Gambar diambil dari sini |
Di
dalam lambung sebuah kapal berbahan kayu ulin, beberapa dokter dan tim relawan
melakukan operasi. Dari subuh sampai subuh. Berhari-hari, hingga seminggu
lamanya. Tidak keluar kapal, hanya mengoperasi. Kasus demi kasus, pasien demi
pasien. Setelah operasi usai, mereka lalu turun dari kapal dan menyambangi
penduduk tempat kapal mereka melempar sauh. Beristirahat di rumah warga.
Bercakap-cakap. Beramah-ramah. Kemudian kembali
melakukan ritus pengobatan lagi.
Dr. Lie
Dharmawan adalah kapten dari armada itu. Perawakannnya tidak terlalu tinggi,
khas orang Asia. Matanya sipit, kulitnya bersih, rambutnya hitam tipis dibelah
pinggir. Sekilas melihat fisiknya, bisa ditebak bahwa Lie adalah keturunan
etnis Cina. Pria kelahiran Padang bernama kecil Lie Tek Bie itu toh tidak
terlalu mempersoalkan perihal etnis dalam melakukan pelayanan pengobatan.
Dengan bangga, ia mengaku bahwa identitasnya adalah warga Indonesia.
Pandangan nasionalisme pula yang membuatnya
kembali ke negeri ini setelah menempuh pendidikan kedokteran di Jerman. Setelah menamatkan kuliah di salah
satu universitas riset paling terkemuka di Jerman, ia lalu membangun kariernya
di Cologne, sebuah kota kecil di Jerman. Di sana, Lie sangat dihargai secara
finansial dan status sosial. Betapa tidak, di Jerman, Lie menamatkan gelar Ph.D dan
empat spesialisasi bedah sekaligus. Mulai bedah umum, bedah thoraks, bedah
jantung, dan bedah vaskuler.
Padahal
menjadi dokter adalah mimpi yang dianggapnya terlampau susah untuk digapai. Ia
lahir sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara. Keadaan sosial ekonomi keluarganya terlampau susah. Keluarga besar
itu terlampau sering dihimpit kesusahan.
“Siapapun
tahu, bahwa menempuh pendidikan kedokteran membutuhkan uang yang tidak sedikit,”
kata Lie. Karena mimpinya dianggap berlebihan, Lie harus kenyang dengan
tertawaan dan olok-olok orang-orang sekitarnya. Tapi Lie tidak goyah. Ia
memelihara mimpinya dan mewujudkannya jadi nyata.
Hingga
suatu saat, keteguhan Lie dalam memelihara mimpi berkali-kali diuji. Selepas SMA, ia
mendaftar di beberapa fakultas kedokteran di Jawa. Semuanya menolaknya,
termasuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lie dianggap tidak layak
menjadi dokter setelah gagal dalam menempuh tes masuk. Lie kerap gagal di
tes psikologi. Mental Lie muda dianggap tidak sesuai dengan pendidikan
kedokteran di Indonesia.
Namun Lie masih keras kepala. Usai menerima penolakan demi penolakan, ia terus mencoba mengikuti tes fakultas kedokteran di salah satu universitas swasta. Kali ini ada sedikit titik terang. Sedikit saja terang yang muncul, karena gelap kembali datang. Kampus Fakultas Kedokteran Universitas Res Publica yang menerimanya, ternyata dibakar. Tapi impian Lie tidak turut hangus. Ia mengumpulkan bekal agar bisa menempuh pendidikan kedokteran di tempat lain. Usaha gigihnya lantas berbuah manis. Ia diterima di fakultas kedokteran FU Berlin, Jerman.
Namun Lie masih keras kepala. Usai menerima penolakan demi penolakan, ia terus mencoba mengikuti tes fakultas kedokteran di salah satu universitas swasta. Kali ini ada sedikit titik terang. Sedikit saja terang yang muncul, karena gelap kembali datang. Kampus Fakultas Kedokteran Universitas Res Publica yang menerimanya, ternyata dibakar. Tapi impian Lie tidak turut hangus. Ia mengumpulkan bekal agar bisa menempuh pendidikan kedokteran di tempat lain. Usaha gigihnya lantas berbuah manis. Ia diterima di fakultas kedokteran FU Berlin, Jerman.
Alasan
yang membuat Lie gigih mengasuh cita-citanya menjadi dokter adalah karena
sebuah kejadian pilu yang menimpa keluarganya. Saat itu, adiknya yang baru
berusia setahun meninggal karena diare yang terlambat tertangani. Keterlambatan
penanganan terjadi karena keluarganya sedang dalam pengungsian. Selama
mengungsi, adiknya tidak mendapat akses pengobatan ke dokter. Sejak itu, Lie
memancang impiannya dengan kuat: ia harus menjadi seorang dokter.
***
Kini, Lie memimpin sebuah
ekspedisi kemanusiaan pada sebuah kapal pinisi. Kapal itu adalah sebuah rumah
sakit apung. Di dalamnya, terdapat bilik-bilik yang diubah menjadi kamar
operasi, ruang resusitasi (untuk mengembalikan fungsi tubuh pasien yang dalam
kondisi gawat darurat), ruang pemeriksaan pasien, serta kamar rawat inap untuk
beberapa pasien. Di dalamnya pula, terdapat
segenap perabot pendukung yang
menjadikannya layak disebut rumah sakit. Mulai perlengkapan kamar bedah, mesin
ultrasonografi, sampai perangkat pemindai sinar x (x-ray). Kapal seberat 114
ton itu diberi nama KLM RSA dr. Lie Dharmawan.
Operasi di dalam kapal. Gambar diambil bebas dari sini |
Kapal itu bertolak dari pulau ke pulau di bentangan nusantara. Singgah sejenak untuk melakukan pengobatan terhadap masyarakat lokal. Dan semuanya gratis. Mereka yang berobat tidak membayar sepeser pun. Tidak peduli kasusnya apa. Mulai sekadar batuk pilek biasa, pemeriksaan kehamilan, bedah minor, sampai operasi besar juga ditangani.
Di dalam perut kapal, di atas ayunan ombak, dr. Lie dan kawan-kawan
melakukan itu semua. Tanpa mengharap bayaran materi. Sedikitpun. Hingga kini,
tak kurang sekitar 40 operasi besar dan
sekitar 80 operasi kecil telah ia lakukan bersama tim di dalam kapal dengan
panjang 23,5 meter dan lebar 6,5 meter itu.
KLM RSA dr. Lie Dharmawan
sendiri adalah bagian dari layanan organisasi yang didirikan Lie, doctorSHARE
namanya. Ini adalah organisasi nirlaba yang bertujuan memberikan pelayanan
kesehatan dan bantuan kemanusiaan secara gratis
kepada siapapun yang membutuhkan dan terhambat aksesnya karena sebab
apapun. DoctorSHARE atau Yayasan Dokter Peduli ini tidak hanya berfokus pada
penanganan fisik. Mereka melakukan pelayanan kesehatan secara holistik. Dari
fisik hingga psikis. Dan sekali lagi, semuanya
tak berbayar.
Dr Lie Dharmawan. Gambar diambil dari sini |
Dalam sebuah talk show di
televisi, saya pernah melihat dr. Lie mengemukakan alasan kenapa dia melakukan
ini semua. Selain semata-mata karena panggilan hati dan rasa kemanusiaan, dr.
Lie melakukan ini karena memegang teguh amanah ibunya ketika ia masih duduk di
bangku kuliah kedokteran. Di acara talk show itu, Lie menirukan suara ibunya,
“Kalau kamu suatu saat jadi dokter, jangan memeras pasien miskin. Mereka akan
membayarmu. Tapi di rumah mereka menangis..” Lie berhenti menirukan petuah ibunya.
Mulutnya terkatup, sesekali bergetar. Pandangannya menerawang jauh. Matanya
menahan tangis. Ia lalu menghela nafas
panjang, sejurus kemudian kembali menirukan suara ibunya, “karena mereka tak
punya duit untuk beli beras untuk dimakan.”
Dr. Lie adalah contoh dari anomali.
Ia bagian dari wajah-wajah lain dari silang sengkarut dunia pelayanan kesehatan
yang masalahnya kian pelik dari hari ke hari. Isu-isu komersil, wacana soal dedikasi yang kerap
mengambang dan jauh dari tataran praktis, tuntutan yang kian beragam, atau
karut marut persoalan pelayanan kesehatan
lainnya. Tanpa banyak menawarkan janji, kakek berusia 67 tahun ini
langsung bertindak ke jantung persoalan. Permasalahan tidak ratanya sebaran
rumah sakit–terutama untuk daerah tertinggal, serta akses terhadap tim
kesehatan ahli yang terbatas dia sikapi
dengan upaya jemput bola.
Lie juga paham benar bahwa kondisi geografis
nusantara yang terdiri atas sebaran
pulau-pulau harus diakali dengan membuat moda transportasi sekaligus pusat
layanan kesehatan yang mobil. Karena itulah rumah sakit apung atau floating hospital dibuat.
Barangkali kisah Lie ini serupa
dongeng atau mitos. Tapi ia adalah kisah epik yang nyata. Padanya, kita bisa
melihat sisi lain dunia pelayanan kesehatan di negeri ini. Kelak, barangkali
kisahnya akan terus ditauladani dan dijadikan cerita yang menarik untuk
dikisahkan. Serupa Che Guevara yang
mengembara di pelosok Amerika Latin di atas sepeda motor tuanya. Che, dokter
cum pejuang revolusioner itu memantik api revolusi sambil berkunjung dan
merawat pasien-pasien lepra. Atau juga serupa Bunda Teresa di lorong-lorong kota Calcutta yang merawat pasien papa dan renta. Juga kisah
Rabiah, Si Suster Apung dari Indonesia Timur yang berkunjung antar pulau ke pulau dengan lampu pijar. Kepada mereka saya menghaturkan
hormat yang takzim. Sedalam-dalam hormat. Sesungguh-sungguh tabik. Jika pun
saya belum layak untuk meniru mereka, semoga catatan sederhana ini bisa
mewakili hormat saya.