Tapi nampaknya saya perlu menambahkan sedikit catatan dalam remang ingatan saya. Di bulan Juni, di tahun ini, beberapa rekan mengalami kisah pedih dalam hubungan asmara masing-masing. Perih karena hubungan yang mereka jalin sudah kelewat jauh. Baik mereka yang sembunyi-sembunyi, maupun yang terang-terangan. Beberapa malah hendak mengisyaratkan menikah, tahun ini maupun tahun depan. Dan parahnya, rekan-rekan saya adalah golongan kalah. Mereka kaum yang disisihkan karena sesuatu dan berbagai hal. Ah, aku bersama kalian orang-orang malang!
Dan di antara itu, ada yang sedikit menohok di ulu hati, membuat saya sedikit tidak enak makan karena terbawa arus pikiran. Itu adalah kedatangan seorang kawan baik ke rumah saya di sebuah sore. Dan kawan saya ini, adalah salah satu dari sekian kawan yang mengalami Juni Pahit tahun ini, sebagaimana kawan-kawan yang saya bilang tadi.
Bisa ditebak selanjutnya. Selain dari wajah saya yang barangkali tipikal "tong sampah", juga karena kawan saya itu kelimpungan yang membuatnya tak mengerti harus berbuat apa, maka curhatlah dia sejadi-jadinya. Saya suguhkan wedang jahe, tak disentuhnya. Ia terus nyerocos, saya tabah mendengarkan. Sebisa mungkin saya mencoba berempati.
Kisahnya barangkali terlampau pedih. Begini, teman saya itu, menjalin hubungan dengan teman masa kecilnya. Sekian tahun mereka berteman, asmara tumbuh. Jika memang teori evolusi Darwin itu mentah dan omong kosong, biarlah cinta yang berevolusi. Dan itu dialami teman saya. Cintanya berevolusi, dari cinta monyet menjadi cinta bukan monyet. Dia berupaya sebisa mungkin tidak menjadi monyet yang cuma bisa main-main. Dia beritikad baik. Hendak menikahi gadis pujaan hatinya tahun depan. Ia menabung mati-matian.
Lalu di mana pedihnya? Sebentar, sedikitlah bersabar. Jadi hubungan asmara teman saya dengan kekasihnya itu kandas oleh masalah yang barangkali terlampau klasik: masalah keluarga. Keluarga teman saya dengan keluarga kekasihnya itu sedikit bermasalah sejak lama. Yang jadi korban anak-anaknya, padahal mereka tidak pesan lahir dari rahim siapa. Upaya perundingan juga percuma, luka masing-masing pihak sudah sama-sama dalam. Apalagi teman saya itu menjalin hubungan dengan pasangannya secara sembunyi-sembunyi. Alhasil, keluarga pasangannya semakin tersinggung.
Temen saya kalut. Dia bercerita sambil menahan kepedihannya. Air matanya hampir jatuh. Hidungnya memerah kembang kempis. Saya cuma diam. Mengambil jeda sejenak, membiarkannya "muntah", lalu saya mencari celah yang tepat untuk memberi saran. Kenapa saya memberi saran? Karena dia lelaki. Butuh saran dan masukan. Otaknya logis, butuh sistematika. Beda halnya dengan wanita, butuh didiamkan dulu. Wanita butuh ruang hati sebesar lapangan futsal untuk menerima keluh kesahnya. Bagi wanita, saran dan solusi itu nomor sekian, bahkan mungkin tidak penting.
Maka saya bilang kepada teman saya, tak perlu dia risau. Apa yang ia alami adalah masalah klasik. Kenapa klasik? Ya karena memang itu sudah kerap menjadi cerita. Ah, tapi kan mekanisme bertahan setiap orang tidak sama? Bah, jangan bertahan, tapi seranglah masalah itu. Attacking is the best defense, boy!
Kawanku, kamu ingat kenapa roman Romeo dan Juliet itu mengabadi? Karena cerita itu punya pesan yang sangat kuat, yaitu bagaimana cinta bisa mengubah tragedi menjadi komedi. Cerita perselisihan keluarga Capulet dan Montague di Verona yang berimbas pada pelarangan hubungan Romeo dan Juliet itu disikapi keduanya dengan sikap bermain-main yang barangkali konyol. Juliet "pura-pura" mati. Romeo kecele, ia lalu bunuh diri. Juliet bangun dan melihat Romeo mati, maka ia pun bunuh diri. Konyol bukan? Tapi hidup memang permainan. Life is just a game. A God's game. Bukan berarti harus mati macam mereka, tapi setidaknya, jangan terlampau sedih, kawan. Bermain-mainlah. Selalu ada komedi di balik tragedi. Cari celah untuk menertawakan dirimu sendiri.
Teman saya terus mengomel. Menceritakan kenangan-kenangan yang pernah ia alami. Dan saya teringat potongan puisi Soe Hok Gie, Sebuah Tanya. Rasa-rasanya itu cocok buatnya. Teman saya mengomel, saya mendengarkan, sekaligus merapal puisi itu dalam hati
"Akhirnya semua akan tiba
pada suatu hari yang biasa
pada suatu ketika yang telah lama kita ketahui
Apakah kau masih berbicara selembut dahulu?
memintaku minum susu dan tidur yang lelap?
sambil membenarkan letak leher kemejaku
Apakah kau masih membelaiku semesra dahulu
ketika ku dekap kau, dekaplah lebih mesra, lebih dekat
apakah kau masih akan berkata, kudengar derap jantungmu.
kita begitu berbeda dalam semua
kecuali dalam cinta.."
Itu buatmu, kawan. Tapi tetaplah tegar dan berjalan dengan dagu terangkat. Soe Hok Gie menggubah puisi manis itu ketika merasa kehilangan orang-orang terdekatnya. Tapi di bait terakhir, ia menambahkan ungkapan yang tidak hanya sekedar meratap.
"Manisku, aku akan jalan terus
membawa kenangan-kenangan dan harapan-harapan
bersama hidup yang begitu biru.."
Kawan saya terus meratap. Sesekali meracau. Saya mafhum, hatinya sedang centang perenang. Persoalan untuk tetap tegar bukan persoalan gampang. Setidaknya itu membutuhkan proses dan saya tidak bisa memaksanya.
Suasana saat itu sore dan gerimis turun. Pas sekali. Bahkan alam pun seolah-olah mendukung suasana hati kawan saya itu.
Saya lantas teringat puisi Hujan Bulan Juni-nya Sapardi Djoko Damono.
"Tak ada yang lebih tabah dari hujan bulan JuniAh kawan, menangislah. Tapi seperti kata seorang kawan yang lain, menangislah di bawah gerimis. Agar kau tak terlihat menangis, sebab gerimis mengaburkan air matamu. Tapi ingat, nanti pulanglah dengan dagu terangkat. Dan lekaslah masuk ketika gerimis kian deras. Nanti kau masuk angin.
Dirahasiakannya rintik rindunya kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak dari hujan bulan Juni
Dihapusnya jejak-jejak kakinya yang ragu-ragu di jalan itu
Tak ada yang lebih arif dari hujan bulan Juni
Dibiarkannya yang tak terucapkan diserap akar pohon bunga itu.."