Pernah membaca cerita Don Quixote? Barangkali sudah, barangkali belum. Yang jelas itu adalah cerita karangan Miguel de Cervantes. Kisah tentang seorang kakek renta yang pemimpi dan utopis, yang membayangkan diri sebagai seorang ksatria. Nama asli kakek itu adalah Alonso Quixano, seorang tuan tanah kelas gurem. Ia lantas mengubah namanya menjadi Don Quixote de la Mancha yang kemudian bertualang bersama Sancho Panza. Ia juga memilih seorang wanita desa berwajah buruk sebagai kekasih khayalan yang mati-matian ia bela. Alih-alih dikenang banyak orang sebagai ksatria, Don Quixote malah menjadi bahan tertawaan dan olok-olok. Tragis. Ironis.
Dan tanpa bermaksud berlebihan, saya juga pernah mengalami kisah semacam itu. Dulu, saat masih kuliah. Sampai sekarang, saya sering tertawa sendiri bila mengingat kisah saya itu. Tapi saya juga kerap menghibur diri. Bagaimanapun, itu bagian dari proses pembelajaran menuju kedewasaan hidup (Halah).
Jadi, dulu selepas SMU, saya melanjutkan kuliah di kota Malang. Sebagaimana saya ceritakan di sebuah postingan yang lampau, "kesesatan" saya menjalani laku pecinta buku juga diawali di kota ini. Perlu diketahui, saya kuliah di sebuah institusi kesehatan milik departemen kesehatan. Ya, bisa ditebak, suasananya formil sekali. Lupakan rambut gondrong, jeans belel, dan kemeja flanel ala pemuda grunge. Tidak akan Anda jumpai hal itu di kampus saya. Tak akan.
Dulu, kampus saya ini menawarkan sebuah ikatan dinas selepas tamat masa studi. Tapi seiring berjalannya waktu, program itu dihapus. Generasi saya termasuk generasi ke sekian yang tidak merasakan kebijakan itu. Namun tetap saja, karena orientasinya cenderung ke arah "kedinasan", maka kehidupan kemahasiswaannya juga kaku. Asrama, seragam, mata kuliah diatur tak ubahnya anak sekolah, adalah buktinya. Tapi saya juga membuat keputusan untuk kost saja, daripada di asrama. Mungkin karena saya tipikal orang yang tidak terlalu suka keriuhan.
Suasana yang kaku juga didapati di organisasi kemahasiswaan. Saat itu saya berniat mengembangkan eksistensi saya (duile, mgomong apa ini), apalagi mengingat kehidupan sekolah menengah saya-yang kata Obbie Mesakh adalah masa paling indah-cenderung biasa saja. Satu lagi, saya berasal dari desa. Jadi inginnya ikut kegiatan-kegiatan mahasiswa, biar tambah pengalaman. Biar tambah kadar kekerenan juga, mungkin. Norak ya? Hehehe.
Saya memutuskan ikut Himpunan Mahasiswa, sebuah organ kecil di tingkat prodi/jurusan. Tahun pertama duduk sebagai Koordinator Departemen Minat dan Bakat (nama departemen yang "orba" sekali). Dan tahun kedua, saya duduk selaku Koordinator Departemen Pengembangan Sumber Daya Mahasiswa (ini juga nama departemen yang P4 sekali). Nah, di tahun kedua, saya selaku Koordinator Departemn PSDM membuat sebuah program kerja baru. Salah satunya adalah membuat Majalah Kampus.
Membuat? Ya, membuat. Karena memang sebelumnya tidak ada. Dan kenapa majalah kampus? Kalau ditanya seperti ini, jawaban-jawaban yang normatif bisa saya munculkan begitu banyak. Tapi jika Anda meminta jawaban subyektif, maka ini tak lepas dari posisi saya yang waktu itu sedang "puber aksara". Tahun-tahun itu adalah tahun-tahun di mana saya seperti keledai, membawa buku ke mana-mana, tapi belum tentu benar-benar paham isinya. Gaya favorit saya adalah meletakkannya di ketiak saya, sambil berjalan-jalan. Menumpuknya sembari duduk ngopi bersama teman-teman, atau mencuri-curi membaca saat dosen yang kelewat membosankan dalam mengajar. Buku-buku soal kesehatan? Bukan, melainkan buku-buku umum. Sok sekali pokoknya saya waktu itu.
Karena saya sedang "puber aksara", saya memimpikan sebuah wadah baca-tulis untuk mahasiswa. Medianya melalui mendirikan kelompok yang membuat majalah kampus. Penting digaris bawahi, bahwa budaya membaca buku di tempat umum, budaya menulis bagi mahasiswa, budaya diskusi, apalagi soal gerakan, hampir dibilang tidak ada di kampus saya waktu itu. Sebagaimana saya bilang, kampus saya adalah kampus "kedinasan", yang menyiapkan tenaga-tenaga kesehatan untuk siap dinas dan siap kerja. Mayoritas mahasiswa pun jarang yang berminat dengan kegiatan-kegiatan di luar "aturan". Rata-rata memang sangat menjaga kelancaran studi tanpa "gangguan" hal-hal di luar itu. Kecuali pacaran, mungkin. Hehehe.
Kenekatan saya membuat majalah kampus saat itu boleh dibilang konyol. Saya tidak punya latar belakang jurnalistik sama sekali. Tidak paham kaidah-kaidah jurnalisme. Modal saya nekat. Dan kondisi yang "puber aksara" tadi. Soal konsep, konten, desain dan lain-lain saya sok sekali hendak digarap sendiri. Padahal saya waktu itu tidak bisa menulis. Kacau lah pokoknya. Saya mengajak beberapa rekan yang ternyata bersimpati.
Beberapa teman yang menyumbang naskah juga ada yang sekedar copy-paste dari artikel hasil browsing di internet. Tulisan lain juga ala kadar sekali. Lay-out? Apalagi. Bahkan, saya waktu itu sampai menyontek lay-out beberapa majalah kampus milik kampus lain. Hanya memodifikasinya sedikit. Dan ternyata malah kacau lay-outnya, mengingat kondisi saya yang gagap teknologi waktu itu. Apalagi soal olah grafis dengan komputer.
Tapi kenekatan saya bukannya tanpa halangan. Saya sempat berkali-kali menghadap dosen kemahasiswaa saya soal majalah ini. Beliau adalah penanggung jawab majalah ini. Dan apesnya, orangnya sangat kolot, keras kepala, ditambah juga tidak punya pengalaman soal dunia tulis-menulis. Lengkaplah sudah. Berkali-kali saya harus "mengalah", karena beliau tidak setuju dengan muatan ini dan itu. Bahkan saya juga harus membesarkan hati saat beliau bersikeras memberi nama majalah ini dengan nama yang terdengar kaku sekali. Lebih mirip nama media penyuluhan atau nama buku LKS anak SD.
Edisi pertama hadir. Salah satu "liputan"nya soal gempa bumi di Jogja. Saat itu memang saya dan beberapa kawan berangkat menjadi relawan. Ditambah beberapa tulisan yang tidak jelas. Genre maupun tata cara penulisannya. Lengkap dengan rubrik "Salam Pembaca" yang fiktif. Edisi pertama menimbulkan banyak kekecewaan. Bagi saya, maupun bagi rekan-rekan redaksi, juga mahasiwa secara umum. Harganya juga mahal. Membuat banyak orang malas beli.
Ternyata, majalah kampus yang saya dirikan bersama teman-teman hanya berhasil mengeluarkan satu edisi. Edisi pertama sekaligus edisi terakhir. Adik-adik angkatan saya juga tidak meneruskan pembuatan majalah itu. Entah, barangkali ngeri melihat kegagalan kakak tingkatnya. Hehe.
Saat itu, saya merasa diri saya tak ubahnya lakon Don Quixote. Utopis dan muluk-muluk, padahal ujung-ujungnya hanya menjadi bahan lelucon. Saya terperangkap pada obsesi saya sendiri, tanpa melihat kekurangan diri sendiri. Tapi apapun itu, yang jelas saya mendapatkan pengalaman berharga soal penerbitan majalah pertama dan terakhir itu.
Saat menulis posting ini, saya sambil senyum sendiri. Teringat kenekatan saya waktu itu. Kenekatan yang berujung saya jadi bahan olok-olok, dilabeli "public enemy" (selain karena kegagalan-kegagalan lain yang tak saya ceritakan di sini), sekaligus membuat dosen sedikit jengkel. Kenekatan yang penuh pertaruhan. Saya kira itu menarik diceritakan untuk anak-anak saya kelak.
Toh, kata Syahrir, hidup yang tidak dipertaruhkan adalah hidup yang tidak akan pernah dimenangkan, bukan?
:-))
*gambar diambil sesukanya dari sini
Selasa, 17 Januari 2012
Minggu, 15 Januari 2012
Soleh Solihun Adalah Idola Baru Saya!
Oke, silakan bilang saya katrok, udik, atau tak berwawasan. Boleh juga dibilang kamseupay ala doktor yang sekarang lagi ramai digunjing di twitter itu. Saya terima saja. Nyatanya memang saya yang gagap informasi.
Dulu, seorang kawan menulis soal Soleh Solihun, tapi saya cuek saja. Tidak tertarik. Kawan saya bercerita soal pertemuannya dengan jurnalis musik itu. Dan saya tidak sedikitpun berminat mencari tahu siapa si Soleh.
Sampai suatu kali saya tidak sengaja menemukan ocehannya di jagad twitter. Dan baru saat itu saya sedikit tertarik. Ya, cuma sedikit.
Kerapkali, sebuah ketertarikan bermula dari keunikan. Dan ocehan Soleh Solihun di twitter adalah unik, kalau tidak boleh dibilang aneh. Betapa tidak, setiap me-retweet ocehan, dia tidak pernah memakai huruf "RT" sebagaimana lazimnya, tapi justru dengan "RW". Entah apa maksudnya, tapi buat saya sih itu lucu-lucuan. Mungkin dihubungkan dengan RT/RW (Rukun Tetangga / Rukun Warga). Ketertarikan saya tentunya juga berasal dari konten tweet Si Soleh sendiri. Tweet-tweet Soleh Solihun seolah wajah yang mengajak tersenyum bahkan tertawa ngakak, tapi dengan mimik serius. Isi tweet-nya juga cerdas.
Humor cerdas ala Soleh Solihun juga nampak di ranah audiovisual (baca: televisi), bukan hanya lewat tweet. Belakangan Soleh Solihun kerap muncul di televisi. Di acara Stand Up Comedy. Humor yang baik buat saya, adalah humor yang "serius". Dalam konteks kata, bukan tertawa yang menertawakan kekurangan orang lain. Dalam konteks aksi panggung, bukan jenis dagelan dengan banting-bantingan styrofoam. Bahkan, humor yang paling baik adalah humor yang menertawakan diri sendiri. Soleh juga mahir mengeluarkan humor semacam itu.
Sejak melihat penampilan Soleh di acara Stand Up Comedy, saya semakin yakin, bahwa Soleh adalah makhluk humoris yang terjebak pada jasad yang serius. Dan rupanya, hal itu sudah seakan menjadi "kutukan" (atau anugerah?) buat Soleh. Lihat saja, keseriusan memang lekat dengan pria ini.
Pertama, dari unsur nama. Nama Soleh Solihun sendiri sangat "serius". Cenderung "berat", malah. Yang terbersit pertama kali dalam gambaran saat mendengar nama "Soleh Solihun" adalah nama sosok bapak-bapak pegawai KUA, penuh dedikasi, nrimo, kolot, dan kuno. Bukan sosok seorang jurnalis musik. Nama "Soleh Solihun" sangat terdengar bersahaja. Halah.
Kedua, keseriusan Soleh tampak jelas dari wajahnya. Wajah Soleh Solihun berkontur tegas, dan rahangnya kotak. Mirip wajah orang-orang Batak (padahal Soleh asli Sunda). Sangat serius. Tidak akan nampak bahwa dia seorang yang humoris. Bahkan seorang teman bilang, bahwa wajah Soleh Solihun ada miripnya dengan wajah Gayus Tambunan, saat si koruptor kepergok menonton tenis dengan wig palsunya (padahal kalau menurut saya sih tidak mirip). Jika wajah Anda disamakan dengan wajah seorang koruptor, itu perihal yang serius sekali bukan? Hihi.
Ketiga, soal tampilan. Soleh Solihun karib dengan black leather jacket, t-shirt gelap, dan celana jeans yang kusam. Itu juga tampilan yang serius sekali. Anda akan lebih mengira dia seorang rocker yang garang. Nyatanya, Soleh adalah pribadi yang kocak. Jauh dari kesan stigma dunia rock yang terepresentasi dari caranya berpakaian. Penggemar Ramones dan Rolling Stones ini bahkan tidak merokok, apalagi menenggak alkohol, sekalipun cuma bir.
Melakukan humor dengan serius itu susah. Butuh penguasaan materi, butuh kecerdasan. Tapi Soleh Solihun seperti tidak kesulitan. Dalam setiap shownya di Stand Up Comedy, Soleh selalu membuat saya tertawa ngakak sambil sesekali mengumpat, "Anjrit!". Saya yakin, bukan hanya saya yang demikian.
Mau contoh? Ini celetukan Soleh di Stand Up Comedy yang salah satunya saya ingat. Kurang lebih begini:
"Sebenarnya jaman sekarang, orang tua gak perlu takut anak laki-lakinya bakal maen narkoba, seks bebas, kalo mereka lagi kumpul sama teman-temannya. Yang perlu ditakutin orang tua tuh kalo anak-anak laki-lakinya ngumpul sama temen-temen mereka, terus bikin boyband.."
Tak puas cuma di twitter dan TV, lantas saya mencari lagi blog-nya Soleh Solihun. Gotcha! Isi blognya enak dibaca, tidak sok serius, dan jujur. Tentu saja, tetap humoris. Saya suka tulisan jujur. Tidak jaim, tidak berbuih-buih berteori untuk tampak "ilmiah". Blog awak majalah Rolling Stone Indonesia ini bahkan isinya cenderung soal curhat-curhat dengan teman-teman terdekatnya, wawancara-wawancara yang unik, serta racauan-racauan yang cenderung melantur.
Barangkali memang itulah kelebihan blog dibanding sosial media yang lain. Buat saya beberapa sosial media adalah tempat bersolek, banyak orang yang jaim. Blog punya sekian ruang untuk tidak menjadi seperti itu.
Soleh Solihun memang jurnalis ciamik. Membaca wawancara-wawancaranya di blog, sungguh menyenangkan. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan pada narasumber seringkali unik, tiba-tiba, susah diduga sekaligus susah dijawab. Hehehe.. Beberapa tulisannya yang bergaya feature juga ia sisipkan di blog. Bahasanya santai, enak diikuti, tapi tetap memegang kaidah jurnalisme.
Jurnalis jebolan Yayasan Pantau ini konon dulu agak anti dengan pers mahasiswa di kampusnya. Makanya ia membuat media tandingan, yang muatannya cenderung ringan, dan tidak "ilmiah". Dan media tandingan yang digawanginya terbukti lebih konsisten terbit, meskipun pada akhirnya mati.
Ah, udah ah. Baca sendiri blognya di sini dan di sini. Kalau mau mengikuti kicauannya si Soleh di sini.
Yang jelas, Soleh masuk dalam 7 jurnalis idola Sahad Bayu. Bukan versi On the Spot tentunya.
Kamis, 12 Januari 2012
Aku, Buku, dan Muhidin
Siang itu, akhir 2004, saya bolos kuliah. Lebih memilih berjalan kaki di tengah terik, daripada mengantuk mendengar dosen mengajar. Tujuannya, bangunan tua di sudut Jalan Ijen, Malang. Di depan moncong tank yang berdiri tak bergerak di halaman museum Brawijaya. Saya menuju perpustakaan kota Malang.
Saya naik ke lantai dua. Menyusuri selasar buku yang khas sekali baunya. Waktu itu perpustakaan kota Malang belum seramai sekarang. Sudut-sudut ruangan masih sepi. Maklum, tahun itu, perpustakaan kota Malang baru "terlahir lagi" setelah lama mati suri. Sekarang, di sudut-sudut ruangan adalah tempat nyaman untuk muda-mudi yang kasmaran. Roman di antara tumpukan buku-buku tebal dan kasih sayang. Aih.
Lalu mata saya tertuju pada sebuah buku. Covernya unik. Judulnya enak dibaca. Catchy. "Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta". Mirip judul tulisan Seno Gumira Ajidarma: Sepotong Senja Untuk Pacarku. Saya meminjamnya. Dan impresi yang hadir setelah membaca buku itu, saya merasa diajak pada sebuah ranah baru penuh pikat. Kendati pada dasarnya ranah itu adalah sebuah ranah yang penuh gigil dan karib dengan keterasingan. Ranah literasi.
Saya naik ke lantai dua. Menyusuri selasar buku yang khas sekali baunya. Waktu itu perpustakaan kota Malang belum seramai sekarang. Sudut-sudut ruangan masih sepi. Maklum, tahun itu, perpustakaan kota Malang baru "terlahir lagi" setelah lama mati suri. Sekarang, di sudut-sudut ruangan adalah tempat nyaman untuk muda-mudi yang kasmaran. Roman di antara tumpukan buku-buku tebal dan kasih sayang. Aih.
Lalu mata saya tertuju pada sebuah buku. Covernya unik. Judulnya enak dibaca. Catchy. "Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta". Mirip judul tulisan Seno Gumira Ajidarma: Sepotong Senja Untuk Pacarku. Saya meminjamnya. Dan impresi yang hadir setelah membaca buku itu, saya merasa diajak pada sebuah ranah baru penuh pikat. Kendati pada dasarnya ranah itu adalah sebuah ranah yang penuh gigil dan karib dengan keterasingan. Ranah literasi.
Langganan:
Postingan (Atom)