Di sebuah malam, Imam Ali didatangi oleh sepuluh orang Khawarij yang hendak bertanya sesuatu kepadanya. Sepuluh orang ini datang karena memang iri dengan reputasi Imam Ali yang saat itu menjabat sebagai khalifah keempat, selain karena memang rasa penasaran mereka soal Imam Ali yang dikenal tinggi ilmunya.
Imam Ali menerima kedatangan tamunya dengan baik, mempersilakan mereka bertanya, satu persatu. Tidak disangka, pertanyaan mereka ternyata sama. Orang ke satu sampai orang ke sepuluh bertanya, "Wahai Imam Ali, manakah yang lebih berharga, ilmu atau harta? Apakah yang menjadi sebab-sebabnya?"
Ali kemudian menjawab pertanyaan itu dengan sabar. Semuanya. Satu persatu.
"Ilmu pengetahuan itu adalah warisan orang yang disayang Tuhan (nabi), sedangkan harta kekayaaan adalah warisan orang-orang tamak seperti Qarun, Syadad, dan lain-lain. Oleh karena itu, ilmu pengetahuan lebih mulia daripada harta benda.Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmulah yang menjaga dan memelihara pemiliknya, sedangkan harta yang empunyalah yang memelihara dan menjaganya.Ilmu lebih mulia daripada harta, karena orang yang berilmu banyak sahabatnya, sedangkan orang yang banyak hartanya lebih banyak musuhnya.Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu bila disebarkan atau diajarkan akan bertambah sedangkan harta kalau diberikan kepada orang lain akan berkurang.Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu tidak dapat dicuri, sedangkan harta benda mudah dicuri dan dapat lenyap.Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu tidak bisa binasa, sedangkan harta kekayaan dapat lenyap dan habis karena masa dan usia.Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu tidak ada batasnya, sedangkan harta benda ada batasnya dan dapat dihitung jumlahnya.Ilmu lebih mulia daripada harta, karena ilmu memberi dan memancarkan sinar kebaikan, menjernihkan pikiran dan hati serta menenangkan jiwa, sedangkan harta kekayaan pada umumnya dapat menggelapkan jiwa dan hati pemiliknya.Ilmu lebih mulia daripada harta, karena orang yang berilmu mencintai kebajikan dan sebutannya mulia seperti si 'Alim, dan sebutan mulia lainnya. Sedangkan, orang yang berharta bisa melarat dan lebih cenderung kepada sifat-sifat kikir dan bakhil.Ilmu lebih mulia dan lebih utama daripada harta kekayaan, karena orang yang berilmu lebih mendorong untuk mencintai Allah. Sedangkan harta benda dapat membangkitkan rasa sombong, congkak dan takabur."
Imam Ali menjawab sepuluh pertanyaan yang sama dengan sepuluh jawaban yang berbeda. Sambil berdecak kagum karena jawaban Imam Ali, kesepuluh orang tadi pulang, kembali ke kaumnya.
***
Saya tak paham benar, apakah orang-orang keren yang menggagas berdirinya Akademi Berbagi pernah membaca dan mendengar kisah di atas atau tidak. Tak jadi soal. Namun yang jelas, mereka juga paham bahwa ilmu adalah perihal yang istimewa. Ilmu tidak akan habis, ilmu tidak dapat dicuri, atau ilmu akan menjaga pemiliknya. Karena itu semua, ilmu harus dibagikan.
Kebaikan ibarat magnet, memang. Ia akan menarik kebaikan yang lain. Gerakan berbagi ilmu yang diakomodasi dengan baik dan gratis akan mendatangkan banyak orang yang mau menjadi relawan untuk itu. Dan bisa dilihat, Akademi Berbagi terus berkembang dan berbiak, dari kota ke kota, mencoba menularkan semangat berbagi ilmu kepada siapapun yang memang membutuhkan.
Saya salut dengan orang-orang macam beliau-beliau. Di tengah pesimisme adalah hal yang sangat dimaklumi, nyinyir menjadi kebiasaan, dan mengeluh menjadi laku biasa, hadir orang-orang macam mereka. Kita boleh mengumpat soal dunia pendidikan yang bobrok. Sekolah sebagai institusi pendidikan yang punya esensi membagi ilmu, tumbuh gagah menjadi organ yang diprivatisasi, sistemnya kacau, biayanya kian tak tak terjangkau, atau apalah itu. Tapi apa semua selesai dengan mengumpat dan mengeluh?
Maka kami memutuskan bergabung. Mencoba ikut dalam gerakan berbagi ini. Berharap kami yang tidak mengerti banyak hal ini bisa menyalakan api-api kecil baru, walaupun kadang kami turut mengutuki kegelapan sebagaimana yang lain.
Bermula dengan perkenalan di Twitter, seorang kawan bernama Oyong mengajak saya untuk menggagas gerakan berbagi di kota Jember dengan Akademi Berbagi sebagai induknya. Saya langsung sepakat. Ternyata Oyong juga mengajak Dhani, teman saya yang gila buku sejak dalam kandungan. Kami bertiga lalu bertemu di sebuah kafe kecil, ngobrol ringan soal berdirinya Akademi Berbagi (Akber) Jember.
Kebaikan ibarat magnet, memang. Ia akan menarik kebaikan yang lain. Gerakan berbagi ilmu yang diakomodasi dengan baik dan gratis akan mendatangkan banyak orang yang mau menjadi relawan untuk itu. Dan bisa dilihat, Akademi Berbagi terus berkembang dan berbiak, dari kota ke kota, mencoba menularkan semangat berbagi ilmu kepada siapapun yang memang membutuhkan.
Saya salut dengan orang-orang macam beliau-beliau. Di tengah pesimisme adalah hal yang sangat dimaklumi, nyinyir menjadi kebiasaan, dan mengeluh menjadi laku biasa, hadir orang-orang macam mereka. Kita boleh mengumpat soal dunia pendidikan yang bobrok. Sekolah sebagai institusi pendidikan yang punya esensi membagi ilmu, tumbuh gagah menjadi organ yang diprivatisasi, sistemnya kacau, biayanya kian tak tak terjangkau, atau apalah itu. Tapi apa semua selesai dengan mengumpat dan mengeluh?
Maka kami memutuskan bergabung. Mencoba ikut dalam gerakan berbagi ini. Berharap kami yang tidak mengerti banyak hal ini bisa menyalakan api-api kecil baru, walaupun kadang kami turut mengutuki kegelapan sebagaimana yang lain.
Bermula dengan perkenalan di Twitter, seorang kawan bernama Oyong mengajak saya untuk menggagas gerakan berbagi di kota Jember dengan Akademi Berbagi sebagai induknya. Saya langsung sepakat. Ternyata Oyong juga mengajak Dhani, teman saya yang gila buku sejak dalam kandungan. Kami bertiga lalu bertemu di sebuah kafe kecil, ngobrol ringan soal berdirinya Akademi Berbagi (Akber) Jember.
Api kecil bertambah satu lagi saat saya dikenalkan pada Rahmad, pemilik Kedai Kopi Cak Wang. Rahmad mau menjadi relawan Akber Jember. Kedai Kopi Cak Wang akhirnya juga jadi tempat untuk kami bertemu dan membicarakan banyak hal terkait gerakan berbagi ini. Ditambah lagi dukungan dari Erik, seorang desainer yang kerap beroperasi secara klandeisten, contest-hunter, yang berkenan terlibat secara langsung maupun tidak di gerakan ini. Akhirnya kami sepakat, kelas pertama Akber Jember harus segera dimulai.
Ini Oyong. Entah dengan mobil siapa. |
Ini Rahmad, pemilik Kedai Kopi Cak Wang. Entah sedang mikir apa. |
ini Erik, si desainer logo yang kerap beroperasi klandeistein |
Ini Arman Dhani, bukan Sai Baba. |
Saya bertemu banyak kawan baru di gerakan ini. Kawan-kawan yang bagi saya sangat mengilhami. Kawan-kawan yang mau berbuat sesuatu tanpa harus basa-basi dan publikasi. Kawan-kawan yang tak hanya mengutuki kegelapan, tapi juga mencoba menyalakan api. Sekecil apapun api itu.
Jika memang ilmu adalah cahaya, maka ia ia harus dinyalakan. Upaya berbagi adalah upaya menyalakannya. Ya, kami hanyalah percikan api, barangkali. Hanya mencoba mencontoh mereka yang sudah terlebih dulu menyalakan api lebih besar. Kami tidak yakin kami bisa menerangi, tapi kami yakin ada api-api lebih besar yang datang, dan berbagi nyala dengan kami. Mencoba berbagi terang, kepada siapapun. Kepada yang kerap mengumpat dan menyerapahi gelap kepada sekitar sekalipun.
Jika memang ilmu adalah cahaya, maka ia ia harus dinyalakan. Upaya berbagi adalah upaya menyalakannya. Ya, kami hanyalah percikan api, barangkali. Hanya mencoba mencontoh mereka yang sudah terlebih dulu menyalakan api lebih besar. Kami tidak yakin kami bisa menerangi, tapi kami yakin ada api-api lebih besar yang datang, dan berbagi nyala dengan kami. Mencoba berbagi terang, kepada siapapun. Kepada yang kerap mengumpat dan menyerapahi gelap kepada sekitar sekalipun.