Selasa, 04 April 2017

Kisah Benjamin Carson dan Harapan Akan Kabar Baik




Seorang remaja tanggung membanting pintu kamarnya dengan ketakutan. Tangannya bergetar. Napasnya cepat dan tidak teratur. Lidahnya kelu. Hampir saja, sebuah pisau menancap di perut temannya. Semua bermula dari amarahnya yang memuncak karena olok-olok. Anak itu lantas menikam temannya. Karena penuh emosi, gerakan tangannya kacau. Ujung pisau tidak merobek dinding perut, namun hanya terkena gesper ikat pinggang temannya. Pisau patah dan temannya urung  tewas. Ia lalu hampir menangis dan berlari tunggang langgang menuju rumahnya, menuju kamarnya. Bocah itu kemudian menekuk lutut dan meratap, “Tuhan, jauhkan saya dari temperamen yang buruk ini.”

Belasan tahun kemudian, bocah pemarah itu tumbuh menjadi seorang yang sangat tenang dan bertangan dingin. Ia sering menggunakan pisau. Kali ini bukan pisau kemping kecil yang nyaris merenggut nyawa temannya. Bocah itu kini mengakrabi pisau bedah. Ia menjadi salah satu dokter bedah terbaik yang pernah dimiliki oleh Amerika Serikat. Spesialisasinya bedah saraf anak (pediatric neurosurgery). Nama bocah itu adalah Benjamin S Carson.

Ben Carson kala muda. Gambar diambil dari republicbuzz.com

 Hidup Ben Carson—begitu ia kerap dipanggil—sedari kecil karib dengan penolakan. Ia dikenal sebagai anak yang bodoh di kelas. Daya tangkapnya rendah dan pemahamannya jauh tertinggal dibanding teman-temannya yang lain. Kehidupan keluarganya juga tidak begitu harmonis. Orang tuanya bercerai, yang membuatnya harus  beberapa pindah tempat tinggal. Ibunya mengalami depresi yang berat karena rumah tangga yang hancur, sehingga memutuskan untuk memeriksakan diri secara rutin ke psikiater. Sehari-hari ibunya bekerja menjadi asisten rumah tangga untuk menghidupi Ben dan kakaknya yang bernama Curtis. Kondisi ekonomi yang buruk dan latar belakang keluarga yang terpuruk kerap menjadikan Ben sebagai bahan olok-olok. Satu hal lagi yang sering membuatnya menjadi bahan risak teman-temannya: Ben berkulit hitam.