Kamis, 25 April 2013

Upaya Mengenal: Sebuah Titik Awal


Gambar diambil dan diolah dari sini


Virginia Apgar adalah salah seorang perempuan pertama yang menjalani residensi bedah di Columbia University College of Physicians and Surgeons pada 1933.  Dia adalah putri dari seorang eksekutif asuransi dari Westfield, New Jersey. Tubuhnya tinggi kurus, pipinya cekung, kacamatanya berbingkai tebal dan sering memakai penjepit rambut. Orangnya menarik, penuh semangat, ramah dan hampir tidak mengenal rasa takut. 

Di akhir masa residensinya, seorang kolega menasehatinya bahwa jaman itu sangat susah seorang perempuan masuk di jajaran ahli bedah. Ia disarankan untuk beralih menjadi ahli anestesi.

Apgar sepakat, ia lalu habis-habisan mendalami ilmu anestesi dan mendirikan divisi anestesologi di Columbia Hospital. Sepanjang kariernya dia telah melakukan anestesi kepada dua puluh ribu pasien. Yang menarik, kemanapun dia pergi, dia sering membawa seperangkat alat bedah di dalam tas, berjaga-jaga kalau saja dia menemukan  orang yang membutuhkan bantuan nafas emergensi yang memerlukan tindakan pembedahan segera–dan rupanya dia melakukannya sebanyak selusin sepanjang hidupnya.  Kalimat yang sering diucapkannya adalah, “Lakukan hal yang benar, sekarang juga.”

Kalimat yang remeh, barangkali. Tapi siapapun yang tahu reputasi Apgar  akan memahami bahwa kalimat itu lahir dari proses perenungan yang dalam dan pengalaman melakukan kesalahan berulang-ulang.  Upaya melakukan sesuatu yang benar di saat yang tepat –sebagaimana yang diucap Apgar –diawali oleh itikad paling dasar: upaya mengenal kondisi pasien. 

Upaya mengenal ini pula yang ia manifestasikan dalam sebuah skor, yang menjadikan namanya menjadi abadi sepanjang sejarah kedokteran. Dia menyebut skor itu dengan nama Apgar’s Score (AS). 

Skor tersebut lahir dari kemirisan Apgar terhadap perawatan  yang diberikan kepada kebanyakan bayi baru lahir. Sebelum digagas AS, bayi-bayi yang lahir cacat atau terlalu kecil atau biru dan susah bernafas, akan dianggap meninggal, lalu tak ditengok lagi. Apgar ingin mengubah itu semua, dengan menciptakan sebuah skala untuk mengukur keadaan bayi baru lahir. Sebuah skor untuk upaya mengenal kondisi kegawatdaruratan bayi baru lahir. 

Skor yang dibuat Apgar memungkinkan perawat/bidan menilai kondisi bayi pada saat kelahiran, dan diberikan skor dalam rentang satu sampai sepuluh. Bayi mendapat nilai dua jika sekujur tubuhnya berwarna merah muda, dua kalau menangis, dua kalau nafasnya baik, dua kalau keempat ekstrimitasnya bergerak, dan dua kalau detak jantungnya di atas seratus kali per menit. Nilai sepuluh, berarti kondisi bayi optimal. 

AS kemudian dipublikasikan tahun 1953 dan berdampak sangat hebat.  Skor itu mampu mengubah konsep klinis yang samar dan subjektif pada bayi baru lahir, menjadi angka-angka yang mampu  memaparkan intepretasi klinis yang evaluatif. Upaya mengenal yang ditawarkan oleh Apgar mampu memberikan hasil yang paling diharapkan oleh seluruh praktisi kesehatan di manapun: meningkatkan derajat kesehatan ke arah yang lebih baik. 

Kemauan Belajar, Kemauan Mengenal

Apa yang dilakukan Apgar dengan skor yang ia ciptakan, hanyalah satu contoh bahwa dalam ilmu kedokteran (apalagi emergency) yang terpenting adalah upaya mengenal (kondisi pasien). 

Siapapun tahu, bahwa ilmu kedokteran bukanlah nujum. Ilmu kedokteran –apapun cabangnya–adalah ilmu yang lahir dari sebuah metode yang terus berkembang dan terus dipelajari. Ia tak pernah diam. Tak pernah ajeg dan sebisa mungkin menampik mitos.  

Warisan Apgar pada dunia kedokteran modern hanyalah satu contoh. Masih banyak penemuan penting, skor, skala, dan tolok ukur lain yang digagas demi tujuan  agar praktisi kesehatan dimudahkan  mengenal kondisi pasien dalam kondisi umum atau dalam kondisi-kondisi tertentu (baca: gawat darurat).

Kita masih bisa menjumpai upaya mengenal yang dimaksud pada electrocardiogram (ECG).  ECG adalah salah satu temuan paling terpenting dalam sejarah kedokteran modern. Alat yang diciptakan sudah lebih dari seabad itu masih bertahan sampai sekarang. Ini tentu saja karena keberadaannya dianggap istimewa. ECG hadir sebagai  medium pengenal kondisi pasien yang secara khusus beorientasi kepada kelistrikan otot jantung–sebagai salah satu organ paling vital yang menunjang kehidupan. Ya, ECG diciptakan untuk upaya mengenali kondisi pasien. 

Upaya mengenal semacam itu juga diwakilkan oleh banyak trias, hukum, dan skala penting lainnya. Triage of Cushing, Glasgow Coma Scale, Tetralogi Fallot, adalah sebagian contoh yang menjadi penegas, bahwa upaya mengenali kondisi pasien adalah hal mutlak dalam pelayanan kesehatan modern. 

Dengan upaya mengenal yang benar, dengan kemauan belajar yang terus dipupuk, seorang praktisi akan lebih peka terhadap kondisi pasien. Ia akan paham mana hal yang harus dilakukan, mana pula yang sebaiknya dihindari. Sense of crisis-nya akan sangat peka. 

Sebaliknya, tanpa upaya mengenali kondisi pasien, tanpa keinginan untuk terus belajar yang kuat, praktisi kesehatan adalah pejalan tanpa kompas. 

Dan menjadi ironis, mengingat apa yang menjadi fokus layanan dalam industri kesehatan di mana seorang praktisi bernaung di dalamnya, adalah manusia: mahkluk bernyawa yang kompleks sebagaimana dirinya sendiri. 

Maka di sinilah upaya mengenal menjadi penting. Ihwal yang menjadi pokok dan penentu setiap tindakan pada proses layanan yang dilakukan seorang praktisi kesehatan. 

Mengingat betapa rumit dan berkelindannya dunia kedokteran itu sendiri, maka tentu upaya mengenal ini juga bertemu dengan banyak tantangan. Tapi sebagaimana selalu ada kesempatan untuk membangun menara tinggi menjulang bernama alasan dan apologi, selama itu itu pula masih terdapat petak untuk membangun optimisme. 

Di jaman yang dunia seakan bisa dilipat dan sedekat jari-jari,  kita memungkinkan untuk terus belajar tentang upaya mengenal ini kapanpun. Dan hampir semua disediakan secara gratis. 

Kita bisa dengan leluasa mengunduh algoritma kegawatdaruratan terbaru, protap terkini, modul ECG terlengkap, gambar anatomi tubuh paling detail, atau apapun. Internet adalah berkah akhir jaman. Tapi tetap saja, kita semakin karib dengan alasan-alasan. 

Saya teringat sebuah kuotasi yang satir dari Joseph Stalin, “Kematian satu orang adalah tragedi, kematian sejuta orang adalah statistik”. Terdengar miris. Tapi mungkin, pelayanan kesehatan yang melewatkan upaya mengenal yang baik pada akhirnya akan mengarah pada hal tersebut. Kematian akan dimaknai sekadar bagian dari data. Data yang lahir dari kegagalan kita mengenali kondisi pasien dengan baik. 

Adalah hal yang mengerikan ketika seorang tenaga kesehatan tidak menyadari bahwa kondisi pasiennya di ambang maut, hanya karena ia tidak mengenal pendekatan tanda dan gejalanya. Sebuah misal yang sama mengerikannya ketika seorang praktisi kesehatan mengabaikan gambaran ECG karena ia tidak mengenali gambaran yang tampak, padahal ternyata sebuah kondisi serangan koroner akut, lalu jantung  pasien menggelepar dengan cepat, dan pasien nyawanya teregang begitu saja, karena praktisi tadi tidak paham untuk berbuat apa. Jangankan paham, kenal saja tidak. 

Metode di dunia kedokteran tidak pernah statis. Ia akan terus disusun dan direka ulang, sehingga upaya mengenali kondisi pasien terus ditingkatkan, demi tercapainya keselamatan dan peningkatan derajat kesehatan. 

Upaya mengenali kondisi pasien, berakar pada keinginan belajar yang kuat. Upaya ini juga berpijak pada konstruksi berpikir yang senantiasa menjaga kalimat sederhana: tak kenal, maka tak selamat

 ===========================================================
 Tulisan singkat ini dibuat sebagai pemantik serial diskusi yang digagas oleh Rumah Sakit Jember Klinik

Tidak ada komentar:

Posting Komentar