Minggu, 16 November 2014

Untuk Sarah



Sarah tercinta,

Aku menulis surat ini ketika langit sedang mendung. Cuaca yang murung. Aku tidak menulis di saat senja berwarna keemasan—yang merupakan momen favoritmu. Langit sedang berwarna abu-abu, seperti corak ingatanku yang terlewat panjang tentang dirimu. Apakah yang sedang kamu lakukan sekarang, Sarah? Tertidur di dalam mobil sebagaimana kebiasaanmu yang aneh itu? Atau kamu sedang menghabiskan sore dengan berlari? Atau hanya sekadar membangun lamunan dengan lamat-lamat, sambil sesekali membuka catatan kecil yang berisi coretan-coretan tentang kita? Apapun itu Sarah, aku menulis surat ini dengan perlahan-lahan. Seakan bukan tangan yang menggores tinta ke atas kertas, tetapi aksara yang mencoba berbaris rapi dengan sendirinya, saling menyambung untuk menggurat makna, mewakili hati yang rindu akan dirimu yang sekarang entah ada di mana.

Aku bisa saja menelepon kamu, Sarah, dan kita akan bercakap-cakap begitu lama, seperti waktu yang biasa kita curi penggalannya. Tapi kali ini, biarkanlah aku menulis surat ini untukmu. Mencoba menjadi sesuatu yang meskipun hal yang kecil, namun  akan mengabadi. Menjadi terlupakan adalah kutukan paling mengerikan, Sarah. Maka biarkanlah aku sekali lagi menjadi naif. Melakukan hal-hal yang tidak penting agar yang lebih penting (rasa cintaku kepadamu) tetap terjaga dan terus hidup.

Begitulah memang cinta kita, Sarah. Hati yang saling bertaut di lorong-lorong yang lengang dan dingin. Kita tidak bisa menggenggam waktu lalu memutarnya ke belakang sebagaimana harap kita. Seperti doa-doa di pangkal subuh, kita tidak bisa selalu saling bertemu, tapi toh kita  bisa merasakan frekuensi yang sama, dan dengan itu kita bangun dunia kita sendiri—dunia yang kelak akan kita robohkan sendiri karena akan kita ganti menjadi lebih baik lagi.

Aku terus mengingat cara kita merayakan saat penting setiap hari: subuh dan senja—aku berharap kau pun demikian. Saat-saat yang menegaskan bahwa hari akan berlalu dan akan memulai ritusnya lagi. Kita yang berpegangan padanya, hanya bisa merayakannya dengan cara kita sendiri yang mungkin tidak akan sama dengan yang orang-orang lakukan. Semacam suluk dua orang yang kasmaran, entah sampai kapan. Semisal memar di dada, cinta harus dibahasakan dengan caranya sendiri, mewakili hangat dan sakitnya sendiri. Dengan hal-hal semacam itulah  barangkali kita akan terus menjadi sadar: perjalanan yang kita jalani, bukanlah perjalanan biasa, sayang. Di subuh dan senja itu, kau lantas memelukku erat dan kudengar hatimu menggumam bahwa waktu terlalu singkat. Tapi ketahuilah, Sarah, waktu tidak akan pernah cukup untuk sebuah keinginan-keinginan yang begitu sulit tercapai, untuk cita-cita yang terus menjadi rahasia, untuk kenangan-kenangan yang kita rajut,dan untuk cinta itu sendiri. Yang fana adalah waktu, kita abadi, begitu konon kata Sapardi.

Kehidupanku di sini berpindah dari ratapan demi ratapan, teror demi teror, dan harapan demi harapan. Telah menjadi hal yang terlampau jamak ketika tubuh koyak dan mereka yang mencintai hanya bisa memejam sambil berdoa. Betapa mengerikannya rasa kehilangan. Situasi semacam itu tak  pelak mengasahku menjadi pribadi yang sangat peka. Mungkin juga karena aku sudah merasakan perih yang mirip: aku nyaris kehilanganmu setiap saat.

Sarah tercinta,

Di luar hujan sudah mulai turun. Kenangan tentangmu terus menggenang. Langit tak lagi berwarna perak bersemu kegelapan, namun sudah menjadi benar-benar hitam. Hujan yang turun mengusik kesepian yang sedari tadi bergerombol mengerumuni aku yang terus merindu kepadamu. Hari sudah kembali berganti. Waktu sudah kembali terlipat untuk semakin dekat kepada batas hidup kita masing-masing. Sejauh ini, ketahuilah Sarah, aku belum menyesal.

Tidak ada yang patut disesali dari upaya mencintai yang tandas hingga ke sumsum tulang, melaju di setiap laju darah yang tiap detik disemprotkan ke dalam otak. Dalam kehidupan penuh teror, dalam kenyataan yang tak sesuai dengan harapan, satu-satunya pilihan bagiku barangkali adalah mencintai dengan sungguh-sungguh. Aku bukan kejam terhadap diri sendiri, membiarkan perasaan ibarat ikan yang menggelepar karena menghirup udara yang pekat. Tapi toh, kita harus hidup dengan kenyataan kendati kenyataan enggan hidup bersama kita. Kenyataan mungkin akan meninggalkan kita dengan kenyataan lain. Kesepian yang mungkin menjadi satu-satunya karib. Tak ada lagi yang bisa mengusik, hingga bisa saja aku akan mati di dalam sebuah kamar, ketika aku sedang menulis surat-surat lain yang tak pernah kukirimkan kepadamu.

Aku yang mulai menua, merasa hari-hari semacam itu kian dekat. Jadi ijinkanlah aku dalam waktu yang kian terbatas mencoba menyapamu dan sedikit menghabiskan waktu. Bisa dimulai dengan tebak-tebakan yang seperti kutulis di awal surat ini. Apa yang sedang kamu lakukan sekarang, Sarah? Tertidur di dalam mobil sebagaimana kebiasaanmu yang aneh itu? Hanya sekadar membangun lamunan dengan lamat-lamat, sambil sesekali membuka catatan kecil yang berisi coretan-coretan tentang kita? Atau sekadar berbicara dengan dinding kamar?

Inilah suratku, Sarah yang tercinta.

Perjalanan yang terasa begitu jauh ini sesungguhnya tidak membawa kita ke mana-mana. Sebab kita selalu berada di sini. Pada cangkir-cangkir teh yang kucecap hangatnya di kala hujan deras tiba. Pada ingatan tentang ritus yang kita helat setiap subuh membuka hari dan senja yang menutupnya. Pada memar-memar di dada. Pada mimpi indah kita yang hendak  kita robohkan karena akan kita wujudkan menjadi nyata. Pada cinta yang aku tuliskan lewat huruf-huruf yang berbaris—mengabadikan kita.

Peshawar, Afghanistan, 2013-2014
*Tulisan ini terinspirasi dari buku Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Jazz, Parfum, dan Insiden” pada bab “Epilog: Surat”.