Setiap
musim penghujan tiba, saya selalu teringat akan banjir di Jenggawah. Jenggawah
adalah salah satu kecamatan di Jember yang rawan banjir. Jaraknya sekitar 13
kilometer ke arah selatan dari pusat kota Jember. Ruas jalannya yang sempit dan
sistem drainage yang buruk membuat kecamatan kecil ini akrab dengan banjir
setiap hujan deras datang. Dan setiap teringat banjir di Jenggawah, saya
teringat akan kebaikan seorang nenek.
Anggap
saja namanya Bu Lani—itu bukan nama sebenarnya. Saya panggil namanya demikian
karena saya tidak tahu namanya, juga karena saya pernah mendengar suaminya yang
berjalan membungkuk berkata kepadanya, “Ni, di mana remote TV-nya?”
Pagi
itu hujan deras sekali. Saya berangkat ke Jember dari rumah bapak saya di
Ambulu. Jarak Ambulu-Jember sekitar 27 kilometer. Artinya, Jenggawah adalah
separuh perjalanan dari Ambulu-Jember. Seperti kekhawatiran saya sebelumnya,
Jenggawah lagi-lagi banjir di pagi itu. Jalanan tergenang air hampir setinggi
lutut. Sementara hujan masih belum berhenti. Saya membawa dua buah tas ransel
yang masing-masing sudah saya bungkus dengan pelindung agar tidak basah.
Kebiasaan buruk saya, setiap kali pulang kampung, saya selalu tergoda untuk
membawa koleksi buku-buku ke tempat tinggal di Jember. Sehingga saya harus
membawa dua buah ransel. Satu saya panggul, satu lagi saya letakkan di dekat
setir Si Jono, motor tua saya.
Sudah
hampir sepuluh tahun Jono menemani perjalanan saya. Dan sampai sekarang saya
belum ada niatan mengganti Jono dengan kendaraan lain. Katakan saya pelit, tak
jadi soal. Saya terlalu sayang sama motor keluaran tahun 1997 ini.
Banjir
yang hampir setinggi lutut di pagi itu coba diterjang oleh saya dan Jono. Tapi
usia tak bisa ditampik. Setelah sedikit tersengal-sengal, Jono akhirnya kalah.
Ia mogok. Dan saya harus menuntunnya melewati genangan air. Melirik ke
kiri-kanan, ternyata saya tidak sendiri. Ada beberapa motor yang mengalami
nasib serupa dengan Jono.
Saya
membawa Jono menepi. Memarkirnya di pinggir jalan, lalu mencoba
menghidupkannya. Tak berhasil. Hujan
semakin deras. Saya melirik jam tangan. Waktu masuk kerja hampir lewat. Saya
jelas terlambat. Tapi apa boleh
bikin, perjalanan saya terhambat.
Sampai
saya dikagetkan oleh sebuah suara. “Kenapa, Nak? Mogok?”
Sambil
cengengesan, saya menjawab,”Iya, Bu”
Yang
memanggil saya adalah seorang nenek-nenek berusia sekitar 80 tahun. Orang yang
saya sebut Bu Lani tadi. Langkahnya pendek-pendek, mengantisipasi tubuhnya yang
renta dengan keseimbangan yang menurun dan rawan jatuh. Suaranya pelan dan
terbata-bata. Matanya sipit, kulitnya keriput bersih. Sekilas, Bu Lani mudah
ditebak bahwa ia adalah keturunan etnis Tionghoa.
“Motornya dibawa ke sini, Nak. Menepi dulu,” katanya ramah. Ia tersenyum, memerlihatkan
deretan giginya yang beberapa sudah tanggal.
Bu Lani
memiliki sebuah toko bahan bangunan. Sepagi itu tokonya sudah buka. Banjir di
Jenggawah menutup akses menuju tokonya. Ia duduk di depan toko, menunggu
pembeli datang.
“Kuliah,
Nak?”
“Kerja,
Bu”
“Di
Jember?”
“Iya,”
saya menjawab sambil masih bersikeras menghidupkan Jono menggunakan kick
starter. Namun hasilnya, tetap saja nihil.
“Businya
basah itu, Nak. Dibuka dulu. Bawa kunci busi?”
Saya
menggeleng.
“Saya
ambilkan di dalam dulu ya. Sekalian, punya lap kering? Korek?”
Saya
lagi-lagi menggeleng. Kali ini saya tambahkan senyum cengengesan. Dia membalas
dengan memamerkan giginya yang tak lengkap karena ompong.
Ketika
dia hendak masuk mengambil kunci busi, datang seorang laki-laki yang tak kalah
renta. Jalannya juga membungkuk. Memakai singlet putih dan celana pendek
berwarna biru. “Ni, di mana remote TV-nya?”
“Di
dekat kursi, Pa,” kata Bu Lani.
Suaminya
ternyata tidak mendengar. Menyadari itu, Bu Lani memegang telinga suaminya.
Ternyata suaminya mengalami gangguan pendengaran. Bu Lani membetulkan letak
alat bantu pendengaran suaminya. Romantis sekali.
Tak lama
Bu Lani datang membawa kunci busi, korek api, dan sebuah lap kering. “Ini,
Nak,” katanya sambil menyerahkan kunci busi pada saya.
Saya
segera membongkar busi Jono. Mengeringkannya dengan lap kering. Lalu
memanaskannya dengan korek api. Bu Lani kembali duduk di depan pintu harmonika
tokonya.
“Setiap
hujan deras, Jenggawah seringkali banjir. Kasihan yang lewat sini. Itu
anak-anak sekolah motornya mogok,” Bu Lani sedikit menggerutu, lalu kembali
berdiri, memanggil anak sekolah yang motornya mogok.
“Kalau
lewat di jalan yang banjir, motornya dijalankan pakai gigi satu saja. Pasti
lebih tahan dan sukar mati. Sampeyan juga, Nak,” Bu Lani berkata kepada anak
sekolah yang motornya mogok tadi sekaligus kepada saya. Bu Lani, nenek yang
baik hati itu ternyata sedikit mengerti soal cara kerja mesin.
Tak
lama kemudian, Jono hidup lagi.
“Jangan
buru-buru, Nak. Dipanaskan dulu motornya. Minum teh dulu di dalam,” Bu Lani
menawarkan. Ia mendekat ke anak sekolah yang motornya mogok tadi. “Sampeyan
juga,” katanya menawari anak itu.
Saya
menolak tawarannya dengan halus. Saya sudah terlambat masuk kerja. Menerima
tawaran Bu Lani akan membuat saya semakin terlambat. Setelah mengucapkan terima
kasih, saya segera meneruskan perjalanan ke Jember.
Beberapa
kali saya pulang kampung dan melewati Jenggawah, saya selalu melirik toko Bu
Lani. Pernah sesekali saya menjumpainya di depan toko. Duduk di kursi kecil, di
teras depan pintu harmonika tokonya, menunggu pembeli.
Suatu
pagi, di kala saya tergesa-gesa menuju Jember dan melewati Jenggawah, saya
melirik tokonya. Dia ada di depan tokonya.Kali ini tidak duduk di kursi kecil
seperti biasanya. Ia berdiri, menghadap ke timur. Tangannya memegang tiga buah
dupa. Matanya terpejam, seperti khusyuk berdoa. Ternyata, itu semacam ritual
yang dia lakukan di kala pagi. Memulai hari dengan mengucap syukur dan berdoa
agar diberi kebaikan. Beberapa kali saya menjumpainya melakukan ritual itu.
Bu
Lani, semoga kebaikan tercurah kepadamu.
Salam dari Jono.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar