Rabu, 22 Oktober 2014

Elegi Militer




Gambar diambil dari sini



“Saya ingin menjadi tentara,” begitu kata saya ketika ditanya oleh guru SD tentang cita-cita saya, sekitar dua puluh tahun silam.

Kemudian sebagaimana anak-anak lainnya, saya tidak hanya mempunyai satu cita-cita. Selain tentara, masa kecil saya diwarnai banyak profesi lain yang saya idamkan menjadi pilihan saya di masa dewasa. Mulai dari arsitek, komikus, dosen ilmu eksakta, sampai pemilik toko bunga. Namun yang jelas, tentara adalah profesi yang tidak singgah cukup lama di dalam benak untuk diwujudkan menjadi cita-cita yang nyata. Sebaliknya, sejak remaja hingga mulai usia dewasa, saya cenderung menolak hal-hal yang berbau militer. Mungkin salah satu alasannya karena saya besar di rezim Orde Baru di mana kekuatan militer begitu represif. 

Pikir saya ketika itu, tentara identik dengan pengekangan yang menjemukan. Profesi yang membungkam kebebasan berekspresi, menihilkan cara berpikir yang konvergen dan membatasi kemajemukan. Jawaban saya menjadi tentara sebelumnya muncul karena saya melihat tentara identik dengan gagah, kuat, dan berani. Citra yang sangat menggoda untuk imajinasi anak kecil.

Padahal menjelang saya lulus SMA, datang kesempatan untuk bergabung di jalan militer. Ada salah seorang kerabat jauh yang memiliki posisi lumayan menentukan di jajaran korps marinir. Dia menawarkan untuk masuk ke marinir. Namun saya menolak sambil cengengesan. Barangkali karena cengengesan adalah salah satu perkara haram dalam militer, maka kerabat tadi tidak mengulangi tawaran lagi untuk kesekian kalinya.

Tawaran juga datang dari seorang tetangga yang baik hatinya. Sehari-hari dia bekerja sebagai tukang kayu. Anaknya yang bungsu, berhasil sekolah di salah satu institut yang mencetak praja, dengan sistem pendidikan ala militer. Anak bungsu tadi lantas menjadi ajudan bupati kala itu.  Tetangga yang baik hatinya tadi rajin mencekoki saya dengan keberhasilan putra bungsunya. Dia meminjami saya buku-buku tentang institut tempat putranya dulu menempuh pendidikan. Namun sekali lagi, saya menolak. Sampai sekarang, saya masih mengingat raut kecewa bapak  tukang kayu tersebut ketika saya menolak tawarannya.

***

Namun lambat laun, saya mulai bisa melihat militer dari sudut pandang yang berbeda. Semisal bagaimana militer memegang peranan yang jelas terlampau penting dalam  upaya ketahanan dan keamanan negara. Militer juga senantiasa teguh terhadap nilai-nilai yang diyakini. Menariknya, nilai-nilai itu memiliki dampak yang artikulasinya kuat dalam kehidupan sehari-hari.

Silakan cermati bagaimana mereka menjalani laku disiplin yang bahkan lebih ketat daripada rahib. Atau bagaimana mereka menghargai kebersamaan di antara sejawat. Bagaimana mereka menghormati garis tegas bernama komando.

Alhasil, setelah saya sempat menampik segala hal yang berbau militer, saya berubah menjadi pribadi yang kagum pada hal-hal tertentu yang dimiliki oleh militer.

Cara saya memandang militer juga semakin berubah sejak beberapa minggu terakhir saya berkali-kali berkunjung ke markas Sekolah Calon Bintara (Secaba). Kepentingannya, saya terlibat menjadi salah satu panitia yang ditugaskan oleh tempat saya bekerja untuk memberikan diklat bekerjasama dengan pelatih dari Secaba. Program ini berlangsung dua minggu. Hitungan yang terbilang cukup bagi saya untuk melihat dari dekat bagaimana prajurit menjalani laku hidupnya sehari-hari di kesatrian. 

Saya melihat sendiri bagaimana mereka begitu bersahaja menjalani hidup sehari-hari. Selama kurun waktu itu, saya juga mengamati bagaimana mereka menjaga dedikasi mereka terhadap profesi. Jam-jam panjang dan melelahkan mereka lewati dengan kesiapan penuh dan kesiagaan yang nyaris tanpa cela.

Maka selama dua minggu di sana, saya jadi berpikir dari arah lain tentang film dokumenter Zeitgest: Addendum. Di penutup film itu, salah satu saran yang dianjurkan untuk memberi andil di perubahan global adalah dengan tidak bergabung/memberi dukungan kepada militer. Bagi saya, harus ada pemahaman kontekstual menyikapi anjuran tadi.

Zeitgest seakan menganggap bahwa menjadi tentara atau bergabung dengan militer adalah sama dengan menjadi boneka sekaligus perpanjangan tangan-tangan tak terlihat yang memgang peranan penting dalam setiap perubahan dunia. Tentara seakan tidak mempunyai kendali atas hidupnya sendiri.

Tapi saya mencoba melihat dari perspektif yang lain. Semisal bahwa mereka menjadi tentara tanpa disertai pretensi yang terlampau jauh seperti tentang adanya jalinan konspirasi yang berkelindan di balik profesi mereka.  Pikiran mereka tidak mengarah ke sana. Saya melihat bagi mereka menjadi tentara adalah kebanggaan bagi orang-orang di sekitar mereka.  Istri, anak, atau orang tua di desa.

Mereka seperti lirik lagu Serdadu yang dinyanyikan Iwan Fals: peluru yang ketika ditekan picu melesat tak ragu. Tak ada waktu untuk berpikir yang aneh-aneh. Perkara mereka (seandainya memang benar) dikondisikan seperti itu oleh tangan-tangan tak terlihat tadi, itu lain soal yang harus dibicarakan dari sudut pandang yang lain. 

Namun saya selalu menganggap bahwa tugas manusia adalah menjadi pemulung. Mengambil yang baik, menyingkirkan yang buruk.  Bahwa perkara benar-buruk adalah perkara yang relatif, itu harus diakui. Namun maksud saya, membuat generalisasi dan membangun stereotype adalah laku yang harus dicegah.

Termasuk kepada tentara. Bagaimana pun, mereka adalah manusia seperti kita. Punya kecenderungan-kecenderungan yang sama. Sama-sama memungkinkan untuk menjadi bijak bestari sekaligus menjadi culas. Maka pilihan yang ada  hanyalah mengambil yang baik dari mereka, lantas menyingkirkan nilai-nilai yang dirasa kurang patut.

Kadang, hidup itu adalah perkara bagaimana kita menyesuaikan diri, bukan?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar