Pagi
ini, ketika subuh mulai terusir dan fajar baru menjelang, kita bertemu. Kulitmu
kini mengeriput, pipimu menggelambir, perutmu molor, dan gigimu banyak yang
ompong. Rambutmu masih seperti dulu, pendek menggantung serendah leher—dan dulu
kerap kubelai.
Aku mencoba memberanikan diri, mengumpulkan
sisa-sisa nyali dalam badan yang kian meringkih, untuk mengecup keningmu. Jidat
lebar yang membuat kita kerap berolok-olok. Dan tanganku yang kini kerap
gemetar karena tremor, menggenggam erat tanganmu. Kita lalu berpelukan. Tak
kuhitung berapa lama, aku malas mengakrabi hitungan waktu. Mengingat waktu
hanya akan mengingat luka kita masing-masing. Aku hanya ingin hadir padamu saat
ini. Itu saja. Nanti, aku tidak menjanjikan apa-apa, kecuali badan renta yang
terus memancang ikrar di dalam hati: aku mencintaimu, entah sampai kapan.
Urung terwujud impianku untuk
mati muda. Aku batal menjadi bagian dari kisah gagah anak-anak muda yang gagap
mengeja hidup. Tapi tetap saja hingga sekarang, aku masih berharap agar
diselamatkan dari usia yang terlampau panjang. Menjadi tua dan kesepian itu
bisa dibilang..umm…menyedihkan.
Kau masih rajin merawat kukumu?
Dulu aku pernah bilang padamu, bahwa tumbuhnya kuku mirip dengan perasaan
ketika jatuh cinta. Perlahan-lahan, tak terlalu diperhatikan, tiba-tiba
menumbuh begitu saja. Yang perlu diperhatikan adalah ketika mulai panjang, kuku
harus dirawat akan tidak tajam melukai.
Perjalanan panjang yang dulu
hendak kita tempuh, juga tidak terlakoni. Padahal aku ingin mengajakmu
jalan-jalan ke banyak tempat. Naik
kereta api sepanjang perjalanan, berpindah-pindah hostel, menjajal
bermacam-macam kuliner lokal, mengkhidmati subuh di tiap dermaga lalu
menuliskan cerita bersama-sama. Menyusuri jejak kejayaan Majapahit di
Mojokerto, berkelakar dan mengocok perut dengan naik angkot di Sawahlunto yang
jalannya berkelok-kelok, menengok eksotiknya Vietnam, menikmati sore di sekitar
Wat Arun sambil memberi makan ikan-ikan kecil, lalu malamnya menikmati suasana
sungai Chao Praya dengan dinner cruise
bersama. Atau belajar yoga di India. Lalu menjajal hidup dengan menjadi hippies berdua. Sedikit mirip dengan John Lennon dan Yoko
Ono yang sering aku ceritakan padamu.
Aku pernah menginginkan menjadi
petani. Membayangkan betapa menyenangkannya menggarap lahan bersama
orang-orang. Memiliki rumah di atas bukit. Kecil saja, tak usah terlalu besar
agar kau tidak repot mengurus. Setiap senja temaram, kita berbincang-bincang
membicarakan apa yang kita lalui sepanjang hari sambil minum teh bersama di
teras rumah.
Orang-orang kerap bilang agar
aku sebaiknya tak panjang angan-angan. Tak usah menanam harapan. Tapi tahu apa
mereka soal kebaikan buatku? Kebenaran mungkin bisa menjadi klaim siapapun,
tetapi kebaikan adalah tafsir pribadi. Aku yang tahu yang baik buatku, bukan
mereka. Lagipula, tanpa harapan, apalagi yang aku punya? Mencintaimu memang
sedari awal adalah mencintai harapan yang pupus. Jadi maafkanlah aku yang keras kepala.
Sampai serenta ini, aku masih
tetap menulis. Menulis adalah perkara keberanian, dan aku enggan tampak pengecut buatmu. Menulis juga upaya menggenapi janjiku kepadamu. Bahwa pada barisan kalam, aku
titipkan doa-doa kebaikan buatmu. Menjaga kerinduan untuk terus tumbuh
menjalar, namun tidak liar. Laku menulis memang menuntunku menuju paradoks.
Menjagaku dalam kewarasan sekaligus meneguhkan kesintinganku.
Kau masih mematung. Mungkin
sirkuit di otakmu sedang diderasi arus ingatan tentang kita. Memutar kisah yang
pernah kita lalui. Memunculkan frame demi frame kenangan yang tiba-tiba
berkelebat. Tapi bibirmu tak berucap. Hanya bergetar. Kau lantas
mengekspresikan kegagapan gestur dengan memelukku erat—menyandarkan kepala di
bahuku.
Kau perlu tahu, bahwa ingatan
dan kenangan tidak benar-benar lenyap lalu tiba-tiba muncul kembali sesekali karena kita paksa
hadir atau justru tanpa kita sadari. Ingatan dan kenangan juga bisa menjadi
energi tak kasat mata yang meneguhkan langkah.
“Kau terlalu banyak bicara,”
katamu dengan sedikit menyebalkan, tapi tetap manis.
“Lalu?” tanyaku.
“Bernyanyilah. Lantunkan lagu
untuk menghiburku, agar kesedihanku terusir.”
Aku terbata-bata menyanyikan
lagu kesukaanmu. Kau tak ikut bernyanyi. Hanya memejamkan mata, sambil menyunggingkan
senyum di ujung bibir. Di sudut pelupuk matamu yang keriput, menyembul buliran
air mata. Uapnya memanjat ke langit pagi, harumnya kesturi. Sambil mengusap
rambutmu yang mudah rontok, aku kembali mengecup kening sambil berdoa buatmu.
Di belakang kita, burung gereja bercuit mengamini—pada ranting-ranting pohon
yang daun-daunnya berjatuhan. Tetap saja, Sayang, harapan harus kita rumat sekalipun hidup seringkali bukan melulu
persoalan tercapainya setiap keinginan.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusSemoga. Ya, semoga.. :')
BalasHapus