Gambar diambil dan diolah dari sini |
Virginia
Apgar adalah salah seorang perempuan pertama yang menjalani residensi bedah di Columbia
University College of Physicians and Surgeons pada 1933. Dia adalah putri dari seorang eksekutif asuransi
dari Westfield, New Jersey. Tubuhnya tinggi kurus, pipinya cekung, kacamatanya
berbingkai tebal dan sering memakai penjepit rambut. Orangnya menarik, penuh
semangat, ramah dan hampir tidak mengenal rasa takut.
Di
akhir masa residensinya, seorang kolega menasehatinya bahwa jaman itu sangat
susah seorang perempuan masuk di jajaran ahli bedah. Ia disarankan untuk
beralih menjadi ahli anestesi.
Apgar
sepakat, ia lalu habis-habisan mendalami ilmu anestesi dan mendirikan divisi
anestesologi di Columbia Hospital. Sepanjang kariernya dia telah melakukan
anestesi kepada dua puluh ribu pasien. Yang menarik, kemanapun dia pergi, dia
sering membawa seperangkat alat bedah di dalam tas, berjaga-jaga kalau saja dia
menemukan orang yang membutuhkan bantuan
nafas emergensi yang memerlukan tindakan pembedahan segera–dan rupanya dia melakukannya sebanyak selusin sepanjang
hidupnya. Kalimat yang sering
diucapkannya adalah, “Lakukan hal yang benar, sekarang juga.”
Kalimat
yang remeh, barangkali. Tapi siapapun yang tahu reputasi Apgar akan memahami bahwa kalimat itu lahir dari
proses perenungan yang dalam dan pengalaman melakukan kesalahan
berulang-ulang. Upaya melakukan sesuatu
yang benar di saat yang tepat –sebagaimana yang diucap Apgar –diawali oleh
itikad paling dasar: upaya mengenal kondisi pasien.
Upaya
mengenal ini pula yang ia manifestasikan dalam sebuah skor, yang menjadikan
namanya menjadi abadi sepanjang sejarah kedokteran. Dia menyebut skor itu
dengan nama Apgar’s Score (AS).
Skor
tersebut lahir dari kemirisan Apgar terhadap perawatan yang diberikan kepada kebanyakan bayi baru
lahir. Sebelum digagas AS, bayi-bayi yang lahir cacat atau terlalu kecil atau
biru dan susah bernafas, akan dianggap meninggal, lalu tak ditengok lagi. Apgar
ingin mengubah itu semua, dengan menciptakan sebuah skala untuk mengukur
keadaan bayi baru lahir. Sebuah skor untuk upaya mengenal kondisi
kegawatdaruratan bayi baru lahir.
Skor
yang dibuat Apgar memungkinkan perawat/bidan menilai kondisi bayi pada saat
kelahiran, dan diberikan skor dalam rentang satu sampai sepuluh. Bayi mendapat
nilai dua jika sekujur tubuhnya berwarna merah muda, dua kalau menangis, dua
kalau nafasnya baik, dua kalau keempat ekstrimitasnya bergerak, dan dua kalau
detak jantungnya di atas seratus kali per menit. Nilai sepuluh, berarti kondisi
bayi optimal.
AS
kemudian dipublikasikan tahun 1953 dan berdampak sangat hebat. Skor itu mampu mengubah konsep klinis yang
samar dan subjektif pada bayi baru lahir, menjadi angka-angka yang mampu memaparkan intepretasi klinis yang evaluatif.
Upaya mengenal yang ditawarkan oleh Apgar mampu memberikan hasil yang paling
diharapkan oleh seluruh praktisi kesehatan di manapun: meningkatkan derajat
kesehatan ke arah yang lebih baik.
Kemauan Belajar, Kemauan Mengenal
Apa yang
dilakukan Apgar dengan skor yang ia ciptakan, hanyalah satu contoh bahwa dalam
ilmu kedokteran (apalagi emergency)
yang terpenting adalah upaya mengenal (kondisi pasien).
Siapapun
tahu, bahwa ilmu kedokteran bukanlah nujum. Ilmu kedokteran –apapun
cabangnya–adalah ilmu yang lahir dari sebuah metode yang terus berkembang dan
terus dipelajari. Ia tak pernah diam. Tak pernah ajeg dan sebisa mungkin
menampik mitos.
Warisan
Apgar pada dunia kedokteran modern hanyalah satu contoh. Masih banyak penemuan
penting, skor, skala, dan tolok ukur lain yang digagas demi tujuan agar praktisi kesehatan dimudahkan mengenal kondisi pasien dalam kondisi umum
atau dalam kondisi-kondisi tertentu (baca: gawat darurat).
Kita
masih bisa menjumpai upaya mengenal yang dimaksud pada electrocardiogram (ECG). ECG
adalah salah satu temuan paling terpenting dalam sejarah kedokteran modern.
Alat yang diciptakan sudah lebih dari seabad itu masih bertahan sampai
sekarang. Ini tentu saja karena keberadaannya dianggap istimewa. ECG hadir
sebagai medium pengenal kondisi pasien
yang secara khusus beorientasi kepada kelistrikan otot jantung–sebagai salah
satu organ paling vital yang menunjang kehidupan. Ya, ECG diciptakan untuk
upaya mengenali kondisi pasien.
Upaya
mengenal semacam itu juga diwakilkan oleh banyak trias, hukum, dan skala
penting lainnya. Triage of Cushing, Glasgow Coma Scale, Tetralogi Fallot,
adalah sebagian contoh yang menjadi penegas, bahwa upaya mengenali kondisi
pasien adalah hal mutlak dalam pelayanan kesehatan modern.
Dengan
upaya mengenal yang benar, dengan kemauan belajar yang terus dipupuk, seorang
praktisi akan lebih peka terhadap kondisi pasien. Ia akan paham mana hal yang
harus dilakukan, mana pula yang sebaiknya dihindari. Sense of crisis-nya akan sangat peka.
Sebaliknya,
tanpa upaya mengenali kondisi pasien, tanpa keinginan untuk terus belajar yang
kuat, praktisi kesehatan adalah pejalan tanpa kompas.
Dan
menjadi ironis, mengingat apa yang menjadi fokus layanan dalam industri
kesehatan di mana seorang praktisi bernaung di dalamnya, adalah manusia: mahkluk
bernyawa yang kompleks sebagaimana dirinya sendiri.
Maka di
sinilah upaya mengenal menjadi penting. Ihwal yang menjadi pokok dan penentu
setiap tindakan pada proses layanan yang dilakukan seorang praktisi kesehatan.
Mengingat
betapa rumit dan berkelindannya dunia kedokteran itu sendiri, maka tentu upaya
mengenal ini juga bertemu dengan banyak tantangan. Tapi sebagaimana selalu ada
kesempatan untuk membangun menara tinggi menjulang bernama alasan dan apologi,
selama itu itu pula masih terdapat petak untuk membangun optimisme.
Di
jaman yang dunia seakan bisa dilipat dan sedekat jari-jari, kita memungkinkan untuk terus belajar tentang
upaya mengenal ini kapanpun. Dan hampir semua disediakan secara gratis.
Kita
bisa dengan leluasa mengunduh algoritma kegawatdaruratan terbaru, protap
terkini, modul ECG terlengkap, gambar anatomi tubuh paling detail, atau apapun.
Internet adalah berkah akhir jaman. Tapi tetap saja, kita semakin karib dengan
alasan-alasan.
Saya
teringat sebuah kuotasi yang satir dari Joseph Stalin, “Kematian satu orang adalah tragedi, kematian sejuta orang adalah
statistik”. Terdengar miris. Tapi mungkin, pelayanan kesehatan yang
melewatkan upaya mengenal yang baik pada akhirnya akan mengarah pada hal
tersebut. Kematian akan dimaknai sekadar bagian dari data. Data yang lahir dari
kegagalan kita mengenali kondisi pasien dengan baik.
Adalah
hal yang mengerikan ketika seorang tenaga kesehatan tidak menyadari bahwa
kondisi pasiennya di ambang maut, hanya karena ia tidak mengenal pendekatan
tanda dan gejalanya. Sebuah misal yang sama mengerikannya ketika seorang
praktisi kesehatan mengabaikan gambaran ECG karena ia tidak mengenali gambaran
yang tampak, padahal ternyata sebuah kondisi serangan koroner akut, lalu
jantung pasien menggelepar dengan cepat,
dan pasien nyawanya teregang begitu saja, karena praktisi tadi tidak paham
untuk berbuat apa. Jangankan paham, kenal saja tidak.
Metode
di dunia kedokteran tidak pernah statis. Ia akan terus disusun dan direka
ulang, sehingga upaya mengenali kondisi pasien terus ditingkatkan, demi
tercapainya keselamatan dan peningkatan derajat kesehatan.
Upaya
mengenali kondisi pasien, berakar pada keinginan belajar yang kuat. Upaya ini juga
berpijak pada konstruksi berpikir yang senantiasa menjaga kalimat sederhana: tak kenal, maka tak selamat.
===========================================================
Tulisan singkat ini dibuat sebagai pemantik
serial diskusi yang digagas oleh Rumah Sakit Jember Klinik