Seorang
anak dan wanita keluar dari pintu rumah. Berjalan pelan menghadap pasukan
Amerika, wanita tadi mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya—granat RKG buatan
Rusia. Sejurus kemudian, diserahkannya benda itu kepada anak di sampingnya.
Dari kejauhan, dalam jarak sekitar 200 yard, seorang prajurit membidik
keduanya. Nafas prajurit itu dibuat seteratur mungkin. Tangannya menggamit
pelatuk. Matanya yang memicing sebelah terus siaga. Bersiap-siap menembakkan
peluru bila kondisi memburuk.
Deskripsi
di atas adalah adegan pembuka di sebuah film anyar besutan Clint Eastwood.
Mengambil cerita tentang sosok seorang penembak runduk (sniper) bernama Chris
Kyle, film ini diberi judul American Sniper—judul yang mirip dengan sebuah
buku autobiografi ditulis oleh sosok yang
sama.
Chris
Kyle adalah sosok nyata dalam sejarah perang Amerika Serikat. Ia diklaim
sebagai sniper paling mematikan sepanjang sejarah Amerika Serikat. Julukannya
beragam: di lingkungan sesama prajurit elit, ia dipanggil “Legend” dan bagi
pejuang militan Irak ia dijuluki “Setan dari Ramadi”. Semua tak lepas dari
tingginya akurasi bidikan Chris. Tak ayal, kepala Chris Kyle dihargai dengan
imbalan yang setara dengan 800 ribu dollar oleh musuh-musuhnya.
Digarap
oleh Warner Bros, American Sniper hadir sebagai film yang menarik untuk
sebuah tontonan dengan genre perang. Tak seperti film perang pada umumnya, film
ini menonjolkan sisi berbeda tentang
perang. Bukan hanya menyoal ramainya desing peluru dan dentuman meriam,
tapi juga ihwal “perang” yang bergemuruh di batin Chris. Dia yang memegang
teguh esensi entah bernama nasionalisme, berhadapan dengan realitas
kemanusiaan. Realitas itu disaksikannya ketika seorang bapak melihat anaknya
tewas dengan kepala yang bolong ditembus bor, sedang dia tidak bisa berbuat
lebih jauh. Atau tentang seorang suami yang tewas di hadapannya istrinya yang
menjerit-jerit—maut datang lewat rentetan peluru karena informasi pemberontak
yang bocor. Kegundahan pria yang tewas di tahun 2013 lalu ini juga berkelindan
dengan keresahan istrinya di rumah yang menginginkan suaminya segera kembali ke
keluarganya. Dilema yang dihadapi oleh hampir semua prajurit manapun.
Hal-hal
yang sentimental tadi menjadi penguat dari kekuatan ceritanya yang lemah dan
nyaris klise. Sebagaimana film perang pada umumnya, film ini juga tentang
segerombolan tentara datang ke sebuah wilayah, kemudian terjadi baku tembak.
Dari gerombolan itu ada sosok yang mereka andalkan dan ternyata dari sisi musuh
juga memilih kartu as yang serupa (musuh utama Chris adalah seorang penembak runduk yang juga atlet nasional Syria dan pernah memenangkan Olimpiade untuk kategori menembak).
Bradley
Cooper yang memerankan Chris Kyle adalah nilai tambah untuk film ini. Cooper
memerankan Kyle dengan apik. Aktor yang juga tampil menawan di film American Hustle itu
menghadirkan rangkaian emosi yang rumit dari seorang prajurit andalan US Navy
SEAL. Emosi yang berupa paradoks. Kebanggaan menjadi prajurit, sekaligus
guratan perasaan bersalah karena membunuh banyak orang. Paradoks itu juga tampak bagi orang-orang terdekatnya. Hal yang
sama disiratkan dari adegan ketika Chris menjumpai adiknya di lokasi perang
(ternyata adiknya juga menjadi prajurit tanpa diketahuinya). Chris gamang ketika
adik berkata, “Kamulah pahlawanku. Tetap pahlawanku”, sekaligus menyerapahi
perang yang dijalaninya. “Ini tempat
yang keparat,” kata sang adik sambil menangis karena merasa tertekan dengan
perang yang tak berkesudahan. Sebagaimana yang dilakoninya sebagai sniper,
Chris adalah prajurit yang karib dengan kesunyian. Dalam kesunyian, Chris
menumpas orang-orang yang dianggapnya musuh negara. Dalam kesunyian pula, Chris
berusaha menang dari tekanan batinnya sendiri.
Selain
sisi emosional yang banyak ditonjolkan, unsur cerita yang klise juga termaafkan
karena adanya pemakluman bahwa sebuah film biografis semacam ini seakan
mengompres sekian banyak cerita. Sebab bagaimanapun, sepanjang manusia hidup,
ada banyak hal yang bisa diceritakan. Film biografis berusaha memampatkannya.
Apalagi yang paling menonjol dari epik hidup seorang Chris Kyle kecuali
reputasinya yang “menakutkan” sebagai seorang sniper yang paling mematikan
sepanjang sejarah sebuah negara adikuasa?
Di sisi
lain, film ini menggarap detail dengan teliti. Setting dibuat sesempurna mungkin.
Warner Bros tidak bisa diragukan untuk urusan semacam itu. Scoring musiknya pun juga
tak mengecewakan.
Perang,
bagaimanapun selalu meninggalkan puing. Puing itu juga yang tersisa dalam batin
seorang mantan prajurit bernama Eddie Routh. Nama ini yang kemudian menghabisi nyawa Chris Kyle di sebuah lapangan tembak. Ditengarai, pria yang membunuh Chris Kyle ini mengidap Post Traumatic Stress Dissorder (PTSD), sebuah gangguan jiwa karena tekanan batin. Eddie Routh mengidap PTSD sepulang dari Irak. Namun soal
kematian Chris Kyle tidak dikisahkan banyak di film ini.
Pendeknya, American Sniper berhasil menjadi tontonan menarik di awal tahun.
Kabar terakhir yang saya dengar, film ini mendapatkan 6 nominasi untuk penghargaan Oscar, termasuk Bradley Cooper sebagai aktor terbaik.
Skor
akhir: 8 dari 10.