Senin, 09 Desember 2013

Meraba Denyut Informasi Pelayanan Kesehatan



Sebut saja namanya Toha.  Ia datang ke Unit Gawat Darurat (UGD) saat saya bertugas, pada suatu siang di pertengahan bulan Agustus. Saya masih mengingat hari itu, ketika Toha memasuki ruang pemeriksaan dengan berjalan kaki lalu naik ke atas tempat tidur, mengeluhkan badannya yang lemas karena usai muntah-muntah.

Saya memulai pemeriksaan dengan menanyakan segala hal yang terkait dengan keluhan utama. Lelaki baya itu masih mampu bercerita tentang apa yang ia rasakan. Tapi semakin lama nafasnya semakin tersengal-sengal. Bicaranya lalu patah-patah. Sejurus kemudian, mata Toha melotot, dan mulutnya mengerang. Sontak raut wajahnya membiru dan saya panik luar biasa. Toha kejang.

Saya dan teman-teman di UGD tergopoh-gopoh. Kami lalu mengelilingi Toha dan kemudian menanganinya secara keroyokan. Ada yang segera mengamankan jalan nafasnya, sedang yang lain memasang kabel-kabel  sebuah monitor kecil, menghubungkannya dengan elektroda yang sebelumnya ditempel pada dada Toha. Yang lain tampak berusaha dengan sigap memasang infus.

Tak lama kemudian, Toha berhenti bernafas. Kami melirik layar monitor yang lampunya berkedip-kedip. Tampak gambar garis bergerigi berwarna hijau pada layar yang mewakili gambaran irama jantung Toha. Saat itu, Toha mengalami Ventricel Fibrilation—suatu kondisi saat jantung hanya bergetar, tidak berdenyut karena mengalami kekacauan “listrik”.  Saya berusaha meraba denyut nadi di sekitar leher Toha, tapi tidak menemukan apa-apa.

Di belakang kami, keluarga Toha meraung-raung. Jelas, mereka histeris. Toha yang datang dalam kondisi berjalan kaki dan “hanya” mengeluh muntah-muntah, tiba-tiba mengalami kejang yang dilanjutkan dengan nafas yang berhenti dan jantung yang menggelepar.

Kami berusaha sebisa mungkin agar Toha kembali bernafas. Mulai dengan memasukkan pipa plastik hampir sepanjang 25 centimeter ke dalam tenggorokannya, melakukan tindakan “kejut listrik” dengan menghentakkan alat yang mirip dua buah setrika kecil di dada Toha, melakukan kompresi jantung dengan menekan dadanya dalam beberapa kali siklus, serta memberikan obat-obat kegawatan melalui selang infus di tangan kirinya. Kami beruntung, setelah melakukan tindakan sekitar 20 menit terhitung sejak nafasnya mandek, Toha hidup, namun masih belum sadarkan diri.

Kami sedikit lega, namun masih tegang. Toha harus segera dipindah ke ruang rawat intensif  jantung (ICCU). Namun sebelumnya, kami harus mengawasi kondisi Toha dulu dalam beberapa saat. Dalam kondisi semacam itu, dikhawatirkan kondisinya kembali memburuk. Dan kemudian saya dikejutkan oleh sebuah suara dengan nada sedikit membentak di belakang saya.

“Kenapa Bapak saya tidak segera ditangani?” kata pemilik suara tadi.

Rupanya, dia adalah putra Toha. Dia bersikap seperti itu karena melihat kami yang seperti tidak melakukan apa-apa, kecuali mengawasi Toha yang masih tergolek lemah dengan nadi yang baru muncul dan nafas yang masih dibantu lewat alat. Singkatnya, anak Toha merasa bapaknya hanya didiamkan dan tidak segera ditangani.

Saya bisa saja marah pada putra Toha yang membentak kami. Apalagi mengingat betapa menegangkannya upaya penyelamatan Toha sekitar 20 menit yang lalu. Saat itu, mungkin karena panik, pihak keluarga Toha tidak melihat apa yang kami lakukan. Sehingga pada saat kondisi berubah menjadi sedikit lebih tenang karena ketegangan mulai surut dan kami “hanya” mengawasi layar monitor, mereka merasa bapaknya tidak mendapat perlakuan yang semestinya. Tapi saya urungkan niat saya untuk marah pada salah satu keluarga Toha itu. Sebisa mungkin saya membisiki diri saya sendiri, bahwa dia hanya tidak tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Informasi yang dia miliki terbatas.

***

Semakin lama, permasalahan pelayanan kesehatan memang kian kompleks. Tuntutan semakin beragam, masalah semakin berbiak. Salah satu sebabnya, karena arus informasi yang semakin menderas. Di jaman ini, informasi tentang kesehatan dengan mudah bisa diakses di mana saja. Tapi justru dari sini paradoks terjadi. Kanal informasi yang alirannya begitu deras bisa berbalik menenggelamkan masyarakat pada pemahaman praktis yang kerap dimengerti secara parsial. Ini menjadi pemicu masalah baru. Kesenjangan informasi yang mencoba ditutupi dengan informasi cepat saji justru menimbulkan potensi dampak anyar, yakni masyarakat yang seolah-olah sudah mengerti.

Sedari dulu, masalah informasi yang timpang adalah masalah yang krusial bagi masyarakat selaku penerima layanan kesehatan. Ketimpangan informasi mengakibatkan ketidakadilan sering diterima oleh konsumen (baca: masyarakat). Konsumen kerap tidak paham benar dengan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Mereka tidak paham dengan kebutuhannya sendiri. Rumah sakitlah yang memilih, tapi pasien yang harus membayar pilihan rumah sakit tadi. Herannya, rumah sakit tidak memberikan garansi. Inilah anehnya bisnis layanan kesehatan.

Saya teringat sebuah anekdot tentang resep obat. Saat membutuhkan barang sehari-hari, kita akan membeli. Saat kita sakit, kita akan menebus obat. Pertanyaannya, kenapa untuk obat kita menggunakan kata “menebus” bukan “membeli”? Ini bukan sekadar menyoal pemilihan diksi, tapi karena ada makna yang dalam. Untuk mendapatkan obat, ada sesuatu yang tergadai: kesehatan kita. Artinya, menebus obat lebih serupa paksaan daripada pilihan. Alasannya, karena mereka yang menebus obat kerap tidak paham tentang hubungan obat dengan penyakit yang dideritanya.

Ketimpangan informasi antara pasien dan penyedia layanan kesehatan serupa celah lebar yang mudah disusupi oleh kenakalan oknum penyedia layanan kesehatan itu sendiri. Ketidakmengertian konsumen bisa menjadi peluang terjadinya kecurangan-kecurangan dari pihak tertentu. Informasi yang asimetris ini membuka kesempatan munculnya tindakan moral hazard dari penyedia layanan kesehatan. Keterbatasan pengetahuan membuat kebebasan memilih yang seharusnya dimiliki pasien menjadi hilang.

Kita bisa mengaca pada  kasus dr. Dewa Ayu Sasiari, Sp.OG, dkk. yang sedang panas dalam beberapa waktu belakangan ini. Pihak keluarga pasien merasa tidak mendapatkan informasi yang cukup tentang apa yang dilakukan pada almarhumah korban. Keluar dari konteks siapa benar dan siapa yang salah dalam kasus ini, yang jelas keluarga pasien tidak puas akan informasi yang diterimanya. Informasi yang terbatas akan membatasi pengetahuan. Pengetahuan yang terbatas akan membuat kebebasan memilih yang dimiliki oleh pasien dan keluarga lenyap. Pasien dan keluarga menjadi pasif menerima tindakan medik yang memang sifatnya tidak mengenal garansi.

Turbulensi Informasi

Tapi marilah kita berterima kasih pada teknologi. Lewat salah satu keajaibannya yang bernama internet, ratusan informasi kesehatan bisa diakses dalam satu hari. Informasi ini tentu diharapkan berdampak baik bagi masyarakat, utamanya dalam mengatasi ketimpangan informasi kesehatan yang sudah terjadi. Dengan adanya informasi kesehatan yang dapat dicari di manapun kita berada, akan membuka pintu-pintu pemahaman tentang kondisi kesehatan yang bisa kita masuki.

 Ternyata persoalannya tidak sesederhana itu. Informasi kesehatan yang tersedia begitu banyak. Arusnya begitu deras. Alan Greenspan, seorang tokoh ekonomi global,  menyebut fenomena ini sebagai turbulensi informasi. Pusaran informasi membuat kita tenggelam bila kita tidak jeli memilih. Masyarakat sebagai konsumen pelayanan kesehatan yang semula kebebasan memilihnya terbatas karena minimnya informasi, mungkin bisa sedikit terbantu dengan adanya arus informasi ini. Tapi gambaran lainnya, masyarakat seakan masuk ke hutan belantara informasi. Alih-alih paham dan menemukan jalan yang benar, masyarakat berpeluang untuk takut melangkah atau justru melangkah jauh namun tersesat.

Ada banyak informasi soal layanan kesehatan alternatif  yang tidak jelas dasar bukti ilmiahnya. Kebanyakan hanya berangkat dari asumsi pemberi layanan. Ironisnya, golongan  ini memiliki frekuensi yang lebih banyak dalam penyampaian informasi kepada masyarakat dibandingkan dengan informasi layanan kesehatan yang lebih teruji. Masyarakat lebih sering terpapar informasi kesehatan yang kurang benar, menyesatkan, semata-mata demi kepentingan komersial pemberi layanan kesehatan tadi.

Peran media juga sangat penting dalam hal ini. Penyedia layanan kesehatan yang hendak menyampaikan informasi yang benar harus bisa bekerjasama dengan media. Ini juga bisa menjadi upaya memupus anggapan buruk bahwa media adalah oposisi sistem kesehatan di Indonesia. Anggapan buruk ini muncul karena media dianggap terlalu  setia pada kredo “bad news is good news” sehingga dirasa kerap menyoroti kasus-kasus yang terjadi pada dunia kedokteran, utamanya dalam perkara malapraktik, tidak dengan asas covering both side sesuai dengan prinsip jurnalisme.

Lalu Bagaimana?

Kesehatan adalah perkara holistik. Bukan hanya menyangkut informasi tentang kondisi fisik yang mengalami masalah dan aspek pengobatannya. Kesehatan juga menyoal bagaimana masyarakat bisa mendapatkan informasi yang benar tentang status kesehatannya agar terus meningkatkan derajat kesehatan melalui upaya pencegahan dan upaya rehabilitatif.

Silang sengkarut problema  pelayanan kesehatan yang salah satu pokok persoalannya adalah mengenai informasi yang kacau, tentu bukannya tanpa jalan keluar. Sebagai bagian dari profesi yang turut pula menjadi bagian intergral sistem pelayanan kesehatan, saya secara pribadi berpendapat bahwa persoalan ini sebaiknya diatasi dengan berfokus pada perbaikan internal di kalangan penyedia layanan kesehatan itu sendiri.

Pertama, dengan memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan itu sendiri. Ini bukan menyoal kecanggihan alat atau kelengkapan fasilitas yang identik dengan tarif yang mahal. Ada tiga hal mendasar yang membuat kualitas pelayanan kesehatan dibilang baik: bukti ilmiah yang sahih, standard operating procedure yang jelas dan patient safety procedure. Pada setiap jenjang pelayanan kesehatan, keselamatan pasien adalah prioritas pokok. Ini semacam yang diucap oleh Hippocrates ribuan tahun lalu. “Salus aegroti suprema lex est”, menyelamatkan penderita adalah kewajiban utama. Menyampaikan informasi yang benar tapi tidak diimbangi dengan pelaksanaan yang sesuai di lapangan tentu adalah perkara yang sia-sia.

Kedua, penyedia layanan kesehatan harus karib dengan teknologi infromasi. Informasi memang harus dibalas informasi. Jika memang arus informasi di era ini dirasa terlalu riuh akan informasi yang kurang tepat, maka penyedia layanan kesehatan harus menyikapinya dengan memberikan informasi yang benar. Pilihan yang bisa diambil salah satunya adalah dengan mengakrabi sosial media yang memang lebih dekat dengan masyarakat. Atau juga dengan memanfaatkan kanal-kanal media lainnya yang tersedia. Penyedia layanan kesehatan yang memang harus menyampaikan informasi yang benar kepada masyarakat bisa menulis di blog, memaksimalkan web, mengirim tulisan ke media cetak dan online, menulis buku kesehatan untuk konsumsi masyarakat, atau justru mengagas media cetak sendiri yang memuat informasi kesehatan untuk masyarakat. Kontennya tentu berupa informasi yang mengarah pada Evidence Based Medicine. Informasi yang sekadar ditulis dengan mengarah pada Opinion Based Medicine tentu harus dijauhi. Informasi kesehatan yang sekadar berbasis pendapat tanpa bukti harus digantikan dengan infromasi kesehatan yang berangkat dari bukti medis yang sahih, transparan dan terukur.

Ketiga, memaksimalkan potensi satelit-satelit layanan kesehatan di masyarakat sebagai  pemberi layanan informasi kesehatan. Dalam hal ini, penyedia layanan kesehatan yang paling dekat dengan masyarakat (praktik pribadi dokter, poliklinik, puskesmas) harus lebih gencar memberikan informasi kesehatan pada masyarakat. Langkahnya bisa diawali dengan upaya peningkatan promosi kesehatan masyarakat dan upaya preventif. Untuk upaya kuratif lanjutan, biar menjadi fokus dari rumah sakit.  Satelit-satelit ini memiliki akses yang lebih dekat dengan masyarakat, sehingga kebutuhan masyarakat akan informasi yang benar tentang kesehatan lebih bisa dijangkau. Selain sebagai lini depan pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, mereka juga bisa menjadi pendamping pasien saat hendak menerima prosedur kuratif lanjutan yang dilakukan rumah sakit.

Informasi yang Benar atau Konsultasi

Semua boleh mengeluh tentang kekacauan sistem kesehatan di negeri ini. Banyak hal-hal yang jauh dari kondisi ideal. Untuk masalah penyebaran tempat tidur di rumah sakit, misalnya. Ketua Umum Persatuan Rumah Sakit Indonesia (PERSI), dr. Sutoto menjelaskan pada medio 2012 bahwa baru tersedia sekitar 1900 rumah sakit dengan sekitar 120.000 tempat tidur. Kondisi ideal menurut WHO adalah satu tempat tidur per 1000 penduduk. Sehingga kita membutuhkan sekitar 240.ooo tempat tidur. Ini belum ditambah data tentang penyebaran tenaga kesehatan yang tidak merata, kualitas SDM penyedia layanan kesehatan, sistem rujukan yang buruk, anggaran kesehatan nasional yang minim,  sengkarut informasi yang tidak bisa dikontrol, juga sekian masalah pelik lainnya.

Tapi mengeluh saja tidak cukup. Harus ada tindakan nyata sekecil apapun. Salah satunya adalah melalui penyampaian informasi kesehatan yang benar. Ini merupakan tanggung jawab moral semua lini pelayanan kesehatan. Jika tidak mampu memberikan informasi yang benar, setiap tenaga kesehatan sebaiknya diam atau segera melakukan konsultasi pada tenaga kesehatan lain yang mempunyai kapasitas lebih jauh.

Saya sepakat dengan  ucapan seorang epidemiolog bernama Sir Michael Marmot (WHO) bahwa kesehatan adalah kendaraan untuk menuju kehidupan yang lebih baik. Tapi saya lebih sepakat lagi bahwa bahan bakar untuk kendaraan tersebut adalah informasi yang benar.

***

Saya menyusuri lorong rumah sakit usai berjaga di UGD. Melewati ruang ICCU, saya menatap sekerumunan orang. Saya melewati mereka yang bergerombol memenuhi hampir separuh lorong. Saya mempercepat langkah, hingga kemudian langkah saya dihentikan oleh sebuah panggilan dari arah kanan saya.

“Mas!”

Saya menoleh, mencari asalnya suara.

“Bapak sudah mulai sadarkan diri,” kata pemilik suara tadi.

Saya mengenali wajah itu. Dia adalah anak Toha, pasien yang tadi datang ke UGD dengan jantung yang menggelepar. Setelah sebelumnya membentak saya, orang itu berusaha menerima penjelasan  dari kami tentang kondisi bapaknya yang dalam kondisi kritis usai diresusitasi. Observasi di UGD bukan menunda penanganan, tapi kewaspadaan agar kondisi sebelumnya tidak berulang selama perjalanan dari UGD menuju ICCU.

“Oh ya? Syukurlah. Bagaimana kondisinya?” saya menanggapi sambil menjabat tangannya, memberikan selamat.

“Tadi sudah mulai bicara. Suaranya patah-patah. Dia mengeluhkan dadanya terasa linu. Seperti remuk,” kata orang itu.

