Gambar diambil dari sini |
Selamat
datang di era Global Paradox!
Selamat
memasuki sebuah era yang diramal oleh sepasang
futurolog bernama John Naisbitt dan
Patricia Aburdence dalam buku mereka yang berjudul Megatrend 2000. Lewat buku yang kontroversial itu, John Naisbitt
dan istrinya memperkirakan bahwa akan
datang jaman dengan paradoks-paradoks dalam kehidupan bermasyarakat yang menggejala
secara luas. Salah satu gejala tersebut adalah menguatnya kecintaan pada budaya
tradisi untuk menunjukkan jati diri
sebagai suatu bangsa. Gejala ini timbul justru sebagai upaya pertahanan atau
resistensi tinggi dari semakin
menguatnya hempasan peradaban global.
Upaya
resistensi tinggi dari hempasan peradaban global itu ditunjukkan dengan adanya
penguatan konsep budaya pada beberapa daerah tertentu. Penguatan ini
menjadi kian kokoh apabila disokong dengan kekayaan alam dan peninggalan
sejarah yang menjadi kekayaan tersendiri dan tidak ternilai dari daerah
tersebut. Sungguh, daerah yang demikian adalah daerah yang benar-benar
beruntung.
Satu
dari sekian daerah yang dianugerahi keberuntungan tersebut adalah Banyuwangi.
Betapa tidak, Banyuwangi nyaris memiliki keberuntungan itu semua. Kekayaan alamnya elok. warisan budayanya
berlimpah.. Pegunungan, hutan, laut,
sungai, termasuk seni budaya, flora dan fauna, peninggalan purbakala,
peninggalan sejarah, dan lainnya, menjadi modal berharga bagi pembangunan
sektor pariwisata. Kekayaan Banyuwangi ini sebagaimana yang digambarkan pada
lirik lagu daerah Banyuwangi yang berjudul Umbul-Umbul
Blambangan:
...
Belambangan, Belambangan
Tanah Jawa pucuk wetan
Sing arep bosen sing arep bosen
Isun nyebut-nyebut aran ira
Belambangan, Belambangan
Membat mayun Paman
Suwarane gendhing Belambangan
Nyerambahi nusantara
Banyuwangi… kulon gunung wetan segara
Lor lan kidul alas angker
keliwat-liwat
Belambangan.. Belambangan
…
Dari
kacamata ekonomi, tentu saja keberuntungan Banyuwangi ini bernilai sangat
tinggi. Sejumlah keberuntungan Banyuwangi tadi adalah potensi pariwisata yang
bisa menggerakkan laju perekonomian daerah agar tidak pernah lesu. Upaya mempertahankan
diri dari serangan peradaban global melalui
pengokohan kearifan nilai-nilai lokal lewat proses penghayatan budaya,
kekayaan alam, dan peninggalan sejarah, berdampak positif terhadap perekonomian
daerah.
Lebih
jelasnya, peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata di Banyuwangi dapat
memberikan kontribusi positif bagi pemerintah, pelaku pariwisata maupun
masyarakat Banyuwangi itu sendiri.
Bagi
pemerintah, dampak keuntungan dari hal tersebut adalah bertambahnya jumlah
pajak, jumlah perijinan dan jumlah pendapatan lainnya di daerah kunjungan
wisata. Bagi pelaku pariwisata, dampak positifnya adalah bertambahnya keperluan
jasa industri bagi industri pariwisata. Sedangkan bagi masyarakat sekitar
adalah peningkatan peluang permintaan tenaga kerja di sektor pariwisata,
peningkatan harga tanah di daerah wisata, serta peningkatan permintaan sarana penunjang di daerah sekitar
objek wisata.
Yang tak kalah
penting adalah adanya keuntungan bagi lingkungan hidup di daerah sekitar
objek wisata. Sebab akan ada upaya penataaan lingkungan menjadi lebih baik lagi
untuk mempercantik objek wisata dan menarik minat wisatawan. Pola wisata dalam
beberapa tahun terakhir memang lebih banyak ke arah objek wisata yang kaya akan
nuansa people-contact dan nature-contact. Eksploitasi alam dan
lingkungan hidup bukanlah jawaban atas itu semua.
Tentu
saja ada yang menjadi catatan penting dari sekian dampak positif diatas. Yakni
bahwa untuk mencapai sasaran peningkatan pendapatan dari sektor pariwisata,
pengelolaan sekian potensi yang dimiliki Banyuwangi haruslah tepat dan diawali
dengan strategi pemasaran yang cemerlang.
Digitalisasi
Sektor Pariwisata
Salah
satu gagasan cemerlang yang bisa dipilih sebagai strategi pemasaran wisata di
Banyuwangi adalah melalui pengembangan kompetensi pemasaran digital. Jaman
terus bergerak, meninggalkan mereka yang enggan mengikuti–atau justru
menggilasnya. Internet nyaris menjadi kebutuhan pokok. Dan mau tidak mau,
sektor pariwisata harus memperhatikan hal ini.
Mengarah
pada data yang digalang oleh Nielsen Global Consumer Q1 2013, pertumbuhan
populasi yang pesat pada masyarakat kelas menengah berikut meningkatnya
pendapatan masyarakat dalam beberapa tahun terakhir ini, memicu pergeseran pola
konsumsi dari barang-barang kebutuhan
pokok ke kebutuhan gaya hidup.
Data
Nielsen juga menyebutkan sebanyak 37 responden memilih berlibur sebagai prioritas
kedua pengeluaran mereka setelah menabung. Sementara itu, dalam survey terpisah
yang dilakukan oleh McKinsey & Company mengungkapkan temuan yang hampir
mirip tentang tren wisata di tanah air. Diprediksi, pada tahun 2030 pengeluaran
tahunan responden untuk jalan-jalan akan mencapai angka US$ 105 miliar. Angka
ini naik secara signifikan dari survey
sebelumnya tahun 2011 yang menyentuh angka US$ 26 miliar.
Di
samping itu, ada temuan menarik lainnya. Yakni bahwa sebanyak 65 persen
wisatawan mencari ide berwisata melalui pencarian sosial dan 52 persen pengguna
Facebook sangat dipengaruhi oleh
foto-foto teman-teman dalam jaringan Facebook-nya,
serta sekitar 33 persen wisatawan mengubah rencana awal mereka setelah mereka
melihat foto-foto tersebut.
Inilah
mengapa digitalisasi pariwisata menjadi penting. Informasi soal tempat wisata bisa
diakses dalam hitungan detik, di manapun, kapanpun (calon) wisatawan inginkan.
Banyuwangi selayaknya juga mengupayakan langkah ini sebagai salah satu strategi
terpenting dalam pemasaran pariwisatanya. Singkatnya, Banyuwangi harus memoles diri
sepatut mungkin dalam konsep digital, membuat website atau situs sebagai wajah usaha di dunia virtual, lantas
sedikit lebih genit dengan upaya promosi melalui strategi optimasi mesin
pencari, pemasaran melalui e-mail,
dan media sosial yang semuanya itu terintegrasi dengan baik sebagai bentuk
digitalisasi pariwisata Banyuwangi.
Dan
memang pariwisata kini menjadi kebutuhan penting yang tidak bisa dipisahkan
dari kehidupan manusia terutama kegiatan sosial dan ekonomi. Pariwisata yang
semula hanya dinikmati oleh segelintir kalangan dari orang-orang kaya, kini
menjadi bagian dari hak dasar manusia, sebagaimana yang diujar John Naisbitt
tentang fenomena global paradox yakni
bahwa, “where once travel was considered
a privilege of the moneyed elite, now it is considered a basic human right”.
Digitalisasi
pariwisata untuk Banyuwangi ini memang
bentuk dari paradoks global sebagaimana yang disinggung dalam awal tulisan ini.
Paradoks ini tergambar dari upaya penyesuaian sebuah daerah (baca: Banyuwangi) terhadap perkembangan global melalui
pemanfaatan teknologi digital, namun tetap berakar pada kekayaan budaya dan tradisi daerah itu sendiri. Di
sisi lain, digitalisasi pariwisata adalah solusi praktis akan kebutuhan
wisatawan terhadap ketersediaan akses informasi tentang pariwisata yang lengkap
(one stop information solution) yang bisa dijangkau di manapun, oleh
siapapun yang berusaha memenuhi hak dasarnya untuk melancong.
