Senin, 25 November 2013

Digitalisasi Wisata Ala Banyuwangi


 
Gambar diambil dari sini


Selamat datang di era Global Paradox!

Selamat memasuki sebuah era yang diramal oleh sepasang  futurolog  bernama John Naisbitt dan Patricia Aburdence dalam buku mereka yang berjudul Megatrend 2000. Lewat buku yang kontroversial itu, John Naisbitt dan istrinya  memperkirakan bahwa akan datang jaman dengan paradoks-paradoks dalam kehidupan bermasyarakat yang menggejala secara luas. Salah satu gejala tersebut adalah menguatnya kecintaan pada budaya tradisi  untuk menunjukkan jati diri sebagai suatu bangsa. Gejala ini timbul justru sebagai upaya pertahanan atau resistensi tinggi dari  semakin menguatnya hempasan peradaban global. 

Upaya resistensi tinggi dari hempasan peradaban global itu ditunjukkan dengan  adanya  penguatan konsep budaya pada beberapa daerah tertentu. Penguatan ini menjadi kian kokoh apabila disokong dengan kekayaan alam dan peninggalan sejarah yang menjadi kekayaan tersendiri dan tidak ternilai dari daerah tersebut. Sungguh, daerah yang demikian adalah daerah yang benar-benar beruntung. 

Satu dari sekian daerah yang dianugerahi keberuntungan tersebut adalah Banyuwangi. Betapa tidak, Banyuwangi nyaris memiliki keberuntungan itu semua.  Kekayaan alamnya elok. warisan budayanya berlimpah.. Pegunungan, hutan, laut, sungai, termasuk seni budaya, flora dan fauna, peninggalan purbakala, peninggalan sejarah, dan lainnya, menjadi modal berharga bagi pembangunan sektor pariwisata. Kekayaan Banyuwangi ini sebagaimana yang digambarkan pada lirik lagu daerah Banyuwangi yang berjudul Umbul-Umbul Blambangan

...

Belambangan, Belambangan

Tanah Jawa pucuk wetan

Sing arep bosen sing arep bosen

Isun nyebut-nyebut aran ira

Belambangan, Belambangan

Membat mayun Paman

Suwarane gendhing Belambangan

Nyerambahi nusantara

Banyuwangi… kulon gunung wetan segara

Lor lan kidul alas angker

keliwat-liwat

Belambangan.. Belambangan


Dari kacamata ekonomi, tentu saja keberuntungan Banyuwangi ini bernilai sangat tinggi. Sejumlah keberuntungan Banyuwangi tadi adalah potensi pariwisata yang bisa menggerakkan laju perekonomian daerah agar tidak pernah lesu. Upaya mempertahankan diri dari serangan peradaban global melalui  pengokohan kearifan nilai-nilai lokal lewat proses penghayatan budaya, kekayaan alam, dan peninggalan sejarah, berdampak positif terhadap perekonomian daerah. 

Lebih jelasnya, peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata di Banyuwangi dapat memberikan kontribusi positif bagi pemerintah, pelaku pariwisata maupun masyarakat Banyuwangi itu sendiri. 

Bagi pemerintah, dampak keuntungan dari hal tersebut adalah bertambahnya jumlah pajak, jumlah perijinan dan jumlah pendapatan lainnya di daerah kunjungan wisata. Bagi pelaku pariwisata, dampak positifnya adalah bertambahnya keperluan jasa industri bagi industri pariwisata. Sedangkan bagi masyarakat sekitar adalah peningkatan peluang permintaan tenaga kerja di sektor pariwisata, peningkatan harga tanah di daerah wisata, serta peningkatan  permintaan sarana penunjang di daerah sekitar objek wisata.

 Yang tak kalah  penting adalah adanya keuntungan bagi lingkungan hidup di daerah sekitar objek wisata. Sebab akan ada upaya penataaan lingkungan menjadi lebih baik lagi untuk mempercantik objek wisata dan menarik minat wisatawan. Pola wisata dalam beberapa tahun terakhir memang lebih banyak ke arah objek wisata yang kaya akan nuansa people-contact dan nature-contact. Eksploitasi alam dan lingkungan hidup bukanlah jawaban atas itu semua. 

Tentu saja ada yang menjadi catatan penting dari sekian dampak positif diatas. Yakni bahwa untuk mencapai sasaran peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata, pengelolaan sekian potensi yang dimiliki Banyuwangi haruslah tepat dan diawali dengan strategi pemasaran yang cemerlang. 

Digitalisasi Sektor Pariwisata

Salah satu gagasan cemerlang yang bisa dipilih sebagai strategi pemasaran wisata di Banyuwangi adalah melalui pengembangan kompetensi pemasaran digital. Jaman terus bergerak, meninggalkan mereka yang enggan mengikuti–atau justru menggilasnya. Internet nyaris menjadi kebutuhan pokok. Dan mau tidak mau, sektor pariwisata harus memperhatikan hal ini. 

Mengarah pada data yang digalang oleh Nielsen Global Consumer Q1 2013, pertumbuhan populasi yang pesat pada masyarakat kelas menengah berikut meningkatnya pendapatan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini, memicu pergeseran pola  konsumsi dari barang-barang kebutuhan pokok ke kebutuhan gaya hidup.

Data Nielsen juga menyebutkan sebanyak 37 responden memilih berlibur sebagai prioritas kedua pengeluaran mereka setelah menabung. Sementara itu, dalam survey terpisah yang dilakukan oleh McKinsey & Company mengungkapkan temuan yang hampir mirip tentang tren wisata di tanah air. Diprediksi, pada tahun 2030 pengeluaran tahunan responden untuk jalan-jalan akan mencapai angka US$ 105 miliar. Angka ini naik secara signifikan dari  survey sebelumnya tahun 2011 yang menyentuh angka US$ 26 miliar.

Di samping itu, ada temuan menarik lainnya. Yakni bahwa sebanyak 65 persen wisatawan mencari ide berwisata melalui pencarian sosial dan 52 persen pengguna Facebook sangat dipengaruhi oleh foto-foto teman-teman dalam jaringan Facebook-nya, serta sekitar 33 persen wisatawan mengubah rencana awal mereka setelah mereka melihat foto-foto tersebut. 

Inilah mengapa digitalisasi pariwisata menjadi  penting. Informasi soal tempat wisata bisa diakses dalam hitungan detik, di manapun, kapanpun (calon) wisatawan inginkan. Banyuwangi selayaknya juga mengupayakan langkah ini sebagai salah satu strategi terpenting dalam pemasaran pariwisatanya. Singkatnya, Banyuwangi harus memoles diri sepatut mungkin dalam konsep digital, membuat website atau situs sebagai wajah usaha di dunia virtual, lantas sedikit lebih genit dengan upaya promosi melalui strategi optimasi mesin pencari, pemasaran melalui e-mail, dan media sosial yang semuanya itu terintegrasi dengan baik sebagai bentuk digitalisasi pariwisata Banyuwangi.  

Dan memang pariwisata kini menjadi kebutuhan penting yang tidak bisa dipisahkan dari kehidupan manusia terutama kegiatan sosial dan ekonomi. Pariwisata yang semula hanya dinikmati oleh segelintir kalangan dari orang-orang kaya, kini menjadi bagian dari hak dasar manusia, sebagaimana yang diujar John Naisbitt tentang fenomena global paradox yakni bahwa, “where once travel was considered a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right”

Digitalisasi pariwisata untuk Banyuwangi ini  memang bentuk dari paradoks global sebagaimana yang disinggung dalam awal tulisan ini. Paradoks ini tergambar dari upaya penyesuaian sebuah daerah (baca: Banyuwangi)  terhadap perkembangan global melalui pemanfaatan teknologi digital, namun tetap berakar pada kekayaan  budaya dan tradisi daerah itu sendiri. Di sisi lain, digitalisasi pariwisata adalah solusi praktis akan kebutuhan wisatawan terhadap ketersediaan akses informasi tentang pariwisata yang lengkap (one stop information solution) yang bisa dijangkau di manapun, oleh siapapun yang berusaha memenuhi hak dasarnya untuk melancong. 

