Senin, 31 Oktober 2016

Spion dan Pemakluman



 

Beberapa hari yang lalu, ada hal menarik  di linimasa salah satu media sosial yang saya gunakan. Beberapa kawan saling menguak borok digital masing-masing. Maksud saya, mereka saling mengorek ekspresi tertulis di dinding akun media sosial masing-masing—secara lebih tepat disebut dengan status.

Kawan-kawan saya itu, ada yang memang saya kenal baik, meskipun banyak  pula yang  tak pernah saya temui secara  langsung. Hampir semua dari mereka sekarang adalah penulis yang jempolan, menggawangi portal-portal media daring  yang kontennya yahud, atau setidaknya mereka adalah pegiat di dunia baca-tulis. Dengan melihat  posisi mereka sekarang, maka  ekspresi-ekspresi tertulis yang pernah mereka catat di dinding akun mereka beberapa tahun silam adalah artefak sekaligus aib yang menggelikan. Mereka saling membongkar arsip-arsip lawas di akun kawan yang lain, lalu bila didapati hal yang terkesan lucu, naif, konyol, mereka sebarkan ulang di dinding akun yang sekarang, lalu ditertawakan bersama-sama. Aktivitas saling buka borok digital ini begitu riuh, berseliweran di linimasa, dan membuat saya ikut tersenyum sekaligus kadang tertawa terbahak-bahak.

Kamis, 15 September 2016

Belajar pada Lelaki Tua dan Laut



 
Gambar diambil dari sini

Kemarin saya membaca lagi buku Lelaki Tua dan Laut (The Oldman and The Sea) setelah sempat membacanya beberapa tahun silam. Saya kembali terpikat oleh kepiawaian Ernest Hemingway menggubah narasi untuk menceritakan perjuangan Santiago, sang nelayan tua, yang berlayar dan terombang-ambing di tengah lautan Teluk Meksiko untuk menaklukkan ikan marlin raksasa. Hemingway menulis karya legendarisnya ini di Kuba pada tahun 1951 dan kemudian diterbitkan setahun setelahnya.

Novel pendek yang meraih penghargaan Pulitzer di tahun 1953 untuk  kategori fiksi dan Nobel Sastra di tahun 1954 ini memang sangat menarik. Kesan pertama yang terbersit di dalam benak setelah menamatkan cerita ini adalah betapa hidup kerap berisi hal-hal yang di luar dugaan. Rencana-rencana yang disusun bisa jadi karam oleh beragam sebab—dan seringkali karena banyak hal yang membuat kita bingung bersikap: bersedih, tertawa satir, atau sekadar bercakap-cakap dengan angin. 

Selasa, 23 Agustus 2016

Memoar tentang Kelahi




Gambar diambil dari sini

Ketika saya masih kecil, Bapak pernah beberapa kali bercerita tentang betapa hebat seorang Muhammad Ali. Kata Bapak, saat petinju yang semula bernama Cassius Clay itu bertanding dan disiarkan lewat stasiun televisi, jalanan kerap lengang. Orang-orang berkerumun di depan layar cembung televisi untuk menyaksikan aksinya di atas ring. Gaya bertarungnya yang disebut-sebut  indah ibarat kupu-kupu namun menyengat bagai lebah itu memesona banyak orang hingga rela meninggalkan sengkarut kegiatan masing-masing untuk menyaksikan Ali. Mendengarkan Bapak bercerita tentang hal itu, saya hanya terdiam. Tidak menampakkan raut muka terkesima. Buat saya yang saat itu masih belum dikhitan, cerita tentang olahraga adu jotos adalah cerita yang jauh dari belas kasihan. Cerita yang dominan oleh naluri barbar. Cerita tentang manusia rela menyakiti manusia yang lain. Saya yang kencing masih belum lurus saat itu menolak segala macam perkelahian dalam bentuk apapun.  Memang, saya memang kelewat naif sedari bocah.

Ternyata hidup tidak sesederhana yang saya kira. Bahkan untuk perkara-perkara remeh, kita kadang melaluinya dengan jalan kekerasan. Saya yang masih bocah ternyata harus mengalami masa kecil yang akrab dengan bogem. Masalah yang jadi pemicu biasanya kelewat remeh: mulai dari sekadar olok-olok nama Bapak hingga berebut stiker hologram.