Tulisan ke-3 saya untuk proyek
#5BukuDalamHidupku. Tentang buku yang berisi tentang keberanian dan kejujuran
seorang dokter bedah dalam menyigi peliknya dunia kedokteran.
============================================================
“Better is possible. It does
not take genius. It takes diligence. It takes moral clarity. It takes
ingenuity. And above all, it takes a willingness to try.”
Sejatinya,
setiap buku adalah ladang yang ditanam pengaruh-pengaruh dari penulis, kemudian
membebaskan pembaca untuk memilih menuai pengaruh-pengaruh tadi atau sekadar membiarkannya
tumbuh liar, lalu mati dalam ingatan.
Salah
satu hal yang mempengaruhi pembaca adalah keinginan untuk membuat buku yang
sejenis dengan yang ia baca. Barangkali setiap pembaca pernah merasakan
perasaan semacam itu di dalam perjalanan literasinya. Saya juga demikian.
Perasaan
yang saya maksud muncul ketika saya membaca Better
tulisan seorang dokter bedah bernama Atul Gawande. Mulanya adalah ketika saya
belanja buku bulanan. Saya menuju rak buku-buku kedokteran. Perhatian saya lalu
tertuju pada sebuah buku dengan sampul berwarna dominan abu-abu di sudut kiri
bawah rak. Seperti kebiasaan saya membeli buku, sampul depan adalah pemikat
pertama. Setelah sampul depan, saya lalu membaca deskripsi buku di sampul
belakang.
Narasi
yang tertulis berbeda dengan buku-buku kedokteran kebanyakan. Jauh dari kesan
kaku, dingin, dan kurang informatif. Sinopsis buku di sampul belakang iitu
bercerita dengan gaya bertutur yang renyah dibaca. Tanpa banyak kata, saya
membawa buku itu ke kasir.
Membaca
Better buat saya adalah membaca anomali
dunia kedokteran. Better memuat keberanian Gawande menguliti dunia yang
digelutinya sehari-hari, meneropong kesalahan sendiri, tanpa mengumpat terhadap
kesalahan sistem yang terlanjur mengakar, lalu menggagas solusi. Uniknya solusi
yang digagas dalam menyelesaikan silang sengkarut masalah di dunia kedokteran
dilakukan dengan lebih memerhatikan perkara-perkara yang kerap dianggap remeh.
Misalnya
ketika Gawande mengupas bagaimana tindakan sederhana semacam cuci tangan bisa
mengatasi masalah infeksi yang kerap merenggut nyawa. Uniknya tulisan Gawande
begitu kaya dimensi. Deskripsinya seakan hidup. Membawa mereka seakan-akan hadir di bangsal
rumah sakit di Amerika, tenda medan perang di Irak, ruang bersalin di Boston,
wabah polio di India. Buat saya apa yang dilakukan Gawande lewat tulisannya di
Better adalah kawin silang antara keakuratan tulisan ala jurnalis, kepekaan
tulisan ala sastrawan, serta tulisan yang memegang teguh integritas profesi
macam jurnal-jurnal kedokteran.
Gawande,
sekali lagi, adalah anomali dunia kedokteran. Dia seorang dokter spesialis bedah
di salah satu rumah sakit terbesar di Amerika. Dia seorang kolumnis di The New Yorker. Dia seorang storyteller yang gemar berbagi kisah .
Yang menjadi persoalan bagi sebagian kalangan, story yang dibagi Gawande dalam
storytelling-nya adalah hal-hal yang
kerap menjadi “rahasia” dunia kedokteran.
Tanpa
risih, Gawande menuliskan bahwa kedokteran secara umum--termasuk ilmu bedah
yang ia geluti, adalah ilmu yang tidak sempurna. Tidak akan pernah sempurna.
Ilmu yang dipelajari begitu banyak, namun juga tidak lengkap. Dan ilmu
kedokteran, bagaimanapun, karib dengan langkah-langkah
yang seringkali tidak pasti.
Karenanya
menurut Gawande, sebenarnya apa yang dihadapi seorang praktisi kesehatan macam
dirinya, tak ubahnya dengan seorang atlet. Keterampilan yang dituntut membutuhkan
latihan dan pengulangan-pengulangan. Hanya saja, hal ini berbenturan dengan
aspek etis. Bahwa yang digunakan sebagai “latihan” adalah manusia. Bukan
manusia yang normal, tapi manusia yang mengalami masalah dengan status
kesehatannya. Bahkan, manusia yang nyawanya di ambang batas meregang.
Dan
Gawande bukan hanya sekadar menyigi ragam masalah di dunia kedokteran. Dia juga
menyusun solusi. Menyalakan terang agar menemukan jalan keluar. Dari hal-hal
remeh yang kerap dilalaikan. Setidaknya itu yang dirangkum dalam Better.
Karenanya,
saya terpantik. Saya ingin menulis buku semacam Better, karena saya juga bersinggungan setiap hari dengan peliknya
masalah di dunia kedokteran. Bukan sekadar memapar relasi etis antar manusia di
dalam organ bernama rumah sakit, tapi juga bagaimana bercermin secara sadar akan “kesalahan” sendiri lalu
mencari solusi dengan sesekali mengumpat.
Semua boleh mengumpat. Bahwa
dunia ini tidak adil, kacau, dan kerap membuat sakit hati. Kedokteran juga
tidak lepas dari itu. Namun rasa-rasanya perlu disepakati, bahwa tidak akan ada
pilihan yang selalu benar. Tapi ada cara-cara membuat pilihan kita menjadi
lebih baik, seperti yang ditulis Gawande dalam Better.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar