Dalam sebuah talk show
di televisi, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) ditanya oleh seorang presenter: “Selama
ini Anda dikenal sebagai manusia multifungsi. Anda berkiprah di berbagai wilayah
kehidupan, sehingga karier Anda tampak bermacam-macam atau berganti-ganti.
Bagaimana Anda sendiri menjelaskan hal ini?”
“Saya ini monofungsi,” jawab Cak Nun.
“Bisa menerangkan supaya lebih jelas?”
“Profesi atau karier saya hanya satu: pekerja. Saya manusia
biasa yang bekerja sekeras mungkin,” Cak Nun menambahkan.
“Tapi pekerjaan Anda bermacam-macam."
“Karena permintaan orang juga bermacam-macam. Kalau saya
agak nggaya sedikit, mohon maaf,
kerja saya itu pelayanan…”
“Jadi Anda multifungsi. Kegiatan Anda bermacam-macam.”
“Monofungsi saja, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan
manfaat apapun saja bagi kehidupan bersama manusia di sekitar saya.”
“Tidak. Itu multifungsi,” si presenter masih ngeyel.
***
Demikianlah, Cak Nun adalah contoh dari manusia yang
keberadaannya menembus banyak bidang. Dibilang mubaligh, kok nyeni sekali. Dibilang seniman kok sering
sekali sholawatan.Dibilang akademisi, latar belakang akademiknya buram. Dikatakan
tidak berpendidikan, itu asumsi sembrono. Tulisan-tulisannya sejak sekitar 20
tahun yang lalu pun masih relevan dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya bangsa ini
sampai sekarang. Tapi dia jelas bukan paranormal.
Yang dikerjakan Cak Nun memang macam-macam. Memberi nama
anak-anak yang baru lahir, ngobrol
dengan orang gila di atas panggung, cangkrukan di pasar atau terminal, berpuisi, bermusik,
berteater, menulis. Semua dilakoni. Kenalannya luas. Karib dengan semua lapisan
masyarakat. Tukang sapu di pinggir jalan
hingga presiden.
Cak Nun mungkin bukan satu-satunya contoh manusia semacam
itu. Dalam pelbagai petak kehidupan sosial, dalam berbagai skala, manusia
semacam Cak Nun memang kerap dijumpai. Kendati tentu, jumlahnya segelintir
saja.
Di kehidupan profesional maupun amatir, di kantor, di
instansi-instansi, di lingkungan kreatif, di mana-mana, kita bisa menjumpai
manusia-manusia yang dibilang presenter tadi sebagai manusia multifungsi.
Manusia yang mampu mengerjakan banyak
hal, sehingga dia sendiri akhirnya menjadi tidak jelas “identitas” sesungguhnya
sebagai apa. Manusia-manusia yang dibutuhkan oleh banyak orang, sekaligus
manusia yang ironisnya kerap diingkari perannya. Saya menyebut manusia-manusia
ini sebagai manusia garam.
Ibarat garam, manusia model ini memberi cita rasa hampir di
semua makanan. Hampir tidak ada makanan yang tidak diciprati garam. Dari rujak
cingur sampai cireng. Dari pempek hingga rendang. Garam mudah memberi rasa sedap pada sebuah
makanan, tapi dia tidak pernah tampil tersorot sebagai bintang utama. Pemain
utama dalam rujak cingur adalah petis dan cingur itu sendiri. Bukan garam.
Begitupun pada masakan-masakan yang lain. Garam sudah melebur identitasnya
dalam makanan tadi.
Garam juga tidak boleh diasup terlalu banyak. Makanan yang
terlalu banyak garam hanya akan menimbulkan umpatan dalam jangka pendek dan
penyakit hipertensi dalam jangka panjang. Menjadi mudah untuk menyalahkan garam,
ketika makanan menjadi terlalu asin dan kesedapannya hilang. Sebaliknya ketika
makanan dipuji rasanya, garam selalu saja (setidaknya nyaris) dilupakan.
Padahal perjalanan garam sebelum dia hadir dan melebur dalam
setiap makanan adalah perjalanan yang panjang. Pada mulanya, garam adalah air
laut yang dipanaskan oleh sinar matahari atau direbus dengan suhu yang tinggi.
Beruntunglah manusia-manusia garam. Manusia yang tidak diributkan dan diribetkan oleh
pengakuan-pengakuan yang semu. Manusia garam sebenarnya juga mempunyai
kemiripan dengan koboi. Setelah bag-big-bug
dan dar-der-dor dengan penjahat di
suatu wilayah, yang bingung dengan pengakuan adalah sheriff. Sementara koboi itu sendiri hanya berlalu, singgah dari
bar ke bar, lalu memulai petualangan baru. Pada sisi tertentu, manusia garam
juga hampir mirip dengan sniper pada sebuah
operasi senyap. Berbekal kekuatan mental yang kokoh, mereka mengintai musuh.
Sambil menyadari pentingnya efektifitas dan efisiensi, mereka menembak musuh.
Begitu musuh tewas, mereka berbalik, lalu hilang dalam kesunyian.Yang mendapat
pujian tentu saja sang atasan. Sniper
mungkin lebih memilih mengakrabi dirinya sendiri.
Apapun itu, mungkin ada baiknya semakin banyak manusia garam
di sekitar kita. Di setiap lapis masyarakat. Sederhana saja, supaya kehidupan kita
tak lagi hambar dan kian sedap.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar