Gambar diambil dari sini |
Lelaki ceking dengan rambut belah pinggir
itu membuat riuh jagat akademik Amerika Serikat di tahun 1996. Makalah yang ia tulis menjadi skandal
intelektual yang guratnya masih membekas hingga kini. Alan Sokal, nama pria
ceking itu, menulis sebuah makalah yang berjudul “Melampaui Pembatasan: Menuju
Hermeneutika Transformatif dalam Gravitasi Kuantum” (teks aslinya berjudul Transgressing
Boundaries: Toward a Transformative Hermeneutics of Quantum Gravity) untuk
dipublikasikan di jurnal Social Text, sebuah jurnal tentang studi
budaya postmodernisme yang terkenal di kalangan akademisi Amerika
Serikat.
Alan Sokal berlatarbelakang ilmu sains. Ia
adalah profesor fisika di New York University sekaligus profesor matematika di
University College of London. Sementara jurnal Social Text yang
menerbitkan makalahnya yang itu adalah sebuah kanal studi budaya yang dibidani
oleh tiga akademisi, yakni John Brenkman, Stanley Aronowitz, dan Fredric
Jameson. Mereka bertiga adalah pemikir postmodern yang sering dijadikan acuan
oleh kalangan akademisi lain.
Lewat makalahnya, Sokal mengkritisi studi
budaya postmodernisme yang dianggapnya terlalu menafikan dasar-dasar objektif
sains dan cenderung ngawur dalam memberikan telaah terhadap
studi ilmiah. Pada makalah setebal 39 halaman itu, Sokal membenturkan
teori-teori pemikir macam Jacques Derida, Jacques Lacan, dan Felix Guattari
dengan hasil temuan-temuan begawan fisika macam Albert Einstein dan Niels Bohr.
Setelah mengalami beberapa proses revisi, makalah itu lantas diserahkan ke
editor jurnal Social Text dan dianggap layak untuk
diterbitkan.
Pada 15 april 1996, muncul pengakuan dari
Alan Sokal tentang makalah yang ditulisnya untuk Social Text. Dari
sinilah geger itu bergaung. Lewat sebuah tulisan lain berjudul Physicist
Experiment with Cultural Studies yang diterbitkan oleh
jurnal Lingua Franca, Sokal membuat pernyataan bahwa makalah yang
diterbitkan oleh Social Text beberapa pekan sebelumnya tak
lebih dari sekadar parodi dan olok-olok yang disengaja. Sokal mengaku menulis
makalah itu tak lain hanya untuk mengejek sekaligus menguji standar pemikir dan
pegiat studi budaya postmodernisme di Amerika Serikat. Isi dari makalah Sokal
yang tayang di Social Text hanyalah omong kosong alias hoax.
Makalah yang ditulis Sokal adalah ungkapan
satir untuk mengukur objektivitas para editor jurnal yang ia anggap
ceroboh sekaligus gagap secara intelektualitas sehingga tidak dapat mengeja
realitas obyektif. Masih menurut Sokal, para editor Social Text mengabaikan
kualitas pembuktian serta mengubur keterkaitan sekaligus relevansi
argumen-argumen dalam mencapai sebuah kesimpulan tertentu.
Kejadian tersebut kemudian memberikan
gaung di hari-hari berikut dan tahun tahun kemudian, hingga sekarang. Bahkan
ada istilah yang terkenal di dunia akademik yakni Sokal Hoax atau Sokal
Affair yang merujuk pada geger yang dipantik oleh profesor itu. Istilah Sokal
Hoax bisa menjurus kepada sebuah upaya manipulatif untuk menciptakan
pemahaman-pemahaman baru dengan mengacaukan ukuran batas-batas epistimologis.
Yang menjadi pertanyaan serius adalah bila
kaum cendekiawan saja bisa tersesat opininya oleh sebuah informasi yang
dimanipulasi kebenarannya, apalagi masyarakat awam yang gagap melakukan
verifikasi, telaah, atau sekadar cek dan ricek?
Banjir Bah Informasi dan Trinitas 3G
Kita memasuki sebuah jaman di mana
informasi begitu mudah sekali diakses, terlepas dari kesahihan sumbernya dan
kebenaran esensinya. Kemudahan akses ini diikuti oleh informasi yang terus
menderas dan meluap, menyeret banyak kalangan dalam arus yang bisa
menjerumuskan. Hoax atau kabar bohong membentuk pusarannya sendiri, menghisap siapa
yang mendekat kepadanya, lalu menyeretnya dalam pusaran, kemudian
menenggelamkannya. Bila hoax yang dilakukan Sokal tidak lebih dari sekadar
upaya mengkritisi dan menguji standar ilmiah kaum cerdik pandai di sebuah
kalangan, maka hoax yang terjadi sekarang bisa lebih dari keisengan intelektual
ala Sokal. Hoax sekarang adalah bagian dari upaya sadar dan sengaja untuk
mempengaruhi, menyesatkan dan menuntun asumsi khalayak guna mencapai
tujuan-tujuan tertentu. Inilah salah satu bencana besar teknologi informasi.
Tentu saja motivasi orang-orang menggagas
hoax sekarang jauh berbeda dengan apa yang dilakukan Sokal. Bila Sokal menyulut
hoax untuk menggugah nalar kaum akademisi, maka banyak orang yang berternak
kabar bohong hanya untuk pemenuhan hasrat akan kebutuhan yang bersifat materi.
Bila dilihat dari jarak pandang yang sedikit luas, hoax tak ubahnya seperti
senjata andalan untuk merengkuh trinitas yang pernah menjadi mantra imprealisme
lawas, yakni 3G (Gold-Glory-Gospel). Di jaman sekarang, trinitas yang berkelindan
ini masih terus diburu dan hoax adalah senjata ampuh untuk mendapatkan
semuanya.
Di aspek Gold, hoax adalah
bahan dasar yang mumpuni untuk mendulang uang. Kita bisa mengambil contoh dari
banyaknya media daring yang memasok kabar bohong. Beragam laporan penelusuran
terhadap situs-situs pemasok kabar bohong ini memberikan gambaran soal
pundi-pundi uang yang diraup dari berjualan hoax. Menurut pengakuan mereka yang
bergerak di balik situs dan media abal-abal ini, setiap bulan
setidaknya mereka bisa mendapatkan sekitar 25-30 juta rupiah dari kabar-kabar
bohong yang diproduksi secara intens.
Pada aspek Glory, kita bisa
melihat bagaimana kabar bohong diciptakan untuk meraih kekuasaan tertentu dan
kepentingan politik praktis. Betapa banyak berita yang tidak dapat dikonfirmasi
kebenarannya sengaja digagas untuk menjatuhkan lawan politik yang menghalangi
tercapainya keinginan untuk mendapatkan kekuasaan politis.
Bahkan di kisah epik kolosal
Mahabarata, hoax juga dihembuskan untuk kemenangan salah satu pihak.
Dikisahkan, saat perang Baratayudha berlangsung di Kurustera, anak-anak Pandu
(Pandawa) harus menghadapi guru ilmu perang yang mengajari mereka sedari kecil,
yakni Resi Durna. Durna tahu persis kelemahan murid-muridnya sehingga ketika
posisinya lebih unggul daripada Pandawa. Menyadari posisi Pandawa terjepit,
Krisna yang merupakan penasehat perang Pandawa mempunyai ide untuk mengalahkan
Durna. Krisna memilih mengajak Pandawa dan pasukannya untuk menyebar hoax saat
perang berlangsung.
Hoax itu berupa teriakan “Aswatama mati!”
secara berulang-ulang hingga terdengar Durna. Aswatama merupakan nama putra
kesayangan Durna yang turut serta berperang di pihak Kurawa untuk melawan
Pandawa. Durna yang mendengar nama anaknya disebut meninggal, langsung hilang
konsentrasi dan pikirannya kacau. Ia tidak fokus berperang sehingga Pandawa
mudah mengalahkannya. Ketika ditanya kenapa Krisna berbohong, titisan Wisnu itu
menampik, “Kita tidak berbohong. Aswatama yang aku maksud bukanlah putra Durna,
melainkan seekor gajah yang dinamai sama”.
Aspek Gospel juga
menyiratkan bahwa hoax bisa diciptakan untuk menebas batas toleransi dan
menciderai keyakinan beragama umat lain. Pada beberapa waktu lalu, kita bahkan
bisa menyimak bahwa dari kabar bohong yang beredar secara beruntun tanpa
disertai upaya verifikasi, kekerasan antar umat beragama terjadi begitu mudah.
Tak tanggung-tanggung, karena kabar hoax, salah satu rumah ibadah akhirnya
harus dibakar.
Saudara Kandung Hoax: Plagiarisme
Kemudahan akses dan ketersediaan informasi
yang melimpah ruah ternyata tidak hanya mencipatakan hoax sebagai bencana
besar. Akses yang kelewat gampang dan informasi yang membandang membuat hoax
menggandeng erat saudaranya, yakni plagiarisme.
Akses informasi didukung teknologi yang
kian memungkinkan, membuat banyak orang bisa memilih begitu banyak informasi
yang ia kehendaki untuk kemudian ditindaklanjuti sesuai keinginan dan
kebutuhan. Tindak lanjut dengan dasar keinginan dan kebutuhan tertentu
bisa membuat orang akhirnya mengakui informasi yang ia terima sebagai miliknya
dengan sekaligus mengabaikan hak cipta dari pembuat informasi tersebut. Orang
bisa dengan mudah mengakui karya orang lain sebagai karyanya atau setidaknya
membuatnya tampak seolah-olah adalah karyanya. Niatan untuk berbuat lancung ini
bisa menghinggapi siapapun, termasuk mereka yang bergelut di dunia akademik.
Era digital ternyata membuat kaum cerdik pandai lebih bisa merobohkan marwah
dunia pendidikan dengan mencurangi karya orang lain sebagai miliknya.
Contoh teranyar yang ramai menjadi bahan
gunjingan publik adalah temuan plagiat disertasi di salah satu universitas
negeri di Jakarta. Contoh lawas yang ramai soal plagiarisme di dunia akademisi
adalah tulisan salah seorang pejabat dan akademisi flamboyan soal gagasan
asuransi bencana yang ditengarai menjiplak karya orang lain. Merasa
integritasnya tercoreng, pejabat kemudian mengundurkan diri dari universitas
tempatnya mengabdi.
Bahkan tulisan Presiden Joko Widodo atau
Jokowi di salah satu media cetak nasional yang akhirnya melahirkan frasa
terkenal, yakni Revolusi Mental, juga dikatakan mirip dengan tulisan pendiri
Setara Institut, Romo Beny, yang naik cetak di media yang berbeda di hari yang
sama. Pak Jokowi yang kala itu masih menjadi bakal calon presiden
mengakui bahwa ide tulisan itu darinya, namun yang menuliskannya adalah tim
suksesnya.
Kita juga belum lupa kisah Afi Nihaya,
seorang pelajar asal Banyuwangi yang awalnya menuai salut dari banyak orang
karena pemikirannya yang dituliskan di dinding sosial media, ternyata didapati
melakukan praktik plagiarisme. Afi bahkan sempat menjadi narasumber di banyak
tempat termasuk di media televisi nasional karena bernasnya tulisan yang ia
unggah.
Motif yang melatarbelakangi upaya plagiasi
juga seakan tak jauh dari yang memantik hoax terjadi. Kebutuhan akan uang,
kekuasaan, dan pengaruh adalah bahan bakar yang membuat upaya plagiasi
dilakukan.
Tak hanya di dunia pendidikan, dunia literasi
dan perbukuan juga menyimpan banyak cerita soal plagiarisme. Banyak karya yang
dituding sebagai plagiat dari karya penulis lain dan memicu seteru yang
panjang.
Pada tahun 1962, sebuah resensi esai
di harian Bintang Timur “Lentera” yang ditulis oleh Abdullah SP, menyerang
ulama besar cum sastrawan yang bernama Haji Abdul Malik Karim
Amrullah. Ulama ini lebih tersohor dengan panggilan Buya Hamka yang merupakan
akronim dari nama panjangnya sendiri. Lewat tulisan berjudul “Aku Mendakwa
Hamka Plagiat!”, Abdullah SP menguliti novel karya Buya Hamka yang berjudul
Tenggelamnya Kapal Van Der Wijk sebagai karya plagiat yang meniru novel
Magdalena, yang disadur oleh penyair Mustafa Lutfhi Al-Manfaluthi dari karya
pengarang Perancis. Polemik ini sempat memecah dunia sastra menjadi dua kubu,
yakni pendukung Hamka yang dipimpin oleh HB Jassin serta pendukung Abdullah SP
yang digawangi oleh Pramoedya Ananta Toer yang juga mengasuh lembar kebudayaan
“Lentera”.
Tak hanya soal Buya Hamka, dunia literasi
Indonesia kerap dihembus dengan isu plagiarisme pegiat-pegiatnya. Sosok Chairil
Anwar juga sering disebut melakukan praktik plagiarisme. Sajaknya yang terkenal
berjudul “Karawang-Bekasi” disebut menjiplak karya Archibald Mac Leish yang
berjudul The Young Dead Soldiers Do Not Speak. Selain itu,
masih lekat dalam ingatan tentang kasus plagiarisme yang menimpa Seno Gumira
Ajidarma dalam cerita pendek “Dodolit Dodolitbret” yang menjadi pemenang Cerita
Pendek Terbaik Kompas 2011 yang dianggap mirip sekali dengan cerpen “Tiga
Pertapa” karya Leo Tolstoy. Ada pula catatan tentang penyair Taufik Ismail
dalam puisinya yang berjudul “Kerendahan Hati” yang diduga sebagai plagiat dari
karya Douglas Malloch yang berjudul Be the Best Whatever You Are.
Dunia literasi luar negeri juga santer
didera oleh isu plagiarisme. Dan Brown pernah dituduh menjiplak novel The Holy
Blood and The Holy Grail untuk penulisan novel The Da Vinci Code yang
mengulik banyak soal seluk beluk agama samawi. Pengarang novel fantasi paling
laris, JK Rowling juga pernah diduga menyontek untuk ide penulisan salah satu
seri cerita penyihir berkacamata dari Hogwarts, Harry
Potter.
Praktik plagiat sangat menggoda untuk
dilakukan siapa saja. Apalagi sekarang plagiasi menjadi berpeluang sangat besar
dilakukan karena dengan gawai di tangan berupa ponsel pintar dan aplikasi yang
bisa diunduh secara gratis di layanan penyedia, seseorang bisa mengubah
gambar/foto tulisan langsung menjadi tulisan siap ketik untuk diedit. Bayangkan
bila aplikasi itu dipakai untuk memotret buku atau karya tulis lainnya.
Maka berikutnya, serupa dengan pertanyaan
yang terlontar soal hoax, bila orang-orang yang dipandang punya integritas dan
kapabilitas tinggi di bidang literasi diduga begitu mudah melakukan praktik
plagiat, bagaimana dengan masyarakat awam yang didukung oleh perkembangan
teknologi informasi untuk melakukan hal yang serupa?
Pada Mulanya adalah Kesadaran
Yang menjadi kekhawatiran besar dari
pusaran besar hoax dan plagiarisme ini adalah fenomena yang disebut post-truth.
Ini adalah sebuah kondisi saat keyakinan pribadi penerima hoax dan hasil karya
plagiat tidak menganggap realitas, fakta obyektif, dan kebenaran sebagai hal
yang relevan. Asumsi dan selera akhirnya lebih dikedepankan daripada
objektivitas. Dalam hal ini, maka pernyataan Joseph Goebbels, ahli
propaganda Hitler di Perang Dunia II, menjadi benar. “Kebohongan yang
disampaikan terus menerus akan mampu diterima sebagai kebenaran,” kata
Goebbels.
Maka semua pihak harus kembali ke
kesadaran masing-masing. Bahwa bahaya pusaran hoax dan hasil plagiat
harus dilawan lewat arus balik. Arus ini dimulai dari bawah yakni kesediaan
tiap-tiap pribadi untuk selalu rajin melakukan verifikasi dan cek ulang
terhadap informasi yang diterima. Dalam hal ini, sikap skeptis terhadap
informasi yang didapatkan menjadi penting. Upaya yang selalau digagas untuk
mendapatkan akurasi dan kebenaran suatu informasi, membuat kebohongan hoax dan
produk plagiarisme menjadi tidak relevan untuk berkembang.
Kesadaran berikutnya selayaknya dimiliki
oleh mereka yang punya kapasitas dan akses lebih besar dibandingkan sekadar
masyarakat biasa. Salah satunya adalah media, di semua matra, baik cetak dan
elektronik. Media mengemban tanggung jawab moral dan etis terhadap pencegahan
kabar bohong dengan terus menggaungkan praktik jurnalisme yang sehat dan
terukur kebenarannya. Upaya-upaya yang memantulkan kabar bohong sehingga
menjadi distorsi informasi baik masyarakat harus disudahi.
Dunia pendidikan juga mengemban tanggung
jawab yang serupa, bahkan jauh lebih besar, karena di institusi pendidikanlah
elemen penyampaian dan penerimaan informasi seseorang dibentuk. Kebiasaan
membangun nalar, pengembangan cara berpikir kritis, dan kebiasaan melihat hal
secara objektif dipupuk di institusi pendidikan. Sehingga menjadi ironis bila
praktik plagiarisme dan penyebaran hoax justru disuburkan oleh kaum akademisi.
Tak kalah penting, peran besar dimiliki
oleh penentu kebijakan di bidang teknologi informasi. Tak bisa ditampik, arus
deras hoax dan plagiarisme sekarang salah satunya karena kemudahan teknologi
informasi. Maka kesadaran soal aspek moral dan etis juga harus tumbuh di dalam
benak siapapun yang memiliki kapasitas di kebijakan soal teknologi informasi.
Regulasi yang samar harus diperketat, tanpa harus represif terhadap pengguna.
Pemerintah lewat Kementrian Komunikasi dan Informatika tampak berupaya
beradaptasi pada derasnya kabar bohong dan berita-berita palsu melalui
perbaikan regulasi, salah satunya tentang perubahan UU No.11 tahun 2008 tentang
Informasi dan Transaksi Elektronik
Arus balik harus diciptakan lebih besar
untuk menyelamatkan kita semua dari pusaran hoax dan plagiarisme yang
menenggelamkan. Tentu bukan perihal gampang. Namun kesadaran-kesadaran tadi
setidaknya terus diupayakan hidup dan terus berpijar. Sekuat-kuatnya,
seterang-terangnya.