Gambar diambil dari sini |
Kelak,
Madura akan melahirkan sebuah cerita baru yang sangat menarik untuk saya
tuturkan kepada generasi sesudah saya. Bahwa pada sebuah pulau di utara
propinsi Jawa Timur itu, pernah berlangsung sebuah upaya brilian dari sebuah
organ milik negara bernama PTPN X. Sebuah upaya yang berhasil mengubah wajah
pulau, dari daratan tandus penghasil garam menjadi sebuah pulau dengan industri
gula terpadu yang berandil besar terhadap swasembada gula nasional.
PTPN
X sebagai aktor utama dari cerita ini sekarang sedang sibuk mempersiapkan
lakonnya. Peran yang dilakoni PTPN X adalah menggalang upaya strategis dan
tepat guna untuk mewujudkan mimpi manisnya. Sementara upaya itu berlangsung,
secuil pertanyaan menggugah rasa penasaran banyak orang: kenapa harus Madura?
Membicarakan
Madura adalah membicarakan keunikan. Selama ini masyarakat Madura adalah
masyarakat yang dikenal memiliki budaya yang khas, stereotipikal, bahkan
cenderung stigmatis. Ciri yang unik itu terlanjur melekat dan terlanjur
dianggap gambaran identitas individu maupun kelompok etnis Madura dalam
kehidupan mereka. Keunikan identitas masyarakat Madura kerap dimaknai sebagai
masyarakat yang lugu, sederhana, ramah, memiliki
solidaritas yang kuat, rasa kepemilikan yang tinggi, taat kepada hal yang
diyakininya–bahkan cenderung keras kepala. Tanpa bermaksud merendahkan,
keunikan identitas masyarakat Madura ini kerap menjadi bahan olok-olok dan
lelucon bagi sebagian kalangan.
Sebagian
ahli sosiologi berpendapat, bahwa keunikan identitas budaya Madura ini tidak
lepas dari kondisi geografis dan topografi wilayahnya. Pulau Madura didominasi
oleh kawasan pesisir dan lahan pertanian yang cenderung gersang. Akibatnya,
upaya masyarakat bertahan hidup disandarkan pada mata pencaharian utama melaut.
Kehidupan bahari yang keras dan sarat risiko memoles pribadi masyarakat Madura
secara umum menjadi karakter yang ulet, gigih, percaya diri, defensif dalam
berbagai situasi yang mengancam, lugas dalam bertutur, serta mengedepankan
harga diri dan martabat. Bahkan, implikasi dari karakter-karakter itu hadir
sebagai pribadi-pribadi yang ekspresif secara berlebihan, sehingga berpotensi
memunculkan konflik.
Di
luar dugaan, segenap identitas kultural dan profil geografis yang dimiliki
Madura itu menyimpan potensi yang besar untuk menjadi pulau lumbung gula. Karakter
masyarakat Madura yang cenderung pekerja keras dan ulet adalah potensi sumber
daya manusia yang penting bila diproyeksikan pada upaya mewujudkan industri
gula terpadu di Madura. Dari sisi geografis, kondisi tanah di Madura pun
menyimpan potensi besar untuk menjadi pendulang gula. Agroklimat, sinar matahari,
kecepatan angin, kelembaban udara, dan kesesuaian lahan dinilai sangat
mendukung terwujudnya industri gula terpadu di Madura. Saat kemarau, panas
matahari terik menyengat tanah Madura. Ini baik untuk tanaman tebu.
Potensi
yang disimpan Madura untuk mewujudkan industri gula terpadu tentunya bukan
omong kosong yang ngawur. Setidaknya menilik kajian yang dilakukan oleh Pusat
Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), kita bisa menemukan fakta yang
menarik. Menurut kajian yang telah dilakukan P3GI, ada sekitar 100.000 hektar
lahan yang sesuai untuk tanaman tebu di Madura. Lebih detailnya, sekitar 80.000
hektar di Bangkalan dan Sampang, sedang sisanya di daerah Sumenep dan
Pamekasan. Namun Sumenep dan Pamekasan sudah memiliki komoditas lain yang
dirasa lebih menguntungkan oleh penduduk setempat, yakni tembakau. Alhasil,
budidaya tanaman tebu tidak begitu menarik minat masyarakat Sumenep dan
Pamekasan.
PTPN
X sendiri sejak 3 tahun terakhir memberi
fokus pengembangan lahan seluas 1300 hektar di kawasan Bangkalan dan Sampang,
yakni 975 hektar di Bangkalan dan sekitar 34o hektar di Sampang. Di tahun 2014,
pengembangan lahan tebu di Madura ditarget menyentuh titik 3500-4000 hektar.
Pada angka itu, kondisi ideal untuk pembangunan pabrik gula dengan kapasitas
5000-6000 ton per hari/tons of cane per
day (TCD).
Namun
perjalanan tak selamanya mulus. Selalu ada tantangan yang harus dijawab, selalu
ada masalah yang menanti dipecahkan. Upaya menggagas industri gula terpadu di
Madura oleh PTPN X juga mengamini hal yang sama. Menyinggung hal ini, PTPN X
dihadapkan pada beberapa persoalan pokok yang menjadi perintang.
Masalah
pertama yang dihadapi adalah resistensi dari masyarakat lokal di Madura.
Pangkal perkara ini adalah tentang ketidakseimbangan persepsi dalam menerima
informasi. Peluang budidaya tebu masih relatif dianggap hal yang baru oleh sebagian besar petani pada
umumnya. Sehingga strategi sosialisasi dan transfer informasi harus menjadi
perkara yang benar-benar mendapatkan perhatian serius.
Resistensi
ini juga terkait dengan kebiasaan petani
Madura yang selama ini akrab dengan tanaman pangan atau tanaman semusim
yang umurnya relatif pendek karena hasilnya bisa segera dijual. Ini tentu
berbeda dengan tebu, yang memerlukan waktu minimal setahun sejak tanam hingga
hasilnya bisa dinikmati.
Ketersediaan
sumber daya manusia yang paham tentang budidaya tebu juga masih dirasa kurang.
Tenaga penggarap saat tanam dan saat panen tebu di Madura dirasa sangat kurang.
Hal itu masih ditambah lagi dengan tingkat pemahaman tenaga penggarap tentang
budidaya tebu yang masih harus dilatih.
Ditinjau
dari sudut pandang keunikan karakter masyarakat Madura, persoalan juga muncul
karena masyarakat Madura memiliki rasa memilki yang sangat tinggi, termasuk
dalam pengelolaan lahan. Kerap dijumpai kesulitan pembongkaran pembatas di
antara lahan-lahan yang berbeda kepemilikan, kendati sekadar untuk urusan
saluran pengairan.
Permasalahan
yang selama ini menjadi perihal jamak dalam
industri gula nasional juga tak bisa
disingkirkan dalam mempersiapkan industri gula terpadu di Madura. Persoalan jamak
unit industri gula ini semisal rendemen
yang bervariasi—dan nilainya relatif kurang begitu tinggi. Sebagai penyemangat,
kita bisa melihat fakta beberapa negara yang target swasembada gula nasionalnya
tercapai mampu meraih rendemen di atas 10%. Tentu capaian tersebut adalah
tantangan untuk pabrik gula PTPN X yang kisaran nilai rendemennya masih di
bawah 10%. Ini adalah sebuah pengingat yang konstruktif, tanpa mengesampingkan
pencapaian unit usaha gula PTPN X yang dalam beberapa tahun terakhr sangat
cemerlang dan berkontribusi besar terhadap produksi gula nasional.
Masalah
lain yang harus dipecahkan adalah hubungan yang kurang begitu baik antara petani
tebu dengan pabrik gula. Posisi tawar
petani dalam melakukan negoisasi dengan pabrik gula dan pelaku pasar lainnya
cenderung rendah. Simbiosis yang terjalin kerap timpang, sehingga minat petani
untuk menanam tebu juga rendah.
Dari Mekanis Sampai Humanis
Agar
kisah tentang kejayaan industri gula di Madura benar-benar bisa tertutur ke
generasi selanjutnya kelak, maka upaya yang pertama kali harus ditempuh adalah memilih
langkah-langkah yang dipertimbangkan
dengan hati-hati agar mimpi manis ini bisa terwujud.
Pada
langkah pengelolaan di lahan (on-farm),
langkah yang bisa dipilih adalah pengolahan tebu yang bermuara pada peningkatan rendemen melalui kombinasi rekayasa genetis dan
lingkungan. Untuk mencapai rendemen yang tinggi, upaya yang dilakukan bukanlah
dengan menitikberatkan pengelolaan pada sisi pabrik. Sebaliknya, rendemen
sangat bergantung pada kualitas pengolahan lahan yang baik.
Rendemen
yang cenderung rendah dipengaruhi oleh menurunnya zat hara di dalam tanah
tempat tebu ditanam. Waktu panen yang kurang tepat juga berandil pada kadar
gula dalam tebu. Logikanya, tebu memiliki periode waktu di mana kadar gula yang
terkandung di dalamnya sangat tinggi. Jika waktu panen terlewat, maka kadar
gula yang terkandung di dalamnya pun akan turun.
Rekayasa
lingkungan yang dimaksud adalah dengan mengupayakan mapping lahan. Upaya ini mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh
Pabrik Gula (PG) Ngadirejo. Dengan membuat mapping
atau pemetaan kebun petak per petak, banyak data terkait kondisi nyata tebu di
lahan. Mulai masa tanam yang tepat hingga tingkat kemasakan tebu.
Pada
sisi rekayasa genetis, langkah yang bisa dipilih adalah dengan pemilihan
varietas tebu yang sesuai serta mampu
beradaptasi dengan dengan kondisi tanah, air, dan iklim di Madura. Karakter
iklim dan tanah Madura yang tandus serta cenderung sulit dalam masalah drainase
atau pengairan tentu tidak adaptif pada semua varietas tebu. Sehingga perlu
dipilih varietas tebu yang benar-benar cocok. Langkah ini kemudian diikuti
dengan optimalisasi waktu tanam, pemilihan pupuk berimbang, pengendalian
organisme pengganggu, serta perbaikan sistem tebang. Penataan varietas juga
perlu dilakukan secara tepat, yakni 40% masak di awal, 40% masak di tengah, dan
20% masak di akhir. Sisi on farm juga
bisa dioptimalkan lewat mekanisasi
melalui pembibitan dengan satu mata
tunas atau budchip diikuti mekanisme
tebang dengan menggunakan harvester.
Masalah
drainase atau pengairan yang sulit bagi lahan tebu di Madura bisa diatasi
dengan penggunaan teknologi drip irigasi yang mengalirkan air dan nutrisi yang
dibutuhkan dari dalam tanah. Teknologi ini pertama kali diperkenalkan di Israel
dan kemudian menyebar ke seluruh pelosok dunia. Pada hakekatnya, teknologi ini
sangat cocok diterapkan pada kondisi lahan kering berpasir, lahan dengan air
yang sangat terbatas, iklim yang kering, dan komoditas yang diusahakan
mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Bucks e.t al, 1982). Lahan untuk penanaman tebu di Madura sangat
sesuai dengan hal itu semua.
Di
sisi pengelolaan di pabrik (off farm),
trias EDO (Efisiensi-Diversifikasi-Optimalisasi) masih merupakan senjata yang
dirasa ampuh untuk manajemen pabrik gula di Madura kelak. Trias ini terbukti
jitu, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh pabrik-pabrik gula PTPN X lainnya
selama ini. Pabrik gula di Madura bisa mengadopsi sekaligus mengembangkan
strategi EDO yang selama ini sudah berlangsung.
Pada
sisi optimalisasi, pabrik gula di Madura bisa memilih jalan dengan menggenjot
produksi dengan menjaga pasokan bahan baku, in
house keeping yang konsisten, serta budaya bekerja bersih dengan
memerhatikan risiko limbah minimal. Di sisi efisiensi, pilihan bisa ditujukan
dengan menghemat konsumsi bahan bakar.
Sisi
diversifikasi adalah poin penting untuk mewujudkan industri gula terpadu.
Industri berbasis tebu (sugarcane based
industry) dengan ragam varian produk olahan diharapkan bisa terwujud. Maka
inovasi produk olahan non gula bisa menjadi fokus tersendiri kelak. Selain pada bioethanol dan co-generation
sebagaimana yang sudah dilakukan pabrik lain milik PTPN X, masih terdapat banyak
produk diversifikasi berbasis tebu semisal asam amino, vitamin, biodegradable plastic, biobleching, biopulping, hingga batu bata dan pakan ternak.
Dengan
strategi on farm dan off farm yang dijalankan secara
konsisten, kegagalan pabrik gula di
Madura kelak rasanya jauh dari kenyataan.
Namun
ada satu hal yang perlu dijadikan landasan ingatan. Bahwa pabrik gula yang
diharapkan menjadi salah satu andalan PTPN X itu berdiri di tanah yang dihuni
komposisi masyarakat yang unik. Kondisi sosiokultural Madura mau tidak mau
mengharuskan PTPN X menggagas upaya di luar sekadar pendekatan 0n farm dan off farm. Pendekatan mekanis selayaknya juga memerhatikan
pendekatan yang humanis untuk menjalin simbiosis mutualisme dengan masyarakat
lokal, utamanya petani tebu.
Ini
bisa dimulai dengan peningkatan daya tawar petani tebu dengan membuat sistem
yang disepakati bersama tentang penertiban pembayaran kepada petani yang
memasok tebu ke pabrik gula. Hal ini penting untuk mendongkrak kepercayaan petani. Dengan meningkatnya kepercayaan
petani, pasokan juga meningkat. Lebih jauh, pemerintah juga dapat berperan
dengan menjaga kestabilan bahan baku pabrik gula, sehingga petani bisa lebih
memacu semangat dalam mengolah lahannya.
Terhadap
kondisi sekitar pabrik, PTPN X bisa bekerjasama dengan pemerintah setempat
untuk menggagas kawasan “Kampung Gula”. Kawasan ini nantinya bisa menjadi
sentra hasil produksi berbasis tebu dengan mengandalkan masyarakat setempat
sebagai penggeraknya. Selain menjual hasil produksi, masyarakat bisa memanfaatkan
limbah tebu pasca panen untuk membuat kerajinan yang dikembangkan secara home industry. Sentra ini bisa diintegrasikan dengan
pewujudan wisata pabrik gula di Madura.
Tak
hanya itu, di kawasan “Kampung Gula” ini, diharapkan juga berdiri sekolah atau
balai pendidikan lainnya yang selain memberikan pendidikan konvensional seperti
sekolah pada umumnya, juga memberikan pendidikan tentang bisnis gula dari hulu
hingga hilir. Tujuannya jelas, penyamaan pengetahuan tentang industri gula
terpadu dengan masyarakat sekitar.
Kerjasama
dengan pemerintah juga bisa berlanjut dengan mewujudkan “Koperasi Gula” untuk
petani tebu atau masyarakat sekitar. Badan ini melayani penyediaan kredit usaha
dengan bunga yang relatif rendah dibanding suku bunga pasar.
Jurus Tandur
Maka
menaruh harapan pada industrialisasi gula di Madura kelak bukanlah sebuah laku
yang sia-sia. Madura, dengan segala potensinya, adalah tanah penuh harapan terwujudnya industri gula terpadu yang kelak akan berandil
besar terhadap produksi gula nasional.
Proyeksi
boleh dipancang, langkah strategis sudah disusun, namun sejatinya ada satu
jurus pamungkas layak terus dirapal agar impian manis ini terwujud. Jurus itu
adalah “Jurus Tandur”, yang merupakan akronim dari kalimat penggugah semangat
yakni “Maju Terus Tanpa Mundur”.
Dengan
segala sumber daya yang dimiliki, PTPN X selayaknya tidak merapal jurus lain
yang menghentikan langkah. Namun sebaliknya, terus bergerak maju, pantang
berhenti apalagi mundur. Sehingga mimpi menumbuhkan industri gula yang terpadu
di Madura ini bisa terwujud nyata dan dicecap manisnya. Sebagian kalangan boleh
saja mencibir, bahwa PTPN X melakukan pertaruhan. Tapi balasan terbaik untuk
cibiran adalah kerja keras dan cerdas untuk mewujudkan hasil nyata. Lagipula,
dalam hal ini saya lebih mengamini ucapan Friedrich Schiller, seorang penyair
Jerman yang berkata: “Hidup yang tak
dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan”.
===========================================================================
*Esai ini ditulis
untuk diikutkan pada Lomba Karya Tulis PTPN X 2014. Tema yang dipilih adalah
“Industrialisasi Gula di Madura”.