Tidak bisa dipungkiri, bahwa bisnis pariwisata sesungguhnya adalah bisnis kepercayaan atau trust. Ini tidak lain karena produk ataupun jasa yang diinginkan di sektor pariwisata tidak muncul saat transaksi berlangsung. Pariwisata tidak dapat memberikan sample sebelum transaksi dilakukan. It cannot be sampled before the traveler arrives. Keputusan konsumen (wisatawan) untuk membeli produk pariwisata berawal dari informasi yang mampu memberikan trust baginya. 

Dengan adanya digitalisasi pariwisata yang dikembangkan melalui internet, para wisatawan dapat merengkuh sumber informasi tentang objek wisata yang dia kehendaki tanpa perantara dan dapat diakses di manapun serta kapanpun dia menginginkannya. Silakan simak nukilan paham baru yang digagas para ahli pemasaran pariwisata berikut ini:  if you are not online, then you are not on-sale. If your destination is not on the Web then it may well be ignored by the millions of people who now have access to the internet and who expect that every destination will have a comprehensive presence on the Web. The Web is the new destination marketing battleground and if you are not in there fighting then you cannot expect to win the battle for tourist dollars. 

Digitalisasi pariwisata melalui internet adalah jalan keluar utama untuk strategi pemasaran wisata di era ini. Banyuwangi dengan segenap potensi pariwisata yang dimiliki hendaknya bisa lebih memperhatikan tentang hal ini. Sebab, dengan segala keunggulannya, digitalisasi pariwisata ternyata juga merupakan langkah yang beresiko tinggi. Resiko ini muncul apabila muatan dari konsep digitalisasi yang tidak dikemas dengan baik, bahkan keliru. Ini bisa memicu trust yang buruk. Dan ketika ini terjadi, arah bisa berbalik. Penyebaran informasi tentang kekeliruan ini bisa berkembang dan mematikan strategi pemasaran pariwisata yang sesungguhnya. Dengan segala “kuasa” yang dimiliki, internet bisa melakukannya. 

Masyarakat luas tentu tertarik untuk tahu tentang filosofi tari Gandrung, tentang ritual Seblang, tentang akulturasi budaya dalam Hadrah Kunthulan, uniknya tradisi Kebo-keboan, atau juga harmoni dari musik Gedhogan, serta ragam kreasi budaya lokal Banyuwangi lainnya. 

Digitalisasi Banyuwangi juga diharapkan mampu memikat wisatawan dengan memberi informasi tentang eloknya Pulau Merah, Pantai Plengkung, Agrowisata Kalibendo, Cagar Alam Baluran, Teluk Hijau, dan tempat-tempat eksotis lainnya. Dan informasi yang diberikan hendaknya bukan hanya sekadar tentang kemolekan alamnya. Tapi juga ketersediaan akses transportasi dan penginapan bagi wisatawan, informasi biaya, produk wisata unggulan, dan hal-hal lain yang bisa menjadi rujukan penting bagi wisatawan sebelum memutuskan untuk singgah. 

Reposisi Kearifan Lokal 

Maka strategi digitalisasi pariwisata di Banyuwangi sebaiknya dilakukan dengan mengamati kecenderungan pola konsumsi wisata dalam beberapa tahun terakhir, serta kemungkinan pola konsumsi wisata di masa yang akan datang. 

Sebagaimana yang sedikit disinggung pada awal tulisan di atas, pola wisata yang digemari belakangan adalah yang kaya akan nuansa nature-contact dan people-contact. Pola ini diprediksi bakal tetap bertahan di masa yang akan datang. Inilah paradoks manusia modern seperti yang diulas John Naisbitt. Manusia modern dengan segala kemajuan teknologi yang dia miliki, seperti berjalan pada jalan yang gersang dan tandus. Ia memerlukan nilai-nilai dasar manusia untuk mengatasi kekeringan ruhaninya. Berinteraksi dengan orang-orang dan alam adalah cara untuk mengatasi kegelisahan itu. Dan pariwisata, sebagai wahana rekreasi (re-creation) atau kreasi ulang manusia, diharapkan mampu membantu memberikan oase bagi kekeringan ruhani tadi.

Nuansa nature-contact dan people-contact ini banyak didapat dari kekayaan alam, kreasi budaya dan peninggalan sejarah yang dimiliki suatu daerah. Dan Banyuwangi, beruntungnya, memiliki itu semua. 

Yang menjadi tantangan adalah bagaimana mengemas kekayaan alam, kreasi budaya dan peninggalan sejarah itu dalam bentuk informasi yang diolah secara digital, kemudian dipublikasi melalui keajaiban internet agar menggugah wisatawan untuk datang. 

Salah satu pilihannya adalah dengan memposisikan ulang kearifan lokal. Kekayaan alam, kreasi budaya dan sejarah sebuah daerah mau tidak mau membentuk perilaku umum penduduknya. Dan dalam hal ini, nilai-nilai luhur yang dijaga dan berlangsung turun temurun membentuk karakter penduduk daerah tersebut. Nilai-nilai ini berangkat dari tataran filosofis hasil persinggungan penduduk dengan kekayaan alam yang dimiliki, sejarah  yang dijalani, serta kreasi budaya yang mereka ciptakan. Nilai-nilai luhur ini bisa menjadi daya pikat tersendiri. Dengan pengemasan dalam konten digital yang baik berikut pemanfaatan internet dengan optimal, penyebaran informasi akan nilai-nilai luhur ini diharapkan dapat menjadi daya tarik yang unik  yang memikat minat wisatawan untuk menikmati pariwisata di Banyuwangi.  

Nilai-nilai luhur yang menjadi kearifan lokal Banyuwangi hendakmnya dikemas lagi dengan menyesuaikan ritme jaman agar lebih bisa menjadikan penggoda bagi wisatawan untuk singgah. Ini semacam kawin silang antara kearifan lokal dengan budaya modern. Upaya ini juga bentuk reposisi kearifan lokal agar nilai-nilainya tidak pudar dan lebih dapat diterima oleh banyak kalangan karena lebih dekat dengan kondisi sosial budaya saat ini. 

Pilihan yang bisa diambil, salah satunya adalah dengan menggagas event atau festival yang menyajikan produk kreasi budaya asli Banyuwangi, mengawinkannya dengan produk kreasi budaya modern yang selama ini sudah mendominasi masyarakat. Pertunjukan musik tradisional Banyuwangi yang unik dengan sentuhan orkestra, contoh konkritnya. Atau membuat konsep museum digital yang memuat benda-benda peninggalan sejarah di Banyuwangi berikut segenap informasi yang meliputinya. Bisa juga dengan membuat proyek ekspedisi untuk wisatawan-wisatawan dengan destinasi berupa alam wisata Banyuwangi yang elok. Tak hanya itu, memperbanyak kawasan desa wisata juga bisa menjadi pilihan yang layak dikembangkan. 

Semua hal tadi dikemas dalam informasi digital yang komunikatif, menarik dan dapat diakses di mana saja. Dengan mengambil langkah ini, kearifan lokal Banyuwangi yang bisa digali dari segenap potensi alam dan tradisi budayanya, bisa lebih diterima oleh masyarakat modern, karena pendekatannya yang dilakukan sesuai dengan pola hidup masyarakat yang karib dengan nuansa digital. Lebih khusus ke aspek pariwisata, peletakan kembali kearifan lokal agar lebih dekat dengan keseharian dengan melakukan pendekatan digital, adalah sebuah daya pikat tersendiri bagi wisatawan. 

Harapannya, dengan upaya digitalisasi kearifan lokal ini, sektor pariwisata terdongkrak naik dan mampu memberikan andil besar bagi pendapatan daerah. Di sisi lain, pelestarian budaya dan kekayaan alam Banyuwangi juga tetap bisa berlangsung. 

Tak ada kekuatan yang bisa menghalangi laju jaman. Jaman bisa berubah menjadi  apapun. Tapi selayaknya, kekayaan alam dan tradisi budaya harus tetap terjaga. Membangun Banyuwangi di ranah digital adalah salah satu alternatif solusi. Di saat banyak yang pesimis bahwa tradisi budaya suatu daerah dan kelestarian alam akan terkikis karena perkembangan jaman, digitalisasi Banyuwangi justru mencoba membuktikan sebaliknya. 


*Esai ini ditulis untuk mengikuti Lomba Karya Tulis Foto dan Penyiaran yang diadakan oleh Pemkab Banyuwangi tahun ini. Tema yang saya ambil adalah “Wisata Banyuwangi dan Strategi Pemasarannya"

Sabtu, 16 November 2013

Terima Kasih, Urbaz!


Tulisan terakhir saya untuk proyek #5BukuDalamHidupku
=====================================================================




“Tidak perlu jawaban untuk semua persoalan..”
--Surat Ahmad kepada Sampaguita, Selamat Pagi Urbaz

Saya berhutang pada dunia komik. Masa kecil saya lumayan kenyang dengan ragam bacaan komik di sekitar saya. Mulai dari komik tentang neraka buatan komikus lokal (saya belum tahu namanya hingga kini) yang terlalu menakut-nakuti, komik-komik tentang wayang, komik-komik Eropa sampai komik Jepang dengan segala varian temanya. Alhasil, saya sempat bercita-cita menjadi seorang komikus. Saya membayangkan serunya berpikir secara sinematografis, menata panel demi panel, membuat sketsa, meninta, dan dikejar deadline.

Dan saya menempatkan sebuah komik di jajaran pertama komik favorit saya. Saya juga memasukkannya sebagai salah satu buku penting dalam perjalanan hidup saya. Komik itu berjudul Selamat Pagi Urbaz, pengarangnya adalah Beng Rahadian. Selamat Pagi Urbaz (SPU) bagi sebagian kalangan bukanlah komik biasa. SPU bukanlah komik konvensional. SPU adalah novel grafis.

Saya membaca SPU saat saya baru tinggal beberapa hari di kota Malang sebagai mahasiswa baru. Di sebuah toko buku yang gagah nian, berdiri menghadap patung Chairil Anwar di jantung kota, saya membelinya. Saya ingat, SPU adalah buku pertama yang saya beli di kota Malang.

Dari SPU saya semakin yakin bahwa komik bukanlah bacaan kasta rendah. Komik adalah bahasa visual yang membutuhkan kemampuan khusus agar pesan dapat disampaikan pada pembacanya. Bahkan menurut saya, membuat komik jauh lebih susah daripada membuat buku biasa. Dan ironisnya, hal ini tidak membuat hilangnya anggapan terhadap komik yang kerap dilabeli sebagai bacaan remeh temeh.

SPU juga sebuah bukti konkrit bahwa komik bisa bertansformasi dengan sedemikian rupa untuk beralih menjadi bacaan berkualitas. Ia tidak hadir sekadar gambar-gambar dalam panel yang berjajar, dengan balon dialog berisi teks yang berisi omongan tokoh-tokoh di dalamnya. SPU memberi ketegasan bahwa komik bukanlah cerita yang bergambar, namun gambar yang bercerita  dengan teks sebagai bagian integral dari sebuah karya seni yang mencoba menyampaikan pesan pengarangnya.

Jangan tanya soal aspek visual SPU. Beng dengan begitu detail menggambar komik ini. Caranya mengambil angle, mengarsir, menampilkan kedalaman gambar benar istimewa. Dan Beng melakukannya sendirian, tanpa tim. Dia sendiri yang mengawali proses berkarya dengan sketsa, membuat outline, memoles background, sampai merangkai panel.

Elemen-elemen vital dalam penyusunan cerita (atau mungkin novel) benar-benar Beng garap dengan serius. Plot, penokohan, konflik, cara penyampaian gagasan dalam SPU benar-benar cemerlang. Membaca SPU, saya seakan melihat sebuah film yang begitu menarik  dalam imajnasi saya.

SPU menceritakan tentang seorang gadis yang menjalani liburannya di Jogja.  Kirin, begitu nama gadis itu, selalu membawa kawan setianya berupa buku harian. Buku harian itu diberi nama “Urbaz”. Perjalanan Kirin di Jogja—dan dia ceritakan dalam Urbaz , inilah yang melatarbelakangi SPU. 

Selain cerita soal Kirin dan buku hariannya, SPU juga berisi cerita berjudul “Benda Terbang”. Cerita yang diplot secara mundur ini mengisahkan kisah seorang pemuda bernama Ahmad yang menulis surat-surat untuk kekasihnya. Cerita kemudian berkembang tentang Gombloh, seorang pemuda desa yang juga menganut paham “kiri” yang dikejar-kejar masyarakat karena paham yang ia yakini sekaligus karena dianggap mempunyai ilmu gaib. Gombloh sendiri sebagaimana Kirin, mempunyai kebiasaan menulis di buku harian dan kerap membawanya ke manapun ia pergi.

Dari SPU saya berkenalan dengan banyak hal. Mulai lagu-lagu Pearl Jam (Beng adalah penggemar Pearl Jam) sampai buku Anthony Giddens. Dari SPU juga saya akhirnya membuat blog untuk pertama kali. Awalnya hanya karena ingin membaca tulisan-tulisan Beng sekaligus melihat karya-karyanya grafisnya yang lain. Dari situ akhirnya saya membuat akun di multiply dan berkenalan dengan banyak narablog. SPU juga memberi pengingat pada saya tentang pentingnya sebuah tulisan, apalagi tulisan tangan. SPU seakan mengajarkan frasa scripta manent verba volant dengan caranya sendiri. Lebih jauh tentang hal ini, saya tuliskan cuplikan surat dari Ahmad untuk kekasihnya, saat dia menerima pertanyaan, “Kenapa masih ribet surat-suratan pake pos segala, sekarang jaman internet, pake email kan lebih praktis?”

Ahmad menjawab  lewat sebuah surat yang dia selipkan di novel Supernova untuk kekasihnya:

“Bagiku surat dengan tulisan tangan memiliki nilai personal yang khas, utuh dan tidak terganti. Setiap  bentik hurufnya mewakili kepribadian dan pola pikir. Tulisan tangan harus hati-hati karena tidak ada tuts delete atau cancel
Ada desahan nafas dalam setiap tarikan garis, ada detak jantung dalam susunan huruf. Barangkali ini terlalu emosional buat kamu, tapi buat aku tidak.
Seharusnya kamu tahu, semua hal personal dari aku, layak kuberikan untuk orang yang sangat personal juga buat aku..”

Ahmad sendiri dikisahkan meninggalkan Indonesia dan bermukim di San Fransisco. Ia seakan menghilang begitu saja, meninggalkan kekasihnya.  Kekasihnya yang bernama Sampaguita, hanya bisa “menghidupkan” kembali Ahmad dalam ingatan lewat surat-surat berisi tulisan tangan yang dia kirim sebelumnya. Begitu dahysat kekuatan tulisan yang ditulis dengan hati. Sampaguita akhirnya menjadi seorang jurnalis. Semangatnya untuk menulis feature di sebuah majalah wanita terus tumbuh setiap kali ia membaca surat-surat dari Ahmad.

Setiap detik telah kuhitung
dalam kesendirian
aku menjinjing rembulan

Hingga suatu saat matahari
bersandar di bahuku
Dan kuhapus semua dukanya..

Kesetiaan itu diperjuangkan.

SPU telah mengantarkan saya pada banyak hal penting dalam perjalanan saya. Karenanya, saya menaruh hormat yang dalam kepada buku ini. Karenanya pula, tulisan ini hadir sebagai bentuk penghormatan kepadanya, menempatkannya sebagai salah satu buku penting dalam hidup saya.