Kamis, 14 November 2013

Better: Sebuah Sigi dari Gawande


Tulisan ke-3 saya untuk proyek #5BukuDalamHidupku. Tentang buku yang berisi tentang keberanian dan kejujuran seorang dokter bedah dalam menyigi peliknya dunia kedokteran.
============================================================



“Better is possible. It does not take genius. It takes diligence. It takes moral clarity. It takes ingenuity. And above all, it takes a willingness to try.”


Sejatinya, setiap buku adalah ladang yang ditanam pengaruh-pengaruh dari penulis, kemudian membebaskan pembaca untuk memilih menuai pengaruh-pengaruh tadi atau sekadar membiarkannya tumbuh liar, lalu mati dalam ingatan.

Salah satu hal yang mempengaruhi pembaca adalah keinginan untuk membuat buku yang sejenis dengan yang ia baca. Barangkali setiap pembaca pernah merasakan perasaan semacam itu di dalam perjalanan literasinya. Saya juga demikian.

Perasaan yang saya maksud muncul ketika saya membaca Better tulisan seorang dokter bedah bernama  Atul Gawande. Mulanya adalah ketika saya belanja buku bulanan. Saya menuju rak buku-buku kedokteran. Perhatian saya lalu tertuju pada sebuah buku dengan sampul berwarna dominan abu-abu di sudut kiri bawah rak. Seperti kebiasaan saya membeli buku, sampul depan adalah pemikat pertama. Setelah sampul depan, saya lalu membaca deskripsi buku di sampul belakang.

Narasi yang tertulis berbeda dengan buku-buku kedokteran kebanyakan. Jauh dari kesan kaku, dingin, dan kurang informatif. Sinopsis buku di sampul belakang iitu bercerita dengan gaya bertutur yang renyah dibaca. Tanpa banyak kata, saya membawa buku itu ke kasir.

Membaca Better buat saya adalah membaca anomali dunia kedokteran. Better memuat keberanian Gawande menguliti dunia yang digelutinya sehari-hari, meneropong kesalahan sendiri, tanpa mengumpat terhadap kesalahan sistem yang terlanjur mengakar, lalu menggagas solusi. Uniknya solusi yang digagas dalam menyelesaikan silang sengkarut masalah di dunia kedokteran dilakukan dengan lebih memerhatikan perkara-perkara yang kerap dianggap remeh.

Misalnya ketika Gawande mengupas bagaimana tindakan sederhana semacam cuci tangan bisa mengatasi masalah infeksi yang kerap merenggut nyawa. Uniknya tulisan Gawande begitu kaya dimensi. Deskripsinya seakan hidup.  Membawa mereka seakan-akan hadir di bangsal rumah sakit di Amerika, tenda medan perang di Irak, ruang bersalin di Boston, wabah polio di India. Buat saya apa yang dilakukan Gawande lewat tulisannya di Better adalah kawin silang antara keakuratan tulisan ala jurnalis, kepekaan tulisan ala sastrawan, serta tulisan yang memegang teguh integritas profesi macam jurnal-jurnal kedokteran.

Gawande, sekali lagi, adalah anomali dunia kedokteran. Dia seorang dokter spesialis bedah di salah satu rumah sakit terbesar di Amerika. Dia seorang kolumnis di The New Yorker. Dia seorang storyteller yang gemar berbagi kisah . Yang menjadi persoalan bagi sebagian kalangan, story yang dibagi Gawande  dalam storytelling-nya adalah hal-hal yang kerap menjadi “rahasia” dunia kedokteran.

Tanpa risih, Gawande menuliskan bahwa kedokteran secara umum--termasuk ilmu bedah yang ia geluti, adalah ilmu yang tidak sempurna. Tidak akan pernah sempurna. Ilmu yang dipelajari begitu banyak, namun juga tidak lengkap. Dan ilmu kedokteran, bagaimanapun,  karib dengan langkah-langkah yang seringkali tidak pasti.

Karenanya menurut Gawande, sebenarnya apa yang dihadapi seorang praktisi kesehatan macam dirinya, tak ubahnya dengan seorang atlet. Keterampilan yang dituntut membutuhkan latihan dan pengulangan-pengulangan. Hanya saja, hal ini berbenturan dengan aspek etis. Bahwa yang digunakan sebagai “latihan” adalah manusia. Bukan manusia yang normal, tapi manusia yang mengalami masalah dengan status kesehatannya. Bahkan, manusia yang nyawanya di ambang batas meregang.

Dan Gawande bukan hanya sekadar menyigi ragam masalah di dunia kedokteran. Dia juga menyusun solusi. Menyalakan terang agar menemukan jalan keluar. Dari hal-hal remeh yang kerap dilalaikan. Setidaknya itu yang dirangkum dalam Better.

Karenanya, saya terpantik. Saya ingin menulis buku semacam Better, karena saya juga bersinggungan setiap hari dengan peliknya masalah di dunia kedokteran. Bukan sekadar memapar relasi etis antar manusia di dalam organ bernama rumah sakit, tapi juga bagaimana bercermin  secara sadar akan “kesalahan” sendiri lalu mencari solusi dengan sesekali mengumpat.

Semua boleh mengumpat. Bahwa dunia ini tidak adil, kacau, dan kerap membuat sakit hati. Kedokteran juga tidak lepas dari itu. Namun rasa-rasanya perlu disepakati, bahwa tidak akan ada pilihan yang selalu benar. Tapi ada cara-cara membuat pilihan kita menjadi lebih baik, seperti yang ditulis Gawande dalam Better.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar