Rabu, 29 Juni 2011

Hujan (Deras) Bulan Juni

Saya tidak begitu mengerti ada apa dengan bulan Juni tahun ini. Saya tidak mencatat banyak hal. Ingatan saya yang payah ini hanya mengingat bahwa di bulan ini Soekarno, Soeharto, Che Guevara dan Zinedine Zidane mengenang hari lahir. Beberapa teman saya juga mengenang hari lahir mereka di bulan ini. Di bulan Juni tahun ini ingatan saya juga mencatat beberapa tragedi. Mulai Siami yang dikucilkan, Ruyati yang dipancung di tanah orang, sampai hilangnya flashdisk saya untuk kedua kalinya.

Tapi nampaknya saya perlu menambahkan sedikit catatan dalam remang ingatan saya. Di bulan Juni, di tahun ini, beberapa rekan mengalami kisah pedih dalam hubungan asmara masing-masing. Perih karena hubungan yang mereka jalin sudah kelewat jauh. Baik mereka yang sembunyi-sembunyi, maupun yang terang-terangan. Beberapa malah hendak mengisyaratkan menikah, tahun ini maupun tahun depan. Dan parahnya, rekan-rekan saya adalah golongan kalah. Mereka kaum yang disisihkan karena sesuatu dan berbagai hal. Ah, aku bersama kalian orang-orang malang!

Dan di antara itu,  ada yang sedikit  menohok di ulu hati, membuat saya sedikit tidak enak makan karena terbawa arus pikiran. Itu adalah kedatangan seorang kawan baik ke rumah saya di sebuah sore. Dan kawan saya ini, adalah salah satu dari sekian kawan yang mengalami Juni Pahit tahun ini, sebagaimana kawan-kawan yang saya bilang tadi.

Bisa ditebak selanjutnya. Selain dari wajah saya yang barangkali tipikal "tong sampah", juga karena kawan saya itu kelimpungan yang membuatnya tak mengerti harus berbuat apa, maka curhatlah dia sejadi-jadinya. Saya suguhkan wedang jahe, tak disentuhnya. Ia terus nyerocos, saya tabah mendengarkan. Sebisa mungkin saya mencoba berempati.

Kisahnya barangkali terlampau pedih. Begini, teman saya itu, menjalin hubungan dengan teman masa kecilnya. Sekian tahun mereka berteman, asmara tumbuh. Jika memang teori evolusi Darwin itu mentah dan omong kosong, biarlah cinta yang berevolusi. Dan itu dialami teman saya. Cintanya berevolusi, dari cinta monyet menjadi cinta bukan monyet. Dia berupaya sebisa mungkin tidak menjadi monyet yang cuma bisa main-main. Dia beritikad baik. Hendak menikahi gadis pujaan hatinya tahun depan. Ia menabung mati-matian.

Lalu di mana pedihnya? Sebentar, sedikitlah bersabar. Jadi hubungan asmara teman saya dengan kekasihnya itu kandas oleh masalah yang barangkali terlampau klasik: masalah keluarga. Keluarga teman saya dengan keluarga kekasihnya itu sedikit bermasalah sejak lama. Yang jadi korban anak-anaknya, padahal mereka tidak pesan lahir dari rahim siapa. Upaya perundingan juga percuma, luka masing-masing pihak sudah sama-sama dalam. Apalagi teman saya itu menjalin hubungan dengan pasangannya secara sembunyi-sembunyi. Alhasil, keluarga pasangannya semakin tersinggung.

Temen saya kalut. Dia bercerita sambil menahan kepedihannya. Air matanya hampir jatuh. Hidungnya memerah kembang kempis. Saya cuma diam. Mengambil jeda sejenak, membiarkannya "muntah", lalu saya mencari celah yang tepat untuk memberi saran. Kenapa saya memberi saran? Karena dia lelaki. Butuh saran dan masukan. Otaknya logis, butuh sistematika. Beda halnya dengan wanita, butuh didiamkan dulu. Wanita butuh ruang hati sebesar lapangan futsal untuk menerima keluh kesahnya. Bagi wanita, saran dan solusi itu nomor sekian, bahkan mungkin tidak penting.

Maka saya bilang kepada teman saya, tak perlu dia risau. Apa yang ia alami adalah masalah klasik. Kenapa klasik? Ya karena memang itu sudah kerap menjadi cerita. Ah, tapi kan mekanisme bertahan setiap orang tidak sama? Bah, jangan bertahan, tapi seranglah masalah itu. Attacking is the best defense, boy!

Kawanku, kamu ingat kenapa roman Romeo dan Juliet itu mengabadi? Karena cerita itu punya pesan yang sangat kuat, yaitu bagaimana cinta bisa mengubah tragedi menjadi komedi. Cerita perselisihan keluarga Capulet dan Montague di Verona yang berimbas pada  pelarangan hubungan Romeo dan Juliet itu disikapi keduanya dengan sikap bermain-main yang barangkali konyol. Juliet "pura-pura" mati. Romeo kecele, ia lalu bunuh diri. Juliet bangun dan melihat Romeo mati, maka ia pun bunuh diri. Konyol bukan? Tapi hidup memang permainan. Life is just a game. A God's game. Bukan berarti harus mati macam mereka, tapi setidaknya, jangan terlampau sedih, kawan. Bermain-mainlah. Selalu ada komedi di balik tragedi. Cari celah untuk menertawakan dirimu sendiri.

Teman saya terus mengomel. Menceritakan kenangan-kenangan yang pernah ia alami. Dan saya teringat potongan puisi Soe Hok Gie, Sebuah Tanya. Rasa-rasanya itu cocok buatnya. Teman saya mengomel, saya mendengarkan, sekaligus merapal puisi itu dalam hati

"Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui

Apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku

Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat
apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu.
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta.."

Itu buatmu, kawan. Tapi tetaplah tegar dan berjalan dengan dagu terangkat. Soe Hok Gie menggubah puisi manis itu ketika merasa kehilangan orang-orang terdekatnya. Tapi di bait terakhir, ia menambahkan ungkapan yang tidak hanya sekedar meratap.

"Manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru.."

Kawan saya terus meratap. Sesekali meracau. Saya mafhum, hatinya sedang centang perenang. Persoalan untuk tetap tegar bukan persoalan gampang. Setidaknya itu membutuhkan proses dan saya tidak bisa memaksanya.

Suasana saat itu sore dan gerimis turun. Pas sekali. Bahkan alam pun seolah-olah mendukung suasana hati kawan saya itu.

Saya lantas teringat puisi Hujan Bulan Juni-nya Sapardi Djoko Damono.

"Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan Juni
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu

Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu

Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.."
Ah kawan, menangislah. Tapi seperti kata seorang kawan yang lain, menangislah di bawah gerimis. Agar kau tak terlihat menangis, sebab gerimis mengaburkan air matamu. Tapi ingat, nanti pulanglah dengan dagu terangkat. Dan lekaslah masuk ketika gerimis kian deras. Nanti kau masuk angin.

Rabu, 15 Juni 2011

Pohon, Iklan, dan Kita.

Apa fungsi pohon? Tergantung kita melihat dari sudut pandang mana. Bila memakai sudut pandang kita adalah pejalan yang basah tersiram hujan dan tersengat terik matahari, maka fungsi pohon adalah untuk berteduh. Bila dari sudut pasangan kasmaran, barangkali pohon bisa untuk numpang pacaran sambil sesekali curi-curi kesempatan. Dan bila kita memakai sudut pandang burung, pohon adalah rumah. Tempat tinggal, makan dan minum, atau barangkali justru bereproduksi.

Tapi apa jadinya bila kita melihat fungsi pohon dari sudut manusia jaman sekarang yang gelisah mencari uang untuk memenuhi kebutuhan? Maka fungsi pohon bertambah: menjadi media beriklan.
Sore itu, saya jalan-jalan sepulang kerja. Mata yang jelalatan sibuk melihat pohon-pohon di tepi jalan dan mulut yang kerap nyinyir bergumam sendirian.

Pohon, yang berdiri tak lagi gagah di pinggir jalan-jalan itu, jelas tak bisa teriak saat tangan-tangan manusia memasang lembar-lembar propaganda sesuai kebutuhan masing-masing. Memancang paku-paku, merajam dengan angkuh.

Barangkali manusiawi, barangkali tidak. Manusiawi karena, manusia mana yang tak mau untung? Beriklan barangkali kelewat susah dan mahal. Efektifitasnya juga belum tentu. Maka memancang iklan dengan memakunya di pohon menjadi pilihan. Hidup ini kejam, memang.

Tapi terasa tidak manusiawi saat kita, manusia yang konon berperasaan itu tega melakukan rajam kepada sesama makhluk hidup. Demi apa? Demi bujuk rayu yang dibalut informasi kepada pelanggan, agar kerja laris, penghasilan deras. Dan rajam itu terasa kian perih buat saya, ketika ada partai politik yang masih saja merajam pohon dengan panji partainya. Tidak bisakah pakai cara yang lain.

Buat yang bilang beriklan itu mahal, anda bisa pakai cara lain yang hampir mirip. Tak perlu pakai pohon yang anda paku hidup-hidup. Gunakan kayu bekas, besi bekas (di loakan banyak) atau kalau masih mau ngeyel, tempelkan di tiang listrik, jangan di pohon. Dan untuk partai politik apapun itu, ayolah, Anda kami nilai cukup pintar dan punya cara lain daripada sekedar perilaku vandal lingkungan. Duit anda banyak, promosi lewat media kan bisa. Cetak maupun maya. Bahwa dilarang karena bukan musim kampanye, berarti yang salah Anda.

Toh, saya kira apa artinya panji yang disebar bila tidak diikuti itikad politik yang baik saat bekerja mengatasnamakan rakyat.

Selasa, 07 Juni 2011

Semacam Apologi Penggembala Kambing Hitam

Saya akui, konsisten terhadap proyek pribadi adalah salah satu kelemahan saya. Dan menjadi seorang blogger yang konsisten adalah proyek pribadi saya yang sudah lama saya niatkan. Tapi niat saja ternyata tidak cukup.

Salah satu wujud ketidakkonsistenan saya adalah saya punya banyak akun blog. Blog yang anda baca ini cuma salah satunya. Dan bisa ditebak, semuanya terbengkalai. Tak ada yang terurus dengan baik.

Kambing hitamnya terlalu banyak. Mulai dari kesibukan kerja, penyakit block-writing yang kerap datang, gadget yang kerap rusak, dan entah apalagi. Saya akui, tidak pantas rasanya saya banyak mengeluh. Blogging adalah sebuah ketetapan hati. Orang-orang yang labil, sebaiknya tidak menempuh jalan ini. Ini jalan yang tidak ramai layaknya jejaring sosial lain yang riuh.

Maka saya pun mengambil siasat yang sebenarnya tidak cemerlang benar. Saya buat blog tematik. Ada yang menyoal dunia literasi, ada yang menyoal dunia medis yang saya geluti, atau ada yang murni mobile blogging. Blog yang anda baca sengaja atau tidak ini adalah jenis blog yang terakhir.

Semua muatan di blog ini saya lakukan dari piranti mungil di tangan saya. Pertimbangannya, efiktifitas dan efisiensi. Dengan mobile blogging, saya bisa blogging kapanpun dan di manapun, tanpa terbentur kendala waktu, dan sarana. Tak perlu repot menghadap komputer, baik jinjing maupun tidak. Cukup duduk manis, berbaring manis, dan sambil sesekali bengong manis. Kadang-kadang blogging sambil jongkok manis juga.

Kelemahannya? Jelas ada. Utamanya soal link. Mobile blogging susah melakukan itu, mengingat terbatasnya fitur. Tapi blogging bukanlah perihal keluhan. Blogging adalah konsistensi. Sisanya urusan nanti. Toh, lapak-lapak saya sendiri.