Gabriel
Garcia Marquez, sastrawan dari Kolombia yang masyhur itu pernah berujar bahwa
dalam hidup, yang menjadi persoalan bukanlah yang terjadi pada kita, namun apa
yang kita ingat dan bagaimana kita mengingatnya. Boleh jadi, sastrawan yang karib
disapa Gabo itu benar. Namun bertolak dari kuotasi Marquez tadi, ingatan sebenarnya
tidak menjadi faktor utama pemicu persoalan hidup. Di sebelahnya, ada perihal
lain yang kita beri nama sebagai kenangan.
Ada
batas yang agak sumir antara ingatan dan kenangan. Kadang kala keduanya tak
bisa dibedakan, kadang kala ingatan dan kenangan saling menelikung, saling
memunggungi, tapi juga saling melanjutkan satu sama lain. Kenangan selalu saja
tidak terduga. Dan bahayanya, dia bisa datang kapan saja, semau-maunya—berbeda
dengan ingatan yang sepenuhnya bisa dikendalikan oleh si empunya ingatan.
Kenangan bukan benda yang bisa dipanggil kapan saja, dipermainkan lantas
dipanggil pulang kapan saja. Kenangan bergerak dengan caranya sendiri, semacam rumput
liar yang tidak pernah diinginkan. Semua itu saya dapati setelah saya membaca
novel karya Zen RS, Jalan Lain ke Tulehu
[Sepakbola dan Ingatan yang Mengejar].
Adalah
seorang jurnalis bernama Gentur, tokoh utama dalam novel ini, datang ke tanah
Ambon yang sedang dirundung bara konflik horizontal pada tahun 1999. Gentur datang
dalam keadaan yang gelisah. Ia memendam konflik batin dan menjalani perang
antara ingatan dan kenangannya sendiri—luka perih dan trauma mendalam akibat
kerusuhan Mei 1998.
Di
Ambon, Gentur mengalami ketegangan demi ketegangan akibat konflik
horizontal. Ia menyaksikan dan mencatat berbagai kejadian pelik yang
ironisnya dipicu oleh tabir agama. Agama, untuk kesekian kalinya dalam peradaban manusia dimanfaatkan sebagai pemecah. Situasi konflik beragama di Ambon kala itu tergambar pada ucapan teman Gentur
bernama Frans, seorang mantan frater, “Iman dipaksa untuk tampil secara tembus
pandang. Tak boleh ada rahasia, misteri, dan enigma pada iman di tengah
konflik”.
Perjalanan Gentur di Ambon juga mengantarkannya ke Tulehu, sebuah desa kecil
penghasil pesepakbola berkualitas. Di Tulehu, Gentur mengingat dan terkenang
masa lalunya tentang sepakbola yang dihiasi oleh nama-nama dari Tulehu. Semisal
Mustadi Lestaluhu, pemain yang mengenalkannya pada tendangan keras dari luar
kotak penalti yang dinamai “tendangan geledek”. Ia tahu frasa itu setelah orang
Tulehu bernama Mustadi Lestaluhu yang melakukannya—bukannya Ronald Koeman, bek legendaris dari Belanda
yang juga dikenal memiliki keahlian serupa.
Tulehu
juga mengenalkannya pada persahabatan dengan Said, seorang pesepakbola yang
gagal. Kegagalannya menjadi pesepakbola mengantarkannya menjadi ojek motor
sekaligus menjadi pelatih sepakbola untuk anak-anak secara sukarela di lapangan
Matawaru. Bersama Said, Gentur melewati hari-hari penuh kecamuk konflik
sekaligus gairah sepakbola yang mengakar kuat di Tulehu.
Di
Tulehu, sepakbola benar-benar dihayati dengan
tulus. Dicintai sebagai sebuah cerita rakyat yang menggugah. Walau tanah mereka
dirundung konflik. Walau dentum meriam, letusan senjata, dan desing peluru
terdengar dari jauh. Gentur pun menulis dalam feature-nya tentang sepakbola di
Tulehu: “Sepakbola adalah masa lalu
Tulehu sekaligus masa depan bagi Tulehu dan anak-anaknya yng mempunyai mimpi
memperbaiki nasib melalui sepakbola. Sepakbola juga menjadi kisah yang akan
terus mengingatkan penduduknya bahwa rumah bersama mereka, salah satunya,
terletak pada lapangan sepakbola. Melalui ingatan bahwa sepakbola adalah rumah
bersama pada masa lalu dan masa depan, nostalgia bagi Tulehu tak selamanya
berarti dunia yang sudah hilang. Sepakbola sebagai nostalgia, bagi Tulehu,
hadir dalam bentuknya yang restoratif, memulihkan dan membangkitkan kembali
masa lalu secara terus menerus, melalui anak-anak laki yang sejak masih merah
sudah tidur dengan bola di sisi bantalnya.”
***
Novel
setebal 300 halaman ini ditulis Zen RS dalam waktu yang terbilang singkat,
yakni hanya kurang dari dua minggu. Namun proses risetnya memakan waktu
bertahun-tahun. Alur yang dipakai adalah
kombinasi antara alur maju dengan alur flashback
dengan tempo sedang-sedang saja. Saya juga sepakat ketika ada yang bilang bahwa
kekurangan novel ini adalah dialog-dialog yang menggunakan campuran bahasa
daerah. Walaupun saya maklum, itu justru bukti kekayaan Zen sebagai seorang
penulis Kekurangan lainnya, beberapa fragmen di luar esensi utama cerita juga
dimunculkan terlalu banyak sebagai pelengkap.
Di luar
itu semua, Zen—sebagaimana di tulisannya yang lain, menulis dengan detail yang
brilian, koherensi kalimat yang kokoh, dan memberikan pemahaman-pemahaman baru
yang mencerahkan.
Saya
memang sangat menyukai tulisan-tulisan Zen. Baik esai-esainya, cerpen, atau
tulisan feature-nya. Zen mahir menulis banyak hal: sejarah, sepakbola, budaya,
sosial-politik. Bagi saya, tulisan Zen selalu menyiratkan ciri khas berupa
“stamina” menulis yang tidak kedodoran untuk sebuah tulisan (terlebih tulisan
panjang) sehingga nyawa tulisan sangat terasa. Zen juga dikenal sebagai
pengingat yang baik dan pencatat yang rajin.
Jika
ada yang mengira novel ini adalah melulu berkisah tentang sepakbola, maka orang
tersebut salah besar. Buku juga diracik melalui konteks sosial politik, budaya,
sejarah. Di Tulehu, sepakbola hadir sebagai persimpangan ingatan dan kenangan tentang
semua hal itu. Sepakbola dalam novel ini juga merupakan—sebagaimana
judulnya—jalan lain pada belantara konflik di Tulehu. Sebagaimana diujar oleh
Zen sendiri pada blog-nya: Sepakbola
menjadi unsur penting, tapi bukan satu-satunya. Sepakbola memainkan perannya
sebagai salah satu jalan memasuki lorong ingatan dan kenangan yang penting
dalam setiap konflik berdarah.
Buku
ini juga bukan merupakan adaptasi film Cahaya
dari Timur (juga bukan sebaliknya). Sebab memang antara buku ini dan film Cahaya dari Timur memiliki tokoh, alur,
dan konflik cerita yang berbeda, meskipun latar belakangnya tetap Tulehu dan
konflik berdarah di Ambon. Yang ada—meminjam istilah Zen—plot yang saling
beririsan.
Saya adalah
bagian dari penikmat tulisan Zen yang sekian lama menantikan dia menulis buku
sendiri dalam bentuk novel. Sebagai sebuah penantian yang panjang, hadirnya Jalan Lain ke Tulehu adalah perkara yang
menggembirakan. Tanpa ragu-ragu dan tanpa bermaksud berlebihan, buku ini adalah
salah satu buku terbaik yang saya baca sepanjang tahun ini.