Minggu, 16 November 2014

Untuk Sarah



Sarah tercinta,

Aku menulis surat ini ketika langit sedang mendung. Cuaca yang murung. Aku tidak menulis di saat senja berwarna keemasan—yang merupakan momen favoritmu. Langit sedang berwarna abu-abu, seperti corak ingatanku yang terlewat panjang tentang dirimu. Apakah yang sedang kamu lakukan sekarang, Sarah? Tertidur di dalam mobil sebagaimana kebiasaanmu yang aneh itu? Atau kamu sedang menghabiskan sore dengan berlari? Atau hanya sekadar membangun lamunan dengan lamat-lamat, sambil sesekali membuka catatan kecil yang berisi coretan-coretan tentang kita? Apapun itu Sarah, aku menulis surat ini dengan perlahan-lahan. Seakan bukan tangan yang menggores tinta ke atas kertas, tetapi aksara yang mencoba berbaris rapi dengan sendirinya, saling menyambung untuk menggurat makna, mewakili hati yang rindu akan dirimu yang sekarang entah ada di mana.

Aku bisa saja menelepon kamu, Sarah, dan kita akan bercakap-cakap begitu lama, seperti waktu yang biasa kita curi penggalannya. Tapi kali ini, biarkanlah aku menulis surat ini untukmu. Mencoba menjadi sesuatu yang meskipun hal yang kecil, namun  akan mengabadi. Menjadi terlupakan adalah kutukan paling mengerikan, Sarah. Maka biarkanlah aku sekali lagi menjadi naif. Melakukan hal-hal yang tidak penting agar yang lebih penting (rasa cintaku kepadamu) tetap terjaga dan terus hidup.

Begitulah memang cinta kita, Sarah. Hati yang saling bertaut di lorong-lorong yang lengang dan dingin. Kita tidak bisa menggenggam waktu lalu memutarnya ke belakang sebagaimana harap kita. Seperti doa-doa di pangkal subuh, kita tidak bisa selalu saling bertemu, tapi toh kita  bisa merasakan frekuensi yang sama, dan dengan itu kita bangun dunia kita sendiri—dunia yang kelak akan kita robohkan sendiri karena akan kita ganti menjadi lebih baik lagi.

Aku terus mengingat cara kita merayakan saat penting setiap hari: subuh dan senja—aku berharap kau pun demikian. Saat-saat yang menegaskan bahwa hari akan berlalu dan akan memulai ritusnya lagi. Kita yang berpegangan padanya, hanya bisa merayakannya dengan cara kita sendiri yang mungkin tidak akan sama dengan yang orang-orang lakukan. Semacam suluk dua orang yang kasmaran, entah sampai kapan. Semisal memar di dada, cinta harus dibahasakan dengan caranya sendiri, mewakili hangat dan sakitnya sendiri. Dengan hal-hal semacam itulah  barangkali kita akan terus menjadi sadar: perjalanan yang kita jalani, bukanlah perjalanan biasa, sayang. Di subuh dan senja itu, kau lantas memelukku erat dan kudengar hatimu menggumam bahwa waktu terlalu singkat. Tapi ketahuilah, Sarah, waktu tidak akan pernah cukup untuk sebuah keinginan-keinginan yang begitu sulit tercapai, untuk cita-cita yang terus menjadi rahasia, untuk kenangan-kenangan yang kita rajut,dan untuk cinta itu sendiri. Yang fana adalah waktu, kita abadi, begitu konon kata Sapardi.

Kehidupanku di sini berpindah dari ratapan demi ratapan, teror demi teror, dan harapan demi harapan. Telah menjadi hal yang terlampau jamak ketika tubuh koyak dan mereka yang mencintai hanya bisa memejam sambil berdoa. Betapa mengerikannya rasa kehilangan. Situasi semacam itu tak  pelak mengasahku menjadi pribadi yang sangat peka. Mungkin juga karena aku sudah merasakan perih yang mirip: aku nyaris kehilanganmu setiap saat.

Sarah tercinta,

Di luar hujan sudah mulai turun. Kenangan tentangmu terus menggenang. Langit tak lagi berwarna perak bersemu kegelapan, namun sudah menjadi benar-benar hitam. Hujan yang turun mengusik kesepian yang sedari tadi bergerombol mengerumuni aku yang terus merindu kepadamu. Hari sudah kembali berganti. Waktu sudah kembali terlipat untuk semakin dekat kepada batas hidup kita masing-masing. Sejauh ini, ketahuilah Sarah, aku belum menyesal.

Tidak ada yang patut disesali dari upaya mencintai yang tandas hingga ke sumsum tulang, melaju di setiap laju darah yang tiap detik disemprotkan ke dalam otak. Dalam kehidupan penuh teror, dalam kenyataan yang tak sesuai dengan harapan, satu-satunya pilihan bagiku barangkali adalah mencintai dengan sungguh-sungguh. Aku bukan kejam terhadap diri sendiri, membiarkan perasaan ibarat ikan yang menggelepar karena menghirup udara yang pekat. Tapi toh, kita harus hidup dengan kenyataan kendati kenyataan enggan hidup bersama kita. Kenyataan mungkin akan meninggalkan kita dengan kenyataan lain. Kesepian yang mungkin menjadi satu-satunya karib. Tak ada lagi yang bisa mengusik, hingga bisa saja aku akan mati di dalam sebuah kamar, ketika aku sedang menulis surat-surat lain yang tak pernah kukirimkan kepadamu.

Aku yang mulai menua, merasa hari-hari semacam itu kian dekat. Jadi ijinkanlah aku dalam waktu yang kian terbatas mencoba menyapamu dan sedikit menghabiskan waktu. Bisa dimulai dengan tebak-tebakan yang seperti kutulis di awal surat ini. Apa yang sedang kamu lakukan sekarang, Sarah? Tertidur di dalam mobil sebagaimana kebiasaanmu yang aneh itu? Hanya sekadar membangun lamunan dengan lamat-lamat, sambil sesekali membuka catatan kecil yang berisi coretan-coretan tentang kita? Atau sekadar berbicara dengan dinding kamar?

Inilah suratku, Sarah yang tercinta.

Perjalanan yang terasa begitu jauh ini sesungguhnya tidak membawa kita ke mana-mana. Sebab kita selalu berada di sini. Pada cangkir-cangkir teh yang kucecap hangatnya di kala hujan deras tiba. Pada ingatan tentang ritus yang kita helat setiap subuh membuka hari dan senja yang menutupnya. Pada memar-memar di dada. Pada mimpi indah kita yang hendak  kita robohkan karena akan kita wujudkan menjadi nyata. Pada cinta yang aku tuliskan lewat huruf-huruf yang berbaris—mengabadikan kita.

Peshawar, Afghanistan, 2013-2014
*Tulisan ini terinspirasi dari buku Seno Gumira Ajidarma yang berjudul “Jazz, Parfum, dan Insiden” pada bab “Epilog: Surat”.

Rabu, 22 Oktober 2014

Elegi Militer




Gambar diambil dari sini



“Saya ingin menjadi tentara,” begitu kata saya ketika ditanya oleh guru SD tentang cita-cita saya, sekitar dua puluh tahun silam.

Kemudian sebagaimana anak-anak lainnya, saya tidak hanya mempunyai satu cita-cita. Selain tentara, masa kecil saya diwarnai banyak profesi lain yang saya idamkan menjadi pilihan saya di masa dewasa. Mulai dari arsitek, komikus, dosen ilmu eksakta, sampai pemilik toko bunga. Namun yang jelas, tentara adalah profesi yang tidak singgah cukup lama di dalam benak untuk diwujudkan menjadi cita-cita yang nyata. Sebaliknya, sejak remaja hingga mulai usia dewasa, saya cenderung menolak hal-hal yang berbau militer. Mungkin salah satu alasannya karena saya besar di rezim Orde Baru di mana kekuatan militer begitu represif. 

Pikir saya ketika itu, tentara identik dengan pengekangan yang menjemukan. Profesi yang membungkam kebebasan berekspresi, menihilkan cara berpikir yang konvergen dan membatasi kemajemukan. Jawaban saya menjadi tentara sebelumnya muncul karena saya melihat tentara identik dengan gagah, kuat, dan berani. Citra yang sangat menggoda untuk imajinasi anak kecil.

Padahal menjelang saya lulus SMA, datang kesempatan untuk bergabung di jalan militer. Ada salah seorang kerabat jauh yang memiliki posisi lumayan menentukan di jajaran korps marinir. Dia menawarkan untuk masuk ke marinir. Namun saya menolak sambil cengengesan. Barangkali karena cengengesan adalah salah satu perkara haram dalam militer, maka kerabat tadi tidak mengulangi tawaran lagi untuk kesekian kalinya.

Tawaran juga datang dari seorang tetangga yang baik hatinya. Sehari-hari dia bekerja sebagai tukang kayu. Anaknya yang bungsu, berhasil sekolah di salah satu institut yang mencetak praja, dengan sistem pendidikan ala militer. Anak bungsu tadi lantas menjadi ajudan bupati kala itu.  Tetangga yang baik hatinya tadi rajin mencekoki saya dengan keberhasilan putra bungsunya. Dia meminjami saya buku-buku tentang institut tempat putranya dulu menempuh pendidikan. Namun sekali lagi, saya menolak. Sampai sekarang, saya masih mengingat raut kecewa bapak  tukang kayu tersebut ketika saya menolak tawarannya.

***

Namun lambat laun, saya mulai bisa melihat militer dari sudut pandang yang berbeda. Semisal bagaimana militer memegang peranan yang jelas terlampau penting dalam  upaya ketahanan dan keamanan negara. Militer juga senantiasa teguh terhadap nilai-nilai yang diyakini. Menariknya, nilai-nilai itu memiliki dampak yang artikulasinya kuat dalam kehidupan sehari-hari.

Silakan cermati bagaimana mereka menjalani laku disiplin yang bahkan lebih ketat daripada rahib. Atau bagaimana mereka menghargai kebersamaan di antara sejawat. Bagaimana mereka menghormati garis tegas bernama komando.

Alhasil, setelah saya sempat menampik segala hal yang berbau militer, saya berubah menjadi pribadi yang kagum pada hal-hal tertentu yang dimiliki oleh militer.

Cara saya memandang militer juga semakin berubah sejak beberapa minggu terakhir saya berkali-kali berkunjung ke markas Sekolah Calon Bintara (Secaba). Kepentingannya, saya terlibat menjadi salah satu panitia yang ditugaskan oleh tempat saya bekerja untuk memberikan diklat bekerjasama dengan pelatih dari Secaba. Program ini berlangsung dua minggu. Hitungan yang terbilang cukup bagi saya untuk melihat dari dekat bagaimana prajurit menjalani laku hidupnya sehari-hari di kesatrian. 

Saya melihat sendiri bagaimana mereka begitu bersahaja menjalani hidup sehari-hari. Selama kurun waktu itu, saya juga mengamati bagaimana mereka menjaga dedikasi mereka terhadap profesi. Jam-jam panjang dan melelahkan mereka lewati dengan kesiapan penuh dan kesiagaan yang nyaris tanpa cela.

Maka selama dua minggu di sana, saya jadi berpikir dari arah lain tentang film dokumenter Zeitgest: Addendum. Di penutup film itu, salah satu saran yang dianjurkan untuk memberi andil di perubahan global adalah dengan tidak bergabung/memberi dukungan kepada militer. Bagi saya, harus ada pemahaman kontekstual menyikapi anjuran tadi.

Zeitgest seakan menganggap bahwa menjadi tentara atau bergabung dengan militer adalah sama dengan menjadi boneka sekaligus perpanjangan tangan-tangan tak terlihat yang memgang peranan penting dalam setiap perubahan dunia. Tentara seakan tidak mempunyai kendali atas hidupnya sendiri.

Tapi saya mencoba melihat dari perspektif yang lain. Semisal bahwa mereka menjadi tentara tanpa disertai pretensi yang terlampau jauh seperti tentang adanya jalinan konspirasi yang berkelindan di balik profesi mereka.  Pikiran mereka tidak mengarah ke sana. Saya melihat bagi mereka menjadi tentara adalah kebanggaan bagi orang-orang di sekitar mereka.  Istri, anak, atau orang tua di desa.

Mereka seperti lirik lagu Serdadu yang dinyanyikan Iwan Fals: peluru yang ketika ditekan picu melesat tak ragu. Tak ada waktu untuk berpikir yang aneh-aneh. Perkara mereka (seandainya memang benar) dikondisikan seperti itu oleh tangan-tangan tak terlihat tadi, itu lain soal yang harus dibicarakan dari sudut pandang yang lain. 

Namun saya selalu menganggap bahwa tugas manusia adalah menjadi pemulung. Mengambil yang baik, menyingkirkan yang buruk.  Bahwa perkara benar-buruk adalah perkara yang relatif, itu harus diakui. Namun maksud saya, membuat generalisasi dan membangun stereotype adalah laku yang harus dicegah.

Termasuk kepada tentara. Bagaimana pun, mereka adalah manusia seperti kita. Punya kecenderungan-kecenderungan yang sama. Sama-sama memungkinkan untuk menjadi bijak bestari sekaligus menjadi culas. Maka pilihan yang ada  hanyalah mengambil yang baik dari mereka, lantas menyingkirkan nilai-nilai yang dirasa kurang patut.

Kadang, hidup itu adalah perkara bagaimana kita menyesuaikan diri, bukan?

Minggu, 28 September 2014

Patriot Mayantara


 
Gambar diambil dari sini

Menatap Indonesia di tahun 2014 adalah menatap bagaimana teknologi komunikasi memberikan peran yang sangat penting dalam menentukan nasib suatu bangsa. Di tahun inilah, rangkaian proses pemilihan umum legislatif dan pemilihan umum presiden berlangsung dengan dimeriahkan oleh pemanfaatan kekuatan kasat mata teknologi komunikasi. Kekuatan ajaib inilah yang kemudian memberi corak sekaligus pengaruh tersendiri bagi warga negara dalam menggunakan hak pilihnya secara langsung, untuk menghasilkan pemimpin terpilih yang kelak menentukan kondisi bangsa.

Salah satu bagian dari  teknologi komunikasi yang dimaksud adalah social media atau media sosial. Social media adalah media daring (terhubung internet) yang mendukung interaksi sosial, menggunakan teknologi berbasis web dan mempunyai pola komunikasi yang bersifat interaktif.

Pakar komunikasi media, Andreas Kaplan dan Michael Haenlein, membuat definisi lain tentang media sosial.  Menurut mereka media sosial adalah kelompok aplikasi berbasis internet yang membangun di atas dasar ideologi dan teknologi Web 2.0, yang memungkinkan penciptaan dan pertukaran user-generated content.

Media sosial ini juga terdiri dari beberapa jenis. Antara lain adalah web log atau kerap  disebut blog serta jejaring sosial macam Facebook dan aplikasi mikroblogging Twitter.  Jejaring sosial  adalah ragam media sosial yang paling digemari oleh pengguna internet alias netizen di Indonesia.

Tentang keaktifan di media sosial, netizen di Indonesia masuk jajaran atas. Silakan cermati datanya. Misalnya dari data yang dilansir dari sumber statistika Peer Reach. Untuk aplikasi Twitter, Indonesia adalah negara terbesar ketiga di dunia yang menggunakan aplikasi untuk bercuit ini. Angkanya menyentuh 6,5 % dari populasi tweeps (sebutan pengguna Twitter) di seluruh dunia. Hanya di bawah Amerika Serikat (24,3%) dan Jepang (9,3%), mengungguli negara lain macam Inggris dan Brazil yang masing-masing menduduki peringkat keempat dan kelima. Data lain menyebutkan bahwa setiap hari, hampir 3% tweet di seluruh dunia berasal dari Indonesia. Itu bermakna bahwa setiap tweet dikirim setiap 15 detik.

Keaktifan netizen Indonesia di lanskap sosial media juga selaras dengan data yang dilansir dari survei data global Web Index. Survei  itu menjelaskan bahwa Indonesia adalah negara yang paling aktif di Asia dalam menyoal penggunaan media sosial. Duduk di peringkat pertama dengan persentase 79,7%, Indonesia mengungguli Filipina di peringkat kedua (78%) yang disusul Malaysia dengan raihan 72%.

Masih ada lagi data dari Kementrian Komunikasi dan Informasi (Kemenkominfo) yang mengatakan bahwa dari 63 juta orang pengguna internet di Indonesia, 95% persen di antaranya menggunakan internet untuk media sosial.

Riuhnya media sosial tak lain karena sifatnya yang mudah untuk diakses oleh penggunanya, bahkan hanya lewat telepon genggam atau handphone. Seiring dengan kemajuan teknologi, kecanggian handphone juga terus berkembang. Pasar handphone pintar atau smartphone kian ramai. Dan bukan rahasia lagi, Indonesia dengan kelas menengahnya yang dominan adalah mangsa empuk bagi produsen smartphone. Dari pengguna smartphone inilah, Indonesia lantas duduk di peringkat yang tinggi dalam pemanfaatan  berbagai media sosial.

Selain mudah diakses dan lebih cepat dalam penyampaian informasi, media sosial untuk memungkinkan untuk kelangsungan komunikasi beragam arah. Sifat media sosial inilah yang paling disukai. Informasi begitu cepat terunggah sekaligus terespon. Media sosial dianggap sangkil dan mangkus dalam penyebaran informasi secara cepat.

Tapi di balik sisi positif media sosial sebagai anak kandung teknologi komunikasi, ternyata juga tersimpan sisi negatifnya. Karena begitu cepat terunggah dan terespon, masyarakat akan mudah tersesat dalam belantara informasi. Kecepatan informasi yang terunggah tidak selalu berbanding lurus dengan keakuratannya, sebab kerap menihilkan laku verifikasi.


Palagan Dunia Maya

Dua sisi media sosial ini disadari betul oleh praktisi politik di tanah air. Media sosial dijadikan sebagai sarana kampanye oleh masing-masing kandidat (baik calon anggota legislatif maupun calon presiden) beserta tim suksesnya.

Positifnya, masyarakat menjadi paham tentang siapa calon yang akan dia pilih. Pemaparan program dan penjabaran visi-misi serta profil calon anggota legislatif dan calon presiden bisa dilakukan lewat media sosial yang notabene sangat dekat dengan laku masyarakat sehari-hari.

Negatifnya, tentu saja masyarakat tersesat dalam pekatnya  belantara informasi dari media sosial. Benar dan salah menjadi perkara yang terlampau bias. Kampanye hitam berisi informasi yang menjelekkan kandidat lain menjadi persoalan yang terlampau biasa dilakukan.

Maka media sosial menjadi sebuah palagan di dunia maya. Medan perang untuk berebut pengaruh.Ketika beragam informasi yang berisi kebohongan digencarkan, maka serangan informasi yang dibangun dari keakuratan dan verifikasi yang terukur memberi balasan. Begitu seterusnya. Bergantian. Pesta demokrasi menjadi sebuah gelaran perang pengaruh dalam medan teknologi komunikasi bernama media sosial. Dari hanya sekadar pertarungan praktisi politik, palagan ini kemudian diramaikan oleh banyak orang yang peduli bahwa Indonesia harus menjadi lebih baik. Salah satunya dengan turut serta dalam keriuhan pesta demokrasi ini dengan memanfaatkan media sosial.

Dari medan perang inilah lahir orang-orang yang tulus berjuang demi Indonesia. Beberapa mungkin mencibir, bahwa sinyalir partisipasi yang tak benar-benar tulus—dalam artian berbayar, tak bisa ditampik. Namun banyak dari mereka yang menunjukkan partisipasinya dalam pengaruh ini adalah orang-orang yang benar-benar mencintai Indonesia lewat caranya sendiri.

Dalam perang di dunia maya, tak berlebihan bahwa mereka diberi gelar “Patriot Mayantara”. Pahlawan yang mencintai negerinya lewat peperangan di dunia maya. Senjatanya tentu saja niatan baik dan informasi yang benar serta terukur demi terpilihnya pemimpin yang lebih baik untuk Indonesia.

Metode yang dipilih sebagai alat perjuangan juga bervariasi. Sebagian besar memanfaatkan kicauan pendek dengan jatah 140 karakter di Twitter. Sebagian lagi membuat posting di laman Facebook. Beberapa membuat video dengan durasi singkat tentang keberpihakan kelompok-kelompok tertentu terhadap salah satu kandidat. Yang lain membuat infografis tentang masing-masing kandidat. Ada juga yang sampai membuat komik dan produk grafis lain yang bisa diunduh secara gratis. Media sosial juga menjadi pijakan untuk membuat medium berkumpul yang lebih besar. Misalnya, dari media sosial pula mereka mengumumkan gelaran konser musik gratis besar-besaran yang bertujuan untuk menunjukkan dukungan terhadap salah satu kandidat.

Ramainya kontribusi netizen dalam pemilu tahun 2014 bukan hanya ketika pemilu belum berlangsung atau di masa kampanye, namun juga ketika pemilu sudah usai. Kali ini polanya sedikit berbeda. Ketika masa kampanye, internet digunakan sebagai media agar pengaruh bisa tertanam dan mengarahkan keberpihakan kepada kandidat yang hendak dipilih. Ketika pemilu usai, internet digunakan sebagai media untuk memonitor suara rakyat yang sudah diberikan, agar tidak diselewengkan oleh pihak-pihak tertentu. Sama halnya dengan masa kampanye, di masa-masa pasca pemilu ini muncul pahlawan-pahlawan yang berjuang dengan jauh dari tempik sorai. Mereka tulus berbuat demi Indonesia yang lebih baik. Secara sukarela, menjadi pengawal suara di dunia maya.

 
Ainun Najib, sosok penggagas situs kawalpemilu.org. Gambar diambil dari sini.

Salah satu dari mereka adalah sosok sederhana bernama Ainun Najib. Bersama dua sejawatnya di luar negeri, dia merakit situs hitung suara untuk menjaga suara rakyat tidak diselewengkan. Alumnus jurusan rekayasa komputer di Nanyang Technological University ini merasa terpanggil untuk berkontribusi ketika melihat situasi politik di Indonesia memanas usai pemilihan presiden pada 9 Juli 2014 lalu. Ainun, yang sehari-hari bekerja sebagai konsultan IT di perusahaan teknologi multinasional dan berdomisili di Singapura, membuat situs kawalpemilu.org. Situs rakitannya ini menayangkan real count rekapitulasi surat suara berdasarkan tabulasi data formulir C1 KPU.

Tingkat keamanannya juga kokoh nian. Pengamanannya berlapis-lapis. Server internalnya di-hosting ke Google dan Amazon, server eksternalnya dilapisi dengan teknologi CloudFlare. Dengan pengamanan yang demikian, cara hacking atau peretasan standar tidak akan mempan terhadap situs tersebut.

Cara koordinasi Ainun dan sejawatnya juga benar-benar unik. Mereka tidak pernah melakukan rapat secara fisik. Semuanya dilakukan di mayantara. Dari situs itu, mereka merekrut relawan dari beragam latar belakang dengan metode yang bersifat eksponensial. Teman mengajak teman. Kendati demikian, kredibilitasnya juga tetap terpantau. Ainun juga tidak memersoalkan apabila relawan yang bergabung adalah simpatisan salah satu kandidat. Tak jadi soal, asal tidak mengacaukan data. Selama bekerja untuk kawalpemilu.org, Ainun mendapatkan 700 relawan yang membantunya. Hampir separuhnya di Singapura, sedang sisanya tersebar di seluruh dunia.

Pada Mulanya adalah Kepedulian dan Sikap Optimistis

Ainun dan relawan-relawan lain adalah contoh, bahwa berbuat sesuatu untuk negara bisa dilakukan oleh siapapun dan dalam level apapun. Dari gelaran pemilu 2014 kemarin, mereka memberi contoh, bahwa yang menjadi modal penting adalah kepedulian dan sikap optimistis.

Modal yang membuat kita melihat dari sudut pandang baru. Bahwa bagaimanapun, politik menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari hidup sehari-hari. Kebijakan politik bagaimanapun akan bersinggungan dengan kepentingan kita yang paling kecil sekalipun. Sehingga menunjukkan sikap tidak peduli bermakna sama dengan tidak peduli dengan kehidupan kita sendiri.

Ketika pemilu sudah usai, bukan berarti ruang untuk kita berkontribusi sudah tertutup. Banyak hal di luar sana menunggu partisipasi kita. Pelayanan publik yang kacau, kebijakan politik yang sewenang-wenang, atau hal-hal lain yang membutuhkan gerakan nyata yang artikulasinya bisa dimulai dengan memanfaatkan teknologi informasi, terutama internet.

Di jaman ini, patriotisme tidak lagi seperti apa yang dibilang oleh Goenawan Mohamad: api lilin di dalam tong; terang, tapi terkurung. Patriotisme sudah bisa ditembus sekatnya dan dirasakan nyala pijarnya oleh siapapun. Internet dan teknologi komunikasi yang memudahkannya.

Hal-hal yang buruk selalu terjadi, sebab dunia terus bergerak dengan segala kemungkinan. Namun sikap pesmis sebaiknya kita pendam. Yang penting pada mulanya adalah kepedulian dan sikap optimistis. Selanjutnya, biarkan teknologi komunikasi yang berbuat keajaiban.

Mereka, patriot-patriot mayantara, sudah memberi contoh. 


================================================================

*Tulisan ini dibuat untuk mengikuti kompetisi XL Award kategori karya tulis. Tema yang dipilih adalah “Peran Teknologi Komunikasi dalam Menumbuhkan Kepedulian Masyarakat dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara”