Jumat, 28 Februari 2014

Jurus Tandur Pabrik Gula di Madura



 
Gambar diambil dari sini

Kelak, Madura akan melahirkan sebuah cerita baru yang sangat menarik untuk saya tuturkan kepada generasi sesudah saya. Bahwa pada sebuah pulau di utara propinsi Jawa Timur itu, pernah berlangsung sebuah upaya brilian dari sebuah organ milik negara bernama PTPN X. Sebuah upaya yang berhasil mengubah wajah pulau, dari daratan tandus penghasil garam menjadi sebuah pulau dengan industri gula terpadu yang berandil besar terhadap swasembada gula nasional.
                                                      
PTPN X sebagai aktor utama dari cerita ini sekarang sedang sibuk mempersiapkan lakonnya. Peran yang dilakoni PTPN X adalah menggalang upaya strategis dan tepat guna untuk mewujudkan mimpi manisnya. Sementara upaya itu berlangsung, secuil pertanyaan menggugah rasa penasaran banyak orang: kenapa harus Madura?

Membicarakan Madura adalah membicarakan keunikan. Selama ini masyarakat Madura adalah masyarakat yang dikenal memiliki budaya yang khas, stereotipikal, bahkan cenderung stigmatis. Ciri yang unik itu terlanjur melekat dan terlanjur dianggap gambaran identitas individu maupun kelompok etnis Madura dalam kehidupan mereka. Keunikan identitas masyarakat Madura kerap dimaknai sebagai masyarakat yang lugu, sederhana, ramah, memiliki solidaritas yang kuat, rasa kepemilikan yang tinggi, taat kepada hal yang diyakininya–bahkan cenderung keras kepala. Tanpa bermaksud merendahkan, keunikan identitas masyarakat Madura ini kerap menjadi bahan olok-olok dan lelucon bagi sebagian kalangan.

Sebagian ahli sosiologi berpendapat, bahwa keunikan identitas budaya Madura ini tidak lepas dari kondisi geografis dan topografi wilayahnya. Pulau Madura didominasi oleh kawasan pesisir dan lahan pertanian yang cenderung gersang. Akibatnya, upaya masyarakat bertahan hidup disandarkan pada mata pencaharian utama melaut. Kehidupan bahari yang keras dan sarat risiko memoles pribadi masyarakat Madura secara umum menjadi karakter yang ulet, gigih, percaya diri, defensif dalam berbagai situasi yang mengancam, lugas dalam bertutur, serta mengedepankan harga diri dan martabat. Bahkan, implikasi dari karakter-karakter itu hadir sebagai pribadi-pribadi yang ekspresif secara berlebihan, sehingga berpotensi memunculkan konflik.

Di luar dugaan, segenap identitas kultural dan profil geografis yang dimiliki Madura itu menyimpan potensi yang besar untuk menjadi pulau lumbung gula. Karakter masyarakat Madura yang cenderung pekerja keras dan ulet adalah potensi sumber daya manusia yang penting bila diproyeksikan pada upaya mewujudkan industri gula terpadu di Madura. Dari sisi geografis, kondisi tanah di Madura pun menyimpan potensi besar untuk menjadi pendulang gula. Agroklimat, sinar matahari, kecepatan angin, kelembaban udara, dan kesesuaian lahan dinilai sangat mendukung terwujudnya industri gula terpadu di Madura. Saat kemarau, panas matahari terik menyengat tanah Madura. Ini baik untuk tanaman tebu.

Potensi yang disimpan Madura untuk mewujudkan industri gula terpadu tentunya bukan omong kosong yang ngawur. Setidaknya menilik kajian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Perkebunan Gula Indonesia (P3GI), kita bisa menemukan fakta yang menarik. Menurut kajian yang telah dilakukan P3GI, ada sekitar 100.000 hektar lahan yang sesuai untuk tanaman tebu di Madura. Lebih detailnya, sekitar 80.000 hektar di Bangkalan dan Sampang, sedang sisanya di daerah Sumenep dan Pamekasan. Namun Sumenep dan Pamekasan sudah memiliki komoditas lain yang dirasa lebih menguntungkan oleh penduduk setempat, yakni tembakau. Alhasil, budidaya tanaman tebu tidak begitu menarik minat masyarakat Sumenep dan Pamekasan.

PTPN X sendiri sejak  3 tahun terakhir memberi fokus pengembangan lahan seluas 1300 hektar di kawasan Bangkalan dan Sampang, yakni 975 hektar di Bangkalan dan sekitar 34o hektar di Sampang. Di tahun 2014, pengembangan lahan tebu di Madura ditarget menyentuh titik 3500-4000 hektar. Pada angka itu, kondisi ideal untuk pembangunan pabrik gula dengan kapasitas 5000-6000 ton per hari/tons of cane per day (TCD).

Namun perjalanan tak selamanya mulus. Selalu ada tantangan yang harus dijawab, selalu ada masalah yang menanti dipecahkan. Upaya menggagas industri gula terpadu di Madura oleh PTPN X juga mengamini hal yang sama. Menyinggung hal ini, PTPN X dihadapkan pada beberapa persoalan pokok yang menjadi perintang.

Masalah pertama yang dihadapi adalah resistensi dari masyarakat lokal di Madura. Pangkal perkara ini adalah tentang ketidakseimbangan persepsi dalam menerima informasi. Peluang budidaya tebu masih relatif dianggap  hal yang baru oleh sebagian besar petani pada umumnya. Sehingga strategi sosialisasi dan transfer informasi harus menjadi perkara yang benar-benar mendapatkan perhatian serius.

Resistensi ini juga terkait dengan kebiasaan petani  Madura yang selama ini akrab dengan tanaman pangan atau tanaman semusim yang umurnya relatif pendek karena hasilnya bisa segera dijual. Ini tentu berbeda dengan tebu, yang memerlukan waktu minimal setahun sejak tanam hingga hasilnya bisa dinikmati.

Ketersediaan sumber daya manusia yang paham tentang budidaya tebu juga masih dirasa kurang. Tenaga penggarap saat tanam dan saat panen tebu di Madura dirasa sangat kurang. Hal itu masih ditambah lagi dengan tingkat pemahaman tenaga penggarap tentang budidaya tebu yang masih harus dilatih.

Ditinjau dari sudut pandang keunikan karakter masyarakat Madura, persoalan juga muncul karena masyarakat Madura memiliki rasa memilki yang sangat tinggi, termasuk dalam pengelolaan lahan. Kerap dijumpai kesulitan pembongkaran pembatas di antara lahan-lahan yang berbeda kepemilikan, kendati sekadar untuk urusan saluran pengairan.

Permasalahan yang selama ini menjadi perihal jamak dalam industri gula nasional  juga tak bisa disingkirkan dalam mempersiapkan industri gula terpadu di Madura. Persoalan jamak  unit industri gula ini semisal rendemen yang bervariasi—dan nilainya relatif kurang begitu tinggi. Sebagai penyemangat, kita bisa melihat fakta beberapa negara yang target swasembada gula nasionalnya tercapai mampu meraih rendemen di atas 10%. Tentu capaian tersebut adalah tantangan untuk pabrik gula PTPN X yang kisaran nilai rendemennya masih di bawah 10%. Ini adalah sebuah pengingat yang konstruktif, tanpa mengesampingkan pencapaian unit usaha gula PTPN X yang dalam beberapa tahun terakhr sangat cemerlang dan berkontribusi besar terhadap produksi gula nasional.

Masalah lain yang harus dipecahkan adalah hubungan yang kurang begitu baik antara petani tebu dengan pabrik gula.  Posisi tawar petani dalam melakukan negoisasi dengan pabrik gula dan pelaku pasar lainnya cenderung rendah. Simbiosis yang terjalin kerap timpang, sehingga minat petani untuk menanam tebu juga  rendah.

Dari Mekanis Sampai Humanis 

Agar kisah tentang kejayaan industri gula di Madura benar-benar bisa tertutur ke generasi selanjutnya kelak, maka upaya yang pertama kali harus ditempuh adalah memilih langkah-langkah yang  dipertimbangkan dengan hati-hati agar mimpi manis ini bisa terwujud.

Pada langkah pengelolaan di lahan (on-farm), langkah yang bisa dipilih adalah pengolahan tebu  yang bermuara pada peningkatan rendemen  melalui kombinasi rekayasa genetis dan lingkungan. Untuk mencapai rendemen yang tinggi, upaya yang dilakukan bukanlah dengan menitikberatkan pengelolaan pada sisi pabrik. Sebaliknya, rendemen sangat bergantung pada kualitas pengolahan lahan yang baik.

Rendemen yang cenderung rendah dipengaruhi oleh menurunnya zat hara di dalam tanah tempat tebu ditanam. Waktu panen yang kurang tepat juga berandil pada kadar gula dalam tebu. Logikanya, tebu memiliki periode waktu di mana kadar gula yang terkandung di dalamnya sangat tinggi. Jika waktu panen terlewat, maka kadar gula yang terkandung di dalamnya pun akan turun.

Rekayasa lingkungan yang dimaksud adalah dengan mengupayakan mapping lahan. Upaya ini mencontoh apa yang sudah dilakukan oleh Pabrik Gula (PG) Ngadirejo. Dengan membuat mapping atau pemetaan kebun petak per petak, banyak data terkait kondisi nyata tebu di lahan. Mulai masa tanam yang tepat hingga tingkat kemasakan tebu.

Pada sisi rekayasa genetis, langkah yang bisa dipilih adalah dengan pemilihan varietas  tebu yang sesuai serta mampu beradaptasi dengan dengan kondisi tanah, air, dan iklim di Madura. Karakter iklim dan tanah Madura yang tandus serta cenderung sulit dalam masalah drainase atau pengairan tentu tidak adaptif pada semua varietas tebu. Sehingga perlu dipilih varietas tebu yang benar-benar cocok. Langkah ini kemudian diikuti dengan optimalisasi waktu tanam, pemilihan pupuk berimbang, pengendalian organisme pengganggu, serta perbaikan sistem tebang. Penataan varietas juga perlu dilakukan secara tepat, yakni 40% masak di awal, 40% masak di tengah, dan 20% masak di akhir. Sisi on farm juga bisa dioptimalkan lewat  mekanisasi melalui  pembibitan dengan satu mata tunas atau budchip diikuti mekanisme tebang dengan menggunakan harvester.

Masalah drainase atau pengairan yang sulit bagi lahan tebu di Madura bisa diatasi dengan penggunaan teknologi drip irigasi yang mengalirkan air dan nutrisi yang dibutuhkan dari dalam tanah. Teknologi ini pertama kali diperkenalkan di Israel dan kemudian menyebar ke seluruh pelosok dunia. Pada hakekatnya, teknologi ini sangat cocok diterapkan pada kondisi lahan kering berpasir, lahan dengan air yang sangat terbatas, iklim yang kering, dan komoditas yang diusahakan mempunyai nilai ekonomi yang tinggi (Bucks e.t al, 1982).  Lahan untuk penanaman tebu di Madura sangat sesuai dengan hal itu semua. 

Di sisi pengelolaan di pabrik (off farm), trias EDO (Efisiensi-Diversifikasi-Optimalisasi) masih merupakan senjata yang dirasa ampuh untuk manajemen pabrik gula di Madura kelak. Trias ini terbukti jitu, sebagaimana yang telah dicontohkan oleh pabrik-pabrik gula PTPN X lainnya selama ini. Pabrik gula di Madura bisa mengadopsi sekaligus mengembangkan strategi EDO yang selama ini sudah berlangsung.

Pada sisi optimalisasi, pabrik gula di Madura bisa memilih jalan dengan menggenjot produksi dengan menjaga pasokan bahan baku, in house keeping yang konsisten, serta budaya bekerja bersih dengan memerhatikan risiko limbah minimal. Di sisi efisiensi, pilihan bisa ditujukan dengan menghemat konsumsi bahan bakar.

Sisi diversifikasi adalah poin penting untuk mewujudkan industri gula terpadu. Industri berbasis tebu (sugarcane based industry) dengan ragam varian produk olahan diharapkan bisa terwujud. Maka inovasi produk olahan non gula bisa menjadi fokus tersendiri kelak.  Selain pada bioethanol dan co-generation sebagaimana yang sudah dilakukan pabrik lain milik PTPN X, masih terdapat banyak produk diversifikasi berbasis tebu semisal asam amino, vitamin, biodegradable plastic, biobleching, biopulping, hingga batu bata dan pakan ternak.  

Dengan strategi on farm dan off farm yang dijalankan secara konsisten,  kegagalan pabrik gula di Madura kelak rasanya jauh dari kenyataan.

Namun ada satu hal yang perlu dijadikan landasan ingatan. Bahwa pabrik gula yang diharapkan menjadi salah satu andalan PTPN X itu berdiri di tanah yang dihuni komposisi masyarakat yang unik. Kondisi sosiokultural Madura mau tidak mau mengharuskan PTPN X menggagas upaya di luar sekadar pendekatan 0n farm dan off farm. Pendekatan mekanis selayaknya juga memerhatikan pendekatan yang humanis untuk menjalin simbiosis mutualisme dengan masyarakat lokal, utamanya petani tebu.

Ini bisa dimulai dengan peningkatan daya tawar petani tebu dengan membuat sistem yang disepakati bersama tentang penertiban pembayaran kepada petani yang memasok tebu ke pabrik gula. Hal ini penting untuk mendongkrak kepercayaan  petani. Dengan meningkatnya kepercayaan petani, pasokan juga meningkat. Lebih jauh, pemerintah juga dapat berperan dengan menjaga kestabilan bahan baku pabrik gula, sehingga petani bisa lebih memacu semangat dalam mengolah lahannya.

Terhadap kondisi sekitar pabrik, PTPN X bisa bekerjasama dengan pemerintah setempat untuk menggagas kawasan “Kampung Gula”. Kawasan ini nantinya bisa menjadi sentra hasil produksi berbasis tebu dengan mengandalkan masyarakat setempat sebagai penggeraknya. Selain menjual hasil produksi, masyarakat bisa memanfaatkan limbah tebu pasca panen untuk membuat kerajinan yang dikembangkan secara home industry.  Sentra ini bisa diintegrasikan dengan pewujudan wisata pabrik gula di Madura.

Tak hanya itu, di kawasan “Kampung Gula” ini, diharapkan juga berdiri sekolah atau balai pendidikan lainnya yang selain memberikan pendidikan konvensional seperti sekolah pada umumnya, juga memberikan pendidikan tentang bisnis gula dari hulu hingga hilir. Tujuannya jelas, penyamaan pengetahuan tentang industri gula terpadu dengan masyarakat sekitar.
Kerjasama dengan pemerintah juga bisa berlanjut dengan mewujudkan “Koperasi Gula” untuk petani tebu atau masyarakat sekitar. Badan ini melayani penyediaan kredit usaha dengan bunga yang relatif rendah dibanding suku bunga pasar.  

Jurus Tandur

Maka menaruh harapan pada industrialisasi gula di Madura kelak bukanlah sebuah laku yang sia-sia. Madura, dengan segala potensinya, adalah tanah penuh harapan terwujudnya industri gula terpadu yang kelak akan berandil besar terhadap produksi gula nasional.

Proyeksi boleh dipancang, langkah strategis sudah disusun, namun sejatinya ada satu jurus pamungkas layak terus dirapal agar impian manis ini terwujud. Jurus itu adalah “Jurus Tandur”, yang merupakan akronim dari kalimat penggugah semangat yakni “Maju Terus Tanpa Mundur”.

Dengan segala sumber daya yang dimiliki, PTPN X selayaknya tidak merapal jurus lain yang menghentikan langkah. Namun sebaliknya, terus bergerak maju, pantang berhenti apalagi mundur. Sehingga mimpi menumbuhkan industri gula yang terpadu di Madura ini bisa terwujud nyata dan dicecap manisnya. Sebagian kalangan boleh saja mencibir, bahwa PTPN X melakukan pertaruhan. Tapi balasan terbaik untuk cibiran adalah kerja keras dan cerdas untuk mewujudkan hasil nyata. Lagipula, dalam hal ini saya lebih mengamini ucapan Friedrich Schiller, seorang penyair Jerman yang berkata: “Hidup yang tak dipertaruhkan, tak akan pernah dimenangkan”.

===========================================================================
*Esai ini ditulis untuk diikutkan pada Lomba Karya Tulis PTPN X 2014. Tema yang dipilih adalah “Industrialisasi Gula di Madura”.