Minggu, 04 Januari 2015

Hujan Bersama Bu Lani

Setiap musim penghujan tiba, saya selalu teringat akan banjir di Jenggawah. Jenggawah adalah salah satu kecamatan di Jember yang rawan banjir. Jaraknya sekitar 13 kilometer ke arah selatan dari pusat kota Jember. Ruas jalannya yang sempit dan sistem drainage yang buruk membuat kecamatan kecil ini akrab dengan banjir setiap hujan deras datang. Dan setiap teringat banjir di Jenggawah, saya teringat akan kebaikan seorang nenek.

Anggap saja namanya Bu Lani—itu bukan nama sebenarnya. Saya panggil namanya demikian karena saya tidak tahu namanya, juga karena saya pernah mendengar suaminya yang berjalan membungkuk berkata kepadanya, “Ni, di mana remote TV-nya?”

Pagi itu hujan deras sekali. Saya berangkat ke Jember dari rumah bapak saya di Ambulu. Jarak Ambulu-Jember sekitar 27 kilometer. Artinya, Jenggawah adalah separuh perjalanan dari Ambulu-Jember. Seperti kekhawatiran saya sebelumnya, Jenggawah lagi-lagi banjir di pagi itu. Jalanan tergenang air hampir setinggi lutut. Sementara hujan masih belum berhenti. Saya membawa dua buah tas ransel yang masing-masing sudah saya bungkus dengan pelindung agar tidak basah. Kebiasaan buruk saya, setiap kali pulang kampung, saya selalu tergoda untuk membawa koleksi buku-buku ke tempat tinggal di Jember. Sehingga saya harus membawa dua buah ransel. Satu saya panggul, satu lagi saya letakkan di dekat setir Si Jono, motor tua saya.

Sudah hampir sepuluh tahun Jono menemani perjalanan saya. Dan sampai sekarang saya belum ada niatan mengganti Jono dengan kendaraan lain. Katakan saya pelit, tak jadi soal. Saya terlalu sayang sama motor keluaran tahun 1997 ini.

Banjir yang hampir setinggi lutut di pagi itu coba diterjang oleh saya dan Jono. Tapi usia tak bisa ditampik. Setelah sedikit tersengal-sengal, Jono akhirnya kalah. Ia mogok. Dan saya harus menuntunnya melewati genangan air. Melirik ke kiri-kanan, ternyata saya tidak sendiri. Ada beberapa motor yang mengalami nasib serupa dengan Jono.

Saya membawa Jono menepi. Memarkirnya di pinggir jalan, lalu mencoba menghidupkannya.  Tak berhasil. Hujan semakin deras. Saya melirik jam tangan. Waktu masuk kerja hampir lewat. Saya jelas terlambat. Tapi apa  boleh bikin, perjalanan saya terhambat.

Sampai saya dikagetkan oleh sebuah suara. “Kenapa, Nak? Mogok?”

Sambil cengengesan, saya menjawab,”Iya, Bu”

Yang memanggil saya adalah seorang nenek-nenek berusia sekitar 80 tahun. Orang yang saya sebut Bu Lani tadi. Langkahnya pendek-pendek, mengantisipasi tubuhnya yang renta dengan keseimbangan yang menurun dan rawan jatuh. Suaranya pelan dan terbata-bata. Matanya sipit, kulitnya keriput bersih. Sekilas, Bu Lani mudah ditebak bahwa ia adalah keturunan etnis Tionghoa.

“Motornya dibawa ke sini, Nak. Menepi dulu,” katanya ramah. Ia tersenyum, memerlihatkan deretan  giginya yang beberapa sudah tanggal.

Bu Lani memiliki sebuah toko bahan bangunan. Sepagi itu tokonya sudah buka. Banjir di Jenggawah menutup akses menuju tokonya. Ia duduk di depan toko, menunggu pembeli datang.

“Kuliah, Nak?”

“Kerja, Bu”

“Di Jember?”

“Iya,” saya menjawab sambil masih bersikeras menghidupkan Jono menggunakan kick starter. Namun hasilnya, tetap saja nihil.

“Businya basah itu, Nak. Dibuka dulu. Bawa kunci busi?”

Saya menggeleng.

“Saya ambilkan di dalam dulu ya. Sekalian, punya lap kering? Korek?”

Saya lagi-lagi menggeleng. Kali ini saya tambahkan senyum cengengesan. Dia membalas dengan memamerkan giginya yang tak lengkap karena ompong.

Ketika dia hendak masuk mengambil kunci busi, datang seorang laki-laki yang tak kalah renta. Jalannya juga membungkuk. Memakai singlet putih dan celana pendek berwarna biru. “Ni, di mana remote TV-nya?”

“Di dekat kursi, Pa,” kata Bu Lani. 

Suaminya ternyata tidak mendengar. Menyadari itu, Bu Lani memegang telinga suaminya. Ternyata suaminya mengalami gangguan pendengaran. Bu Lani membetulkan letak alat bantu pendengaran suaminya. Romantis sekali.

Tak lama Bu Lani datang membawa kunci busi, korek api, dan sebuah lap kering. “Ini, Nak,” katanya sambil menyerahkan kunci busi pada saya.

Saya segera membongkar busi Jono. Mengeringkannya dengan lap kering. Lalu memanaskannya dengan korek api. Bu Lani kembali duduk di depan pintu harmonika tokonya.

“Setiap hujan deras, Jenggawah seringkali banjir. Kasihan yang lewat sini. Itu anak-anak sekolah motornya mogok,” Bu Lani sedikit menggerutu, lalu kembali berdiri, memanggil anak sekolah yang motornya mogok.

“Kalau lewat di jalan yang banjir, motornya dijalankan pakai gigi satu saja. Pasti lebih tahan dan sukar mati. Sampeyan juga, Nak,” Bu Lani berkata kepada anak sekolah yang motornya mogok tadi sekaligus kepada saya. Bu Lani, nenek yang baik hati itu ternyata sedikit mengerti soal cara  kerja mesin.

Tak lama kemudian, Jono hidup lagi.

“Jangan buru-buru, Nak. Dipanaskan dulu motornya. Minum teh dulu di dalam,” Bu Lani menawarkan. Ia mendekat ke anak sekolah yang motornya mogok tadi. “Sampeyan juga,” katanya menawari anak itu.

Saya menolak tawarannya dengan halus. Saya sudah terlambat masuk kerja. Menerima tawaran Bu Lani akan membuat saya semakin terlambat. Setelah mengucapkan terima kasih, saya segera meneruskan perjalanan ke Jember.

Beberapa kali saya pulang kampung dan melewati Jenggawah, saya selalu melirik toko Bu Lani. Pernah sesekali saya menjumpainya di depan toko. Duduk di kursi kecil, di teras depan pintu harmonika tokonya, menunggu pembeli.

Suatu pagi, di kala saya tergesa-gesa menuju Jember dan melewati Jenggawah, saya melirik tokonya. Dia ada di depan tokonya.Kali ini tidak duduk di kursi kecil seperti biasanya. Ia berdiri, menghadap ke timur. Tangannya memegang tiga buah dupa. Matanya terpejam, seperti khusyuk berdoa. Ternyata, itu semacam ritual yang dia lakukan di kala pagi. Memulai hari dengan mengucap syukur dan berdoa agar diberi kebaikan. Beberapa kali saya menjumpainya melakukan ritual itu.


Bu Lani,  semoga kebaikan tercurah kepadamu. Salam dari Jono.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar