Kamis, 26 Oktober 2017

Melawan Arus Deras Hoax dan Plagiarisme


Gambar diambil dari sini

Lelaki ceking dengan rambut belah pinggir itu membuat riuh jagat akademik Amerika Serikat di tahun 1996. Makalah yang ia tulis menjadi skandal intelektual yang guratnya masih membekas hingga kini. Alan Sokal, nama pria ceking itu, menulis sebuah makalah yang berjudul “Melampaui Pembatasan: Menuju Hermeneutika Transformatif dalam Gravitasi Kuantum” (teks aslinya berjudul Transgressing Boundaries: Toward a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity) untuk dipublikasikan di jurnal Social Text, sebuah jurnal tentang studi budaya postmodernisme yang terkenal di kalangan akademisi Amerika Serikat. 

Alan Sokal berlatarbelakang ilmu sains. Ia adalah profesor fisika di New York University sekaligus profesor matematika di University College of London. Sementara jurnal Social Text yang menerbitkan makalahnya yang itu adalah sebuah kanal studi budaya yang dibidani oleh tiga akademisi, yakni John Brenkman, Stanley Aronowitz, dan Fredric Jameson. Mereka bertiga adalah pemikir postmodern yang sering dijadikan acuan oleh kalangan akademisi lain.

Lewat makalahnya, Sokal mengkritisi studi budaya postmodernisme yang dianggapnya terlalu menafikan dasar-dasar objektif sains dan cenderung ngawur dalam memberikan telaah terhadap studi ilmiah. Pada makalah setebal 39 halaman itu, Sokal membenturkan teori-teori pemikir macam Jacques Derida, Jacques Lacan, dan Felix Guattari dengan hasil temuan-temuan begawan fisika macam Albert Einstein dan Niels Bohr. Setelah mengalami beberapa proses revisi, makalah itu lantas diserahkan ke editor jurnal Social Text dan dianggap layak untuk diterbitkan.

Pada 15 april 1996, muncul pengakuan dari Alan Sokal tentang makalah yang ditulisnya untuk Social Text. Dari sinilah geger itu bergaung. Lewat sebuah tulisan lain berjudul Physicist Experiment with Cultural Studies yang diterbitkan oleh jurnal Lingua Franca, Sokal membuat pernyataan bahwa makalah yang diterbitkan oleh Social Text beberapa pekan sebelumnya tak lebih dari sekadar parodi dan olok-olok yang disengaja. Sokal mengaku menulis makalah itu tak lain hanya untuk mengejek sekaligus menguji standar pemikir dan pegiat studi budaya postmodernisme di Amerika Serikat. Isi dari makalah Sokal yang tayang di Social Text hanyalah omong kosong alias hoax.

Makalah yang ditulis Sokal adalah ungkapan satir untuk mengukur objektivitas para editor jurnal yang  ia anggap ceroboh sekaligus gagap secara intelektualitas sehingga tidak dapat mengeja realitas obyektif. Masih menurut Sokal, para editor Social Text mengabaikan kualitas pembuktian serta mengubur keterkaitan sekaligus relevansi argumen-argumen dalam mencapai sebuah kesimpulan tertentu.

Kejadian tersebut kemudian memberikan gaung di hari-hari berikut dan tahun tahun kemudian, hingga sekarang. Bahkan ada istilah yang terkenal di dunia akademik yakni Sokal Hoax atau Sokal Affair yang merujuk pada geger yang dipantik oleh profesor itu. Istilah Sokal Hoax bisa menjurus kepada sebuah upaya manipulatif untuk menciptakan pemahaman-pemahaman baru dengan mengacaukan ukuran batas-batas epistimologis.

Yang menjadi pertanyaan serius adalah bila kaum cendekiawan saja bisa tersesat opininya oleh sebuah informasi yang dimanipulasi kebenarannya, apalagi masyarakat awam yang gagap melakukan verifikasi, telaah, atau sekadar cek dan ricek?

Banjir Bah Informasi dan Trinitas 3G

Kita memasuki sebuah jaman di mana informasi begitu mudah sekali diakses, terlepas dari kesahihan sumbernya dan kebenaran esensinya. Kemudahan akses ini diikuti oleh informasi yang terus menderas dan meluap, menyeret banyak kalangan dalam arus yang bisa menjerumuskan. Hoax atau kabar bohong membentuk pusarannya sendiri, menghisap siapa yang mendekat kepadanya, lalu menyeretnya dalam pusaran, kemudian menenggelamkannya. Bila hoax yang dilakukan Sokal tidak lebih dari sekadar upaya mengkritisi dan menguji standar ilmiah kaum cerdik pandai di sebuah kalangan, maka hoax yang terjadi sekarang bisa lebih dari keisengan intelektual ala Sokal. Hoax sekarang adalah bagian dari upaya sadar dan sengaja untuk mempengaruhi, menyesatkan dan menuntun asumsi khalayak guna mencapai tujuan-tujuan tertentu. Inilah salah satu bencana besar teknologi informasi.

Tentu saja motivasi orang-orang menggagas hoax sekarang jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Sokal. Bila Sokal menyulut hoax untuk menggugah nalar kaum akademisi, maka banyak orang yang berternak kabar bohong hanya untuk pemenuhan hasrat akan kebutuhan yang bersifat materi. Bila dilihat dari jarak pandang yang sedikit luas, hoax tak ubahnya seperti senjata andalan untuk merengkuh trinitas yang pernah menjadi mantra imprealisme lawas, yakni 3G (Gold-Glory-Gospel). Di jaman sekarang, trinitas yang berkelindan ini masih terus diburu dan hoax adalah senjata ampuh untuk mendapatkan semuanya.

Di aspek Gold, hoax adalah bahan dasar yang mumpuni untuk mendulang uang. Kita bisa mengambil contoh dari banyaknya media daring yang memasok kabar bohong. Beragam laporan penelusuran terhadap situs-situs pemasok kabar bohong ini memberikan gambaran soal pundi-pundi uang yang diraup dari berjualan hoax. Menurut pengakuan mereka yang bergerak di balik situs dan media abal-abal ini, setiap bulan setidaknya mereka bisa mendapatkan sekitar 25-30 juta rupiah dari kabar-kabar bohong yang diproduksi secara intens.

Pada aspek Glory, kita bisa melihat bagaimana kabar bohong diciptakan untuk meraih kekuasaan tertentu dan kepentingan politik praktis. Betapa banyak berita yang tidak dapat dikonfirmasi kebenarannya sengaja digagas untuk menjatuhkan lawan politik yang menghalangi tercapainya keinginan untuk mendapatkan kekuasaan politis.

Bahkan di kisah epik  kolosal Mahabarata, hoax juga dihembuskan untuk kemenangan salah satu pihak. Dikisahkan, saat perang Baratayudha berlangsung di Kurustera, anak-anak Pandu (Pandawa) harus menghadapi guru ilmu perang yang mengajari mereka sedari kecil, yakni Resi Durna. Durna tahu persis kelemahan murid-muridnya sehingga ketika posisinya lebih unggul daripada Pandawa. Menyadari posisi Pandawa terjepit, Krisna yang merupakan penasehat perang Pandawa mempunyai ide untuk mengalahkan Durna. Krisna memilih mengajak Pandawa dan pasukannya untuk menyebar hoax saat perang berlangsung.

Hoax itu berupa teriakan “Aswatama mati!” secara berulang-ulang hingga terdengar Durna. Aswatama merupakan nama putra kesayangan Durna yang turut serta berperang di pihak Kurawa untuk melawan Pandawa. Durna yang mendengar nama anaknya disebut meninggal, langsung hilang konsentrasi dan pikirannya kacau. Ia tidak fokus berperang sehingga Pandawa mudah mengalahkannya. Ketika ditanya kenapa Krisna berbohong, titisan Wisnu itu menampik, “Kita tidak berbohong. Aswatama yang aku maksud bukanlah putra Durna, melainkan seekor gajah yang dinamai sama”.

Aspek Gospel juga menyiratkan bahwa hoax bisa diciptakan untuk menebas batas toleransi dan menciderai keyakinan beragama umat lain. Pada beberapa waktu lalu, kita bahkan bisa menyimak bahwa dari kabar bohong yang beredar secara beruntun tanpa disertai upaya verifikasi, kekerasan antar umat beragama terjadi begitu mudah. Tak tanggung-tanggung, karena kabar hoax, salah satu rumah ibadah akhirnya harus dibakar.

Saudara Kandung Hoax: Plagiarisme

Kemudahan akses dan ketersediaan informasi yang melimpah ruah ternyata tidak hanya mencipatakan hoax sebagai bencana besar. Akses yang kelewat gampang dan informasi yang membandang membuat hoax menggandeng erat saudaranya, yakni plagiarisme.

Akses informasi didukung teknologi yang kian memungkinkan, membuat banyak orang bisa memilih begitu banyak informasi yang ia kehendaki untuk kemudian ditindaklanjuti sesuai keinginan dan kebutuhan. Tindak  lanjut dengan dasar keinginan dan kebutuhan tertentu bisa membuat orang akhirnya mengakui informasi yang ia terima sebagai miliknya dengan sekaligus mengabaikan hak cipta dari pembuat informasi tersebut. Orang bisa dengan mudah mengakui karya orang lain sebagai karyanya atau setidaknya membuatnya tampak seolah-olah adalah karyanya. Niatan untuk berbuat lancung ini bisa menghinggapi siapapun, termasuk mereka yang bergelut di dunia akademik. Era digital ternyata membuat kaum cerdik pandai lebih bisa merobohkan marwah dunia pendidikan dengan mencurangi karya orang lain sebagai miliknya.

Contoh teranyar yang ramai menjadi bahan gunjingan publik adalah temuan plagiat disertasi di salah satu universitas negeri di Jakarta. Contoh lawas yang ramai soal plagiarisme di dunia akademisi adalah tulisan salah seorang pejabat dan akademisi  flamboyan soal gagasan asuransi bencana yang ditengarai menjiplak karya orang lain. Merasa integritasnya tercoreng, pejabat kemudian mengundurkan diri dari universitas tempatnya mengabdi.

Bahkan tulisan Presiden Joko Widodo atau Jokowi di salah satu media cetak nasional yang akhirnya melahirkan frasa terkenal, yakni Revolusi Mental, juga dikatakan mirip dengan tulisan pendiri Setara Institut, Romo Beny, yang naik cetak di media yang berbeda di hari yang sama.  Pak Jokowi yang kala itu masih menjadi bakal calon presiden mengakui bahwa ide tulisan itu darinya, namun yang menuliskannya adalah tim suksesnya.

Kita juga belum lupa kisah Afi Nihaya, seorang pelajar asal Banyuwangi yang awalnya menuai salut dari banyak orang karena pemikirannya yang dituliskan di dinding sosial media, ternyata didapati melakukan praktik plagiarisme. Afi bahkan sempat menjadi narasumber di banyak tempat termasuk di media televisi nasional karena bernasnya tulisan yang ia unggah.

Motif yang melatarbelakangi upaya plagiasi juga seakan tak jauh dari yang memantik hoax terjadi. Kebutuhan akan uang, kekuasaan, dan pengaruh adalah bahan bakar yang membuat upaya plagiasi dilakukan.

Tak hanya di dunia pendidikan, dunia literasi dan perbukuan juga menyimpan banyak cerita soal plagiarisme. Banyak karya yang dituding sebagai plagiat dari karya penulis lain dan memicu seteru yang panjang.

Pada  tahun 1962, sebuah resensi esai di harian Bintang Timur “Lentera” yang ditulis oleh Abdullah SP, menyerang ulama besar cum sastrawan yang bernama Haji Abdul Malik Karim Amrullah. Ulama ini lebih tersohor dengan panggilan Buya Hamka yang merupakan akronim dari nama panjangnya sendiri. Lewat tulisan berjudul “Aku Mendakwa Hamka Plagiat!”, Abdullah SP menguliti novel karya Buya Hamka yang berjudul Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk sebagai karya plagiat yang meniru novel Magdalena, yang disadur oleh penyair Mustafa Lutfhi Al-Manfaluthi dari karya pengarang Perancis. Polemik ini sempat memecah dunia sastra menjadi dua kubu, yakni pendukung Hamka yang dipimpin oleh HB Jassin serta pendukung Abdullah SP yang digawangi oleh Pramoedya Ananta Toer yang juga mengasuh lembar kebudayaan “Lentera”.

Tak hanya soal Buya Hamka, dunia literasi Indonesia kerap dihembus dengan isu plagiarisme pegiat-pegiatnya. Sosok Chairil Anwar juga sering disebut melakukan praktik plagiarisme. Sajaknya yang terkenal berjudul “Karawang-Bekasi” disebut menjiplak karya Archibald Mac Leish yang berjudul The Young Dead Soldiers Do Not Speak. Selain itu, masih lekat dalam ingatan tentang kasus plagiarisme yang menimpa Seno Gumira Ajidarma dalam cerita pendek “Dodolit Dodolitbret” yang menjadi pemenang Cerita Pendek Terbaik Kompas 2011 yang dianggap mirip sekali dengan cerpen “Tiga Pertapa” karya Leo Tolstoy. Ada pula catatan tentang penyair Taufik Ismail dalam puisinya yang berjudul “Kerendahan Hati” yang diduga sebagai plagiat dari karya Douglas Malloch yang berjudul Be the Best Whatever You Are.

Dunia literasi luar negeri juga santer didera oleh isu plagiarisme. Dan Brown pernah dituduh menjiplak novel The Holy Blood and The Holy Grail untuk penulisan novel The Da Vinci Code  yang mengulik banyak soal seluk beluk agama samawi. Pengarang novel fantasi paling laris, JK Rowling juga pernah diduga menyontek untuk ide penulisan salah satu seri cerita penyihir berkacamata dari Hogwarts, Harry Potter.        

Praktik plagiat sangat menggoda untuk dilakukan siapa saja. Apalagi sekarang plagiasi menjadi berpeluang sangat besar dilakukan karena dengan gawai di tangan berupa ponsel pintar dan aplikasi yang bisa diunduh secara gratis di layanan penyedia, seseorang bisa mengubah gambar/foto tulisan langsung menjadi tulisan siap ketik untuk diedit. Bayangkan bila aplikasi itu dipakai untuk memotret buku atau karya tulis lainnya.

Maka berikutnya, serupa dengan pertanyaan yang terlontar soal hoax, bila orang-orang yang dipandang punya integritas dan kapabilitas tinggi di bidang literasi diduga begitu mudah melakukan praktik plagiat, bagaimana dengan masyarakat awam yang didukung oleh perkembangan teknologi informasi untuk melakukan hal yang serupa?

Pada Mulanya adalah Kesadaran

Yang menjadi kekhawatiran besar dari pusaran besar hoax dan plagiarisme ini adalah fenomena yang disebut post-truth. Ini adalah sebuah kondisi saat keyakinan pribadi penerima hoax dan hasil karya plagiat tidak menganggap realitas, fakta obyektif, dan kebenaran sebagai hal yang relevan. Asumsi dan selera akhirnya lebih dikedepankan daripada objektivitas.  Dalam hal ini, maka pernyataan Joseph Goebbels, ahli propaganda Hitler di Perang Dunia II, menjadi benar. “Kebohongan yang disampaikan terus menerus akan mampu diterima sebagai kebenaran,” kata Goebbels.

Maka semua pihak harus kembali ke kesadaran masing-masing. Bahwa bahaya pusaran  hoax dan hasil plagiat harus dilawan lewat arus balik. Arus ini dimulai dari bawah yakni kesediaan tiap-tiap pribadi untuk selalu rajin melakukan verifikasi dan cek ulang terhadap informasi yang diterima. Dalam hal ini, sikap skeptis terhadap informasi yang didapatkan menjadi penting. Upaya yang selalau digagas untuk mendapatkan akurasi dan kebenaran suatu informasi, membuat kebohongan hoax dan produk plagiarisme menjadi tidak relevan untuk berkembang.

Kesadaran berikutnya selayaknya dimiliki oleh mereka yang punya kapasitas dan akses lebih besar dibandingkan sekadar masyarakat biasa. Salah satunya adalah media, di semua matra, baik cetak dan elektronik. Media mengemban tanggung jawab moral dan etis terhadap pencegahan kabar bohong dengan terus menggaungkan praktik jurnalisme yang sehat dan terukur kebenarannya. Upaya-upaya yang memantulkan kabar bohong sehingga menjadi distorsi informasi baik masyarakat harus disudahi.

Dunia pendidikan juga mengemban tanggung jawab yang serupa, bahkan jauh lebih besar, karena di institusi pendidikanlah elemen penyampaian dan penerimaan informasi seseorang dibentuk. Kebiasaan membangun nalar, pengembangan cara berpikir kritis, dan kebiasaan melihat hal secara objektif dipupuk di institusi pendidikan. Sehingga menjadi ironis bila praktik plagiarisme dan penyebaran hoax justru disuburkan oleh kaum akademisi.

Tak kalah penting, peran besar dimiliki oleh penentu kebijakan di bidang teknologi informasi. Tak bisa ditampik, arus deras hoax dan plagiarisme sekarang salah satunya karena kemudahan teknologi informasi. Maka kesadaran soal aspek moral dan etis juga harus tumbuh di dalam benak siapapun yang memiliki kapasitas di kebijakan soal teknologi informasi. Regulasi yang samar harus diperketat, tanpa harus represif terhadap pengguna. Pemerintah lewat Kementrian Komunikasi dan Informatika tampak berupaya beradaptasi pada derasnya kabar bohong dan berita-berita palsu melalui perbaikan regulasi, salah satunya tentang perubahan UU No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

Arus balik harus diciptakan lebih besar untuk menyelamatkan kita semua dari pusaran hoax dan plagiarisme yang menenggelamkan. Tentu bukan perihal gampang. Namun kesadaran-kesadaran tadi setidaknya terus diupayakan hidup dan terus berpijar. Sekuat-kuatnya, seterang-terangnya. 

 

Selasa, 04 April 2017

Kisah Benjamin Carson dan Harapan Akan Kabar Baik




Seorang remaja tanggung membanting pintu kamarnya dengan ketakutan. Tangannya bergetar. Napasnya cepat dan tidak teratur. Lidahnya kelu. Hampir saja, sebuah pisau menancap di perut temannya. Semua bermula dari amarahnya yang memuncak karena olok-olok. Anak itu lantas menikam temannya. Karena penuh emosi, gerakan tangannya kacau. Ujung pisau tidak merobek dinding perut, namun hanya terkena gesper ikat pinggang temannya. Pisau patah dan temannya urung  tewas. Ia lalu hampir menangis dan berlari tunggang langgang menuju rumahnya, menuju kamarnya. Bocah itu kemudian menekuk lutut dan meratap, “Tuhan, jauhkan saya dari temperamen yang buruk ini.”

Belasan tahun kemudian, bocah pemarah itu tumbuh menjadi seorang yang sangat tenang dan bertangan dingin. Ia sering menggunakan pisau. Kali ini bukan pisau kemping kecil yang nyaris merenggut nyawa temannya. Bocah itu kini mengakrabi pisau bedah. Ia menjadi salah satu dokter bedah terbaik yang pernah dimiliki oleh Amerika Serikat. Spesialisasinya bedah saraf anak (pediatric neurosurgery). Nama bocah itu adalah Benjamin S Carson.

Ben Carson kala muda. Gambar diambil dari republicbuzz.com

 Hidup Ben Carson—begitu ia kerap dipanggil—sedari kecil karib dengan penolakan. Ia dikenal sebagai anak yang bodoh di kelas. Daya tangkapnya rendah dan pemahamannya jauh tertinggal dibanding teman-temannya yang lain. Kehidupan keluarganya juga tidak begitu harmonis. Orang tuanya bercerai, yang membuatnya harus  beberapa pindah tempat tinggal. Ibunya mengalami depresi yang berat karena rumah tangga yang hancur, sehingga memutuskan untuk memeriksakan diri secara rutin ke psikiater. Sehari-hari ibunya bekerja menjadi asisten rumah tangga untuk menghidupi Ben dan kakaknya yang bernama Curtis. Kondisi ekonomi yang buruk dan latar belakang keluarga yang terpuruk kerap menjadikan Ben sebagai bahan olok-olok. Satu hal lagi yang sering membuatnya menjadi bahan risak teman-temannya: Ben berkulit hitam.

Senin, 30 Januari 2017

Omron Nebulizer, Kawan Tepat di Kondisi Darurat!




Suara sirine meraung-raung. Ambulans melaju kencang, membelah jalanan. Di luar masih tergantung mendung yang pekat. Hujan masih belum usai. Saya di dalam ambulans, menjalani tugas sehari-hari sebagai paramedis gawat darurat.
Sebelum ambulans bergegas beberapa menit yang lalu, telepon layanan gawat darurat berdering keras. Di seberang telepon, terdengar suara yang bernada panik dan tergopoh-gopoh. Seorang ibu yang mengatakan anaknya kesulitan untuk bernapas. Anak tadi, disebutkan berusia 7 tahun dan mengeluh batuk sejak seminggu terakhir. Tak hanya itu, anak itu disebutkan mempunyai riwayat penyakit asma.  Sang Ibu bertambah panik karena napas anaknya kian berat. Ia ingin dijemput dengan ambulans agar anaknya mendapat pertolongan segera. Saya segera mengakhiri percakapan dan bersigap menuju ambulans, menuju alamat yang sudah disebutkan.
Selalu siap dengan Omron Nebulizer di ambulans. Gambar: dokumentasi pribadi.

Mengetahui bahwa pasien yang dijemput mempunyai riwayat asma dan sedang mengalami gangguan pernapasan dengan keluhan batuk selama satu minggu, saya enggan kecolongan. Saya membawa satu set peralatan lengkap untuk terapi pernapasan. Tentu saja ada yang tidak boleh terlewatkan: nebulizer. Saya membawa nebulizer andalan saya, Omron Nebulizer NE-C28.
***
Semua orang tanpa terkecuali dapat mengidap penyakit pernapasan. Sekali lagi, semuanya dan siapapun. Penyakit pernapasan sendiri adalah istilah untuk setiap gangguan pada  sistem pernapasan, baik pada fase akut maupun kronis. Secara mudah, sistem pernapasan terdiri dari kantung paru dan rongga pleura yang menyelimutinya, bronkiolus, tabung bronchus, trakea, sampai organ pernapasan bagian atas semisal faring dan hidung. Tingkat keparahan penyakit pernapasan juga bervariasi. Mulai yang ringan akibat virus seperti influenza/flu, hingga yang parah seperti pneumonia.
Anatomi sederhana sistem pernapasan manusia. Gambar diambil dari sini.

Dari sekian jenis penyakit pernapasan, yang paling jamak ditemui adalah asma dan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) alias Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) atau disebut juga Penyakit Paru Obstruktif Menahun (PPOM). Data yang dilansir World Health Organization (WHO) menyebutkan bahwa penyakit asma diidap oleh sekitar 235 juta orang di dunia ini. Selain itu, WHO juga memperkirakan 250.000 kematian karena asma setiap tahunnya Sedangkan COPD/PPOK/PPOM diidap oleh 64 juta orang dan  jutaan lainnya mengidap penyakit kronis saluran pernapasan lain. 
Data lain dari WHO Non Communicable Disease di Asia Tenggara menyebutkan bahwa diperkirakan 1,4 juta orang meninggal dunia karena penyakit paru kronis dimana 86% disebabkan karena COPD dan 7,8% disebabkan karena asma.  Di Indonesia sendiri, berdasarkan data Sistem Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2014, didapatkan angka kematian akibat penyakit asma adalah sebanyak 63.584 orang.
Tingginya angka gangguan pernapasan membuat banyak penyedia layanan kesehatan terpacu untuk memberikan terapi yang paling sesuai. Prinsip dari terapi gangguan pernapasan termasuk asma, yang efektif adalah bagaimana memberikan obat secara tepat dan efisien melalui trakea ke bronkus dan bronkiolus di saluran pernapasan bagian bawah. 

Sebagai tambahan pada kasus emergensi atau gawat darurat, hal yang tidak boleh dianggap sepele adalah kecepatan kerja terapi yang diberikan. Karena kecepatan dan ketepatan dalam emergensi adalah kunci. Data menunjukkan bahwa keberhasilan penanganan kasus emergensi, sebenarnya 50% terjadi di fase pra hospital atau sebelum pasien masuk ke rumah sakit. Artinya pilihan penanganan ketika kegawatdaruratan terjadi di rumah sangat mendukung keberhasilan pengobatan selanjutnya. 
Ketika terjadi kasus kegawatdaruratan gangguan pernapasan, nebulizer acapkali menjadi pilihan yang  paling sesuai. Alasannya, nebulizer mengubah obat ke dalam bentuk aerosol sehingga dapat sampai ke sasaran yang dituju dengan cepat dan tepat. Nebulizer memanfaatkan aliran udara berkecepatan tinggi yang  mampu mengubah obat cair menjadi uap yang sarat partikel mikroskopis yang akan dihirup pasien melalui masker ataupun mouthpiece, sehingga bisa sampai ke sasaran.  Untuk mengakomodasi semua hal itu, saya memilih Omron Nebulizer.
Omron Nebulizer tipe NE-C28, nebulizer andalan. Gambar diambil dari sini.

Selalu ada alasan di balik sebuah pilihan. Omron Nebulizer saya pilih karena berbagai keunggulan yang dimiliki. Jenisnya yang portabel, kemasan yang praktis, dan desainnya yang bagus, membuat mudah dibawa ke mana saja, termasuk di ambulans. Cara pemakaiannya juga relatif mudah. Tinggal menghubungkannya dengan kontak listrik, mengisi cairan obat sesuai dosis, dan uap berisi partikel mikroskopis langsung bisa dihirup. Pembersihan alat usai dipakai juga sangat gampang. 

Kelebihan lainnya adalah Virtual Valve Technology (VVT) yang dimiliki Omron Nebulizer. Ini berarti Omron Nebulizer, khususnya tipe NE-C28 yang saya gunakan, tidak menggunakan katup silikon. Dengan tidak menggunakan katup silikon, ada beberapa keuntungan yang didapat. Selain aman dan mudah dibersihkan, penggunaan VVT menghindari kejadian tertelan katup silikon yang sangat mudah terjadi pada anak-anak. Kelebihan lainnya, VVT membuat penggunaan nebulizer lebih tidak kotor, sehingga kejadian infeksi dapat dicegah.

Karena itu semua, saya mengamini bahwa Omron Nebulizer  adalah terapi pernapasan terbaik.


***
Omron Nebulizer tipe NE-C28 adalah salah satu jenis nebulizer yang diproduksi oleh Omron Healthcare Co., sebuah perusahaan besar yang berpusat di Kyoto, Jepang, yang mempunyai konsentrasi di bidang pengembangan dan produksi alat-alat kesehatan, baik untuk penggunaan di rumah maupun di rumah sakit. Selain itu, Omron Healthcare Co, juga bergerak di pembuatan perangkat lunak tentang manajemen kesehatan dan layanan kesehatan promotif. Misi perusahaannya, membantu mewujudkan kehidupan yang nyaman bagi orang-orang di seluruh dunia, melalui produk yang berteknologi tinggi.
Omron Nebulizer juga disiapkan di IGD. Gambar: dokumentasi pribadi


Selain di ambulans, saya selalu menyiapkan Omron Nebulizer di Instalasi Gawat Darurat  (IGD) tempat saya bekerja. Karena kondisi gawat darurat—termasuk gangguan pernapasan, kerap tak tertebak dan Omron adalah sahabat yang tepat. Ia kerap menemani dan memberikan solusi di saat saya menjalankan tugas sebagai paramedis, terutama ketika menghadapi kasus kegawatdaruratan gangguan pernapasan.
***
Anak itu sudah tersenyum. Napasnya berangsur-angsur membaik. Ibunya sudah tenang, raut wajahnya tak lagi menunjukkan rasa panik. Setelah mendapat terapi pernapasan dengan Omron Nebulizer di dalam ambulans, bocah itu akan mendapat perawatan lanjutan di rumah sakit.
Di luar, hujan sudah berhenti. Mendung tak lagi menggantung. Jalanan masih basah, langit sudah cerah.

============================================================================

Tulisan ini diikutkan pada Omron Nebulizer Blog Contest yang mengambil tema konten "OMRON Nebulizer, partner terbaik untuk mempermudah terapi gangguan pernapasan". 
         

Rabu, 25 Januari 2017

Jalan Terang di Kode Hitam




Sudut C-Booth yang legendaris di LA County Hospital. Gambar diambil dari sini

 Selain perkara jodoh dan perasaan perempuan, salah satu yang tidak bisa ditebak dalam alur hidup seseorang adalah persoalan kegawatdaruratan kesehatan. Tentu saja ini adalah hal yang serius dan tidak benar-benar dimaksudkan untuk bercanda. Kegawatdaruratan kesehatan adalah kondisi yang bisa menimpa siapapun, tanpa memandang warna kulit, lingkar kepala, ataupun selera musik. Keadaan kegawatdaruratan kesehatan jauh lebih menegangkan dari komidi putar, lebih menguras hormon adrenalin daripada pengalaman bertemu siluman, serta lebih misterius daripada polisi lalu lintas yang mengendap-endap di sudut mati belokan jalan. Sebab nyawa meregang adalah taruhan.

Dengan nyawa sebagai taruhan, maka kondisi kegawatdaruratan sangat akrab dengan keadaan yang dipenuhi emosi, percampuran rasa panik, harapan dan ketakutan—yang semuanya berpilin padu. Kita akan jamak menjumpai aroma seperti itu di unit-unit yang diletakkan di bagian depan rumah sakit. Unit-unit yang tak pernah dijumpai lebih besar dari ukuran lapangan futsal. Unit-unit yang mengkhususkan diri untuk berjibaku dengan deru kondisi kegawatdaruratan. Area kecil yang kerap diisi dengan orang-orang yang mungkin agak aneh karena terlihat begitu mengakrabi adu cepat permainan maut yang mengancam.

Dari sekian banyak unit gawat darurat rumah sakit di planet yang masih diperdebatkan bentuknya ini, ada sebuah tempat di salah satu negara bagian Amerika Serikat yang sangat terkenal. Meminjam salah satu dialog di film Burnt yang dibintangi Bradley Cooper, misalkan tempat ini adalah sosok manusia, maka ia adalah Rolling Stone bagi penggemar musik rock.  Tempat ini adalah kiblat bagi banyak unit gawat darurat di seluruh dunia. Tempat ini adalah departemen emergensi (Emergency Department/ED) Los Angeles (LA) County Hospital.