakan marah, turun dengan derasnya. Dan motor saya lalu mogok. Genangan air di jalanan terlalu tinggi. Busi motor saya basah. Dan matilah dia.

Saya mencoba membongkar busi sendiri. Mengeringkannya sebisa mungkin, menaruhnya di bawah pancaran lampu di sebuah teras sebuah toko tempat saya berteduh, sambil sesekali mengumpat. Ketika saya coba lagi, ternyata berhasil. Mesin motor saya hidup. Dan saya melanjutkan perjalanan pulang.

Ihwal kenapa saya ingin segera sampai rumah adalah karena saya sudah menyeduh janji. Janji dengan si pengirim pesan pendek di ponsel saya tadi. Janji untuk menjenguk bapaknya yang sedang sakit. Meskipun saya juga sangat yakin, tidak akan pernah ada pengaruh yang signifikan terhadap penyembuhan si bapak manakala saya datang. Memang siapa saya? Tapi yang jelas, bagaimana responnya, saya menyegerakan pulang.

Hujan reda sejenak. Tapi saya lihat, masih ada mendung yang menggulung hitam. Hujan masih menyimpan dendam, rupanya. Ketika hampir sampai ke rumah, sebuah ambulance melaju kencang dengan sirine yang meraung sekaligus lampu yang menyala. Saya sempat berpikir yang bukan-bukan, membayangkan kondisi bapak dari pengirim pesan pendek tadi.

Sesampainya di rumah, saya membuka handphone saya. Ada lima panggilan tidak terjawab. Ada dua pesan pendek. Yang mengirim dan yang memanggil sama. Dia yang bapaknya sakit. Namun dua pesan pendek isinya ternyata sama.

"Maafin bapak. Bapak sudah nggak ada"

                                                                         ***

"Sekarang tanggal berapa?" tanya lelaki itu.
"Sekarang tanggal 1 Muharram. Bapak ingat ada apa dengan tanggal 1 Muharram?", istrinya menjawab, lalu bertanya
Pria itu, bapak dari orang yang mengirim pesan pendek ke saya, lantas menjawab," Ingat, Buk."
"Ingat apa, Pak?"
"Ingat saat pertama kali aku bertemu sampeyan. Dulu", kata sang bapak. Lirih. Seperti menahan sakit.

Kini, momen itu bergeser. 1 Muharram yang menasbihkan mereka pertama kali  bertemu dan hijrah untuk sebuah hubungan, kini beralih pada momen yang mengharuskan mereka berpisah. Si Bapak terlebih dulu berhijrah. Meninggalkan istrinya, juga meninggalkan anaknya. Si Bapak, dalam perjalanan barunya seolah memberikan pengingat. Sebuah amsal yang selayaknya dikhidmati: setiap detik adalah hijrah menuju kematian.

Ada penggalan sajak dari Soe Hok Gie yang kerap saya ingat saat membicarakan kematian.
" ..Terasa pendeknya hidup memandang sejarah
Tapi terasa panjangnya karena derita..
Maut; tempat pemberhentian terakhir
Nikmat datangnya dan selalu diberi salam.."
( Soe Hok Gie, Catatan Seorang Demonstran : 5 Januari 1962 )
Dan saya membayangkan si anak, menyanyikan sebuah lagu. Lagu yang dulu pernah diutarakan seorang teman kepada saya, saat saya pernah menulis soal kematian. Kematian, apapun bentuknya, adalah pengingat, agar hidup tetap dijalani dengan berani.
Dare to live until the very last
Dare to live forget about the past
Dare to live giving something of yourself to others
Even when it seems there's nothing more left to give
(Vivere, Andrea Bocelli)
Hujan turun semakin deras. Suara nyanyian dalam bayangan saya terdengar semakin lirih. Semakin lirih.

Sabtu, 26 November 2011

Gawande

Kondisi ideal adalah kondisi yang tidak benar-benar ada di dunia ini. Banyak hal yang tidak sesuai harapan. Banyak hal yang tak sepenuhnya selesai.  Dunia kedokteran juga mengamini kondisi itu.  Tidak semua hal benar-benar selaras dengan nilai-nilai yang disepakati, hambatan selalu ada, dan mustahil berhenti.

Gawande juga merasakan, bahkan paham nian kondisi yang dihadapi dunia kedokteran modern. Masalah terus berbiak, penyakit kian beragam, dan tuntutan semakin meninggi. Yang kerap jadi masalah, bisakah mereka, yang bergiat di dunia kedokteran tampil sebagai sosok-sosok penyelamat yang benar-benar mutlak menyelamatkan? Tanpa cela, tanpa cacat, tanpa kesalahan? Bukan sekedar menjalankan peran –seperti yang diucap Gawande sendiri- sebagai sekrup-sekrup berjas putih di sebuah mesin industri bertajuk pelayanan rumah sakit.

Bagaimana menjadi hebat dalam pekerjaan di mana kesalahan dan kelalaian mudah nian terjadi? Gawande menjawab ringan, ini adalah perihal yang similar dengan atlet.  Kita cukup berlatih, dan keahlian akan datang sebagai wujud kompensasi. Jawaban yang muncul bisa sesederhana itu.

Namun Gawande sadar, sebagaimana mungkin disadari oleh nurani masing-masing, bahwa cara kita melihat tidak layak disempitkan seperti itu. Ada dimensi lain yang harus berani dimasuki, dan mutlak menjadi pertimbangan tersendiri. Tak lain, tak bukan, adalah karena dunia kedokteran adalah dunia yang terlampau banyak mengandung muatan moral.  Ada nyawa manusia dan nilai-nilai kehidupan yang senantiasa menemani di setiap pengambilan keputusan.

Di sisi lain, banyak kondisi yang melemahkan. Ilmu kedokteran karib dengan langkah-langkah yang seringkali tidak pasti. Pengetahuan yang harus dikuasai sungguh banyak, namun juga tidak lengkap.

Saya teringat sebuah prolog di novel Doctors  karya Erich Segal. Setting-nya di Harvard Medical School. Sang Dekan, Courtney Holmes, hendak memberikan sambutan .  Ia maju ke depan, lalu mulai berbicara. Suaranya lembut, dengan satu oktaf lebih rendah.
“Mari saya simpulkan dengan mengungkapkan sebuah rahasia.”

Ia lalu berbalik dan menuliskan sesuatu pada papan tulis di belakangnya. Dua angka sederhana : "26". Holmes menunggu suasana hening, lalu menarik nafas. Dokter berambut perak itu berbicara, sambil menatap lurus ke depan.

“Saudara-saudara, saya ingin mengukirkan ini pada ingatan kalian: ada beribu-ribu penyakit di dunia ini, namun Ilmu Kedokteran hanya memiliki pengobatan empiris hanya untuk dua puluh enam diantaranya. Sisanya adalah ….menduga-duga.”

Dan, sambutan selesai. Orang-orang terlalu terkesima untuk memberikan tepuk tangan.

Begitulah. Banyak keterbatasan yang saling sengkarut di dunia kedokteran. Sebagaimana profesi apapun, mereka yang berkutat di dunia kedokteran dihadapkan pada pergulatan dengan sistem, sumber  daya, keadaan, maupun kekurangan kapasitas masing-masing subjek. Namun, dunia tidak berputar dengan rengekan. Dan Gawande memberi contoh bagaimana cara menghadapi itu semua. Bukan upaya akhir, sebab semua memang tak pernah berakhir. Entah sampai kapan.

Nama lengkapnya adalah Atul Gawande. Dokter bedah sub-spesialis bedah endokrin, kelahiran 46 tahun silam. Keturunan India. Dia juga kontributor tetap di sebuah harian terkemuka di Amerika, New Yorker. Majalah TIME pernah mengukuhkannya sebagai 100 orang paling berpengaruh (dia masuk urutan ke-50) di dunia pada tahun 2010.

Gawande adalah sebuah anomali untuk sebuah kedokteran modern. Pertama, dia dokter yang menulis secara aktif. Sebuah kelangkaan untuk profesi yang penuh tuntutan kesibukan. Boleh jadi, banyak contoh yang bisa diajukan sebagai pembanding. Che Guevara seorang dokter, juga menulis. Najib Mahfouz seorang dokter, juga menulis. Di tanah air, ada Mira W yang novelis, juga seorang dokter. Begitupun dengan Handrawan Nadesul. Tapi Gawande menulis dengan pendekatan yang lain.

Kedua, Gawande menulis untuk  sebuah koreksi atas apa-apa yang menjadi “dosa” dunia kedokteran modern. Ia seakan bermonolog lantang tapi juga berbisik, lirih sekaligus liris, Ia berani membuka tabir  tabu yang selama tertutup atas nama etis. Gawande juga bukan cuma menguliti profesinya, tapi juga mencari celah yang bisa dilewati u ntuk pencapaian-pencapaian yang lebih baik.  Gawande menulis dengan menelusuri upaya-upaya yang bisa digunakan para tenaga kesehatan untuk  mempersempit kesenjangan antara harapan terbaik dengan pekerjaan yang melelahkan, sambil menghadapi berbagai keterbatasan yang serasa sukar dilewati. Perihal menulis, Gawande pernah berujar ,”Menulislah. Yang ditulis tidak harus sempurna. Saya tidak menulis sebelum menjadi dokter. Tapi setelah menjadi dokter, saya mendapati bahwa saya perlu menulis.”

Tulisan-tulisan Gawande yang penuh nuansa kontemplatif soal dunia yang menjadi profesinya itu ia kumpulkan menjadi beberapa buku. Buku pertama adalah Complications, kedua adalah Better, dan ketiga adalah Checklist Manifesto.
Ia menuliskan kisah-kisah tentang kecermatan, gagasan cemerlang, dan nilai-nilai berbuat benar dengan membawa pembacanya untuk hadir di silang sengkarut dunia kesehatan. Membawa mereka seakan-akan hadir di bangsal, kamar operasi, tenda medan perang di Irak, ruang bersalin di Boston, wabah polio di India, atau di dalam keresahan Gawande sendiri.

Gawande juga berkisah soal bagaimana dokter dan rekan-rekannya juga terlampau berpeluang berbuat salah. Ia menyigi bagaimana kesalahan maut bisa terjadi dan tenaga kesehatan dapat bertindak bodoh. Ia seakan memberikan pengingat, bahwa tenaga kesehatan “hanya” manusia.

Kisah dan gagasannya mungkin memberikan tamparan keras bagi mereka yang berkecimpung di dunia kesehatan. Beberapa bisa marah, beberapa bisa gelisah. Tapi Gawande bukan cuma mengomel. Ia juga mencatat dan menganalisa hal-hal apa yang menjadi dasar agar setiap tenaga kedokteran bisa berubah dengan penyimpangan positif.

Gawande memberikan gagasan bahwa untuk mengubah kapasitas tenaga kesehatan ke arah yang lebih baik, setidaknya perlu melakukan beberapa hal. Itu meliputi mengajukan pertanyaan, menghindari mengeluh, menghitung sesuatu yang dianggap menarik, menulis, dan yang paling akhir adalah berubah.

Sebab sebagaimana dibilang di awal tulisan ini, dunia kedokteran adalah dunia yang tidak akan pernah benar-benar selesai. Dunia kedokteran bergerak pada jalur yang terus berkutat dengan perbaikan-perbaikan dari masa ke masa. Algoritma berkali-kali direvisi, sistem berkali-kali diubah. Dan dari waktu ke waktu, dunia kedokteran juga sudah menyaksikan banyak gagasan buruk. Dulu, lobotomy frontal (pengangkatan lobus prefrontal otak) dilakukan hanya untuk mengendalikan rasa sakit kronis. Bahkan belakangan, Viagra pun berefek pada hilangnya sebagian penglihatan.

Semua boleh mengumpat. Bahwa dunia ini tidak adil, kacau, dan kerap membuat sakit hati. Kedokteran juga tidak lepas dari itu. Namun rasa-rasanya perlu disepakati, bahwa tidak akan ada pilihan yang selalu benar. Tapi ada cara-cara membuat pilihan kita menjadi lebih baik. Gawande telah memberi contoh.

Lebih jauh soal Gawande, silakan baca di sini.

Kamis, 03 November 2011

Antara Wenger, Van Persie, dan Amunisi Bernama Ambisi

Character cannot be developed in ease and quiet. Only through experiences of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired and success achieved                                                                                                                        -Hellen Keller
Tak ada yang menampik bahwa Arsene Wenger adalah salah satu pelatih sepakbola terbaik di dunia. Ia dikenal cerdik, jenius bahkan. Sehingga ketika label "The Professor" disematkan padanya pun tak ada yang memberi protes. Pengakuan akan kecemerlangan Wenger sebagai seorang manajer  tetap datang dari banyak sisi. Barangkali ini berkat kegilaan Wenger terhadap statistik.

Namun Wenger juga dikenal sebagai sosok yang keras kepala. Wenger tetap ngeyel dengan kebijakan pengembangan pemain muda yang cenderung belum matang, di saat pelatih-pelatih di ranah Britania berhati-hati pada pola yang sama. Wenger seakan lebih mementingkan predikat Arsenal sebagai penghasil bibit calon pemain yang kelak ramai dan mahal di bursa transfer, ketimbang membangun kekuatan Arsenal sebagai tim yang haus gelar dan lapar juara. Dulu, Wenger juga yang ngotot dalam membangun dan mengembangkan stadion Emirates, sebagai simbol hegemoni sebuah klub bertradisi kuat macam Arsenal. Menurut Wenger, stadion adalah simbol kebesaran klub sekaligus garansi masa depan sebuah klub.

Sikap Wenger yang dikenal keras kepala kerap berbalik menjadi kelemahannya. Kebijakan Wenger untuk memakai pemain-pemain muda membuat Arsenal nihil gelar dalam beberapa tahun terakhir. Sebagaimana kita tahu, Wenger membuat aturan tak tertulis tentang  patokan umur pemain yang berkiprah di Arsenal. Tak ada yang melewati usia 32-33 tahun. Angka-angka itu berarti tamat bagi seorang pemain yang berkarier di Arsenal, kecuali bagi sosok-sosk ikonik macam Tony Adams dan Dennis Bergkamp.

Wenger juga keras kepala dalam membimbing anak asuhnya membangun performa. Baik, dia memang jenius, gila statistik, mengerti banyak soal taktik (kendati ia bukan ahli meramunya),  tapi dia kurang ambisius. Ia sosok yang cukup puas ketika anak-anak muda binaannya cukup mampu bermain bagus, memikat, dan kelak bisa dijual. Mungkin pertandingan bagi Wenger adalah etalase untuk anak buahnya. Dan sayangnya tidak  memberikan gelar juara.

 Wenger pernah membela Thiery Henry semasa legiun Perancis itu menjadi kapten. Sebagai sosok kapten, Henry dikenal kurang ambisius sebagaimana Arsene, kurang garang, kurang berkarakter pemimpin, kurang berani membela timnya. Dulu, ketika Aleksandr Hleb dijegal begitu keras oleh John Spector  dari West Ham, Henry sebagai kapten cuma diam di lapangan. Tak ada protes, tak ada upaya pembelaan, saat wasit Rob Styles dengan enteng mengaku tidak melihatnya. Bagaimanapun, kapten adalah sosok representatif dari pemikiran seorang pelatih. Henry, yang di biografi Arsene Wenger dijuluki "Mahatma Gandhi" , adalah Arsene Wenger itu sendiri. Mereka sepasang pelatih balet-balerina yang asyik dengan musik yang membius, tapi tidak menyemangati.

Sekarang, adalah era Van Persie. Ia  tampil sebagai sosok baru. Ia digadang-gadang  sebagai pengganti  Bergkamp. Ruud Gullit menyebutnya semacam Van Basten yang lahir kembali. Ia adalah calon legenda baru Arsenal. Ia diharapkan seestetis dan seproduktif Henry dalam urusan mencetak gol. Tapi juga diharapkan gagah dan disegani kawan dan lawan layaknya Patrick Viera, bukan layaknya Henry.

Van Persie memang seniman muda lapangan hijau. Barangkali ia mewarisi bakat seni dari bapak-ibunya yang pelukis dan pematung. Di lapangan, Van Persie dikenal memiliki gerakan yang menipu. Ia lembut, estetis, tapi sekaligus efektif dan mematikan. Mirip Marco Van Basten,  sebagaimana dibilang Gullit.

Van Persie layaknya balerina, dan Wenger adalah koreografer. Henry dulu memang dikenal balerina pula dan Wenger klop dengan Henry. Mereka adalah sepasang koreografer-balerina yang merasa memiliki panggung sendiri, namun seoalah abai pada kemenangan dan tradisi juara sebuah tim.
Van Persie lain, ia adalah balerina yang memegang senapan dengan pelatuk yang tertarik. Ia bukan sekedar menampilkan permainan yang baik, tapi tahu bagaimana menyimpan ambisi.  Ia cukup mengerti bahwa ambisi adalah amunisi.
 
Ia berani berduel, berani melawan ketika terintimidasi oleh lawan, berani membela rekan satu timnya ketika ada pertengkaran. Seorang kapten memang harusnya demikian. Pekan kemarin, saat melumat Chelsea di Stamford Bridge, ia sempat diprovokasi oleh Brainslav Ivanovic. Tapi Captain Robin tidak seperti Henry yang terlalu santun, ia tidak cengengesan, bahkan tetap garang.

Maka musim ini selayaknya menjadi sebuah babak baru bagi Arsenal. Terlebih untuk dua orang komandan, Arsene Wenger-Van Persie. Terlalu dini memang menaruh ekspektasi berlebih pada Si London Utara.  Apalagi mengingat posisi Arsenal baik di liga domestik maupun di liga Champion yang masih belum bisa dibilang melegakan.

Tapi sepakbola juga menyoal kebanggaan. Menyoal bagaimana sebuah tim menyimpan ambisi dan memperjuangkannya. Menyoal bagaimana seorang pelatih menanam visi untuk merebut juara. Menyoal bagaimana seorang kapten berani memimpin dan membela  timnya. Bukan hanya melulu soal industri dan jual-beli yang riuh pekak dan kadang kala gila.

Jika benar setiap zaman memiliki zeitgeist sendiri, maka Arsene Wenger harus mengerti. Bahwa ini saat yang tepat buat meriam-meriam muda, yang  sudah terlalu lama menunggu untuk meledakkan ambisi mereka demi gelar juara. Dan untuk itu, Wenger harus mengganti keegoisannya. Ini juga semacam pertaruhan bagi Van Persie. Ia bakal dikenang sebagai legenda Arsenal yang berani dan membanggakan. Atau justru disingkirkan Wenger karena daya jual yang terlalu memikat.

Selasa, 18 Oktober 2011

Pejuang Uzur Bernama Angkot


Saya kira, angkutan kota (angkot) dalam ragam variannya, adalah kendaraan yang sejatinya paling filosofis.
Betapa tidak, bermacam kepentingan bertemu, dalam satu ruang sesak, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Anomali bertebaran di sepanjang tempat duduk yang karib dengan geser-geseran pantat. Pada ruangan sempit itu, doa lebih banyak digelar, sebab perjalanan yang diharapkan sebisa mungkin selamat.

Angkot berhenti dari satu tempat ke tempat lain, menikung tetiba dan mendadak oleh sebuah perintah sulap, "Kiri!". Di sana kita menyaksikan perpindahan tujuan, mengkhidmati bahwa perjalanan adalah perihal mutlak yang dilakukan setiap hari. Dalam sebuah kehidupan absurd bertajuk urban, angkot adalah potret unik dan mencolok di tengah gairah kota yang berderu, berkejar-kejaran, dan cenderung individual. Gairah yang berbeda  dengan angkot yang akrab dengan suasana kebersamaan. Belum lagi tagline "jauh dekat sama saja" yang terdengar begitu sedap di telinga dan teduh di hati (juga di kantong).

Maka setiap angkot selayaknya menjadi tempat yang nyaman. Dan tempat yang nyaman seharusnya mempunyai prasyarat yang enak dipandang, sebelum berpindah ke telaah aspek fungsional.
Tapi ternyata tidak, angkot sudah menjadi potret pejuang tua yang kalah dan penuh luka di sebuah pertarungan kolosal antar moda transportasi.Hampir setiap naik angkot, saya mendapati fisik angkot tak ubahnya perangkat yang sudah melewati perang dunia.
 
Tak hanya itu, ketika moda transportasi berkembang dengan menggilanya pemakaian dan produksi kendaraan pribadi, angkot sebagai sumber mata pencaharian juga memberikan masukan kantong yang memprihatinkan.
Saya pernah bertanya pada supir angkot, berapa setorannya per hari. "Sekitar 40-45 ribu, mas", kata sopir yang saya tanya. Pendapatan yang cukup mengerikan untuk ukuran kota sekecil Jember. Sedang peminat angkot semakin lama semakin menyurut.Angkot, perlahan-lahan mengalami nasib yang sama dengan becak, kendaraan favorit yang tiba-tiba digeser.

Entah, saya maupun supir angkot juga tak sepenuhnya paham kapan moda transportasi ini bertahan. Lambat laun ia akan serupa becak, yang punah digilas jaman. Kata Charles Darwin mungkin benar, bahwa mereka yang bertahan dalam sebuah evolusi, adalah mereka yang pandai menyesuaikan diri.

Angkot sudah terlalu lelah untuk sekedar menyesuaikan diri di tengah deru laju jaman. Moda transportasi massal, terutama di negeri ini, barangkali juga korban dari segelintir kepentingan korporasi dan kesepakatan yang menang sendiri.

Selanjutnya, kaum urban yang dipaksa berbenah sendiri. Yang tidak pandai menyesuaikan diri, yang tertinggal. Sebagaimana angkot.

Senin, 17 Oktober 2011

Keparat Bernama Penundaan

Dalam setiap proyek  pribadi, mulai dari sekedar nembak cewek sampai boker setiap hari jam lima pagi (hey, berima!), selalu ada hal yang menjadi penghambat. Mulai dari kondisi yang tidak memungkinkan, hal-hal di luar kontrol dan kendali, masalah sarana prasarana (duile bahasanya!) , dan banyak lagi. Lalu kita mulai mengumpat ketika semuanya rencana gagal.

Setelah saya telusuri melakukan perenungan diam-diam, saya akhirnya menemukan pencerahan, bahwa masalah terbesar ada pada diri sendiri. Kurang cakep?Oh tidak, saya cukup berani bermodal wajah untuk sekedar menembak Monica Belluci.  Perihal pelik yang mengakar dan menyandung langkah saya mewujudkan proyek-proyek pribadi adalah sebuah entitas tak kasat mata bernama: penundaan.

Bahasa kerennya prokrastinasi. Tapi saya malas menggunakan bahasa yang sedikit bikin ribet di lidah itu. Tapi yang jelas, penundaan itu musuh paling nyata bagi mereka-mereka yang hendak menyelesaikan proyek.
Pemicunya beragam, biasanya berkutat di ranah standar yang kelewat tinggi, ketidakpercayaan terhadap proses, atau kurangnya motivasi. Namun buat saya pribadi, alasan pertama adalah yang paling kuat mendasari.

Lalu bagaimana? Jawabannya sederhana: jangan dituruti. Penundaan melakukan sesuatu terkadang lebih menggoda dari senyuman Monica Bellucci. Godaan itu harus dihilangkan dengan melakukan sesuatu yang kita niatkan sedari awal. Tak perlu selesai, sedikit boleh, tapi jangan ditunda.

Tulisan entah ini juga hadir karena upaya pelawanan semacam itu. Jika dibiarkan, penundaan tak ubahnya selimut di kamar saat hujan turun di luar sana. Ia menggoda, ia nyaman.

Terus kerjakan. Sebagaimana tagline blog ini: Boleh Redup, Jangan Berhenti



Gambar dicomot sesukanya dari sini

Minggu, 16 Oktober 2011

Pengetahuan adalah Kekuatan

Saya sangat beruntung bisa hidup di jaman ini. Jaman yang diijinkan mengenal sebuah anomali sekaligus sebuah keajaiban: internet. Konon, internet diciptakan untuk berbagi. Berbahagialah mereka yang mendapatkan ilmu secara secara cuma-cuma, kecuali bermodal bandwitch. Dan terpujilah mereka yang gemar bersedekah pengetahuan di dunia maya.

Lewat internet, saya bisa mengintip para begawan berwejang. Mereka menyebar ilmunya atas dasar naluri manusia paling primitif sekaligus paling jujur: kesenangan. Tidak mengenal mereka di dunia yang sebenarnya, tidak membuat saya enggan menghormati mereka.

Maka saya haturkan takzim yang dalam manakala begawan-begawan ini membentuk aliansi, bersekutu, dan melahirkan sekumpulan tulisan tentang media sosial di internet. Dengan tagline yang mantap diucap, enak didengar, dan menohok di hati: "Pengetahuan adalah Kekuatan"

Dan saya hanya meneruskan pijarnya. Semacam api yang bersambut dari lilin ke lilin, yang semula padam.
Saya yang terlampau bukan siapa-siapa ini, hanya ingin meniru kebaikan mereka. Sisanya bukan urusan saya. Kata begawan, semesta punya mekanisme sendiri.

Silakan donlot e-booknya di sini

Sabtu, 15 Oktober 2011

Tak Kenal Maka Tak Selamat

Saya percaya, bahwa setiap disiplin ilmu punya metode. Pemahaman tidak diberikan dengan abstrak, tapi dengan runtutan yang sebisa mungkin dilakukan efisien dan efektif di ranah praktis. Sherlock Holmes pun tidak asal-asalan dalam mengembangkan nalar deduksinya. Ia menarik garis kesimpulan setelah melalui langkah-langkah pendekatan yang detail, mencatatnya, dan mencari keterkaitannya.

lambang kedokteran ini selalu membuat saya berpikir jorok: ular betina sedang striptis!


Ilmu kedokteran pun demikian. Banyak algoritma disusun, banyak jembatan keledai dibangun. Sebab memang, masalah kedokteran adalah masalah yang kompleks. Sistem tubuh manusia tidak sesederhana yang diperkirakan.  Banyak subsistem yang saling  berkoherensi. Karena rumit, maka pendekatannya dibuat sistematis pula, namun sesederhana mungkin. Agar mudah diingat. Satu yang pernah saya baca di novel Doctors-nya Erich Segal adalah bagaimana menyingkat 12 saraf kranial dihafalkan dengan sebuah kalimat yang singkat dan agak membuat geli telinga: "Oh, Oh, Oh, to touch and to feel a girl's vagina. Ah, heaven!"

Dalam praktiknya, dunia kedokteran juga mengenal banyak trias dan skala. Semuanya bentuk pendekatan yang sebisa mungkin sederhana untuk menghadapi kerumitan kasus. Salah satu Skala yang paling terkenal adalah Glasgow Coma Scale, dibuat oleh sepasang dokter dari Universitas Glasgow, Skotlandia.Ini skala paling populer untuk menilai tingkat kesadaran pasien, utamanya pada kasus-kasus traumatik. Ada pula Triad of  Cushing, yang dibuat untuk mendeteksi manifestasi tekanan di dalam kepala untuk kasus-kasus cedera kepala. Trias Cushing dibuat oleh ahli bedah syaraf asal Amerika, Harvey William Cushing. Atau sistem skoring paling terkenal untuk menilai bayi baru lahir, Apgar Score, yang dibuat oleh ahli anestesi legendaris (lagi-lagi) Amerika, Virginia Apgar.

Trias, skor, dan skala-skala tadi dibuat sebagai cara berkenalan dengan perubahan tanda dan gejala yang tampak pada pasien. Bicara soal wacana ideal, adalah mutlak metode kenalan yang banyak tadi wajib dikuasai oleh praktisi kedokteran, utamanya yang bergerak di divisi yang memerlukan "perkenalan" yang cepat, sebab dikejar oleh perkara sensitif: nyawa. Divisi-divisi semacam unit gawat darurat, critical care, dan surgery, sering menjumpai kasus-kasus yang ada hubungannya dengan upaya "kenalan' ini.

 Yang jadi ironis adalah ketika sebuah kasus datang, tapi praktisi (baik dokter maupun paramedis) tidak mengenalinya. Sebab memang mereka tidak paham bagaimana caranya mengenali. Di situlah terasa bahwa upaya pendekatan sistematis yang digagas leluhur-leluhur dunia kedokteran itu besar nian manfaatnya. Apalagi ketika dihadapkan pada kasus kegawatan, diperlukan upaya shortcut, agar kita bisa paham kasus yang kita hadapi. Di situlah skor, trias, skala, dan jembatan keledai berperan sebagai elemen pengenal.

Mengerikan rasanya ketika ada sebuah kasus, namun praktisi tidak mengenal pendekatan tanda dan gejalanya, lalu pasien tidak tertolong dan meninggal. Sebagaimana praktisi tidak mengenal perubahan irama ECG pada kasus-kasus acute coronary syndrome,  yang berlanjut sehingga pasien mengalami Ventrical Fibrilation, praktisi tidak paham juga, tidak melakukan defibrilasi, dan pasien meninggal.

Atau saat pasien dengan tensi rendah, diguyur cairan infus untuk memulihkan hemodinamik pasien, tapi ternyata ada tanda-tanda tamponade jantung yang luput dari pengamatan, karena ia memang tidak kenal. Akhirnya pasien malah meninggal.

 Kisah-kisah semacam itu sangat memungkinkan terjadi. Praktisi kedaruratan punya sekian bentuk apologi untuk menghindari rasa bersalah. Tapi rasa-rasanya, perlu dipahami, bahwa ilmu kegawatdaruratan adalah long life study. Metode silih berganti disusun, demi pendekatan sepraktis mungkin dan pertolongan semaksimal mungkin.

Belajar terus adalah upaya mengenal yang baik. Sebab tak kenal, maka tak selamat.

Jumat, 14 Oktober 2011

Sepakbola dan Hutang yang Tak Terbayar




John F Kennedy pernah berujar, “Jangan tanyakan apa yang negara berikan kepadamu. Tapi tanyakan apa yang telah kamu berikan kepada negara”.
Gagah benar, sekaligus terdengar utopis. Saya tidak mau membahas terlalu jauh omongan presiden yang pernah menjadi karib Soekarno ini. Saya cuma..emm..meminjam kuotasinya. Itu juga tidak akan saya kembalikan
 
Jadi kalo JFK pernah memakai kuotasi di atas untuk menggugah semangat nasionalisme rakyatnya, saya memilih menggunakan kuotasi itu dengan sedikit modifikasi ngawur untuk mengucapkan rasa terima kasih saya. Kepada negara? Tidak. Kepada John F Kennedy? Jelas salah. Kata-kata Kennedy itu saya gunakan untuk berterima kasih pada sepakbola! Umat bola harus menandaskan kata-kata ini di dasar hatinya: “jangan tanyakan apa yang kamu berikan kepada sepakbola, tapi tanyakan apa yang sepakbola berikan padamu”!

Bila diijinkan bermonolog, yakni dengan bertanya sekaligus menjawab pertanyaan sendiri, maka biarlah halaman blog ini menjadi semacam panggung. Saya akan menjawab seberapa jauh sepakbola memberikan sesuatu pada saya. Saya akan ceritakan tanpa malu-malu hutang saya kepada sepakbola.

Jadi begini, saya terlahir sebagai bungsu dari lima bersaudara. Kakak-kakak saya tidak ada yang tersesat mencintai sepakbola sebagaimana saya. Tak ada satupun. Malah ironisnya, mereka semua malas berolahraga.
Cinta saya pada sepakbola dimulai saat saya menginjak sekolah dasar. Saya disekolahkan di sebuah sekolah yang kebanyakan muridnya adalah keturunan etnis Tionghoa. Dan sepakbola tidak menjadi olahraga yang populer. Kalah dengan basket. Di sekolah itu, saya dan sepakbola mengalami nasib yang sama: menjadi minoritas.

Karena tidak populer, bisa ditebak prestasi kami di kejuaraan antar SD di desa kami. Kami tak pernah menang. Saat itu saya lihat, bagaimana sepakbola bisa memberikan kebanggaan. Ya, kebanggaan adalah hal pertama yang saya dapatkan dari sepakbola.

Lalu saya dibaiat menjadi umat bola. Setiap sore, saya bergabung dengan anak-anak kampung tempat saya tinggal, untuk bermain bola di lapangan. Hal yang tidak pernah saya lakukan sebelumnya, mengingat saya hanya bermain dengan teman-teman saya di sekolah yang kebanyakan etnis Tionghoa. Ada sebuah peraturan tidak tertulis yang disepakati entah mulai jaman bapaknya siapa, bahwa mereka yang hendak bergabung dengan anak-anak kampung, disyaratkan bisa-atau setidaknya berani-bermain sepakbola.

Sepakbola anak-anak kampung adalah sepakbola yang sepenuhnya mengandalkan bakat alam. Kami bermain telanjang kaki sepanjang sore di tanah lapang yang keras dan berbatu. Jatuh dan lecet-lecet itu perkara harian. Sepakbola kampung adalah permainan keras, dan berani adalah syarat mutlak. Ini hutang saya selanjutnya pada sepakbola. Sepakbola memberikan saya keberanian.

Maka bisa ditebak, selanjutnya orang tua saya yang sedikit protes. Melihat anak bungsunya setiap hari pulang menjelang petang dengan berkeringat deras dan kaki yang lukanya berpindah bergantian.
Ibu setiap hari mencuci baju yang saya pakai usai bermain bola, bapak setiap hari mengomel.

“Mau jadi apa kamu? Lihat si Fulan, dia jago main sepakbola, tapi cuma jadi buruh bangunan.” Bapak biasanya bertanya semacam itu.
Saya biasanya hanya diam. Tak memberi jawaban.

“Di desa, sepakbola tidak akan menjamin hidup kamu. Mungkin beda halnya kalau kamu main di kota.”
Bapak juga sering berujar seperti itu.

Oh Bapak, sedari kecil itu pun saya sudah paham bahwa saya melakukan sesuatu yang bukan uang sebagai landasan utama. Saya melakukannya karena suka. Buat saya yang saat itu baru khitan, keren sekali ketika pulang dari lapangan, lalu menghadap cermin, dengan peluh bercucuran dan kaki penuh luka-luka, kita berbicara pada sosok yang kita hadapi di cermin, ”Hei kamu! Ya kamu! Kamu tadi mencetak gol dan memberikan kemenangan”.
Itu lebih keren daripada mendapat jatah uang jajan seminggu.

Tapi Ibu yang cemas. Bukan karena saya tidak mendapat uang dan takut anaknya menjaring mimpi sebagai pesepakbola, tapi takut anaknya cedera. Karenanya, anak bungsu yang manis itu lalu mengikuti sekolah sepakbola di kecamatan. Harapannya, agar bisa sedikit belajar teknik bermain yang benar, sehingga resiko cedera dapat diminimalkan. Sang anak setuju, dia bergabung dengan sekolah sepakbola. Ia menyisihkan uang jajannya untuk membeli seragam dan membayar iuran bulanan. Lihat sepakbola mengajarkan anak itu untuk berani berkorban pada apa yang ia cintai. Ia belajar cinta kepada sepakbola dan berlatih setiap minggu , di saat anak-anak seusianya sudah belajar nembak cewek dan menonton paha Eva Arnas di bioskop setiap akhir pekan.

Bapak tetap tidak setuju. Saya ikut sekolah sepakbola secara sembunyi-sembunyi. Ketika berangkat, saya usahakan sebisa mungkin Bapak tidak tahu. Caranya bermacam-macam. Cara favorit saya adalah meletakkan sepatu saya di luar pagar rumah sebelum saya berangkat. Biasanya saya lempar dari dalam halaman rumah. Lalu saya keluar rumah seakan tidak ada apa-apa. Melewati Bapak yang sedang bekerja, dan beliau tidak curiga apapun. Setelahnya, saya mengambil sepatu bola yang sudah saya lempar sebelumnya, lalu segera menuju stadion kecil di kecamatan untuk berlatih.

Sepakbola tak hanya memberikan itu kepada saya. Lewat sepakbola, saya mengenal kerjasama. Saya mengenal interaksi. Saya mengenal sportivitas. Saya mengenal kegigihan. Bahkan sebagaimana Albert Camus bilang, saya belajar tentang moralitas dari sepakbola.  

Begitulah, saya punya banyak hutang pada sepakbola. Saya juga tidak tahu bagaimana melunasi hutang yang tek ternilai itu. Tak ada standar yang jelas juga soal pembayarannya. Kalau mencintai sepakbola adalah cara yang paling memungkinkan untuk membayar hutang berbunga-bunga itu, maka tak jadi soal. Saya toh melakukannya sampai sekarang. Yang jadi soal, sampai kapan? Entahlah, saya juga tidak bisa menjawab.

Ah, saya teringat seorang kawan yang atheis. Dia pernah saya tanya, ”Apakah agama perlu diajarkan pada anak-anak?”

Dia menjawab kurang lebih begini, ”Untuk apa, yang penting itu mengajarkan kepada anak-anak untuk berbuat baik”.

Saya termenung sejenak, bukan mempersoalkan jawabannya. Tapi kebaikan juga memerlukan  sistem untuk mendukung tercapainya tujuan. Kaum theis menggunakan agama. 

Dan rasa-rasanya, untuk hal itu, sepakbola juga bisa menjadi sistem alternatif.

Semacam Amsal Gawat Darurat

Perubahan adalah abadi. Tak ada yang kekal kecuali perubahan itu sendiri. Dunia kedokteran, termasuk unit gawat darurat di dalamnya, menerima term yang sama. Dari waktu ke waktu, beragam upaya pendekatan tatalaksana kasus dan upaya-upaya solutif terus dikembangkan untuk mencapai sasaran terbebasnya pasien dari kondisi fisiologis yang terancam.

Sistem boleh berkembang, algoritma silih berganti, pendekatan-pendekatan kasus diupayakan sepraktis mungkin. Tapi sikap juga tak kalah penting. Dan itu niscaya tetap, segiat apapun perubahan algoritma, sesering apapun rumusan diganti. Sikap berasal dari pemahaman-pemahaman mental yang cenderung filosofis. Tanpa pemahaman itu, rumusan akan tinggal rumusan, algoritma hanya akan tampak semacam alur tanpa guna, dan banyak pendekatan yang akan tampak sia-sia.

Tak ada sedikitpun niat saya untuk menggurui. Saya cuma mengingatkan diri sendiri. Ini semacam amsal buat saya sendiri. Menulis akan menajamkan ingatan, itu yang saya percaya. Dan inti blogging adalah berbagi. Jadi saya memperingatkan diri sendiri, sekaligus berbagi. Sekali tepuk, dua pantat..eh..dua lalat.
Ya, mereka yang berkutat di dunia gawat darurat selayaknya berangkat dari pemahaman sikap yang secara singkat yang jabarkan dalam poin-poin sebagai berikut:

1. Percaya diri
Bagaimanapun, saat kita menangani kasus gawat darurat, pasien sudah sepenuhnya percaya pada kita. Mereka tak ada waktu, apalagi kekuatan untuk curiga pada kita. Tubuh mereka hanya akan berupaya bagaimana kebutuhan fisiologis mereka tidak terancam. Dan mereka menyerahkan itu semua ada kita. Sederhananya, jika kita tidak percaya pada kita sendiri, apa yang hendak kita berikan pada pasien?

2. Fokus
Kita tahu, bahwa dunia gawat darurat adalah dunia yang penuh tekanan. Tekanan yang hadir karena munculnya ancaman nyawa bagi pasien. Dan ancaman itu menular. Ancaman pasien adalah ancaman bagi kita. Kita butuh fokus saat menghadapi itu semua. Maka aturlah nafas kita, agar kita tetap fokus dan tenang. Ini serius.

Otak kita memiliki respon khusus terhadap ancaman yang hadir. Ketika ancaman hadir, maka otak akan mengaktivasi shortcut ke amygdala, bagian otak yang kerap pula disebut “otak purba”. Amygdala ini berkaitan dengan reaksi-reaksi primitif yang berhubungan dengan ketakutan, kecemasan, dan reaksi bertahan hidup. Ketika shortcut ini diaktifkan, maka terjadilah sebuah reaksi yang disebut sebagai “hijacking amygdala”. Ya, amygdala akan membajak fungsi cortex serebri (kulit otak) yang selama ini bertanggung jawab pada fungsi nalar dan pemahaman.

Hijacking amygdala akan membuat amygdala mendominasi respon otak, sehingga ketika ancaman itu hadir, kita merasakan “ketakutan” yang direpresentasikan dengan sikap tergopoh-gopoh dan sulitnya berpikir secara nalar sebab fungsi cortex serebri ditekan oleh amygdala. Dengan pengaturan nafas dan sikap rileksasi, dominasi amygdala akan menurun. Oksigen ke otak akan lebih banyak, sehingga respon tubuh alami berupa denyut jantung yang cepat (akibat neurotransmitter dopamin dan epinefrin saat amygdala mendominasi) bisa diturunkan. Turunnya denyut jantung akibat pasokan oksigen yang cukup ke otak akan meningkatkan kembali kinerja kulit otak. Kita lebih bisa berpikir logis dan sistematis dalam memberikan tata laksana ke pasien.

3. Bergerak seperlunya.
Dunia gawat darurat memang identik dengan kecepatan. Tapi kecepatan tidak cukup. Bisa jadi kecepatan adalah salah satu penyebab kegagalan. Yang utana bukanlah bergerak secepat ninja, apalagi secepat kilat. Kita butuh gerakan yang tidak mubazir, bergerak seperlunya. Dengan bergerak seperlunya, kita bisa mengalokasikan tenaga untuk tindakan lain. Bergerak seperlunya dengan hitungan detik yang sedikit lebih lambat jauh lebih baik daripada bergerak secepat kilat untuk hal-hal yang tidak perlu. Manfaat lain,pasien selamat, kita tidak capek.

4. Bekerjasama.
Dunia gawat darurat bukan dunia superman. Mereka yang berkutat di dunia gawat darurat adalah manusia biasa. Dengan kapasitas masing-masing, dengan kelemahan masing-masing. Sehebat apapun kita, tetap tidak pernah bisa bekerja sendirian. Banyaknya personil bukan jaminan. Yang penting kompak. Untuk pasien dengan kegawatdaruratan jantung, misalnya, saya pernah mencatat untuk keberhasilan kecil yang dialami saya dan teman-teman. Untuk kasus itu, setidaknya kita membutuhkan tiga personil yang bertanggung jawab pada perannya masing-masing. Satu fokus di airway dan breathing, satu lagi di kompresi jantung dan defibrilasi. Satu lagi fokus di pemberian obat-obatan penunjang.

5. Terus belajar
Dunia kedokteran, apapun cabangnya, adalah dunia long-life study. Masing-masing terus berbenah, mencari solusi di atas solusi dan bisa diterapkan secara praktis dan dievaluasi. Demi penanganan pasien yang optimal, demi peningkatan status kesehatan pasien yang lebih baik.

Memang, prinsip-prinsip dasar dalam pemahaman sikap untuk bertindak di unit gawat darurat dan keperawatan kritis terasa mudah diucap saja. Barangkali, sebagian dari mereka yang secara sengaja atau tidak mampir di halaman ini akan mencibir, bahwa apa yang saya tulis hanya sebatas bumbu-bumbu retoris.

Saya menghargai pikiran semacam itu. Tak ada yang bisa menghalangi laju pikiran. Yang jelas, apa yang saya tulis di sini adalah sebuah amsal pengingat bagi diri saya sendiri. Lalu saya bagi. Perkara siapapun menerima sebagai tulisan gombal yang tidak menyentuh ranah praktis, saya berterima kasih. Pada mereka yang mengambilnya sebagai pelajaran tanpa merasa digurui, saya malah ucapkan lebih banyak terima kasih.

Adil bukan?

Kamis, 13 Oktober 2011

Tentang Pulang

Mas Aji Prasetyo
Saya memang suka ngobrol. Suka cangkruk'an sambil berbincang kesana kemari. Beberapa teman menyebutnya sebuah kebiasaan tidak jelas. Tapi tidak demikian buat saya. Buat saya, selalu ada banyak hal yang saya dapat dari sekedar cangkruk.

Seperti halnya suatu hari, saat saya menyempatkan diri datang ke kedai buku di Malang, menemui seorang teman sekaligus salah satu guru, mas Aji Prasetyo. Mas-mas cakep (setidaknya kata istrinya) ini, saya temui jauh-jauh dari Jember untuk sekedar emm..cangkruk.

Sempat menunggu sebentar di halaman parkir, saya langsung sumringah ketika  dia datang bersama istri dan anaknya, mempersilahkan masuk dan menyiapkan proses cangkrukan. Saya tidak pernah bertemu dengan orang ini, kecuali sebatas ramah tamah di internet. Saya mengenalnya di laman blog lawas saya, tempat saya mengawali diri belajar berinteraksi menjadi netizen dan menggairahi anomali internet.

Sebagai orang yang tidak pernah sebelumnya, sikap mas Aji sangat ramah. Kami bicara banyak hal. Orang selalu suka bicara tentang dunianya. Kebetulan, saya dan mas Aji sama-sama menyukai dunia komik. Mas Aji malah pelaku aktif, tidak seperti saya yang cenderung pasif. Pasif pun angin-anginan. Yang sering sih tidak melakukan apa-apa. Pembicaraan semakin meluas dan melebar, mulai dari sejarah seni sampai wanita dan kegilaan laki-laki. Sesekali, sambil ngobrol, mas Aji menggesek biolanya, mengajari seorang "murid"nya yang lain.

Sampai kami bicara tentang pulang. Meminjam analogi burung yang keluar sepanjang hari dan kembali ke sarang saat senja meredup, barangkali demikian pula laku yang kita empu setiap hari. Bedanya, manusia adalah homo ludens sekaligus homo sapiens. Binatang yang senang bermain-main sekaligus bisa berpikir.

Maka setelah "bermain" seharian layaknya burung mencari makanan, maka manusia pulang ke sarangnya. Hanya saja, esensi homo sapiens dilupakan. Kita kerap lalai dan mengalokasikan diri untuk berpikir dan menanyakan pada diri sendiri,"Apa yang telah saya dapat?"

Bukan menyoal uang. Tapi perenungan mengkhidmati nilai-nilai yang kita temui sepanjang hari. Perenungan yang berujung pertanyaan-pertanyaan sebagai sebuah upaya pengakrab diri sendiri kerap kita lalaikan. Saya kira saya dan banyak orang lainnya, setiap hari seakan menjadi manusia yang serba otomatis. Bangun-bekerja sampai larut-bermain-pulang, dan begitu lagi. Seterusnya. Kerap lupa menziarahi ingatan sendiri, tentang apa yang kita temui sepanjang hari.

Maka tak ayal, kita semacam menjadi mesin di sebuah lajur gigantik bernama hidup. Rumah, selayaknya menjadi tempat kita kembali menjadi manusia setelah sebelumnya kita seharian entah menjadi apa.

Saya teringat seorang kawan yang naluri travelling pekat nian mengendap di darah mudanya. Ia yakin, bahwa ke mana pun kita berpetualang, keluarga adalah tempat kita kembali. Di sana kita selayaknya mengevaluasi diri, mengumpulkan remah-remah yang kita dapat tentang nilai-nilai kehidupan, mengendapkannya, lalu membaginya dengan orang-orang tercinta.

Perbincangan dengan Mas Aji mengingatkan saya tentang esensi berpulang. Setelah bermain-main di luar sarang, cangkruk'an, atau berlari-lari di sebuah trek panjang dan melelahkan bernama kebutuhan hidup.

Mas Aji telah mengantarkan saya pulang.

Ternyata Ada Sekolah yang Bukan Candu

Saya termasuk yang tidak percaya kemutlakan yang menjamin bahwa sekolah berbanding lurus dengan  pola pikir, tingkah laku, maupun kapasitas karakter seseorang.  Saya juga yang percaya bahwa sistem sekolah-terutama di negeri ini-adalah sistem yang tidak membebaskan, kalaupun tidak boleh dibilang membelenggu.

Alhasil, saya kerap mencibir manakala ada orang yang sekedar membanggakan sekolah, terlebih pada mereka yang menjadikan sekolah sebagai komiditi. Namun saya percaya, ada sistem yang berani melawan arus. Salah satunya Summerhill School, bentukan A.S. Neill (sama sekali bukan saudaranya A.S. Laksana, penulis kita itu).
Dulu saya pernah membaca buku tentang sekolah asyik ini, kemudian saya tulis review tentangnya. Setelah bebongkar sejenak, saya temukan arsip tulisan lawas ini. Syukur-syukur jika ada yang menemukan bukunya. Lebih-lebih andaikata sekolah macam ini menjamur di negeri ini. Setidak-setidaknya mereka membantu mengurangi saya mengumpat. Itu bisa menjadi amal baik.

Bekicot.

Tahun 1920, Kota Leiston, Suffolk, 160 km dari London.
Seorang pria berusia 37 tahun dengan ide-idenya yang radikal dan eksentrik, Alexander Sutherland Neill, membangun mimpi-mimpinya dengan mendirikan sebuah lembaga pendidikan ( baca : sekolah ) yang memegang teguh prinsip kebebasan ( freedom ) dan pengelolaan diri ( self - government )
Ia membangun sekolah yang berjalan dengan sistem yang berorientasi pada prinsip kemandirian, keberanian, dan kasih sayang.
Sekolah yang pada mulanya berupa sebuah rumah di atas bukit (hill) di Lyme Rigs itu ia beri nama Summerhill.
         

Sekian tahun berjalan, sistem pendidikan di sekolah itu mencuri perhatian dunia edukasi internasional. Sebagian khalayak tercengang, sebagian yang lain memilih untuk mencibir, bahkan mengutuknya.
Wajar saja respon semacam itu timbul. Betapa tidak, sekolah ini benar-benar aneh. Tidak ada aturan sama sekali di sekolah ini. Semuanya bebas. Siswa-siswinya benar-benar dipersilakan untuk mengikuti pelajaran sesuka hati.Sekali lagi, bebas.

Para siswa juga hampir tidak pernah memanggil guru mereka dengan sebutan "pak" atau "bu". Bila mereka bernama George, maka para siswa pun "hanya" akan memanggil "George" saja. Tidak lebih. Tak ambil peduli sejauh apapun rentang jarak di antara mereka.
Para guru pun bertingkah tak kalah eksentriknya. Mereka tidak pernah ambil pusing soal gengsi dan harga diri yang semu. Bagi mereka, harga diri mereka adalah saat mereka mampu berperan sebagai katalisator proses belajar siswa secara utuh dan tidak partial.

Satu kekuatan "hukum" yang berlaku di Summerhill adalah hasil keputusan rapat setiap akhir pekan. Mereka memberi nama forum itu "Rapat Umum". Di rapat ini, berbagai permasalahan di kalangan elemen sekolah dikupas, dan dicarikan solusi yang wajib dilaksanakan. Dan semua orang dalam rapat ini punya hak suara yang sama. Tidak peduli apapun. Dari mereka yang masih berumur delapan tahun, sampai Neill, sang kepala sekolah, punya hak suara yang tidak berbeda sedikitpun. Rapat Umum dipimpin oleh seorang pimpinan rapat secara bergantian setiap minggu. Setiap orang mempunyai kesempatan yang sama. Sekali lagi, tidak ada yang dibedakan. Sedikitpun.

Kebebasan ini ternyata justru tidak menimbulkan kekacauan. Bahkan, sebagaimana tertutur di buku ini, tidak ada perselisihan yang berarti di antara kalangan siswa maupun pendidiknya. Apalagi pertikaian secara fisik, tidak ada.

Sebab, egoisme yang berlaku di Summerhill ada model egoisme timbal balik. Sederhananya begini, " saya tidak mau privasi saya diganggu, maka saya pun akan menghormati privasi murid yang lain."

Kendati terkesan urakan, di sekolah ini, budaya saling menghormati dan tanggung jawab tumbuh begitu lebat. Neill, sang kepala sekolah, pernah diusir dari pesta ulang tahun muridnya yang belum genap sepuluh tahun , karena memang Neill tidak diundang. Dan Neill pun tak jarang mengusir dengan marah  mereka yang masuk ruangannya tanpa ijin.

Anak-anak Summerhill tak perlui diceramahi ihwal tata krama dan norma-norma. Secara tidak langsung, hal itu menjadi bagian dari kehidupan mereka. Tak perlu diceramahi ihwal toleransi sosial, sebab mereka hidup dalam sejenis keluarga besar multiras.

Bukan berarti karena bebas, sekolah ini menomorduakan atau menomorsekiankan esensi kasih sayang. Sebaliknya, suasana penuh aroma kasih sayang bertaburan di sekolah ini.
Bagi Neill, tidak ada satu pun anak yang jahat. Ketakutan, teror, serta intimidasi yang dilakukan oleh orang tua, sekolah, bahkan "kerjasama" di antara keduanya yang membuat kondisi demikian.

Menurutnya, tugas anak adalah melakoni hidupnya dengan kehidupannya sendiri, bukan dengan kehidupan orang tuanya yang cemas, mesti dijalani dengan terpaksa, atau menurut ahli pendidikan yang menujum apa yang terbaik bagi anak kelak. Baginya, cara-cara seperti itu hanya akan menghasilkan generasi robot yang tidak percaya hati mereka sendiri.

Buku ini menarik.Kita akan diajak menelusuri pola pikir A.S Neill. yang unik, menggelitik , dan mau tidak mau membuat kita mengakui kebenaran pesan yang ia sampaikan. Dikemas secara naratif, membuatnya tidak membosankan, berbeda dari buku-buku sejenis yang membosankan, melangit-langit dan kerap terkesan menggurui.

Kita akan diajak menapaki ragam pola pikir alternatif yang membebaskan dalam wacana pendidikan. Sekaligus menapaki kebenaran bahwa semangat, cinta dan kasih sayang -selalu saja- memberikan jalan keluar yang mencerahkan.

Surat-surat yang Semoga Sampai


Pemakaman Langit

 Ini salah satu tulisan review buku di saat awal-awal belajar me-review. Tulisan lama, hanya lahir lagi dengan sedikit polesan serta perasaan yang bercampur aduk; antara tidak punya rasa malu dan kurang kerjaan.
Bekicot
.

Dalam segala bentuk transformasinya, cinta secara esensial memberikan peran sebagai salah satu faktor penting yang melandasi pembentukan sikap, karakter, serta perilaku manusia. Cinta yang mengalir tanpa pretensi adalah sumber motivasi yang tak akan habis dikuras ataupula letih digali. Ia adalah arus, sekaligus sumber energi. Sebagaimana iman, ia mampu menyeret perasaan bawah sadar manusia untuk mengolah kesadaran bertindak.

Sebagaimana yang terekam pula pada buku ini, yang merupakan memoar dari Shu Wen, seorang wanita heroik yang gigih berjuang mencari cinta sejatinya , suaminya, bernama Kenjun yang raib ditelan hamparan belantara Tibet yang ganas saat sedang berjuang bersama Tentara Pembebasan Rakyat.

Shu Wen dan Kenjun, sepasang pengantin muda , sama-sama berprofesi sebagai dokter spesialis, ditakdirkan berpisah saat Cina dan Tibet sedang meretas konflik. Dan Kenjun, atas nama kemanusiaan yang ia emban bersama nurani turut berjuang sembari mencoba menghapuskan batas tegas antara cinta dan kebencian yang tergores tebal oleh sebuah event besar bertajuk perang. Batas yang membuat Cina adalah ancaman bagi Tibet, begitupula sebaliknya.

Kenjun di kabarkan tewas tanpa mayat. Dan Shu Wen menolak percaya. Ia lalu berupaya mencari Kenjun. Tanpa takut, ia turut bergabung dengan program militer, Tentara Pembebasan Rakyat besutan pemerintah komunis Cina. Ia bahkan memilih bergabung dengan kesatuan yang dulu diikuti suaminya, guna mengikuti jejak yang ditinggalkan suaminya.

Belantara Tibet yang ganas hamparan salju yang menusuk tulang, serta serangan-serangan liar penduduk Tibet yang liar membuat Shu Wen terpisah dari kesatuannya, dan justru bertemu dengan Zhouma, seorang pribumi Tibet, yang mengantarkannya pada persahabatan dengan sebuah keluarga nomadik di pedalaman Tibet.
Persahabatan ini yang kemudian mengantarkannya pada situs Pemakaman Langit. Pemakaman khas suku pedalaman Tibet. Pemakaman jasad manusia dengan meletakannya di sebuah altar, untuk kemudian membiarkan alam yang mengeksekusinya, sebagai tanda bahwa alam memberikan restu pada kepergian roh menuju surga. Alam diwakili oleh sekumpulan burung nazar yang berkumpul mengerumuni jasad,lalu mengoyak dan mencabik-cabik jasad tersebut dengan paruh dan cakarnya yang tajam.

Selama hampir tigapuluh tahun, Shu Wen gigih tanpa menyerah mencari Kenjun, atau setidaknya keterangan tentang belahan hatinya itu. Hingga sebuah warta terkuak, bahwa Kenjun pernah turut serta dalam Pemakaman Langit. Bukan sebagai pemimpin upacara, tapi sebagai jasad yang teronggok tak berdaya dikoyak nazar. Ternyata Kenjun sudah gugur sekian tahun yang silam, dengan menjadi martir. Ia rela menukar nyawanya sendiri, asalkan penduduk Tibet dan Tentara Cina meredam dan menghapuskan konflik yang terjadi. Sebuah misi diplomasi dengan nyawa sebagai modal.

Ia gugur dengan meninggalkan sebuah catatan harian yang hendak diberikan kepada Shu Wen. Begitupun Shu Wen, ia hendak memberikan catatan hariannya kepada Kenjun bila suaminya itu masih hidup. Sebuah rekaman perjuangannya. Rekaman berupa catatan di sebuah buku usang dengan media tulis apapum Ia bahkan sempat menggunakan kerikil berwarna untuk menulis catatan harian tadi, sebab ia kesulitan mendapatkan grafit, apalagi tinta.

Buku ini ditulis dengan bahasa yang sederhana, tanpa diksi yang rumit, serta cara penyampaian pesan yang konsisten. Ditambah visualisasi yang memukau, membuat buku ini layak diapresiasi. Pesan yang disampaikan tidak dibuat samar, bahkan sangat tegas dan “telanjang”. Alurnya ritmis, penuh emosi, tapi tidak gampangan. Dialog-dialog yang disampaikan pun cerdas dan tanpa bermaksud memaksakan.Untuk ukuran buku terjemahan, buku ini sederhana, tapi cukup memukau. Penerjemah mampu menjembatani antara kondisi nyata pembaca, visualisasi mereka, serta setting yang dipaparkan penulis.

Pemilihan tema yang terkesan utopis mungkin membuat pembaca sedikit mencibir. Dan karena buku ini adalah bentuk memoar, unsur subjektifitasnya sangat tinggi.

Namun, selalu ada bukti, bahwa cinta semakin kokoh di atas tragedi. Jadi, maaf saja, buat anda yang tidak percaya kekuatan cinta dapat mengubah segalanya, termasuk mengubah diri anda sendiri, ada baiknya anda membaca buku ini

Relative Curve

Orang-orang bijak sedari dulu mencoba menuliskan kebajikan yang mereka alami. Harapannya jelas, agar orang-orang sesudahnya bisa belajar banyak, agar mampu menggali ataupun menyelami kebajikan tadi tanpa harus mengalaminya sendiri.

Tapi toh, orang bodoh tak pernah belajar banyak dari itu semua. Contohnya adalah saya. Bukankah orang bijak sedari dulu bilang, bahwa benci dan cinta itu setipis kulit bawang. Jangan mencintai atau membenci segala sesuatu berlebihan. Sebab segalanya tidak ada yang mutlak. Semuanya adalah relatif. Hanya kecenderungan saja.

Tapi saya tidak mempraktekkannya. Dan kali ini saya yang kena batunya. Saya sedari dulu memang kurang suka ( untuk memperhalus kata benci ) hal-hal yang berbau militer. Bagi saya,militer terlihat sangar, tak punya empati, dan cenderung menumpulkan kebebasan berpikir, sebab semua adalah tergantung komando.
Tapi kali ini, Tuhan menghukum saya. Saya sekarang lagi dibuatNya"jatuh cinta" dengan dunia militer. Saya terpukau dengan kesolidan team, organisasi yang rapi, keteguhan tekad, disiplin yang kokoh, serta dedikasi yang mereka empu. Saya sedang gencar-gencarnya berburu pelbagai referensi soal dunia militer dalam dan luar negeri. Mulai yang pasukan reguler sampai pasukan khusus. Mulai yang terang-terangan, sampai yang penuh intrik dan konspirasi.

Termasuk pada sisi personalitasnya juga. Hitler misalnya. Dulu, ia cuma saya anggap penjahat perang yang gila, mengidap sindrom megalomania kronik, serta penganut teori eugenetika yang saya rasa mengerikan. Dia punya sekian syarat untuk membuat saya muak.

Tapi sekarang, saya mencoba melihat dengan sudut pandang berbeda. Ia adalah orang yang mempunyai visi yang luar biasa, ahli diplomatik yang ulung, orator berkelas, serta pemimpin perang yang imajinatif. Betapa tidak , senjata perang adalah Nazi adalah senjata yang melampaui jamannya. Pasukan Nazi yang pertama kali menggunakan bom magnet, kapal selam canggih, teleskop inframerah, dan militansi pasukan khusus yang memukau. Bahkan pasukan khusus Nazi dicontek oleh bangsa lain untuk membentuk pasukan khususnya sendiri. Termasuk British Special Air Service yang terkenal itu.

Tapi untuk sisi sebaliknya, dengan "hukuman "yang saya terima ini,saya berharap agar jika saya mencintai sesuatu atau seseorang sekarang, tidak akan membuat saya menjadi membencinya kelak. Rasanya kok terlalu berat. Saya takut menjadi pembenci. Cukuplah diperingatkan kalau itu salah, jangan diteruskan dalam-dalam. Lalu saya akan mengambil jarak, melihat dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sebab semuanya tidak linier, melainkan membentuk kurva yang begitu relatif.

Anda yang kebetulan ataupun sengaja membaca tulisan ini, juga demikian. Jangan terlampau membenci tulisan keminter ini, sebab siapa tahu Tuhan suatu saat akan membuat anda mencintai saya dan akan jauh lebih keminter dari saya..:)

Minggu, 09 Oktober 2011

Nyanyian Panjang Bernama Sepakbola

Membicarakan sepakbola hampir mirip dengan membicarakan musik. Keduanya sama-sama tidak akan sampai di sebuah titik bernama usai. Selalu tersedia banyak hal yang menyisakan ruang untuk disimak dan ditilik, mulai dari perdebatan siapa pencipta awal keduanya sampai warna-warni yang menghiasi perjalanan dua hal ini dalam sepanjang perjalanan mereka di sebuah lajur panjang bernama peradaban manusia.


Sebab musik dan sepakbola memiliki banyak kecenderungan yang sama. Keduanya adalah hasil konsepsi budaya massa, memiliki unsur histeria, euforia, chaos, bahkan kegilaan. Penggila musik dan penggila bola sama gilanya.

Dari segi permainan, keduanya juga menyimpan banyak kesamaan. Sama-sama memerlukan penguasaan teknik, kerjasama, tempo, irama dan struktur. Lebih jauh soal ini, Giovanni Trappatoni, pelatih kharismatik asal Italia yang terkenal akan caranya bersuit pernah mengungkapkan, ” Saya percaya, melalui musik, saya belajar menjadi pemain bola sekaligus menjadi manusia”.

Memang, sepakbola tak ubahnya sebuah lagu yang memerlukan kepekaan irama, pengolahan tempo, dan harmoni. Sepakbola adalah sebuah lagu. Sepakbola adalah nyanyian panjang yang tak akan usai dinyanyikan.
Kemiripan-kemiripan yang timbul membuat penggila musik bisa mejadi penggila bola, atau mungkin sebaliknya. Tak menutup kemungkinan, pemain musik memiliki kecintaan yang sama terhadap bola, dan pemain bola memiliki kecintaan yang sama terhadap musik.

Silakan simak Robert Nesta Marley. Nabi kaum Rastafarian yang lebih dikenal dengan nama Bob Marley ini adalah penggila bola. Tak hanya sekedar menggilai, Marley juga dikenal sebagai pemain yang handal. Posisi favoritnya adalah gelandang. Klub favoritnya adalah Santos. Dan pemain favoritnya adalah Edson Arantes Do Nascimento alias Pele.

Terkait kecintaannya terhadap sepakbola dan semangat kebebasan yang diusung oleh caranya bermusik, Bob Marley pernah berwejang,”Sepakbola adalah keseluruhan keterampilan diri. Seluruh dunia, seluruh alam semesta, saya menyukainya karena Anda harus terampil untuk memainkannya. Dan kebebasan, sepakbola adalah kebebasan”. Bahkan ketika Marley meninggal dunia, bola sepak yang biasa dimainkannya turut menemani jasadnya di liang lahat. Bola itu masuk kuburnya, menemaninya bersama cincin Lion of Judah, Alkitab, dan sebuah gitar Gibson Les Paul kesayangannya.

The Beatles, legenda dari kota Liverpool juga memiliki penggila bola fanatik. Sir  Paul Mc Cartney  dikenal sebagai sosok Liverpudlian. Bahkan rumornya, John Lennon juga seorang pengggemar Liverpool. Liverpool pernah bertandang ke Italia untuk melawan Napoli beberapa waktu silam. Mau tahu siapa pilot yang mengantarkan The Reds? Ia adalah Bruce Dickinson, vokalis band heavy metal veteran asal Inggris, Iron Maiden.

Mari meloncat ke sisi yang lain. Pemain dan pelatih sepakbola pun banyak yang menjadikan musik sebagai bagian erat dari kehidupan mereka sebagai pesepakbola. Hidetoshi Nakata, pemain Jepang pertama yang sukses di Seri  A Italia, mempunyai kebiasaan unik sebelum bertanding. Ia kerap memasang earphone dan mendengarkan lagu-lagu kesukaannya sebelum turun ke lapangan. “Itu membuat saya rileks di lapangan,” katanya.

Lionel Messi juga dikenal memiliki kebiasaan yang sama. Ia sering mendengarkan lagu dari grup band Oasis,  yang dibentuk oleh Liam dan Noel Gallagher itu. Messi dipengaruhi oleh teman satu timnya di timnas Argentina, Carlos Tevez, yang memeperkuat Manchester City. Bukan rahasia lagi memang, Oasis dikenal sebagai pendukung fanatik Manchester City.

Jose Mourinho, pelatih arogan sekaligus cerdas nan kontroversial, juga seorang penikmat musik .
Musisi favoritnya, Pink Floyd. Kata Mourinho,”Saya suka semua lagu di album The Dark Side of The Moon“.
Guus Hiddink juga demikian. Ia penikmat musik klasik. Ketika masih menukangi Rusia, timnya sempat dihantam telak oleh Spanyol di Piala Eropa 2008. Alih-alih meratapi terlalu jauh, Hiddink mengajak anak asuhnya wisata musik di kota Salzburg, kota musikus legendaris Wolfgang Amadeus Mozart. Hiddink juga membuat ungkapan dengan bahasa musik menanggapi kekalahan timnya dari Spanyol. “Melawan Spanyol, sebenarnya kami memainkan musik yang indah. Namun pada akhirnya kami tenggelam karena kami memainkan nada-nada sumbang”.

Sepakbola dan musik sama-sama menjadi bahasa universal. Bahasa tanpa terjemah yang bisa dipahami semua populasi di muka bumi. Karena sifatnya yang multilingual ini, banyak yang memanfaatkannya untuk tendensi lain. Politik misalnya. Sebagai pekerjaan tertua sepanjang peradaban manusia (selain pelacur), politikus paham bahwa sepakbola dan musik adalah komoditas yang seksi. Lalu beramai-ramailah kaum politikus menempuh cara menggunakan sepakbola dan musik sebagai alat politik yang ampuh.

Pikat sepakbola dan musik  tak hanya berkutat di ranah  kecenderungan filosofisnya, namun juga kompensasi yang lahir profesionalisme yang mengolah keduanya: uang, popularitas, dan kekayaan. Kompensasi-kompensasi inilah yang membuat industri sepakbola maupun industri musik tumbuh gagah, kokoh, sekaligus menggurita.

Impian merubah nasib melalui sepakbola dan musik telah menggairahi banyak anak muda di pelbagai belahan dunia. Ini lalu berkembang dengan munculnya orang-orang yang menamai diri sebagai pemandu bakat atau produser yang menebar janji dan rayuan yang membius.

 Nick Hornby, sastrawan Australia yang menggilai Arsenal, dalam bukunya yang best-seller, Fever Pitch, mengemukakan bahwa terjadi metafora berlebihan pada nilai-nilai sepakbola.

“Umumnya, tren sepakbola dikiaskan dengan keindahan, lompatan ambisi, gambaran apa itu sepakbola, sistem global atau setidaknya obsesi budaya dan cacat sejarah negara tertentu,” jelasnya.

Sama halnya dengan pelaku musik yang mengamen, latihan dari studio ke studio, dari gigs ke gigs, di Inggris dalam setiap musim transfer terdapat sekitar 70.000 pemain bola  muda mempertaruhkan masa depannya. Magang di klub, sembari berharap mimpi menjadi The Next Wayne Rooney menjadi nyata.

Bukan berarti memukul rata, namun yang jelas musik dan sepakbola sama-sama mengajarkan hidup sebagai sebuah pertaruhan.  Mereka bekerja keras melawan probabilitas untuk mencapai impian. Itu gejala yang wajar. Setidaknya menurut Sutan Sjahrir, bukankah hidup yang tidak dipertaruhkan bukanlah hidup yang tak mungkin dimenangkan? Tapi selayaknya pukau musik dan sepakbola ini harus disikapi dengan tetap melihat bahwa keduanya tak menghasilkan sesuatu yang tiba-tiba. Keajaiban juga butuh proses.

Jadi kira-kira, lebih menarik mana menjadi pemain bola hebat atau pemusik top? Entahlah. Yang jelas, pemain bola memiliki track karier yang pendek. Beda halnya dengan karier pemusik yang cenderung panjang.
Sebagai bandingan, Mick Jagger adalah contoh yang ideal. Usianya hanya lebih muda dua tahun dibanding manajer abadi MU, Alex Ferguson. Bedanya, Mick masih aktif sebagai pemusik. Ia sempat sewot saat ada yang bilang Rolling Stones sudah tidak eksis. Fergie? Ia sudah berhenti menjadi pesepakbola di usia muda. Karier emasnya hanya saat menjadi pelatih dan manajer tim.

Silakan cari contoh lain. Tak ada pesepakbola yang sukses mencapai titik angka 40 dengan karier yang masih cemerlang, atau setidaknya skill yang masih yahud. Kalaupun terdapat anomali, itu adalah minoritas. Paling-paling Dino Zoff, kiper legendaris Italia. Bandingkan dengan Ian Antono ataupun Bono U2 ketika di usia yang sama.

Aspek yang paling utama menjadi alasan adalah fisik. Bermain bola memang menyodorkan kekuatan fisik sebagai pra syarat penting. Musik tidak demikian. Jingkrak-jingkrak di panggung masih kalah di banding berlari diterjang tackling di lapangan.

Yang jelas, peradaban manusia berhutang budi pada musik dan sepakbola. Keduanya menciptakan jejak langkah yang sarat dengan nilai-nilai kemanusiaan dan moralitas, baik maupun buruk. Kata filsuf Perancis, Albert Camus,” Apapun yang saya ketahui soal moralitas, saya berhutang pada sepakbola”. Camus, mungkin sering merenung di lapangan, mengingat posisinya semasa bermain bola adalah penjaga gawang. Musik? Sudah terlalu banyak lagu yang mengubah dunia. Setidaknya omongan Bono U2 benar,”Musik dapat mengubah dunia, karena musik dapat mengubah manusia”.

Meskipun tidak bisa dipungkiri juga, kegilaan yang hadir karena sepakbola maupun musik juga menitikkan noda hitam dan korban. Setidaknya, silakan bertanya pada arwah Andreas Escobar sebagai wakil dari sepakbola, dan John Lennon sebagai wakil dari musik. Keduanya tewas karena kegilaan dari pecinta sepakbola dan musik.

Apapun kisah kelam yang menyelimutinya, sepakbola akan tetap menjadi nyanyian panjang yang akan terus disenandungkan. Ia adalah lagu panjang yang tidak akan usai dinyanyikan.

Rabu, 17 Agustus 2011

Kegelapan, Kemerdekaan

Pada mulanya, sebisa mungkin saya menahan diri saya untuk tidak ikut-ikut menulis soal peringatan tujuhbelasan ini. Saya mencoba mengambil sisi lain, cukup melakukan perenungan. Sementara yang lain riuh oleh gegap perayaan, saya memilih diam. Tapi kok ya susah menahan. Di sekitar saya maupun di sosmed, beberapa ramai pesimis, beberapa riuh optimis. Beberapa pekak mengepul jargon, beberapa saling nyinyir, saling mengejek.

Saya percaya, semua itu menular. Kelatahan menular, hal baik menular, hal buruk juga menular. Tinggal bagaimana saling menebarkan pengaruh. Dan caranya bermacam-macam. Buat saya, silakan saja. Kemerdekaan itu juga berarti bebas mengungkapkan pendapatnya toh?
Maka ada yang sedikit membuat saya risau, saat beberapa teman yang pesimis menyalahkan teman yang optimis. Atau sebaliknya. Itu sikap yang konyol. Saya mencoba memahami, bahwa teman yang pesimis, tidak sejatinya pesimis, mereka hanya realistis. Dan teman yang optimis pun, tidak sejatinya optimis benar, mereka hanya ingin berbagi harapan di antara sengkarut masalah yang sudah terlampau merata seperti udara. Jadi keduanya, buat saya hanya mencoba membagi persepsi.

Maka rasa-rasanya, bukan sebuah hal bijak manakala kita menyalahkan kelompok lain yang mencoba mengkhidmati kemerdekaan dengan seremonial sendiri. Hidup itu memang lekat dengan rangkaian simbol-simbol. Hampir semua bagian kita, dijalani dengan ritus layaknya upacara. Dalam skala masing-masing tentunya.
Ketika ada beberapa orang yang mencoba menaruh harapan dengan laku seremonial berupa membuat upacara bendera digital, saya kira itu sebuah laku apresiatif. Laku yang dihela dengan mengumpulkan sekitar 1,7 juta hashtag #17an (tepatnya 1.781.945) di twitter itu bukan laku mudah. Menebar pengaruh sekaligus harapan pada sejuta orang di twitter itu susah.

Sebagaimana saya bilang tadi, rangkaian hidup kita,mau tidak mau, adalah rangkaian upacara dan simbol. Upacara bendera digital juga simbol. Bukan berarti melecehkan perjuangan pahlawan hanya dengan mengetik tanda pagar, tapi saya lihat mereka melakukan cara lain untuk menghimpun semangat komunal. Dan cara apalagi untuk melakukan itu semua kalau bukan melalui teknologi informasi? Dan akuilah, setiap zaman, memiliki zeitgeist-nya sendiri.

Ketika ada yang bilang,"Latah, ntar juga ilang-ilang sendiri. ", tidakkah kita lebih baik melakukan sesuatu daripada sekedar mencibir?
"Lebih baik lakukan di alam nyata", kata yang lain. Boleh, silakan. Lebih baik memang, mungkin. Tapi dengan output berupa mencibir orang lain yang sedang melakukan kebaikan, berarti hal nyata tadi juga tidak berimbas.

Jika tolok ukur kemerdekaan hanya disandarkan pada nihilnya masalah, kita tidak akan benar-benar merdeka. Tidak akan. Itu konsep utopis. Salah satu makna kemerdekaan itu bagaimana kita punya kesadaran untuk menghormati laku orang lain, sepanjang itu tidak saling merugikan. Merdeka juga berarti kita punya kesadaran untuk saling menghargai, bukan cuma mengutuk.

Iya, saya tahu, terlampau banyak hal gila di negeri ini. Setiap hari kita melihat orang-orang pilihan kita tertawa lebar dengan segala kenikmatan yang ia dapat, sedang kita jungkir-balik jumpalitan untuk sekedar bertahan hidup. Cuma bertahan hidup. Bukan memaknainya, apalagi bersenang-senang dengan hidup. Tapi mari merdekakan diri sendiri, dengan kesadaran sendiri, bahwa semakin kita saling mencintai, semakin kita kuat.

Kita boleh mengutuki kegelapan, tapi harus sambil menyalakan lilin.


*gambar dicomot sesukanya dari sini

Sabtu, 06 Agustus 2011

Tentang Egoisme Menulis

Kalau Anda pernah kecewa karena menulis dan tulisan itu tidak mendapatkan komentar, bahkan tidak dibaca, barangkali rasa kecewa itu muncul karena Anda adalah orang yang baik-baik. Terlampau baik bahkan. Anda adalah orang yang selalu memikirkan orang lain. Orientasi Anda adalah kepuasan orang lain. Sikap yang mulia, tapi juga terkadang tidak perlu. Setidaknya dalam menulis. Barangkali begitu.
Karena saya kerap merasa bahwa saya bukan tergolong orang yang baik- baik, maka saya menyarankan agar ketika Anda menulis, yang menjadi orientasi Anda adalah diri sendiri. Menulislah dengan "egois". Utamakan kepuasan diri sendiri.

Sebab dengan demikian, tulisan Anda akan lebih jujur. Tanpa pretensi dan pengharapan. Efeknya, Anda akan merasa senang. Sebab menulis dengan jujur itu memang menyenangkan. Persetan dengan pengakuan orang lain. Marilah sekedar bersenang-senang.
Sebab menulis itu pada mulanya untuk diri sendiri, bukan buat orang lain. Perkara tulisan kita memberikan sesuatu pada orang lain, itu urusan lain. Itu sudah memasuki sudut pandang pembaca. Kita menulis, ya menulis sajalah. Untuk diri masing-masing.

Sebab menulis dengan menyesuaikan isi kepala tiap-tiap orang itu menyusahkan. Sangat menyusahkan. Asumsikan pengguna internet di negeri ini 100 juta, maka sebanyak angka itu pula kita harus menuruti isi kepala mereka.

Saya selalu percaya, semesta punya mekanisme sendiri untuk membimbing seseorang membaca tulisan kita. Baik secara sengaja atau tidak. Baik secara bertahap atau cuma sekedar kebetulan. Apalagi ini jaman internet. Dunia seolah terhubung oleh jaring-jaring tak kasat mata yang bisa membuat orang bisa terhubung dengan siapapun. Mesin pencari bisa secara tidak sengaja memunculkan nama kita dan orang tiba-tiba membaca tulisan kita. Jadi, santai saja. Setidaknya Google mencatat Anda bagian dari sejarah kalau Anda pernah menulis di internet.

Dan semesta juga punya mekanisme sendiri untuk membiarkan energi tulisan anda menguap dan masuk ke pori-pori pemikiran siapapun yang sekadar iseng atau mereka yang memang berniat membacanya. Jadi seorang penulis tak perlu risau tulisannya tidak dibaca orang lain. Ia semestinya risau ketika ia tidak bisa membaca tulisannya sendiri, sebab tulisan itu "hidup" untuk orang lain.

Kalau ada yang berdalih dengan meminta orang lain membaca tulisan kita akan menambah masukan untuk tulisan kita, silakan saja. Itu wajar. Itu benar. Tapi jangan kecewa ketika tidak ada yang membaca tulisan kita.
Toh, proses tidak pernah berbohong. Semakin sering kita menulis tanpa pretensi terhadap orang lain, semakin ringan kita menulis. Ujung-ujungnya, menulis menjadi sebuah ritual yang menyehatkan jiwa. Sebuah proses dialog internal yang intim.

Menulis untuk diri sendiri ini semacam ungkapan: "kita tidak bisa menghidupi orang lain kalau perut kita sendiri masih lapar". Bagaimana tulisan kita bisa mencerahkan orang lain kalau kita sendiri masih meraba-raba pengakuan? Sekali lagi, perut yang kerap lapar itu dekat dengan pikiran yang kerap mampet. Menulis juga demikian. Bila kita lapar pengakuan, cara berpikir kita juga kerap buntu. Tapi, cukupkanlah pengakuan dari diri kita sendiri saja. Pengakuan yang menandaskan bahwa kita menulis karena kita yang butuh. Orang lain hanya efek samping. Toh, orang juga punya urusan masing-masing.

Saya menulis ini bukan menilik dari sisi profesionalisme. Itu lain lagi. Kalau kita bekerja menghidupi diri dengan tulisan, kita punya kesepakatan antara kita dengan yang memberi kita pekerjaan. Kita boleh bersenang-senang, tapi kita juga punya hak orang lain.

Saya hanya mengajak mereka yang amatir--konon berasal dari bahasa Perancis yakni "amateur" yang artinya bersenang-senang. Perkara orang lain berubah karena tulisan kita, syukur. Perkara tidak, kita puas saat tulisan kita selesai, itu sudah cukup. Sisanya bukan urusan kita. Semesta punya cara sendiri. Dan hidup terlalu pendek untuk dibuat memikirkan pengakuan orang lain.