Kamis, 23 Januari 2014

Niat Baik di Awal Tahun



Tidak seperti kebanyakan orang, saya hampir tidak pernah mengawali tahun dengan memancang resolusi. Hari-hari berharga di awal tahun kerap berlalu begitu saja, tanpa ada upaya menjernihkan visi agar perjalanan setahun ke  depan lebih berarti dan sedikit lebih jelas arahnya. 


Kali ini saya mencoba menjadi berbeda dibanding tahun-tahun sebelumnya. Saya menggagas resolusi di awal tahun, barangkali dengan niatan agar langkah saya selama menjalani tahun 2014 tidak gontai dan asal-asalan. Mungkin terkesan berlebihan. Tapi marilah hargai upaya ini sebagai sebuah niatan baik. Niat baik di awal tahun. 


Dengan tekad yang bulat, tanpa adanya paksaan dari pihak manapun, saya catatkan resolusi saya di tahun 2014 adalah sebagai berikut:

1. Belajar Memasak 


Saya menyepakati bahwa setelah menemukan api, pencapaian terbesar manusia adalah masakan enak. Tidak ada keelokan budaya bersama perut yang kosong. Tanpa pengetahuan tentang masakan yang menggoda lidah, manusia barangkali sudah punah sedari jaman dulu.
Maka tahun ini saya mengukuhkan niat. Bahwa saya harus bisa membuat masakan enak. Dan puji semesta raya, saya hidup di negeri yang referensi masakan enaknya sungguh melimpah. Setidaknya itu memudahkan saya belajar.

2. Menerbitkan Buku 


Taruhlah saya adalah orang yang narsis. Tapi ayolah, itu berlaku kepada semua orang, bukan? Hanya kadarnya yang berbeda takar, mungkin. Dan untuk mewadahi kenarsisan saya, saya hendak menerbitkan buku tahun ini. Oke, saya paham, tulisan saya masih membutuhkan sekian banyak tambal sulam karena begitu centang perenang. Tapi tak apa, bukan? Mumpung (konon) masih muda, saya hendak menerbitkan buku sebanyak-banyaknya. Kualitasnya jelek itu wajar. Namanya juga masih belajar. 


Akhir tahun 2012 saya sudah mengawali niatan memublikasikan tulisan saya dengan menulis buku. Buku pertama yang dicetak oleh penerbitan online dengan prinsip print on demand itu berisi tentang tulisan-tulisan soal dunia pelayanan kesehatan, utamanya di ranah kegawatdaruratan. Ya, itu proyek eksistensial memang. Perkara eksistensi adalah perkara pokok manusia. Problem


3. (Mencoba) untuk Tidak Golput


Sudah dua kali saya memiliki hak suara di Pemilu. Dan dua-duanya tidak saya gunakan dengan benar, tapi saya gunakan dengan baik. Begini maksud saya, baik belum tentu benar, juga sebaliknya. 


Pada dua kali kesempatan itu, saya memutuskan untuk golput, memang. Tapi hak suara saya terpakai dengan baik karena saya memastikan bahwa kekosongan suara  saya tidak dimanfaatkan oleh segelintir pihak untuk kepentingan mereka yang culas. 


Saya masih mengingat hari itu, ketika saya pertama kali datang ke TPS. Berbekal sebuah spidol yang saya bawa dari rumah, saya memasuki bilik suara dengan perasaan yang gamang. Setelah membuka lembaran berisi gambar dan nama orang-orang yang asing buat saya, saya  tidak mencoblosnya. Saya mengambil spidol di saku saya lalu mencoret- coret kertas suara tadi. Lima tahun kemudian, saya mengulangi kelakuan yang sama. 


Sebutlah itu kesalahan saya yang konyol. Tapi di tahun ini, yang diselenggarakan perhelatan Pemilu lagi, saya akan mencoba untuk menggunakan hak pilih saya dengan baik, sekaligus benar. Saya mencoba untuk tidak golput. 


Maka saya memperbaiki pengetahuan politik yang saya miliki. Dalam prosesnya, saya tetap kerap kali antipati menyoal masalah Pemilu ini. Apalagi melihat nama-nama dan wajah-wajah yang saya rasa aneh–terpampang di sepanjang jalan yang saya lewati setiap hari dengan slogan-slogan yang basi. Ah!


4. Berlari


Saya bukan sport-freak, tapi saya suka olahraga. Dari sekian banyak cabangnya, secara praktis saya suka olahraga lari. Jangan debatkan soal kesukaan saya terhadap sepakbola. Itu urusan darah-daging. Sudah menjadi kecintaan yang melekat. Walau saya tahu bahwa sepakbola secara industri juga sarat dengan kebusukan di berbagai titik. 


Tapi lari ini soal lain. Saya ingin lebih mengkhidmati olahraga yang paling purba ini. Menyusuri jalanan dengan langkah terayun sambil mendengarkan playlist lagu pilihan. Di posisi teratas, entah kenapa saya memilih lagu Eyes of The Tiger dari Survivor. Sepertinya saya terobsesi menjadi Rocky Balboa.

5. Financial Planning


Saya sepakat dengan adagium uang bukan segalanya. Tapi saya juga sepakat bahwa uang adalah perkara yang penting. Hidup membujang sekian lama membuat saya sangat nyaman. Saya diberi kesempatan menikmati kebebasan dalam banyak hal. Salah satunya adalah bagaimana saya mengatur keuangan pribadi saya. Namun ternyata kebebasan kerap membuat saya lalai. Saya sering salah langkah dalam menggunakan  uang sebagai aset berharga di masa muda. Well, saya selalu percaya petuah usang, bahwa ini bukan menyoal besar kecilnya pendapatan, tapi lebih cenderung ke perkara kecerdasan mengatur keuangan pribadi. 


Maka di tahun ini, saya meniatkan untuk belajar banyak soal perencanaan keuangan. Dan saya mulai dari pondasi perencanaan keuangan: menabung dan meningkatkan pendapatan dari kerjaan lain. Apa yang mau direncanakan kalau duitnya tidak ada?



Saya cukupkan sampai 5 nomor saja resolusi yang hendak saya raih. Tak usah muluk-muluk, tak usah berlebihan. Semoga berhasil. 


Kalaupun resolusi-resolusi ini sekadar menguap menjadi entah, ya saya syukuri saja. Paling tidak, saya sudah menanam niat baik di awal tahun.