Tidak
bisa dipungkiri, bahwa bisnis pariwisata sesungguhnya adalah bisnis kepercayaan
atau trust. Ini tidak lain karena
produk ataupun jasa yang diinginkan di sektor pariwisata tidak muncul saat
transaksi berlangsung. Pariwisata tidak dapat memberikan sample sebelum transaksi dilakukan. It cannot be sampled before the traveler arrives. Keputusan
konsumen (wisatawan) untuk membeli produk pariwisata berawal dari informasi
yang mampu memberikan trust baginya.
Dengan adanya digitalisasi pariwisata yang dikembangkan melalui internet, para
wisatawan dapat merengkuh sumber informasi tentang objek wisata yang dia
kehendaki tanpa perantara dan dapat diakses di manapun serta kapanpun dia
menginginkannya. Silakan simak nukilan paham baru yang digagas para ahli
pemasaran pariwisata berikut ini: if
you are not online, then you are not on-sale. If your destination is not on the
Web then it may well be ignored by the millions of people who now have access
to the internet and who expect that every destination will have a comprehensive
presence on the Web. The Web is the new destination marketing battleground and if
you are not in there fighting then you cannot expect to win the battle for
tourist dollars.
Digitalisasi pariwisata melalui
internet adalah jalan keluar utama untuk strategi pemasaran wisata di era ini.
Banyuwangi dengan segenap potensi pariwisata yang dimiliki hendaknya bisa lebih
memperhatikan tentang hal ini. Sebab, dengan segala keunggulannya, digitalisasi
pariwisata ternyata juga merupakan langkah yang beresiko tinggi. Resiko ini
muncul apabila muatan dari konsep digitalisasi yang tidak dikemas dengan baik,
bahkan keliru. Ini bisa memicu trust
yang buruk. Dan ketika ini terjadi, arah bisa berbalik. Penyebaran informasi
tentang kekeliruan ini bisa berkembang dan mematikan strategi pemasaran
pariwisata yang sesungguhnya. Dengan segala “kuasa” yang dimiliki, internet
bisa melakukannya.
Masyarakat luas tentu tertarik untuk
tahu tentang filosofi tari Gandrung, tentang ritual Seblang, tentang akulturasi
budaya dalam Hadrah Kunthulan, uniknya tradisi Kebo-keboan, atau juga harmoni
dari musik Gedhogan, serta ragam kreasi budaya lokal Banyuwangi lainnya.
Digitalisasi Banyuwangi juga
diharapkan mampu memikat wisatawan dengan memberi informasi tentang eloknya
Pulau Merah, Pantai Plengkung, Agrowisata Kalibendo, Cagar Alam Baluran, Teluk
Hijau, dan tempat-tempat eksotis lainnya. Dan informasi yang diberikan
hendaknya bukan hanya sekadar tentang kemolekan alamnya. Tapi juga ketersediaan
akses transportasi dan penginapan bagi wisatawan, informasi biaya, produk
wisata unggulan, dan hal-hal lain yang bisa menjadi rujukan penting bagi
wisatawan sebelum memutuskan untuk singgah.
Reposisi
Kearifan Lokal
Maka strategi digitalisasi
pariwisata di Banyuwangi sebaiknya dilakukan dengan mengamati kecenderungan
pola konsumsi wisata dalam beberapa tahun terakhir, serta kemungkinan pola
konsumsi wisata di masa yang akan datang.
Sebagaimana yang sedikit disinggung
pada awal tulisan di atas, pola wisata yang digemari belakangan adalah yang
kaya akan nuansa nature-contact dan people-contact. Pola ini diprediksi
bakal tetap bertahan di masa yang akan datang. Inilah paradoks manusia modern
seperti yang diulas John Naisbitt. Manusia modern dengan segala kemajuan
teknologi yang dia miliki, seperti berjalan pada jalan yang gersang dan tandus.
Ia memerlukan nilai-nilai dasar manusia untuk mengatasi kekeringan ruhaninya.
Berinteraksi dengan orang-orang dan alam adalah cara untuk mengatasi kegelisahan
itu. Dan pariwisata, sebagai wahana rekreasi (re-creation) atau kreasi ulang manusia, diharapkan mampu membantu
memberikan oase bagi kekeringan ruhani tadi.
Nuansa nature-contact dan people-contact
ini banyak didapat dari kekayaan alam, kreasi budaya dan peninggalan sejarah
yang dimiliki suatu daerah. Dan Banyuwangi, beruntungnya, memiliki itu semua.
Yang menjadi tantangan adalah
bagaimana mengemas kekayaan alam, kreasi budaya dan peninggalan sejarah itu
dalam bentuk informasi yang diolah secara digital, kemudian dipublikasi melalui
keajaiban internet agar menggugah wisatawan untuk datang.
Salah satu pilihannya adalah dengan
memposisikan ulang kearifan lokal. Kekayaan alam, kreasi budaya dan sejarah
sebuah daerah mau tidak mau membentuk perilaku umum penduduknya. Dan dalam hal
ini, nilai-nilai luhur yang dijaga dan berlangsung turun temurun membentuk
karakter penduduk daerah tersebut. Nilai-nilai ini berangkat dari tataran
filosofis hasil persinggungan penduduk dengan kekayaan alam yang dimiliki,
sejarah yang dijalani, serta kreasi
budaya yang mereka ciptakan. Nilai-nilai luhur ini bisa menjadi daya pikat
tersendiri. Dengan pengemasan dalam konten digital yang baik berikut pemanfaatan
internet dengan optimal, penyebaran informasi akan nilai-nilai luhur ini
diharapkan dapat menjadi daya tarik yang unik
yang memikat minat wisatawan untuk menikmati pariwisata di Banyuwangi.
Nilai-nilai luhur yang menjadi
kearifan lokal Banyuwangi hendakmnya dikemas lagi dengan menyesuaikan ritme
jaman agar lebih bisa menjadikan penggoda bagi wisatawan untuk singgah. Ini
semacam kawin silang antara kearifan lokal dengan budaya modern. Upaya ini juga
bentuk reposisi kearifan lokal agar nilai-nilainya tidak pudar dan lebih dapat
diterima oleh banyak kalangan karena lebih dekat dengan kondisi sosial budaya
saat ini.
Pilihan yang bisa diambil, salah
satunya adalah dengan menggagas event
atau festival yang menyajikan produk kreasi budaya asli Banyuwangi,
mengawinkannya dengan produk kreasi budaya modern yang selama ini sudah
mendominasi masyarakat. Pertunjukan musik tradisional Banyuwangi yang unik
dengan sentuhan orkestra, contoh konkritnya. Atau membuat konsep museum digital
yang memuat benda-benda peninggalan sejarah di Banyuwangi berikut segenap
informasi yang meliputinya. Bisa juga dengan membuat proyek ekspedisi untuk
wisatawan-wisatawan dengan destinasi berupa alam wisata Banyuwangi yang elok.
Tak hanya itu, memperbanyak kawasan desa wisata juga bisa menjadi pilihan yang
layak dikembangkan.
Semua hal tadi dikemas dalam
informasi digital yang komunikatif, menarik dan dapat diakses di mana saja. Dengan
mengambil langkah ini, kearifan lokal Banyuwangi yang bisa digali dari segenap
potensi alam dan tradisi budayanya, bisa lebih diterima oleh masyarakat modern,
karena pendekatannya yang dilakukan sesuai dengan pola hidup masyarakat yang
karib dengan nuansa digital. Lebih khusus ke aspek pariwisata, peletakan
kembali kearifan lokal agar lebih dekat dengan keseharian dengan melakukan
pendekatan digital, adalah sebuah daya pikat tersendiri bagi wisatawan.
Harapannya, dengan upaya
digitalisasi kearifan lokal ini, sektor pariwisata terdongkrak naik dan mampu
memberikan andil besar bagi pendapatan daerah. Di sisi lain, pelestarian budaya
dan kekayaan alam Banyuwangi juga tetap bisa berlangsung.
Tak ada kekuatan yang bisa
menghalangi laju jaman. Jaman bisa berubah menjadi apapun. Tapi selayaknya, kekayaan alam dan
tradisi budaya harus tetap terjaga. Membangun Banyuwangi di ranah digital adalah
salah satu alternatif solusi. Di saat banyak yang pesimis bahwa tradisi budaya
suatu daerah dan kelestarian alam akan terkikis karena perkembangan jaman,
digitalisasi Banyuwangi justru mencoba membuktikan sebaliknya.
*Esai ini ditulis untuk mengikuti Lomba Karya
Tulis Foto dan Penyiaran yang diadakan oleh Pemkab Banyuwangi tahun ini. Tema
yang saya ambil adalah “Wisata Banyuwangi dan Strategi Pemasarannya"