Selasa, 11 Desember 2012

Ode untuk Air

 
Gambar diambil dari sini
 “Water is life’s mater and matrix, mother and medium. There is no life without water.”
--Albert Szent Gyorgi (Ahli biokimia Hungaria dan Pemenang Nobel Kedokteran tahun 1937)
Membicarakan air adalah membicarakan manusia. Ini tentu bukan sekadar bualan, sebab lebih dari 60% komposisi tubuh manusia terdiri dari cairan. Cairan tubuh manusia ini dibagi menjadi dua kompartmen yakni cairan di dalam sel (cairan intrasel/CIS) dan cairan di luar sel (cairan ekstrasel/CES). 2/3 bagian dari total cairan tubuh manusia adalah CIS dan 1/3 dari total cairan tubuh manusia adalah CES. CES sendiri masih dibagi menjadi dua bagian, yakni cairan intravaskuler (di dalam pembuluh darah) dan cairan interstisial (di antara sel). 

Dengan komposisi yang dominan di dalam tubuh manusia, cairan tubuh tentu memegang peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan fisiologis manusia. Cairan tubuh berfungsi untuk mengangkut zat makanan ke dalam sel, mengeluarkan buangan sel, terlibat aktif dalam proses metabolisme sel, sebagai pelarut untuk elektrolit, memelihara suhu tubuh, juga sebagai  pengangkut zat-zat penting macam hormon dan enzim. 

Karenanya, kekurangan air pada tubuh manusia bukan hanya memicu masalah fisiologis, tapi juga menimbulkan masalah psikologis macam stress, gelisah dan depresi. Ini karena air adalah katalisator neurotransmitter (zat pengantar syaraf). Neurotransmitter yang secara spesifik berkaitan dengan rasa nyaman dan rileks antara lain adalah serotonin dan melatonin. Zat-zat itu semua tidak akan terhantar dengan baik apabila kita kekurangan air

Mengingat  ragam fungsi cairan tubuh yang begitu vital dalam memenuhi kebutuhan fisiologis  tubuh, manusia mutlak membutuhkan asupan air terus menerus sepanjang hidupnya, agar komposisi cairan tubuh selalu cukup.  Bila tubuh manusia kekurangan asupan air, akan merusak keseimbangan hidup yang ada di tingkat yang paling dasar sekalipun, yakni tingkat selular. Kekurangan air akan merusak sel. Sel yang rusak akan menjadi organ yang rusak. Organ yang rusak akan mempengaruhi kinerja organ yang lain, sehingga tubuh pun akan rusak.

Air adalah katalisator utama kesehatan tubuh manusia.  Menariknya, tidak ada mekanisme cadangan air di dalam tubuh manusia. Air harus senantiasa diasup. Kebutuhan manusia akan air adalah kebutuhan mutlak dan tanpa tawar. 

Kenyataan bahwa air adalah sebuah kebutuhan mutlak dan tanpa tawar, membuat manusia harus pandai-pandai mengolah sumber  air  sebagai bahan asupan utama untuk tubuh.  Sebab pola konsumsi air yang salah malah justru menimbulkan masalah baru.  Pengolahan dan konsumsi air yang kurang tepat justru akan menjadi pencetus penyakit. Hampir 50 % dari  penyakit yang diderita masyarakat secara umum masih disebabkan oleh air minum yang tercemar. 

Secara ideal, air minum yang berkualitas  dan layak minum harus dapat diterima secara estetis, tidak berasa, tidak berbau, jernih, tidak mengandung logam dan partikel terlarut yang dapat membahayakan kesehatan, serta bebas kuman. Secara khusus, ketiadaan bakteri Escherichia Coli adalah salah satu indikator utama mutu dan keamanan air minum. Bakteri yang memiliki habitat alami di dalam usus manusia ini adalah salah satu penyebab berbagai macam penyakit pencernaan pada manusia. Jika tidak ditemukan bakteri Escherichia Coli pada air minum, maka kecil ditemukan patogen lain di dalam air minum tersebut yang menyebabkan penyakit pada manusia. Contoh penyakit yang dimaksud adalah diare, typhus, hingga hepatitis.  

Namun, data soal kualitas air di kota-kota besar cukup membuat kita sedikit khawatir. Di Jakarta, sepanjang tahun 2011 kemarin dilaporkan bahwa sebanyak 16. 938 warga Jakarta mengalami diare, dengan dan tanpa dehidrasi. Kuat diyakini, bahwa tingginya angka itu berasal dari kualitas air minum yang buruk. Memang, berdasarkan penelitian tahun 2008, 100 % sampel air bersih di Jakarta dibuktikan terkontaminasi bakteri coliform dan coli tinja. Data yang identik juga ditemukan pada kota Bekasi dan kota Bogor. 

Tahun 2004, penelitian di kota Palembang menunjukkan bahwa 21 % depot air minum isi ulang di kota tersebut tercemar coliform. Bandung punya data lain, soal tingginya kandungan logam Fe (besi) di sumber air minum. Pada beberapa titik cekungan seperti di daerah Ujung Berung Utara, Antapani, dan Sadang Serang memiliki kadar Fe antara 3-10 kali ambang batas. Data semakin lengkap bahwa Kejadian Luar Biasa (KLB) diare di 16 propinsi yang dilaporkan oleh World Bank tahun 2006 ternyata disebabkan oleh sumber air minum yang terpapar bakteri Escherichia Coli yang berasal dari tinja manusia dan hewan. 

Data yang tersaji soal betapa buruknya kualitas sumber air bersih ini tak pelak menuntut sekian bentuk solusi. Langkah pertama yang bisa diambil barangkali adalah dengan meningkatkan kualitas pengolahan dan pengelolaan sumber air itu sendiri. Ini bisa diawali dengan manajemen ekosistem. Pengolahan dan pengelolaan sumber air hendaknya berorientasi pada kelestarian lingkungan.  Ini bisa diintegrasikan dengan beberapa pihak terkait macam mereka yang bergiat di bidang peternakan, kehutanan, pertanian, manajemen tepi sungai.  Pengolahan dan pengelolaan sumber air yang berorientasi pada lingkungan dan dengan manajemen ekosistem yang baik akan menjauhkan sumber air dari paparan polutan dari limbah industri maupun rumah tangga yang berimbas pada kualitas air itu sendiri. Secara khusus, agar limbah tidak sampai pada sumber air, bisa dilakukan upaya pemanfaatan potensi limbah agar menjadi bernilai secara sumber daya. Misalnya pemanfaatan limbah untuk biogas. 

Langkah kedua adalah upaya monitoring yang konsisten. Langkah ini akan melibatkan pihak pemerintah yang harus aktif dalam hal ini. Sesuai PP No. 82 tahun 2001  tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, pemerintah berwenang menetapkan daya tampung beban pencernaan, melakukan inventarisasi dan identifikasi sumber pencemar, memantau kualitas air dan memantau faktor lain yang menyebabkan perubahan mutu air. Dalam hal ini, pemerintah bisa menjalin kerjasama dengan melibatkan sektor publik dan swasta. 

Langkah ketiga adalah melalui upaya peningkatan kesadaran dan pendidikan bagi masyarakat.  Ini bisa dilakukan dengan meningkatkan pemahaman masyarakat tentang hubungan air limbah dengan masyarakat, fungsi ekosistem, atau justru tentang potensi di balik limbah yang bisa dikelola untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat itu sendiri. Pendekatan yang dipilih bisa beragam. Tergantung kondisi sosial budaya, profil lingkungan, atau justru potensi ekonomi masyarakat itu sendiri. 

Langkah keempat adalah melalui solusi inovatif yang berkiblat pada pemanfaatan teknologi secara tepat guna. Contoh kongkrit untuk langkah ini adalah teknologi yang ditawarkan oleh Pure ItPure It adalah pemurni air minum (water purifier) yang akan menghasilkan air minum yang aman dari paparan bakteri, virus dan parasit berbahaya, melalui empat tahap pemurnian air

Tahap pertama adalah Saringan Serat Mikro untuk menghilangkan semua kotoran yang terlihat. Tahap kedua adalah Filter Karbon Aktif untuk menghilangkan pestisida dan parasit berbahaya. Tahap ketiga adalah Proses Pembunuh Kuman untuk menghilangkan virus dan bakteri berbahaya dalam air. Dan tahap terakhir adalah penjernih yang menghasilkan air yang jernih, tidak berbau, dengan rasa yang alami. 

Pure It adalah sebuah terobosan cemerlang di tengah sulitnya mendapatkan air minum yang berkualitas bagi tubuh. Dengan keunggulan lain semisal sisi praktis yang tidak memerlukan gas, listrik dan saluran pipa, menjadikan Pure It sebagai salah satu alternatif utama dalam upaya meningkatkan kualitas air minum untuk masyarakat. 

