Gambar diambil dari sini |
Ketika saya masih
kecil, Bapak pernah beberapa kali bercerita tentang betapa hebat seorang
Muhammad Ali. Kata Bapak, saat petinju yang semula bernama Cassius Clay itu
bertanding dan disiarkan lewat stasiun televisi, jalanan kerap lengang.
Orang-orang berkerumun di depan layar cembung televisi untuk menyaksikan
aksinya di atas ring. Gaya bertarungnya yang disebut-sebut indah ibarat kupu-kupu namun menyengat bagai
lebah itu memesona banyak orang hingga rela meninggalkan sengkarut kegiatan
masing-masing untuk menyaksikan Ali. Mendengarkan Bapak bercerita tentang hal
itu, saya hanya terdiam. Tidak menampakkan raut muka terkesima. Buat saya yang
saat itu masih belum dikhitan, cerita tentang olahraga adu jotos adalah cerita
yang jauh dari belas kasihan. Cerita yang dominan oleh naluri barbar. Cerita
tentang manusia rela menyakiti manusia yang lain. Saya yang kencing masih belum
lurus saat itu menolak segala macam perkelahian dalam bentuk apapun. Memang, saya memang kelewat naif sedari
bocah.
Ternyata hidup tidak
sesederhana yang saya kira. Bahkan untuk perkara-perkara remeh, kita kadang melaluinya
dengan jalan kekerasan. Saya yang masih bocah ternyata harus mengalami masa
kecil yang akrab dengan bogem. Masalah yang jadi pemicu biasanya kelewat remeh:
mulai dari sekadar olok-olok nama Bapak hingga berebut stiker hologram.