Saya tersenyum. Dada Toha terasa linu karena usai dilakukan kompresi di dadanya saat jantungnya berhenti.

Orang itu membalas dengan senyum yang lebih lebar. Matanya sedikit berbinar. Saya lalu pamit dan berlalu.  




*Tulisan ini diikutkan pada Lomba Blog “Wajah Sistem dan Regulasi Kesehatan di Indonesia” yang digagas oleh FPKR. Subtema yang dipilih adalah “Praktik Pelayanan Kesehatan di Indonesia”.


Senin, 25 November 2013

Digitalisasi Wisata Ala Banyuwangi


 
Gambar diambil dari sini


Selamat datang di era Global Paradox!

Selamat memasuki sebuah era yang diramal oleh sepasang  futurolog  bernama John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam buku mereka yang berjudul Megatrend 2000. Lewat buku yang kontroversial itu, John Naisbitt dan istrinya  memperkirakan bahwa akan datang jaman dengan paradoks-paradoks dalam kehidupan bermasyarakat yang menggejala secara luas. Salah satu gejala tersebut adalah menguatnya kecintaan pada budaya tradisi  untuk menunjukkan jati diri sebagai suatu bangsa. Gejala ini timbul justru sebagai upaya pertahanan atau resistensi tinggi dari  semakin menguatnya hempasan peradaban global. 

Upaya resistensi tinggi dari hempasan peradaban global itu ditunjukkan dengan  adanya  penguatan konsep budaya pada beberapa daerah tertentu. Penguatan ini menjadi kian kokoh apabila disokong dengan kekayaan alam dan peninggalan sejarah yang menjadi kekayaan tersendiri dan tidak ternilai dari daerah tersebut. Sungguh, daerah yang demikian adalah daerah yang benar-benar beruntung. 

Satu dari sekian daerah yang dianugerahi keberuntungan tersebut adalah Banyuwangi. Betapa tidak, Banyuwangi nyaris memiliki keberuntungan itu semua.  Kekayaan alamnya elok. warisan budayanya berlimpah.. Pegunungan, hutan, laut, sungai, termasuk seni budaya, flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, dan lainnya, menjadi modal berharga bagi pembangunan sektor pariwisata. Kekayaan Banyuwangi ini sebagaimana yang digambarkan pada lirik lagu daerah Banyuwangi yang berjudul Umbul-Umbul Blambangan

...

Belambangan, Belambangan

Tanah Jawa pucuk wetan

Sing arep bosen sing arep bosen

Isun nyebut-nyebut aran ira

Belambangan, Belambangan

Membat mayun Paman

Suwarane gendhing Belambangan

Nyerambahi nusantara

Banyuwangi… kulon gunung wetan segara

Lor lan kidul alas angker

keliwat-liwat

Belambangan.. Belambangan


Dari kacamata ekonomi, tentu saja keberuntungan Banyuwangi ini bernilai sangat tinggi. Sejumlah keberuntungan Banyuwangi tadi adalah potensi pariwisata yang bisa menggerakkan laju perekonomian daerah agar tidak pernah lesu. Upaya mempertahankan diri dari serangan peradaban global melalui  pengokohan kearifan nilai-nilai lokal lewat proses penghayatan budaya, kekayaan alam, dan peninggalan sejarah, berdampak positif terhadap perekonomian daerah. 

Lebih jelasnya, peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata di Banyuwangi dapat memberikan kontribusi positif bagi pemerintah, pelaku pariwisata maupun masyarakat Banyuwangi itu sendiri. 

Bagi pemerintah, dampak keuntungan dari hal tersebut adalah bertambahnya jumlah pajak, jumlah perijinan dan jumlah pendapatan lainnya di daerah kunjungan wisata. Bagi pelaku pariwisata, dampak positifnya adalah bertambahnya keperluan jasa industri bagi industri pariwisata. Sedangkan bagi masyarakat sekitar adalah peningkatan peluang permintaan tenaga kerja di sektor pariwisata, peningkatan harga tanah di daerah wisata, serta peningkatan  permintaan sarana penunjang di daerah sekitar objek wisata.

 Yang tak kalah  penting adalah adanya keuntungan bagi lingkungan hidup di daerah sekitar objek wisata. Sebab akan ada upaya penataaan lingkungan menjadi lebih baik lagi untuk mempercantik objek wisata dan menarik minat wisatawan. Pola wisata dalam beberapa tahun terakhir memang lebih banyak ke arah objek wisata yang kaya akan nuansa people-contact dan nature-contact. Eksploitasi alam dan lingkungan hidup bukanlah jawaban atas itu semua. 

Tentu saja ada yang menjadi catatan penting dari sekian dampak positif diatas. Yakni bahwa untuk mencapai sasaran peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata, pengelolaan sekian potensi yang dimiliki Banyuwangi haruslah tepat dan diawali dengan strategi pemasaran yang cemerlang. 

Digitalisasi Sektor Pariwisata

Salah satu gagasan cemerlang yang bisa dipilih sebagai strategi pemasaran wisata di Banyuwangi adalah melalui pengembangan kompetensi pemasaran digital. Jaman terus bergerak, meninggalkan mereka yang enggan mengikuti–atau justru menggilasnya. Internet nyaris menjadi kebutuhan pokok. Dan mau tidak mau, sektor pariwisata harus memperhatikan hal ini. 

Mengarah pada data yang digalang oleh Nielsen Global Consumer Q1 2013, pertumbuhan populasi yang pesat pada masyarakat kelas menengah berikut meningkatnya pendapatan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini, memicu pergeseran pola  konsumsi dari barang-barang kebutuhan pokok ke kebutuhan gaya hidup.

Data Nielsen juga menyebutkan sebanyak 37 responden memilih berlibur sebagai prioritas kedua pengeluaran mereka setelah menabung. Sementara itu, dalam survey terpisah yang dilakukan oleh McKinsey & Company mengungkapkan temuan yang hampir mirip tentang tren wisata di tanah air. Diprediksi, pada tahun 2030 pengeluaran tahunan responden untuk jalan-jalan akan mencapai angka US$ 105 miliar. Angka ini naik secara signifikan dari  survey sebelumnya tahun 2011 yang menyentuh angka US$ 26 miliar.

Di samping itu, ada temuan menarik lainnya. Yakni bahwa sebanyak 65 persen wisatawan mencari ide berwisata melalui pencarian sosial dan 52 persen pengguna Facebook sangat dipengaruhi oleh foto-foto teman-teman dalam jaringan Facebook-nya, serta sekitar 33 persen wisatawan mengubah rencana awal mereka setelah mereka melihat foto-foto tersebut. 

Inilah mengapa digitalisasi pariwisata menjadi  penting. Informasi soal tempat wisata bisa diakses dalam hitungan detik, di manapun, kapanpun (calon) wisatawan inginkan. Banyuwangi selayaknya juga mengupayakan langkah ini sebagai salah satu strategi terpenting dalam pemasaran pariwisatanya. Singkatnya, Banyuwangi harus memoles diri sepatut mungkin dalam konsep digital, membuat website atau situs sebagai wajah usaha di dunia virtual, lantas sedikit lebih genit dengan upaya promosi melalui strategi optimasi mesin pencari, pemasaran melalui e-mail, dan media sosial yang semuanya itu terintegrasi dengan baik sebagai bentuk digitalisasi pariwisata Banyuwangi.  

Dan memang pariwisata kini menjadi kebutuhan penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia terutama kegiatan sosial dan ekonomi. Pariwisata yang semula hanya dinikmati oleh segelintir kalangan dari orang-orang kaya, kini menjadi bagian dari hak dasar manusia, sebagaimana yang diujar John Naisbitt tentang fenomena global paradox yakni bahwa, “where once travel was considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right”

Digitalisasi pariwisata untuk Banyuwangi ini  memang bentuk dari paradoks global sebagaimana yang disinggung dalam awal tulisan ini. Paradoks ini tergambar dari upaya penyesuaian sebuah daerah (baca: Banyuwangi)  terhadap perkembangan global melalui pemanfaatan teknologi digital, namun tetap berakar pada kekayaan  budaya dan tradisi daerah itu sendiri. Di sisi lain, digitalisasi pariwisata adalah solusi praktis akan kebutuhan wisatawan terhadap ketersediaan akses informasi tentang pariwisata yang lengkap (one stop information solution) yang bisa dijangkau di manapun, oleh siapapun yang berusaha memenuhi hak dasarnya untuk melancong. 

Tidak bisa dipungkiri, bahwa bisnis pariwisata sesungguhnya adalah bisnis kepercayaan atau trust. Ini tidak lain karena produk ataupun jasa yang diinginkan di sektor pariwisata tidak muncul saat transaksi berlangsung. Pariwisata tidak dapat memberikan sample sebelum transaksi dilakukan. It cannot be sampled before the traveler arrives. Keputusan konsumen (wisatawan) untuk membeli produk pariwisata berawal dari informasi yang mampu memberikan trust baginya. 

Dengan adanya digitalisasi pariwisata yang dikembangkan melalui internet, para wisatawan dapat merengkuh sumber informasi tentang objek wisata yang dia kehendaki tanpa perantara dan dapat diakses di manapun serta kapanpun dia menginginkannya. Silakan simak nukilan paham baru yang digagas para ahli pemasaran pariwisata berikut ini:  if you are not online, then you are not on-sale. If your destination is not on the Web then it may well be ignored by the millions of people who now have access to the internet and who expect that every destination will have a comprehensive presence on the Web. The Web is the new destination marketing battleground and if you are not in there fighting then you cannot expect to win the battle for tourist dollars. 

Digitalisasi pariwisata melalui internet adalah jalan keluar utama untuk strategi pemasaran wisata di era ini. Banyuwangi dengan segenap potensi pariwisata yang dimiliki hendaknya bisa lebih memperhatikan tentang hal ini. Sebab, dengan segala keunggulannya, digitalisasi pariwisata ternyata juga merupakan langkah yang beresiko tinggi. Resiko ini muncul apabila muatan dari konsep digitalisasi yang tidak dikemas dengan baik, bahkan keliru. Ini bisa memicu trust yang buruk. Dan ketika ini terjadi, arah bisa berbalik. Penyebaran informasi tentang kekeliruan ini bisa berkembang dan mematikan strategi pemasaran pariwisata yang sesungguhnya. Dengan segala “kuasa” yang dimiliki, internet bisa melakukannya. 

Masyarakat luas tentu tertarik untuk tahu tentang filosofi tari Gandrung, tentang ritual Seblang, tentang akulturasi budaya dalam Hadrah Kunthulan, uniknya tradisi Kebo-keboan, atau juga harmoni dari musik Gedhogan, serta ragam kreasi budaya lokal Banyuwangi lainnya. 

Digitalisasi Banyuwangi juga diharapkan mampu memikat wisatawan dengan memberi informasi tentang eloknya Pulau Merah, Pantai Plengkung, Agrowisata Kalibendo, Cagar Alam Baluran, Teluk Hijau, dan tempat-tempat eksotis lainnya. Dan informasi yang diberikan hendaknya bukan hanya sekadar tentang kemolekan alamnya. Tapi juga ketersediaan akses transportasi dan penginapan bagi wisatawan, informasi biaya, produk wisata unggulan, dan hal-hal lain yang bisa menjadi rujukan penting bagi wisatawan sebelum memutuskan untuk singgah. 

Reposisi Kearifan Lokal 

Maka strategi digitalisasi pariwisata di Banyuwangi sebaiknya dilakukan dengan mengamati kecenderungan pola konsumsi wisata dalam beberapa tahun terakhir, serta kemungkinan pola konsumsi wisata di masa yang akan datang. 

Sebagaimana yang sedikit disinggung pada awal tulisan di atas, pola wisata yang digemari belakangan adalah yang kaya akan nuansa nature-contact dan people-contact. Pola ini diprediksi bakal tetap bertahan di masa yang akan datang. Inilah paradoks manusia modern seperti yang diulas John Naisbitt. Manusia modern dengan segala kemajuan teknologi yang dia miliki, seperti berjalan pada jalan yang gersang dan tandus. Ia memerlukan nilai-nilai dasar manusia untuk mengatasi kekeringan ruhaninya. Berinteraksi dengan orang-orang dan alam adalah cara untuk mengatasi kegelisahan itu. Dan pariwisata, sebagai wahana rekreasi (re-creation) atau kreasi ulang manusia, diharapkan mampu membantu memberikan oase bagi kekeringan ruhani tadi.

Nuansa nature-contact dan people-contact ini banyak didapat dari kekayaan alam, kreasi budaya dan peninggalan sejarah yang dimiliki suatu daerah. Dan Banyuwangi, beruntungnya, memiliki itu semua. 

Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mengemas kekayaan alam, kreasi budaya dan peninggalan sejarah itu dalam bentuk informasi yang diolah secara digital, kemudian dipublikasi melalui keajaiban internet agar menggugah wisatawan untuk datang. 

Salah satu pilihannya adalah dengan memposisikan ulang kearifan lokal. Kekayaan alam, kreasi budaya dan sejarah sebuah daerah mau tidak mau membentuk perilaku umum penduduknya. Dan dalam hal ini, nilai-nilai luhur yang dijaga dan berlangsung turun temurun membentuk karakter penduduk daerah tersebut. Nilai-nilai ini berangkat dari tataran filosofis hasil persinggungan penduduk dengan kekayaan alam yang dimiliki, sejarah  yang dijalani, serta kreasi budaya yang mereka ciptakan. Nilai-nilai luhur ini bisa menjadi daya pikat tersendiri. Dengan pengemasan dalam konten digital yang baik berikut pemanfaatan internet dengan optimal, penyebaran informasi akan nilai-nilai luhur ini diharapkan dapat menjadi daya tarik yang unik  yang memikat minat wisatawan untuk menikmati pariwisata di Banyuwangi.  

Nilai-nilai luhur yang menjadi kearifan lokal Banyuwangi hendakmnya dikemas lagi dengan menyesuaikan ritme jaman agar lebih bisa menjadikan penggoda bagi wisatawan untuk singgah. Ini semacam kawin silang antara kearifan lokal dengan budaya modern. Upaya ini juga bentuk reposisi kearifan lokal agar nilai-nilainya tidak pudar dan lebih dapat diterima oleh banyak kalangan karena lebih dekat dengan kondisi sosial budaya saat ini. 

Pilihan yang bisa diambil, salah satunya adalah dengan menggagas event atau festival yang menyajikan produk kreasi budaya asli Banyuwangi, mengawinkannya dengan produk kreasi budaya modern yang selama ini sudah mendominasi masyarakat. Pertunjukan musik tradisional Banyuwangi yang unik dengan sentuhan orkestra, contoh konkritnya. Atau membuat konsep museum digital yang memuat benda-benda peninggalan sejarah di Banyuwangi berikut segenap informasi yang meliputinya. Bisa juga dengan membuat proyek ekspedisi untuk wisatawan-wisatawan dengan destinasi berupa alam wisata Banyuwangi yang elok. Tak hanya itu, memperbanyak kawasan desa wisata juga bisa menjadi pilihan yang layak dikembangkan. 

Semua hal tadi dikemas dalam informasi digital yang komunikatif, menarik dan dapat diakses di mana saja. Dengan mengambil langkah ini, kearifan lokal Banyuwangi yang bisa digali dari segenap potensi alam dan tradisi budayanya, bisa lebih diterima oleh masyarakat modern, karena pendekatannya yang dilakukan sesuai dengan pola hidup masyarakat yang karib dengan nuansa digital. Lebih khusus ke aspek pariwisata, peletakan kembali kearifan lokal agar lebih dekat dengan keseharian dengan melakukan pendekatan digital, adalah sebuah daya pikat tersendiri bagi wisatawan. 

Harapannya, dengan upaya digitalisasi kearifan lokal ini, sektor pariwisata terdongkrak naik dan mampu memberikan andil besar bagi pendapatan daerah. Di sisi lain, pelestarian budaya dan kekayaan alam Banyuwangi juga tetap bisa berlangsung. 

Tak ada kekuatan yang bisa menghalangi laju jaman. Jaman bisa berubah menjadi  apapun. Tapi selayaknya, kekayaan alam dan tradisi budaya harus tetap terjaga. Membangun Banyuwangi di ranah digital adalah salah satu alternatif solusi. Di saat banyak yang pesimis bahwa tradisi budaya suatu daerah dan kelestarian alam akan terkikis karena perkembangan jaman, digitalisasi Banyuwangi justru mencoba membuktikan sebaliknya. 


*Esai ini ditulis untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Foto dan Penyiaran yang diadakan oleh Pemkab Banyuwangi tahun ini. Tema yang saya ambil adalah “Wisata Banyuwangi dan Strategi Pemasarannya"