Rabu, 28 Desember 2011

A Game of Shadows: Sebuah Review

Sir Arthur Conan Doyle barangkali ngakak sekaligus terharu di alam kubur ketika ia melihat tokoh rekaannya, Sherlock Holmes, tampil begitu atraktif dengan pendekatan ala Guy Ritchie. Apalagi di film kedua, Sherlock Holmes: A Game of Shadows, yang muncul sebagai film penutup akhir tahun 2011.

Memang, Guy Ritchie berhasil menciptakan sosok Holmes yang benar-benar unik. Impresi yang barangkali terkesan ganjil bagi para Sherlockian (sebutan bagi penggemar Sherlock Holmes), sebab penggambaran ala Guy Ritchie memang berbeda dengan visualisasi yang dimunculkan oleh Conan Doyle di semua novelnya.

Sebagaimana di film pertama, Sherlock Holmes diperankan oleh Robert Downey Jr, yang berhasil menjadi  Holmes yang sama sekali berbeda dengan Holmes yang selama ini menjadi ikon bagi cerita-cerita detektif. Bukan Holmes yang berpipi tirus, berahang tegas, berambut klimis ala pria british, tidak bisa berpisah dengan pipa cangklong, jangkung dan cenderung priyayi. Holmes ala Ritchie adalah Holmes yang berambut acak-acakan yang bisa dibilang gondrong, urakan, kurang tidur, dan cenderung kumuh.

Tapi saya yakin, tidak akan ada sumpah serapah di dalam pusara Conan Doyle, sebab ciri khas Holmes tetap melekat kuat di sosok Holmes ala Ritchie. Holmes masih eksentrik, punya metode deduksi yang sulit ditebak (dan selalu benar), teliti, dan gila riset.

Dan bagaimana dengan Watson? Oh, Jude Law seperti tidak ada masalah dalam memerankan sosok sidekick ini. Ia berhasil menjadi sosok yang seolah-olah menjadi soulmate bagi Holmes.

Lalu apa yang menjadi poin utama cerita film ini?Film yang diadaptasi dari  novel The Final Problems (1893) ini adalah pertarungan strategi, metode dan karakter antara Holmes dengan musuh bebuyutannya, Profesor James Moriarty (Jared Harris). Moriarty adalah seorang guru besar, penulis, sekaligus psikopat yang jenius. Holmes menjulukinya "The Napoleon of Crime".
Moriarty merancang berbagai macam kejadian yang ia harapkan akan bermuara pada perpecahan antar negara di Eropa, lalu ia yang menguasai sumber daya yang ada.

Cerita diawali saat Holmes menangani kasus peledakan bom di Strassbourg. Dari kejadian itu ia menelusuri jejak dan motif Moriarty. Penelusuran itu mengantarkannya pada pertemuan dengan wanita bohemian peramal kartu tarot, Madam Shimza (Naomi Rapace) yang menjadi titik kunci upaya Holmes. Madam Shimza sendiri mau berkolaborasi dengan Holmes untuk menemukan adiknya, Rene, yang dijadikan boneka oleh Moriarty.

Setting cerita Holmes ini berpindah-pindah. Mulai dari London dan Baker Street 221 B yang legendaris itu, sampai ke Paris, Swiss, dan Jerman. Tak lain untuk berkejar-kejaran dengan Moriarty dan menggagalkan perpecahan negara-negara Eropa.

Di film ini, Holmes juga meminta bantuan kakaknya yang berusia tujuh tahun lebih tua, Mycroft Holmes (Stephen Fry), yang tak kalah nyentriknya dengan Holmes. Mycroft sendiri adalah diplomat sekaligus mata-mata yang bekerja untuk kerajaan Inggris. Sedang John Watson, sidekick dari sosok Holmes, diceritakan menikah dengan Mary Morstan (Kelly Reilly). Namun tak ada bulan madu bagi mereka. Bahkan upaya percobaan pembunuhan oleh anak buah Moriarty sedari awal  sudah menjadi kado pernikahan untuk mereka.

Sisi manusiawi Holmes  mencoba digurat oleh Ritchie. Holmes, yang di novel diceritakan sebagai sosok yang dingin, "tidak berperasaan", dan rasional an sich, toh tetap galau manakala sahabatnya, Watson, memutuskan menikah. "...saya akan mati sendirian," gerutu Holmes.
Atau saat satu-satunya wanita yang pernah singgah di hatinya, Irene Adler (Rachel Mc Adams), meninggal dunia. Holmes tampak begitu sedih saat mencium sapu tangan Adler, lalu membuangnya ke tengah lautan. Di sisi lain, Holmes tampil sebagai komedian yang cerdas dan satir. Humor-humor yang keluar dari mulutnya dan gerak tingkahnya membuatnya lebih "menyentuh bumi" daripada sekedar sosok detektif legendaris tanpa tanding.

Secara umum, film ini bagus. Menghibur tentunya. Ritchie piawai menata alur dan jeli di detail di 128 menit durasi film ini. Efek visualnya juga sangat memanjakan mata. Ritchie juga mahir menyimpan kejutan, yang ia munculkan di momen-momen  yang tepat.

Yang menjadi kekurangan, konflik misteri kurang diperdalam. Sedari awal, penonton diajak untuk mengikuti kejar-kejaran antara Sherlock Holmes dan James Moriarty. Berbeda dengan prekuelnya, saat Holmes menguak misteri jaringan ilmu hitam pimpinan Blackwood, yang penuh dengan intrik.

Satu lagi, kurangnya penggalian karakter James Moriarty. Sebagai sosok antagonis yang paling merepotkan karakter Holmes sepanjang kariernya sebagai detektif, sosok Moriarty mendapat porsi yang terlalu sedikit. Sayang sekali. Jika di prekuel film ini karakter Moriarty terkesan disimpan, maka harusnya di film ini karakter Moriarty digali dalam-dalam. Ini adalah film tentang pertarungan Holmes dan Moriarty, bukan?

Sebagai film yang merupakan adaptasi dari novel legendaris (yang biasanya jauh dari harapan), film ini cukup memuaskan. Kalaupun ada yang masih menggerutu soal hal-hal yang tidak didapati di novel atau bahkan sebaliknya, saya kira itu hanya upaya Ritchie melakukan pendekatan dengan caranya sendiri.
Toh, poinnya bukan itu. Tapi menjaga "keabadian" karakter Holmes sebagai legenda-bahkan mitos-cerita detektif. Dan itu berhasil dilakukan film ini.

Skor 3,5 dari 5.

Rabu, 14 Desember 2011

Alternatif

Gambar diambil dari sini
Kasus I
Seorang anak perempuan, usianya sekitar 9 tahun, datang ke UGD dengan diantar oleh bapaknya. Tangannya terbebat balutan. Sepanjang siku sampai pergelangan. Dari balutannya, itu bukan balutan biasa. Maksud saya, balutan itu terlihat dilakukan oleh orang awam.

Dan benar, anak itu ternyata sebelumnya memeriksakan diri ke dukun patah tulang. Orang di tempat saya  menyebutnya sangkal putung. Ceritanya, anak itu terjatuh sekitar 7-10 hari sebelum dia datang ke UGD siang itu. Tulang radius-ulnanya patah. Close fracture radius ulna 1/3 tengah. Orang tua si anak berinisiatif membawa anaknya ke sangkal putung. Merasakan ketidaknyamanan, si anak mengeluh pada orang tuanya. Si Bapak lalu berpindah haluan dengan membawa anaknya ke rumah sakit.

Begitu bebat dibuka, ada yang membuat terperanjat. Lengan anak itu menghitam. Jaringan nekrose, jaringan mati. Areanya cukup luas, sepanjang siku sampai pergelangan. Itu compartment syndrome. Solusinya, operasi vasotomy. Itu bukan tanpa pertaruhan. Resiko paling mengerikan adalah tangan sang anak bisa diamputasi, bila jaringan tak juga membaik . Resiko yang sedikit lebih ringan, tangan si anak memiliki peluang kontraktur yang praktis mengubah fungsi, maupun citra diri.

Kasus II
Seorang  lelaki setengah baya. Usia sekitar 40 tahun. Badannya kekar, berotot dan tegap. Tampak benar jika dia karib dengan aktifitas fisik yang berat. Keluhan nyeri perut hebat. Begitu dilakukan pemeriksaan fisik, perutnya kaku. Keras seperti papan. Nyeri  tekan di semua lapang perut. Dia datang ke UGD setelah dipijat oleh seorang tukang pijat beberapa hari sebelumnya. Dugaan kuat ileus obstruktif. Pemeriksaan penunjang dilakukan. Operasi ditawarkan. Ternyata benar, ususnya melilit terkena pijatan. Aliran darah ke area usus berhenti. Terbentuk jaringan mati. Usus dipotong sekitar 30 centi.


***