Kita tentu berharap, agar kualitas sumber air di Indonesia secara umum meningkat. Kualitas yang meningkat ini juga diikuti dengan pemerataan dan tidak adanya upaya monopoli pengelolaan air.  Sehingga kelangkaan air bersih tidak terjadi dan mengancam kehidupan masyarakat. Jika masalah pengelolaan air ini disikapi secara serius, barangkali bisa menjadi salah satu jalan terhadap ragam permasalahan kesehatan dan sosial yang melanda di Indonesia. 

Terkesan berlebihan? Tidak, membicarakan air adalah membicarakan manusia. Mengelola air adalah mengelola manusia.

Tidak ada kehidupan manusia tanpa air.


Beberapa sumber tulisan:









Rabu, 05 Desember 2012

Menyusui untuk Menggapai Hak Sehat pada Ibu Positif HIV


Gambar diambil dati sini


Air Susu Ibu (ASI) adalah anugerah luar biasa yang sangat patut disyukuri keberadaannya. Betapa tidak, ASI adalah nutrisi yang terbaik bagi pertumbuhan dan perkembangan bayi, selain menyimpan keistimewaan sebagai proteksi terhadap berbagai penyakit infeksi dan berbagai penyakit kronis. Data yang ditunjukkan oleh Lancet Journal tahun 2003 menunjukkan bahwa 13% dari angka kematian balita dapat dicegah dengan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan. 

ASI juga memberikan efek yang positif terhadap kesehatan ibu. ASI secara signifikan mampu menggeser kurva status kesehatan ibu untuk ke arah yang lebih baik. Sehat secara holistik. Fisik maupun psikis. Jasmani maupun batin. 

Bagi ibu, menyusui secara eksklusif selama 6 bulan akan merangsang uterus untuk berkontraksi kembali ke ukuran semula sebagaimana sebelum hamil, sehingga akan membantu mengurangi perdarahan setelah melahirkan. Ini berkaitan dengan peningkatan konsentrasi hormon oksitosin selama menyusui.

Menyusui secara eksklusif selama 6 bulan juga akan meningkatkan kadar antibodi dalam darah ibu sehingga dapat mengurangi terjadinya infeksi setelah melahirkan. Tak hanya itu, risiko kanker payudara, kanker ovarium, dan osteoporosis pasca menopause juga dilaporkan lebih kecil jumlahnya pada ibu menyusui. 

Secara psikis, menyusui akan meningkatkan rasa hubungan batin antara ibu dan bayi. Proses menyusui juga dapat menurunkan kadar stress pada ibu, sehingga secara psikologis ibu menyusui lebih nyaman. 

Dari sudut pandang agama, menyusui juga dipandang sebagai hak mulia seorang ibu. Budaya menyusui sudah lahir sejak ratusan tahun silam, yang terbentuk karena insting seorang ibu dan dikuatkan oleh kepatuhan terhadap agama. Seiring berjalannya waktu, budaya masyarakat modern yang semakin tinggi ragam tuntutannya, turut mempengaruhi budaya menyusui. Ini kemudian memunculkan budaya tandingan berupa pemberian susu formula yang sampai sekarang masih kontroversial baik secara regulasi maupun efek terhadap kesehatan ibu dan anak. 

Terlepas dari itu semua, dengan segala efek positif yang didapatkan oleh ibu pada proses menyusui, memberikan ASI adalah hak yang dilindungi. Ibu manapun berhak memberikan ASI pada bayinya. Mereka berhak hidup sehat lahir dan batin dengan memberikan ASI kepada bayinya. Undang-Undang Kesehatan Indonesia juga menyatakan bahwa barangsiapa yang dengan sengaja menghalangi ibu untuk memberikan ASI kepada anaknya akan dihukum.

Lantas, bagaimanakah ibu yang positif terkena Human Imunodeficiency Virus (HIV)? Apakah mereka berhak menyusui anaknya? Apakah mereka berhak hidup sehat dengan memberikan ASI, mengingat sekian banyak efek positif  ASI bagi kesehatan baik secara fisik maupun psikis? 

Menyusui pada ibu positif HIV ini memang kerap memicu perdebatan yang susah ditemukan pangkal ujungnya. Ini tentu tidak lepas dari efek ganda yang muncul dari pemberian ASI itu sendiri. Dengan segala keistimewaannya, ASI adalah sumber nutrisi utama pada bayi, utamanya dalam 6 bulan pertama kehidupannya. Dan dengan segala sifatnya, ilmu pengetahuan yang terus dikaji untuk sementara membuktikan bahwa ASI adalah salah satu media penularan vertikal HIV. 

Ilmu kedokteran adalah ilmu yang menampik stagnansi. Ia akan terus dikaji, ditera, dan dipelajari terus menerus dengan memgang teguh penelitian sebagai kendalinya. Begitupun perihal polemik pemberian ASI oleh ibu pengidap HIV kepada anaknya. 

