Sabtu, 17 Januari 2015

Desing dalam Sunyi






Seorang anak dan wanita keluar dari pintu rumah. Berjalan pelan menghadap pasukan Amerika, wanita tadi mengeluarkan sesuatu dari balik jubahnya—granat RKG buatan Rusia. Sejurus kemudian, diserahkannya benda itu kepada anak di sampingnya. Dari kejauhan, dalam jarak sekitar 200 yard, seorang prajurit membidik keduanya. Nafas prajurit itu dibuat seteratur mungkin. Tangannya menggamit pelatuk. Matanya yang memicing sebelah terus siaga. Bersiap-siap menembakkan peluru bila kondisi memburuk. 

Deskripsi di atas adalah adegan pembuka di sebuah film anyar besutan Clint Eastwood. Mengambil cerita tentang sosok seorang penembak runduk (sniper) bernama Chris Kyle, film ini diberi judul American Sniper—judul yang mirip dengan sebuah buku  autobiografi ditulis oleh sosok yang sama. 

Chris Kyle adalah sosok nyata dalam sejarah perang Amerika Serikat. Ia diklaim sebagai sniper paling mematikan sepanjang sejarah Amerika Serikat. Julukannya beragam: di lingkungan sesama prajurit elit, ia dipanggil “Legend” dan bagi pejuang militan Irak ia dijuluki “Setan dari Ramadi”. Semua tak lepas dari tingginya akurasi bidikan Chris. Tak ayal, kepala Chris Kyle dihargai dengan imbalan yang setara dengan 800 ribu dollar oleh musuh-musuhnya. 

Digarap oleh Warner Bros, American Sniper hadir sebagai film yang menarik untuk sebuah tontonan dengan genre perang. Tak seperti film perang pada umumnya, film ini  menonjolkan sisi berbeda tentang perang. Bukan hanya menyoal ramainya desing peluru dan dentuman meriam, tapi juga ihwal “perang” yang bergemuruh di batin Chris. Dia yang memegang teguh esensi entah bernama nasionalisme, berhadapan dengan realitas kemanusiaan. Realitas itu disaksikannya ketika seorang bapak melihat anaknya tewas dengan kepala yang bolong ditembus bor, sedang dia tidak bisa berbuat lebih jauh. Atau tentang seorang suami yang tewas di hadapannya istrinya yang menjerit-jerit—maut datang lewat rentetan peluru karena informasi pemberontak yang bocor. Kegundahan pria yang tewas di tahun 2013 lalu ini juga berkelindan dengan keresahan istrinya di rumah yang menginginkan suaminya segera kembali ke keluarganya. Dilema yang dihadapi oleh hampir semua prajurit manapun. 

Hal-hal yang sentimental tadi menjadi penguat dari kekuatan ceritanya yang lemah dan nyaris klise. Sebagaimana film perang pada umumnya, film ini juga tentang segerombolan tentara datang ke sebuah wilayah, kemudian terjadi baku tembak. Dari gerombolan itu ada sosok yang mereka andalkan dan ternyata dari sisi musuh juga memilih kartu as yang serupa (musuh utama Chris adalah seorang penembak runduk yang juga atlet nasional Syria dan pernah memenangkan Olimpiade untuk kategori menembak). 

Bradley Cooper yang memerankan Chris Kyle adalah nilai tambah untuk film ini. Cooper memerankan Kyle dengan apik. Aktor yang juga tampil menawan di film American Hustle itu menghadirkan rangkaian emosi yang rumit dari seorang prajurit andalan US Navy SEAL. Emosi yang berupa paradoks. Kebanggaan menjadi prajurit, sekaligus guratan perasaan bersalah karena membunuh banyak orang. Paradoks itu juga  tampak bagi orang-orang terdekatnya. Hal yang sama disiratkan dari adegan ketika Chris menjumpai adiknya di lokasi perang (ternyata adiknya juga menjadi prajurit tanpa diketahuinya). Chris gamang ketika adik berkata, “Kamulah pahlawanku. Tetap pahlawanku”, sekaligus menyerapahi perang yang dijalaninya. “Ini  tempat yang keparat,” kata sang adik sambil menangis karena merasa tertekan dengan perang yang tak berkesudahan. Sebagaimana yang dilakoninya sebagai sniper, Chris adalah prajurit yang karib dengan kesunyian. Dalam kesunyian, Chris menumpas orang-orang yang dianggapnya musuh negara. Dalam kesunyian pula, Chris berusaha menang dari tekanan batinnya sendiri. 

Selain sisi emosional yang banyak ditonjolkan, unsur cerita yang klise juga termaafkan karena adanya pemakluman bahwa sebuah film biografis semacam ini seakan mengompres sekian banyak cerita. Sebab bagaimanapun, sepanjang manusia hidup, ada banyak hal yang bisa diceritakan. Film biografis berusaha memampatkannya. Apalagi yang paling menonjol dari epik hidup seorang Chris Kyle kecuali reputasinya yang “menakutkan” sebagai seorang sniper yang paling mematikan sepanjang sejarah sebuah negara adikuasa?

Di sisi lain, film ini menggarap detail dengan teliti. Setting dibuat sesempurna mungkin. Warner Bros tidak bisa diragukan untuk urusan semacam itu. Scoring musiknya pun juga tak mengecewakan. 

Perang, bagaimanapun selalu meninggalkan puing. Puing itu juga yang tersisa dalam batin seorang mantan prajurit bernama Eddie Routh. Nama ini yang kemudian menghabisi nyawa Chris Kyle di sebuah lapangan tembak. Ditengarai, pria yang membunuh Chris Kyle ini mengidap Post Traumatic Stress Dissorder (PTSD), sebuah gangguan jiwa karena tekanan batin. Eddie Routh mengidap PTSD sepulang dari Irak. Namun soal kematian Chris Kyle  tidak dikisahkan banyak di film ini. 

Pendeknya, American Sniper berhasil menjadi tontonan menarik di awal tahun. Kabar terakhir yang saya dengar, film ini mendapatkan 6 nominasi untuk penghargaan Oscar, termasuk Bradley Cooper sebagai aktor terbaik. 

Skor akhir: 8 dari 10.


Minggu, 04 Januari 2015

Hujan Bersama Bu Lani

Setiap musim penghujan tiba, saya selalu teringat akan banjir di Jenggawah. Jenggawah adalah salah satu kecamatan di Jember yang rawan banjir. Jaraknya sekitar 13 kilometer ke arah selatan dari pusat kota Jember. Ruas jalannya yang sempit dan sistem drainage yang buruk membuat kecamatan kecil ini akrab dengan banjir setiap hujan deras datang. Dan setiap teringat banjir di Jenggawah, saya teringat akan kebaikan seorang nenek.

Anggap saja namanya Bu Lani—itu bukan nama sebenarnya. Saya panggil namanya demikian karena saya tidak tahu namanya, juga karena saya pernah mendengar suaminya yang berjalan membungkuk berkata kepadanya, “Ni, di mana remote TV-nya?”

Pagi itu hujan deras sekali. Saya berangkat ke Jember dari rumah bapak saya di Ambulu. Jarak Ambulu-Jember sekitar 27 kilometer. Artinya, Jenggawah adalah separuh perjalanan dari Ambulu-Jember. Seperti kekhawatiran saya sebelumnya, Jenggawah lagi-lagi banjir di pagi itu. Jalanan tergenang air hampir setinggi lutut. Sementara hujan masih belum berhenti. Saya membawa dua buah tas ransel yang masing-masing sudah saya bungkus dengan pelindung agar tidak basah. Kebiasaan buruk saya, setiap kali pulang kampung, saya selalu tergoda untuk membawa koleksi buku-buku ke tempat tinggal di Jember. Sehingga saya harus membawa dua buah ransel. Satu saya panggul, satu lagi saya letakkan di dekat setir Si Jono, motor tua saya.

Sudah hampir sepuluh tahun Jono menemani perjalanan saya. Dan sampai sekarang saya belum ada niatan mengganti Jono dengan kendaraan lain. Katakan saya pelit, tak jadi soal. Saya terlalu sayang sama motor keluaran tahun 1997 ini.

Banjir yang hampir setinggi lutut di pagi itu coba diterjang oleh saya dan Jono. Tapi usia tak bisa ditampik. Setelah sedikit tersengal-sengal, Jono akhirnya kalah. Ia mogok. Dan saya harus menuntunnya melewati genangan air. Melirik ke kiri-kanan, ternyata saya tidak sendiri. Ada beberapa motor yang mengalami nasib serupa dengan Jono.

Saya membawa Jono menepi. Memarkirnya di pinggir jalan, lalu mencoba menghidupkannya.  Tak berhasil. Hujan semakin deras. Saya melirik jam tangan. Waktu masuk kerja hampir lewat. Saya jelas terlambat. Tapi apa  boleh bikin, perjalanan saya terhambat.

Sampai saya dikagetkan oleh sebuah suara. “Kenapa, Nak? Mogok?”

Sambil cengengesan, saya menjawab,”Iya, Bu”

Yang memanggil saya adalah seorang nenek-nenek berusia sekitar 80 tahun. Orang yang saya sebut Bu Lani tadi. Langkahnya pendek-pendek, mengantisipasi tubuhnya yang renta dengan keseimbangan yang menurun dan rawan jatuh. Suaranya pelan dan terbata-bata. Matanya sipit, kulitnya keriput bersih. Sekilas, Bu Lani mudah ditebak bahwa ia adalah keturunan etnis Tionghoa.

“Motornya dibawa ke sini, Nak. Menepi dulu,” katanya ramah. Ia tersenyum, memerlihatkan deretan  giginya yang beberapa sudah tanggal.

Bu Lani memiliki sebuah toko bahan bangunan. Sepagi itu tokonya sudah buka. Banjir di Jenggawah menutup akses menuju tokonya. Ia duduk di depan toko, menunggu pembeli datang.

“Kuliah, Nak?”

“Kerja, Bu”

“Di Jember?”

“Iya,” saya menjawab sambil masih bersikeras menghidupkan Jono menggunakan kick starter. Namun hasilnya, tetap saja nihil.

“Businya basah itu, Nak. Dibuka dulu. Bawa kunci busi?”

Saya menggeleng.

“Saya ambilkan di dalam dulu ya. Sekalian, punya lap kering? Korek?”

Saya lagi-lagi menggeleng. Kali ini saya tambahkan senyum cengengesan. Dia membalas dengan memamerkan giginya yang tak lengkap karena ompong.

Ketika dia hendak masuk mengambil kunci busi, datang seorang laki-laki yang tak kalah renta. Jalannya juga membungkuk. Memakai singlet putih dan celana pendek berwarna biru. “Ni, di mana remote TV-nya?”

“Di dekat kursi, Pa,” kata Bu Lani. 

Suaminya ternyata tidak mendengar. Menyadari itu, Bu Lani memegang telinga suaminya. Ternyata suaminya mengalami gangguan pendengaran. Bu Lani membetulkan letak alat bantu pendengaran suaminya. Romantis sekali.

Tak lama Bu Lani datang membawa kunci busi, korek api, dan sebuah lap kering. “Ini, Nak,” katanya sambil menyerahkan kunci busi pada saya.

Saya segera membongkar busi Jono. Mengeringkannya dengan lap kering. Lalu memanaskannya dengan korek api. Bu Lani kembali duduk di depan pintu harmonika tokonya.

“Setiap hujan deras, Jenggawah seringkali banjir. Kasihan yang lewat sini. Itu anak-anak sekolah motornya mogok,” Bu Lani sedikit menggerutu, lalu kembali berdiri, memanggil anak sekolah yang motornya mogok.

“Kalau lewat di jalan yang banjir, motornya dijalankan pakai gigi satu saja. Pasti lebih tahan dan sukar mati. Sampeyan juga, Nak,” Bu Lani berkata kepada anak sekolah yang motornya mogok tadi sekaligus kepada saya. Bu Lani, nenek yang baik hati itu ternyata sedikit mengerti soal cara  kerja mesin.

Tak lama kemudian, Jono hidup lagi.

“Jangan buru-buru, Nak. Dipanaskan dulu motornya. Minum teh dulu di dalam,” Bu Lani menawarkan. Ia mendekat ke anak sekolah yang motornya mogok tadi. “Sampeyan juga,” katanya menawari anak itu.

Saya menolak tawarannya dengan halus. Saya sudah terlambat masuk kerja. Menerima tawaran Bu Lani akan membuat saya semakin terlambat. Setelah mengucapkan terima kasih, saya segera meneruskan perjalanan ke Jember.

Beberapa kali saya pulang kampung dan melewati Jenggawah, saya selalu melirik toko Bu Lani. Pernah sesekali saya menjumpainya di depan toko. Duduk di kursi kecil, di teras depan pintu harmonika tokonya, menunggu pembeli.

Suatu pagi, di kala saya tergesa-gesa menuju Jember dan melewati Jenggawah, saya melirik tokonya. Dia ada di depan tokonya.Kali ini tidak duduk di kursi kecil seperti biasanya. Ia berdiri, menghadap ke timur. Tangannya memegang tiga buah dupa. Matanya terpejam, seperti khusyuk berdoa. Ternyata, itu semacam ritual yang dia lakukan di kala pagi. Memulai hari dengan mengucap syukur dan berdoa agar diberi kebaikan. Beberapa kali saya menjumpainya melakukan ritual itu.


Bu Lani,  semoga kebaikan tercurah kepadamu. Salam dari Jono.

Kamis, 01 Januari 2015

Manusia Garam


Dalam sebuah talk show di televisi, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) ditanya oleh seorang presenter: “Selama ini Anda dikenal sebagai manusia multifungsi. Anda berkiprah di berbagai wilayah kehidupan, sehingga karier Anda tampak bermacam-macam atau berganti-ganti. Bagaimana Anda sendiri menjelaskan hal ini?”

“Saya ini monofungsi,” jawab Cak Nun.

“Bisa menerangkan supaya lebih jelas?”

“Profesi atau karier saya hanya satu: pekerja. Saya manusia biasa yang bekerja sekeras mungkin,” Cak Nun menambahkan.

“Tapi pekerjaan Anda bermacam-macam."

“Karena permintaan orang juga bermacam-macam. Kalau saya agak nggaya sedikit, mohon maaf, kerja saya itu pelayanan…”

“Jadi Anda multifungsi. Kegiatan Anda bermacam-macam.”

“Monofungsi saja, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan manfaat apapun saja bagi kehidupan bersama manusia di sekitar saya.”

“Tidak. Itu multifungsi,” si presenter masih ngeyel.

***

Demikianlah, Cak Nun adalah contoh dari manusia yang keberadaannya menembus banyak bidang. Dibilang mubaligh, kok nyeni sekali. Dibilang seniman kok sering sekali sholawatan.Dibilang akademisi, latar belakang akademiknya buram. Dikatakan tidak berpendidikan, itu asumsi sembrono. Tulisan-tulisannya sejak sekitar 20 tahun yang lalu pun masih relevan dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya bangsa ini sampai sekarang. Tapi dia jelas bukan paranormal.

Yang dikerjakan Cak Nun memang macam-macam. Memberi nama anak-anak yang baru lahir, ngobrol dengan orang gila di atas panggung, cangkrukan di pasar atau terminal, berpuisi, bermusik, berteater, menulis. Semua dilakoni. Kenalannya luas. Karib dengan semua lapisan masyarakat. Tukang sapu di pinggir  jalan hingga presiden.

Cak Nun mungkin bukan satu-satunya contoh manusia semacam itu. Dalam pelbagai petak kehidupan sosial, dalam berbagai skala, manusia semacam Cak Nun memang kerap dijumpai. Kendati tentu, jumlahnya segelintir saja.

Di kehidupan profesional maupun amatir, di kantor, di instansi-instansi, di lingkungan kreatif, di mana-mana, kita bisa menjumpai manusia-manusia yang dibilang presenter tadi sebagai manusia multifungsi. Manusia  yang mampu mengerjakan banyak hal, sehingga dia sendiri akhirnya menjadi tidak jelas “identitas” sesungguhnya sebagai apa. Manusia-manusia yang dibutuhkan oleh banyak orang, sekaligus manusia yang ironisnya kerap diingkari perannya. Saya menyebut manusia-manusia ini sebagai manusia garam.

Ibarat garam, manusia model ini memberi cita rasa hampir di semua makanan. Hampir tidak ada makanan yang tidak diciprati garam. Dari rujak cingur sampai cireng. Dari pempek hingga rendang. Garam mudah memberi rasa sedap pada sebuah makanan, tapi dia tidak pernah tampil tersorot sebagai bintang utama. Pemain utama dalam rujak cingur adalah petis dan cingur itu sendiri. Bukan garam. Begitupun pada masakan-masakan yang lain. Garam sudah melebur identitasnya dalam makanan tadi.

Garam juga tidak boleh diasup terlalu banyak. Makanan yang terlalu banyak garam hanya akan menimbulkan umpatan dalam jangka pendek dan penyakit hipertensi dalam jangka panjang. Menjadi mudah untuk menyalahkan garam, ketika makanan menjadi terlalu asin dan kesedapannya hilang. Sebaliknya ketika makanan dipuji rasanya, garam selalu saja (setidaknya nyaris) dilupakan.

Padahal perjalanan garam sebelum dia hadir dan melebur dalam setiap makanan adalah perjalanan yang panjang. Pada mulanya, garam adalah air laut yang dipanaskan oleh sinar matahari atau direbus dengan suhu yang tinggi.

Beruntunglah manusia-manusia garam. Manusia yang  tidak diributkan dan diribetkan oleh pengakuan-pengakuan yang semu. Manusia garam sebenarnya juga mempunyai kemiripan dengan koboi. Setelah bag-big-bug dan dar-der-dor dengan penjahat di suatu wilayah, yang bingung dengan pengakuan adalah sheriff. Sementara koboi itu sendiri hanya berlalu, singgah dari bar ke bar, lalu memulai petualangan baru. Pada sisi tertentu, manusia garam juga hampir mirip dengan sniper pada sebuah operasi senyap. Berbekal kekuatan mental yang kokoh, mereka mengintai musuh. Sambil menyadari pentingnya efektifitas dan efisiensi, mereka menembak musuh. Begitu musuh tewas, mereka berbalik, lalu hilang dalam kesunyian.Yang mendapat pujian tentu saja sang atasan. Sniper mungkin lebih  memilih mengakrabi dirinya sendiri.

Apapun itu, mungkin ada baiknya semakin banyak manusia garam di sekitar kita. Di setiap lapis masyarakat. Sederhana saja, supaya kehidupan kita tak lagi hambar dan kian sedap.

Sayangnya, untuk urusan memenuhi kebutuhan akan garam sekalipun, kita masih impor. Hehehe.