Kamis, 01 Januari 2015

Manusia Garam


Dalam sebuah talk show di televisi, Emha Ainun Nadjib (Cak Nun) ditanya oleh seorang presenter: “Selama ini Anda dikenal sebagai manusia multifungsi. Anda berkiprah di berbagai wilayah kehidupan, sehingga karier Anda tampak bermacam-macam atau berganti-ganti. Bagaimana Anda sendiri menjelaskan hal ini?”

“Saya ini monofungsi,” jawab Cak Nun.

“Bisa menerangkan supaya lebih jelas?”

“Profesi atau karier saya hanya satu: pekerja. Saya manusia biasa yang bekerja sekeras mungkin,” Cak Nun menambahkan.

“Tapi pekerjaan Anda bermacam-macam."

“Karena permintaan orang juga bermacam-macam. Kalau saya agak nggaya sedikit, mohon maaf, kerja saya itu pelayanan…”

“Jadi Anda multifungsi. Kegiatan Anda bermacam-macam.”

“Monofungsi saja, yaitu menumbuhkan dan mengembangkan manfaat apapun saja bagi kehidupan bersama manusia di sekitar saya.”

“Tidak. Itu multifungsi,” si presenter masih ngeyel.

***

Demikianlah, Cak Nun adalah contoh dari manusia yang keberadaannya menembus banyak bidang. Dibilang mubaligh, kok nyeni sekali. Dibilang seniman kok sering sekali sholawatan.Dibilang akademisi, latar belakang akademiknya buram. Dikatakan tidak berpendidikan, itu asumsi sembrono. Tulisan-tulisannya sejak sekitar 20 tahun yang lalu pun masih relevan dengan kondisi sosial-ekonomi-budaya bangsa ini sampai sekarang. Tapi dia jelas bukan paranormal.

Yang dikerjakan Cak Nun memang macam-macam. Memberi nama anak-anak yang baru lahir, ngobrol dengan orang gila di atas panggung, cangkrukan di pasar atau terminal, berpuisi, bermusik, berteater, menulis. Semua dilakoni. Kenalannya luas. Karib dengan semua lapisan masyarakat. Tukang sapu di pinggir  jalan hingga presiden.

Cak Nun mungkin bukan satu-satunya contoh manusia semacam itu. Dalam pelbagai petak kehidupan sosial, dalam berbagai skala, manusia semacam Cak Nun memang kerap dijumpai. Kendati tentu, jumlahnya segelintir saja.

Di kehidupan profesional maupun amatir, di kantor, di instansi-instansi, di lingkungan kreatif, di mana-mana, kita bisa menjumpai manusia-manusia yang dibilang presenter tadi sebagai manusia multifungsi. Manusia  yang mampu mengerjakan banyak hal, sehingga dia sendiri akhirnya menjadi tidak jelas “identitas” sesungguhnya sebagai apa. Manusia-manusia yang dibutuhkan oleh banyak orang, sekaligus manusia yang ironisnya kerap diingkari perannya. Saya menyebut manusia-manusia ini sebagai manusia garam.

Ibarat garam, manusia model ini memberi cita rasa hampir di semua makanan. Hampir tidak ada makanan yang tidak diciprati garam. Dari rujak cingur sampai cireng. Dari pempek hingga rendang. Garam mudah memberi rasa sedap pada sebuah makanan, tapi dia tidak pernah tampil tersorot sebagai bintang utama. Pemain utama dalam rujak cingur adalah petis dan cingur itu sendiri. Bukan garam. Begitupun pada masakan-masakan yang lain. Garam sudah melebur identitasnya dalam makanan tadi.

Garam juga tidak boleh diasup terlalu banyak. Makanan yang terlalu banyak garam hanya akan menimbulkan umpatan dalam jangka pendek dan penyakit hipertensi dalam jangka panjang. Menjadi mudah untuk menyalahkan garam, ketika makanan menjadi terlalu asin dan kesedapannya hilang. Sebaliknya ketika makanan dipuji rasanya, garam selalu saja (setidaknya nyaris) dilupakan.

Padahal perjalanan garam sebelum dia hadir dan melebur dalam setiap makanan adalah perjalanan yang panjang. Pada mulanya, garam adalah air laut yang dipanaskan oleh sinar matahari atau direbus dengan suhu yang tinggi.

Beruntunglah manusia-manusia garam. Manusia yang  tidak diributkan dan diribetkan oleh pengakuan-pengakuan yang semu. Manusia garam sebenarnya juga mempunyai kemiripan dengan koboi. Setelah bag-big-bug dan dar-der-dor dengan penjahat di suatu wilayah, yang bingung dengan pengakuan adalah sheriff. Sementara koboi itu sendiri hanya berlalu, singgah dari bar ke bar, lalu memulai petualangan baru. Pada sisi tertentu, manusia garam juga hampir mirip dengan sniper pada sebuah operasi senyap. Berbekal kekuatan mental yang kokoh, mereka mengintai musuh. Sambil menyadari pentingnya efektifitas dan efisiensi, mereka menembak musuh. Begitu musuh tewas, mereka berbalik, lalu hilang dalam kesunyian.Yang mendapat pujian tentu saja sang atasan. Sniper mungkin lebih  memilih mengakrabi dirinya sendiri.

Apapun itu, mungkin ada baiknya semakin banyak manusia garam di sekitar kita. Di setiap lapis masyarakat. Sederhana saja, supaya kehidupan kita tak lagi hambar dan kian sedap.

Sayangnya, untuk urusan memenuhi kebutuhan akan garam sekalipun, kita masih impor. Hehehe. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar