Rabu, 22 Agustus 2012

Kinasih, Aku Ingin Berbicara Tentang Kematian

Kinasih, tiba-tiba aku ingin berbicara tentang kematian.


Dulu, sering aku berkisah kepadamu tentang apa cita-citaku. Kututurkan padamu waktu itu, tentang keinginanku mati muda. Itu adalah cita-citaku. Raut wajahmu yang manis langsung berubah menjadi masam seketika. Sebuah ungkapan rasa tidak suka. Katamu waktu itu, aku terlalu banyak membaca buku. Terlalu mengagumi Soe Hok-Gie yang pernah mengutip seorang filsuf Yunani bahwa nasib terbaik adalah tidak dilahirkan dan yang kedua adalah dilahirkan, tetapi mati muda. Kau minta aku berhati-hati dengan ucapan sendiri. Katamu, setiap ucap adalah doa. Terbukti, Gie memang mati muda setelah gugur di pendakiannya yang syahdu di Semeru. Termakan omongannya sendiri. Kau tidak ingin aku pun demikian. Walau sesungguhnya aku pun tahu, kau setengah merengek saat itu karena takut aku tinggalkan. Aih, manisnya. 

Kinasih, aku ingin berbicara soal kematian.

Lalu aku akhirnya mengubah haluan cita-cita. Mencintaimu barangkali adalah alasannya. Ketahuilah manis, life is just a game. A God’s game. Tak ada yang meminta dirinya berpartispasi dengan peran masing-masing dalam permainan ini. Namun ketika sudah larut dalam permainan, rayakanlah. Teriak, berlari, melompat dan bersenang-senanglah. Kita riuhkan humor ini. Memaksakan diri mati muda hanya akan memotong rantai permainan yang menyenangkan. Mari mencintai, mari merayakan hidup. Tak menjadi soal permainan kita dihentikan di usia berapa. Tetapi memaksakan diri mati muda hanyalah upaya menyerah. Padahal kita sama-sama keras kepala, bukan?

Tetapi Kinasih, aku masih ingin berbicara soal kematian.

Maka ketika permainanku usai lebih dulu, aku ingin sedikit rewel soal pemakamanku. Aku ingin membayangkan bagaimana pemakamanku kelak. Bagaimana aku memasuki gerbang senyap bernama maut dengan sendirian, tanpa kamu. 

Aku membayangkan saat itu langit mendung, awan enggan berarak. Mereka yang  datang ke tanah pemakamanku tidak terlalu ramai, hanya beberapa orang saja. Beberapa memakai baju berwarna favorit kita: biru, putih dan hitam. Beberapa membawa bunga yang tidak diikat, meletakkannya di atas nisan. Tapi jangan biarkan mereka menangis, Sayang. Ajak mereka tersenyum. Toh, langit sudah cukup gerimis kelak waktu itu.

Aku membayangkan makamku di  bawah pohon yang rindang, agar kamu bisa sesekali duduk di situ, sekadar menyanyikan lagu, membaca buku, atau bercakap-cakap lirih denganku. Ah, kelak sering nyanyikanlah lagu Somewhere Only We Know milik Keane di sana.  Itu lagu favorit kita. 

Di bawah pohon yang rindang, aku ingin makamku ditemani daun-daun yang gugur. Kau tentu ingat kenapa aku mencintai daun gugur? Bagiku, daun gugur adalah simbol keberanian menghadapi hidup, selemah apapun kita. Simbol mereka yang berani menantang terik, diusap angin yang dingin, membangun pohonnya sendiri, lalu tak masalah mati terhempas atau jatuh perlahan. Ya, hidup seharusnya demikian.

Kinasih, aku masih ingin berbincang mengenai kematian. 

Sebelum aku dikuburkan, jika ada yang meminta sebagian dari jasadku untuk mereka yang membutuhkan, hendaklah kau berikan. Mata, ginjal, jantung, atau apapun yang bisa dipakai.  Kau tentu ingat, aku pernah berkisah padamu soal Karna. Seingatku aku dulu berkisah saat kita usai menikmati nasi goreng yang kita buat bersama. Aku bercerita sambil memotong kuku, padahal kau mendengarkan dengan seksama. 

Ya, aku berkisah soal Karna, tokoh wayang putra Kunti yang dibesarkan sais kereta itu. Ksatria terbuang yang penuh paradoks. Ksatria yang tak  menolak siapapun yang meminta kepada dirinya. Sebelum ia bertarung dengan Arjuna, Batara Indra menyamar menjadi seorang pengemis yang meminta pusaka yang melekat di kulitnya. Karna iba, lalu mengiris kulitnya dan memberikan pusaka tadi ke pengemis jelmaan Indra. Alhasil, Arjuna berhasil membunuhnya dengan Pasopati. Karna gugur dengan setelah berderma. Bukankah itu indah, Kinasih? Menghadapi maut dengan berani. 

Kinasih, aku masih ingin bercerita soal kematian.

Oh, aku lupa, Kinasih. Sebelum Karna berangkat ke Baratayudha dan gugur di padang Kurusetra, ia sempat menuliskan surat kepada Surtikanti, istri tercintanya. Di surat itu ia menulis bahwa ia merasakan firasat bahwa aura kematian datang begitu syahdu di dekatnya. Dan ternyata, firasat Karna benar. Ia benar-benar gugur. 

Aku juga sering membacakan puisi terakhir dari Soe Hok-Gie sebelum ia gugur karena gas beracun di Semeru. Aku tuliskan lagi puisi itu. Semoga kau tidak bosan.

Ada orang yang menghabiskan waktunya berziarah ke Mekkah,
Ada orang yang menghabiskan waktunya berjudi di Wiraza,
Tapi aku ingin menghabiskan waktuku disisimu sayangku

Bicara tentang anjing-anjing kita yang nakal dan lucu
Atau tentang bunga-bunga yang manis di lembah Mandalawangi

Ada serdadu-serdadu Amerika yang mati kena bom di Danang
Ada bayi-bayi yang lapar di Biafra
Tapi aku ingin mati disisimu manisku

Setelah kita bosan hidup dan terus bertanya-tanya
Tentang tujuan hidup yang tidak satu setan pun tahu
Mari sini sayangku
Kalian yang pernah mesra
Yang pernah baik dan simpati padaku

Tegaklah ke langit luas
Atau awan yang menang
Kita tak pernah menanamkan apa-apa
Kita takkan pernah kehilangan apa-apa

Nasib terbaik adalah tidak pernah dilahirkan
Yang kedua dilahirkan tapi mati muda
Dan yang tersial adalah berumur tua
Berbahagialah mereka yang mati muda

Makhluk kecil kembalilah dari tiada ke tiada
Berbahagialah dalam ketiadaanmu


Begitulah. Mereka seakan sama-sama punya firasat kapan mereka harus pergi, Kinasih. Sebagaimana aku sepakati ucap seorang kawan, bahwa manusia selain memiliki naluri untuk hidup, juga memiliki naluri untuk mati. 

Kinasih, tak usah kau bersedih lalu membangun bayangan bahwa lewat tulisan ini aku pun hendak pergi mengakrabi kematian, Tidak, aku tidak tahu. Kalau pun demikian memang nantinya, bukankah kita sudah berikrar bahwa bagaimanapun hidup harus tetap dijalani dengan berani?

Ah..Kinasih, barangkali cinta lebih panjang dari jejak-jejak perjalanan bernama hidup dan kematian. 

Senin, 13 Agustus 2012

Hidup Melawan Mati Menawan

Dulu saat saya pertama kali belajar menulis pada guru yang galak bernama Pito, saya sering mendapat tugas menulis hal-hal yang tidak saya kenal sebelumnya. Salah satu tugas pertama saya adalah menulis soal film animasi pendek. Tulisan saya juga sangat pendek. :). Silakan dibaca.


Goenawan Mohamad pernah menulis bahwa bila orang hanya jadi berarti sesudah mati, pasti begitu buruknya kehidupan. Barangkali itu memang benar. Tapi tidak sepenuhnya demikian. Jika memang hidup kerap diasumsikan sebagai pilihan-pilihan, kadangkala ada pilihan-pilihan sempit yang justru memberikan kematian sebagai tawaran terbaik. Setidaknya begitulah alasan kenapa seorang martir menjalani lakunya. Seorang martir, berbeda dengan tumbal. Tumbal adalah sebentuk kelemahan yang dijadikan korban demi jalan pintas. Tapi martir tidak demikian. Menjadi martir adalah memilih kematian secara sadar demi kehidupan lebih baik bagi orang lain. Saya teringat omongan Mahatma Gandhi, The sacrifice which causes sorrow to the doer of the sacrifice is no sacrifice. Real sacrifice lightens the mind of the doer and gives him a sense of peace and joy..”.
 
Setidaknya itu yang saya dapatkan usai menonton film ini. Sebuah film besutan Joaquin Baldwin, sutradara film kelahiran Paraguay dan spesialis film-film pendek animasi. Ia diganjar banyak award sebagai wujud apresiasi terhadap karyanya ini. Dan penonton dihadiahi momen yang menawarkan jeda untuk speechless, dada menyesak, bibir terkatup gemetar dan timbunan kristal bening di pelupuk mata meragu jatuh. Mereka akan membawa sepaket keharuan, dan tentunya sebuah pesan. Hanya setelah sekitar empat menit film ini hadir. Ya, hanya empat menit lebih sedikit.

Lakon utama film ini adalah boneka-boneka voodoo. Praktek voodoo sendiri adalah produk klenik terkenal dari Afrika. Dalam pelaksanaannya, dukun voodoo menggunakan boneka yang dijompa-jampi agar dapat mengejewantahkan berbagai manipulasi sang dukun-sesuai pesanan-terhadap orang yang “diserang”. Saya belum pernah menemukan pengejewantahan manipulasi yang enak selain rasa sakit, bahkan kematian yang merambat pelan-pelan. Sang boneka voodoo biasanya ditusuk jarum, dijilat api, atau ditancap pisau. Boneka-boneka mungil itu adalah obyek penderita atas setiap perlakuan sang dukun, dari sebermula dibuat sampai dibuang pada akhirnya.

Namun apa jadinya kalau boneka voodoo tak mau sekedar diam? Bagaimana jika mereka tidak mau melulu menerima nasib sebagai media penyalur rasa sakit dan kematian? Bagaimana jika mereka mencari celah-celah untuk berontak, menyusupi kemungkinan-kemungkinan, mendobrak tatanan, dengan mempertaruhkan hidup sendiri sekalipun?
Itu adegan utama film ini. Boneka-boneka voodoo pada mulanya digantung berjajar, menunggu kematiannya masing-masing. Hingga saat sang dukun lalai, salah seorang… ehm… maksudnya salah satu boneka voodoo tersebut melarikan diri diam-diam dari gantungan. Sang dukun kembali lalu meraih satu boneka dan memulai ritual menusuk boneka dengan jarum.

Saat jarum semakin mendekati boneka dalam genggaman sang dukun, boneka pelarian membuat keputusan besar dan di luar dugaan. Terlampau di luar dugaan. Sebab boneka pelarian tadi ternyata mengambil jarum secara diam-diam lalu menusukkannya ke lengan sendiri. Tindakan boneka pelarian ternyata berefek penting. Nyeri yang diterimanya dirasakan pula oleh sang dukun.

Tahu akan hal itu, si boneka pelarian melanjutkan aksinya. Tak hanya menusuk lengan, tapi juga berlanjut dengan menusuk kaki, dan diakhiri dengan menusuk jantungnya sendiri. Sang dukun, setelah menerima nyeri yang sama, akhirnya ambruk setelah kepalanya menghantam tiang gantungan lalu jatuh tak bergerak. 
Boneka-boneka lainnya bebas, sedang si boneka pelarian dan sang dukun sama-sama tak bernapas. Boneka pelarian menjadi martir bagi kawan-kawannya. Tubuhnya berhias jarum-jarum yang mengakhiri nyawanya.

Barangkali film ini hadir sebagai pengingat betapa pedih sekaligus berartinya sebuah pengorbanan. Juga tentang keberanian melawan nasib. Terdengar klise? Bukankah hidup memang selalu klise semenjak dulu? Alurnya begitu-begitu saja. Yang menjadikannya berbeda adalah cara kita membuat hidup berarti. Mungkin hidup bukan menyoal durasi, bukan soal panjang pendeknya himpitan umur, tapi selalu apa yang kita lakukan. Pas sekali dengan anatomi film ini yang ringkas, cepat, pendek dan singkat namun padat dan sarat muatan pesan. Pengambilan judulnya sendiri mungkin adalah cerminan kisah hidup seorang martir abad ke-3 bernama Saint Sebastian. Laku martir sang santo membuatnya mati muda di usia tiga puluh dua. Ia mati dengan tubuh tertikam panah-panah, mirip akhir kisah si boneka pelarian.

Film ini semakin menandaskan kecintaan saya mengkhidmati daun-daun jatuh sebagai perwakilan sebuah keharuan dan pengorbanan. Setelah menyerahkan diri untuk dimakan ulat yang kelaparan, memberikan sarang buat burung, menaungi orang-orang dari terik, tempat sembunyi wewe gombel, juga demi sebuah siklus alam, daun akan gugur.

Kematian bukanlah satu-satunya pilihan yang menjadikan hidup berarti. Tapi saat tidak ada pilihan lain, saya kira tidak semua orang berani memilihnya dengan penuh kekhusyukan. Atas dasar itulah, seorang martir selalu saja layak dimuliakan.

post scriptum: Judul diambil kata-kata Mas Heri, (37 tahun, bapak satu anak, penjual nasi goreng)..