Selama lebih dari 16 tahun terakhir, beragam rekomendasi silih berganti disepakati menyoal pemberian ASI oleh ibu positif HIV kepada bayinya. Di beberapa negara maju, diawali dengan menihilkan paparan laktasi. Lalu berganti dengan pemberian ASI yang diijinkan asal dalam waktu yang singkat dan diikuti dengan penghentian yang cepat. Dan rekomendasi terakhir menyepakati bahwa ibu positif HIV boleh memberikan ASI secara eksklusif selama 6 bulan pertama dan boleh berlanjut hingga usia anak 2 tahun. 

Ini tentu bukannya tanpa syarat. Dengan mengkaji sekian fenomena dan melakukan ragam penelitian, pada tahun 2010 WHO menyepakati  ibu-ibu yang positif HIV diperbolehkan memberikan ASI kepada bayi yang dilahirkannya dengan cara melakukan pemberian secara ekslusif dan diikuti dengan upaya perlindungan melalui pemberian Anti Retroviral (ARV) selama jangka waktu menyusui. Hal penting yang harus terus dipantau adalah efek samping obat serta kadar virus pada bayi, sehingga perlu dilakukan upaya monitoring yang rutin. Intinya, pemberian ASI oleh ibu pengidap HIV kepada bayinya harus diimbangi dengan kepatuhan mengikuti program yang diberikan oleh dokter. 

Ini relevan dengan hasil beberapa penelitian yang mendukung. Di Mozambique, dilakukan sebuah penelitian yang menunjukkan hasil bahwa terjadi penurunan transmisi HIV bila ibu menyusui minum ARV selama menyusui sebagai kelanjutan ARV selama proses kehamilan.

Di luar itu, proses sebuah penelitian menyimpulkan bahwa proses menyusui oleh ibu pengidap HIV dapat menghentikan peningkatan konsentrasi virus dalam darah, maupun angka kematian, walaupun sempat ditemukan penurunan kadar sel limfosit CD4 dan indeks massa tubuh ibu yang bersangkutan. Sebagaimana kita tahu, bahwa sel limfosit CD4 adalah salah satu subtipe sel limfosit dalam tubuh kita yang memiliki peran mengatur respon imun tubuh terhadap berbagai macam serangan infeksi dari luar. Infeksi HIV merusak limfosit CD4 sehingga menyebabkan jumlahnya menjadi sedemikian rendah, sehingga sistem imun tubuh tidak dapat mengatasi serangan infeksi yang ringan sekalipun.

Menyusui bukan proses yang mudah, apalagi proses menyusui oleh ibu positif HIV. Ini membutuhkan persiapan psikis dan mental yang cukup, serta support system  yang setia mendukung ibu positif HIV selama proses menyusui berlangsung. Support system ini bisa diawali oleh suami. Agar sukses dalam proses menyusui, tak bisa dipungkiri peran suami sangat penting. Peran ini bisa ditunjang melalui upaya partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan, senantiasa memberikan sikap positif kepada istri, dan senantiasa meningkatkan pengetahuan tentang segala hal yang menyangkut upaya menyusui. Lebih jauh, suami dapat mendukung ibu positif HIV dengan membangun networking dengan keluarga lain yang mempunyai pengalaman sebelumnya, sehingga terjadi proses tukar informasi tentang pentingnya proses menyusui, terlebih pada ibu yang mengidap HIV. 

Selain suami, komposisi support system juga bisa berasal dari anggota keluarga yang lain, nenek misalnya. Peran nenek yang seringkali sangat dominan pada ibu menyusui dapat membantu menguatkan psikologis ibu untuk menggapai keberhasilan menyusui di samping menjalani kehidupan sebagai pengidap HIV. Yang tak kalah krusial adalah peran dan dukungan para profesional kesehatan. Sebagai sosok yang memiliki kapasitas dan wacana yang luas soal HIV dan ASI sekaligus, maka keberhasilan proses menyusui pada ibu positif tak bisa lepas dari mereka. 

Yang jelas, menyusui adalah hak bagi setiap ibu. Pada kondisi khusus seperti pada ibu positif HIV, hak itu belum terhapus. Hak itu masih bisa didapatkan dengan memperhatikan pertimbangan-pertimbangan sebagaimana telah disebutkan tadi. Dengan menyusui, ibu positif HIV dapat mendapatkan haknya untuk menjalin kedekatan dengan anaknya, sekaligus memenuhi haknya untuk hidup sehat. Ini tentu harus didukung.