Sabtu, 22 Maret 2014

Dokter Lie dan Epik dari Perut Pinisi


Gambar diambil dari sini


Di dalam lambung sebuah kapal berbahan kayu ulin, beberapa dokter dan tim relawan melakukan operasi. Dari subuh sampai subuh. Berhari-hari, hingga seminggu lamanya. Tidak keluar kapal, hanya mengoperasi. Kasus demi kasus, pasien demi pasien. Setelah operasi usai, mereka lalu turun dari kapal dan menyambangi penduduk tempat kapal mereka melempar sauh. Beristirahat di rumah warga. Bercakap-cakap. Beramah-ramah. Kemudian kembali melakukan ritus pengobatan lagi.

Dr. Lie Dharmawan adalah kapten dari armada itu. Perawakannnya tidak terlalu tinggi, khas orang Asia. Matanya sipit, kulitnya bersih, rambutnya hitam tipis dibelah pinggir. Sekilas melihat fisiknya, bisa ditebak bahwa Lie adalah keturunan etnis Cina. Pria kelahiran Padang bernama kecil Lie Tek Bie itu toh tidak terlalu mempersoalkan perihal etnis dalam melakukan pelayanan pengobatan. Dengan bangga, ia mengaku bahwa identitasnya adalah warga  Indonesia.

Pandangan nasionalisme pula yang membuatnya kembali ke negeri ini setelah menempuh pendidikan kedokteran di  Jerman. Setelah menamatkan kuliah di salah satu universitas riset paling terkemuka di Jerman, ia lalu membangun kariernya di Cologne, sebuah kota kecil di Jerman. Di sana, Lie sangat dihargai secara finansial dan status sosial. Betapa tidak,  di Jerman, Lie menamatkan gelar Ph.D dan empat spesialisasi bedah sekaligus. Mulai bedah umum, bedah thoraks, bedah jantung, dan bedah vaskuler.

Padahal menjadi dokter adalah mimpi yang dianggapnya terlampau susah untuk digapai. Ia lahir sebagai anak keempat dari tujuh bersaudara. Keadaan sosial ekonomi  keluarganya terlampau susah. Keluarga besar itu terlampau sering dihimpit kesusahan.

“Siapapun tahu, bahwa menempuh pendidikan kedokteran membutuhkan uang yang tidak sedikit,” kata Lie. Karena mimpinya dianggap berlebihan, Lie harus kenyang dengan tertawaan dan olok-olok orang-orang sekitarnya. Tapi Lie tidak goyah. Ia memelihara mimpinya dan mewujudkannya jadi nyata.

Hingga suatu saat, keteguhan Lie dalam memelihara mimpi berkali-kali diuji. Selepas SMA, ia mendaftar di beberapa fakultas kedokteran di Jawa. Semuanya menolaknya, termasuk Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Lie dianggap tidak layak menjadi dokter setelah gagal dalam menempuh tes masuk. Lie kerap gagal di tes psikologi. Mental Lie muda dianggap tidak sesuai dengan pendidikan kedokteran di Indonesia. 

Namun Lie masih keras kepala. Usai menerima penolakan demi penolakan, ia terus mencoba mengikuti tes fakultas kedokteran di salah satu universitas swasta. Kali ini ada sedikit titik terang. Sedikit saja terang yang muncul, karena gelap kembali datang. Kampus Fakultas Kedokteran Universitas Res Publica yang  menerimanya, ternyata dibakar. Tapi impian Lie tidak turut hangus. Ia mengumpulkan bekal agar bisa menempuh pendidikan kedokteran di tempat lain. Usaha gigihnya lantas berbuah manis. Ia diterima di fakultas kedokteran FU Berlin, Jerman. 

Alasan yang membuat Lie gigih mengasuh cita-citanya menjadi dokter adalah karena sebuah kejadian pilu yang menimpa keluarganya. Saat itu, adiknya yang baru berusia setahun meninggal karena diare yang terlambat tertangani. Keterlambatan penanganan terjadi karena keluarganya sedang dalam pengungsian. Selama mengungsi, adiknya tidak mendapat akses pengobatan ke dokter. Sejak itu, Lie memancang impiannya dengan kuat: ia harus menjadi seorang dokter.

***

Kini, Lie memimpin sebuah ekspedisi kemanusiaan pada sebuah kapal pinisi. Kapal itu adalah sebuah rumah sakit apung. Di dalamnya, terdapat bilik-bilik yang diubah menjadi kamar operasi, ruang resusitasi (untuk mengembalikan fungsi tubuh pasien yang dalam kondisi gawat darurat), ruang pemeriksaan pasien, serta kamar rawat inap untuk beberapa pasien. Di dalamnya pula, terdapat  segenap perabot pendukung  yang menjadikannya layak disebut rumah sakit. Mulai perlengkapan kamar bedah, mesin ultrasonografi, sampai perangkat pemindai sinar x (x-ray). Kapal seberat 114 ton itu diberi nama KLM RSA dr. Lie Dharmawan.

Operasi di dalam kapal. Gambar diambil bebas dari sini


Kapal itu bertolak dari pulau ke pulau di bentangan nusantara. Singgah sejenak untuk melakukan pengobatan terhadap masyarakat lokal. Dan semuanya gratis.  Mereka yang berobat tidak membayar sepeser pun. Tidak peduli kasusnya apa. Mulai sekadar batuk pilek biasa, pemeriksaan kehamilan, bedah minor, sampai operasi besar juga ditangani. 

Di dalam perut kapal, di atas ayunan ombak, dr. Lie dan kawan-kawan melakukan itu semua. Tanpa mengharap bayaran materi. Sedikitpun. Hingga kini, tak kurang sekitar 40 operasi besar  dan sekitar 80 operasi kecil telah ia lakukan bersama tim di dalam kapal dengan panjang 23,5 meter dan lebar 6,5 meter itu.

KLM RSA dr. Lie Dharmawan sendiri adalah bagian dari layanan organisasi yang didirikan Lie, doctorSHARE namanya. Ini adalah organisasi nirlaba yang bertujuan memberikan pelayanan kesehatan dan bantuan kemanusiaan secara gratis  kepada siapapun yang membutuhkan dan terhambat aksesnya karena sebab apapun. DoctorSHARE atau Yayasan Dokter Peduli ini tidak hanya berfokus pada penanganan fisik. Mereka melakukan pelayanan kesehatan secara holistik. Dari fisik hingga psikis. Dan sekali lagi, semuanya  tak berbayar. 

Dr Lie Dharmawan. Gambar diambil dari sini
  

Dalam sebuah talk show di televisi, saya pernah melihat dr. Lie mengemukakan alasan kenapa dia melakukan ini semua. Selain semata-mata karena panggilan hati dan rasa kemanusiaan, dr. Lie melakukan ini karena memegang teguh amanah ibunya ketika ia masih duduk di bangku kuliah kedokteran. Di acara talk show itu, Lie menirukan suara ibunya, “Kalau kamu suatu saat jadi dokter, jangan memeras pasien miskin. Mereka akan membayarmu. Tapi di rumah mereka menangis..” Lie berhenti menirukan petuah ibunya. Mulutnya terkatup, sesekali bergetar. Pandangannya menerawang jauh. Matanya menahan tangis. Ia lalu menghela  nafas panjang, sejurus kemudian kembali menirukan suara ibunya, “karena mereka tak punya duit untuk beli beras untuk dimakan.”

Dr. Lie adalah contoh dari anomali. Ia bagian dari wajah-wajah lain dari silang sengkarut dunia pelayanan kesehatan yang masalahnya kian pelik dari hari ke hari. Isu-isu komersil, wacana  soal dedikasi yang kerap mengambang dan jauh dari tataran praktis, tuntutan yang kian beragam, atau karut marut persoalan pelayanan kesehatan  lainnya. Tanpa banyak menawarkan janji, kakek berusia 67 tahun ini langsung bertindak ke jantung persoalan. Permasalahan tidak ratanya sebaran rumah sakit–terutama untuk daerah tertinggal, serta akses terhadap tim kesehatan ahli  yang terbatas dia sikapi dengan upaya jemput bola. 

Lie juga paham benar bahwa kondisi geografis nusantara yang terdiri atas  sebaran pulau-pulau harus diakali dengan membuat moda transportasi sekaligus pusat layanan kesehatan yang mobil. Karena itulah rumah sakit apung atau floating hospital dibuat.

Barangkali kisah Lie ini serupa dongeng atau mitos. Tapi ia adalah kisah epik yang nyata. Padanya, kita bisa melihat sisi lain dunia pelayanan kesehatan di negeri ini. Kelak, barangkali kisahnya akan terus ditauladani dan dijadikan cerita yang menarik untuk dikisahkan. Serupa Che Guevara  yang mengembara di pelosok Amerika Latin di atas sepeda motor tuanya. Che, dokter cum pejuang revolusioner itu memantik api revolusi sambil berkunjung dan merawat pasien-pasien lepra. Atau juga serupa Bunda Teresa  di lorong-lorong kota Calcutta yang merawat pasien papa dan renta. Juga kisah Rabiah, Si Suster Apung dari Indonesia Timur yang berkunjung antar pulau ke pulau dengan lampu pijar. Kepada mereka saya menghaturkan hormat yang takzim. Sedalam-dalam hormat. Sesungguh-sungguh tabik. Jika pun saya belum layak untuk meniru mereka, semoga catatan sederhana ini bisa mewakili hormat saya.