Sarah
tercinta,
Aku
menulis surat ini ketika langit sedang mendung. Cuaca yang murung. Aku tidak menulis di saat senja
berwarna keemasan—yang merupakan momen favoritmu. Langit sedang berwarna
abu-abu, seperti corak ingatanku yang terlewat panjang tentang dirimu. Apakah
yang sedang kamu lakukan sekarang, Sarah? Tertidur di dalam mobil sebagaimana
kebiasaanmu yang aneh itu? Atau kamu sedang menghabiskan sore dengan berlari?
Atau hanya sekadar membangun lamunan dengan lamat-lamat, sambil sesekali
membuka catatan kecil yang berisi coretan-coretan tentang kita? Apapun itu
Sarah, aku menulis surat ini dengan perlahan-lahan. Seakan bukan tangan yang
menggores tinta ke atas kertas, tetapi aksara yang mencoba berbaris rapi dengan
sendirinya, saling menyambung untuk menggurat makna, mewakili hati yang rindu
akan dirimu yang sekarang entah ada di mana.
Aku
bisa saja menelepon kamu, Sarah, dan kita akan bercakap-cakap begitu lama,
seperti waktu yang biasa kita curi penggalannya. Tapi kali ini, biarkanlah aku
menulis surat ini untukmu. Mencoba menjadi sesuatu yang meskipun hal yang
kecil, namun akan mengabadi. Menjadi
terlupakan adalah kutukan paling mengerikan, Sarah. Maka biarkanlah aku sekali
lagi menjadi naif. Melakukan hal-hal yang tidak penting agar yang lebih penting
(rasa cintaku kepadamu) tetap terjaga dan terus hidup.
Begitulah
memang cinta kita, Sarah. Hati yang saling bertaut di lorong-lorong yang
lengang dan dingin. Kita tidak bisa menggenggam waktu lalu memutarnya ke
belakang sebagaimana harap kita. Seperti doa-doa di pangkal subuh, kita tidak
bisa selalu saling bertemu, tapi toh
kita bisa merasakan frekuensi yang sama,
dan dengan itu kita bangun dunia kita sendiri—dunia yang kelak akan kita
robohkan sendiri karena akan kita ganti menjadi lebih baik lagi.
Aku terus
mengingat cara kita merayakan saat penting setiap hari: subuh dan senja—aku
berharap kau pun demikian. Saat-saat yang menegaskan bahwa hari akan berlalu
dan akan memulai ritusnya lagi. Kita yang berpegangan padanya, hanya bisa
merayakannya dengan cara kita sendiri yang mungkin tidak akan sama dengan yang
orang-orang lakukan. Semacam suluk dua orang yang kasmaran, entah sampai kapan.
Semisal memar di dada, cinta harus dibahasakan dengan caranya sendiri, mewakili
hangat dan sakitnya sendiri. Dengan hal-hal semacam itulah barangkali kita akan terus menjadi sadar:
perjalanan yang kita jalani, bukanlah perjalanan biasa, sayang. Di subuh dan
senja itu, kau lantas memelukku erat dan kudengar hatimu menggumam bahwa waktu
terlalu singkat. Tapi ketahuilah, Sarah, waktu tidak akan pernah cukup untuk
sebuah keinginan-keinginan yang begitu sulit tercapai, untuk cita-cita yang
terus menjadi rahasia, untuk kenangan-kenangan yang kita rajut,dan untuk cinta
itu sendiri. Yang fana adalah waktu, kita
abadi, begitu konon kata Sapardi.
Kehidupanku
di sini berpindah dari ratapan demi ratapan, teror demi teror, dan harapan demi
harapan. Telah menjadi hal yang terlampau jamak ketika tubuh koyak dan mereka
yang mencintai hanya bisa memejam sambil berdoa. Betapa mengerikannya rasa kehilangan.
Situasi semacam itu tak pelak mengasahku
menjadi pribadi yang sangat peka. Mungkin juga karena aku sudah merasakan perih
yang mirip: aku nyaris kehilanganmu setiap saat.
Sarah
tercinta,
Di luar
hujan sudah mulai turun. Kenangan tentangmu terus menggenang. Langit tak lagi
berwarna perak bersemu kegelapan, namun sudah menjadi benar-benar hitam. Hujan
yang turun mengusik kesepian yang sedari tadi bergerombol mengerumuni aku yang
terus merindu kepadamu. Hari sudah kembali berganti. Waktu sudah kembali
terlipat untuk semakin dekat kepada batas hidup kita masing-masing. Sejauh ini,
ketahuilah Sarah, aku belum menyesal.
Tidak
ada yang patut disesali dari upaya mencintai yang tandas hingga ke sumsum
tulang, melaju di setiap laju darah yang tiap detik disemprotkan ke dalam otak.
Dalam kehidupan penuh teror, dalam kenyataan yang tak sesuai dengan harapan,
satu-satunya pilihan bagiku barangkali adalah mencintai dengan sungguh-sungguh.
Aku bukan kejam terhadap diri sendiri, membiarkan perasaan ibarat ikan yang
menggelepar karena menghirup udara yang pekat. Tapi toh, kita harus hidup dengan kenyataan kendati kenyataan enggan
hidup bersama kita. Kenyataan mungkin akan meninggalkan kita dengan kenyataan
lain. Kesepian yang mungkin menjadi satu-satunya karib. Tak ada lagi yang bisa
mengusik, hingga bisa saja aku akan mati di dalam sebuah kamar, ketika aku
sedang menulis surat-surat lain yang tak pernah kukirimkan kepadamu.
Aku
yang mulai menua, merasa hari-hari semacam itu kian dekat. Jadi ijinkanlah aku
dalam waktu yang kian terbatas mencoba menyapamu dan sedikit menghabiskan
waktu. Bisa dimulai dengan tebak-tebakan yang seperti kutulis di awal surat
ini. Apa yang sedang kamu lakukan sekarang, Sarah? Tertidur di dalam mobil
sebagaimana kebiasaanmu yang aneh itu? Hanya sekadar membangun lamunan dengan
lamat-lamat, sambil sesekali membuka catatan kecil yang berisi coretan-coretan
tentang kita? Atau sekadar berbicara dengan dinding kamar?
Inilah
suratku, Sarah yang tercinta.
Perjalanan
yang terasa begitu jauh ini sesungguhnya tidak membawa kita ke mana-mana. Sebab
kita selalu berada di sini. Pada cangkir-cangkir teh yang kucecap hangatnya di
kala hujan deras tiba. Pada ingatan tentang ritus yang kita helat setiap subuh
membuka hari dan senja yang menutupnya. Pada memar-memar di dada. Pada mimpi
indah kita yang hendak kita robohkan
karena akan kita wujudkan menjadi nyata. Pada cinta yang aku tuliskan lewat
huruf-huruf yang berbaris—mengabadikan kita.
Peshawar,
Afghanistan, 2013-2014
*Tulisan ini terinspirasi dari buku Seno
Gumira Ajidarma yang berjudul “Jazz, Parfum, dan Insiden” pada bab “Epilog:
Surat”.