Tulisan keempat untuk proyek #5BukuDalamHidupku
==================================================================
“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”--Pramoedya Ananta Toer , Bumi Manusia
Jika
ada sebuah nama yang saya kira semua penulis di Indonesia menghormatinya, maka
nama itu adalah Pramoedya Ananta Toer. Pram adalah sosok yang saya yakini tak
ada satu pun penulis di Indonesia berani nglamak
kepadanya. Tentu tak lain tak bukan karena kekuatan pribadi Pram. Ia adalah
sosok yang teguh pendirian, keras kepala, keyakinannya sekuat karang. Dari segi kepenulisan, tak ada yang
membantah militansi Pram dalam menulis. Ia
adalah suri tauladan agung bagi penulis muda dalam hal itu.
Satu
hal lagi kenapa Pram begitu dihormati oleh semua penulis Indonesia, karena Pram
sangat mencintai Indonesia dengan sepenuh hati. Tak peduli ia digilas tiran,
tak peduli dia diasingkan, tak peduli karya-karyanya dibredel dan dibakar.
Kecintaan
Pram pada Indonesia pula yang menjadi benih lahirnya sejumlah karya Pram yang
fenomenal itu. Tentu saja, menyebut Pram tidak bisa tidak menyebut Roman
Tetralogi Buru yang dia tulis dalam pengasingan tahanan politik. Dan
menyebut Tetralogi Buru, Bumi Manusia
adalah buku pembuka yang mengantarkan saya pada kebrilianan Pram. Tak pelak,
saya menggolongkan buku yang sempat dilarang peredarannya ini sebagai satu dari
lima buku yang berpengaruh dalam hidup saya.
Saya
tergolong generasi yang beruntung. Bagaimana tidak, saya hidup di era yang
membebaskan saya membaca apapun yang saya inginkan. Apalagi dibantu dengan
keajaiban akhir jaman bernama internet yang memungkinkan saya menjelajahi arus
informasi sesuka hati. Jika saya membaca Bumi
Manusia di tahun 1980-an, saya harus membacanya dengan sembunyi-bunyi. Buku
ini dilarang beredar karena dianggap menyebarluaskan paham Marxisme-Leninisme.
Tiga buku setelahnya yang menjadi bagian dari Tetralogi Buru juga mendapat
label yang sama. Tidak sampai setahun setelah terbit, anak-anak ruhani Pram ini
dicekal. Disekap dalam gelapnya pemikiran penguasa.
Bumi Manusia
mengambil latar belakang negeri ini di awal abad ke-20. Dikisahkan seorang
putra priyayi bernama Minke, menyemai kegelisahannya untuk keluar dari jerat tradisi
yang membelenggu menjadi manusia yang bebas dan merdeka. Pikiran-pikiran Minke seperti
pohon oak yang berani menentang angin. Minke
juga hadir sebagai sosok pribumi yang melawan kepongahan budaya Eropa yang
mencoba menindas bangsanya. Perjuangan Minke dijalani dengan menulis, mengadu
pendapat, dan berdialog.
Di Bumi Manusia, Minke mengawali
perkenalannya dengan sosok yang ia kagumi sepanjang hidupnya kelak. Sosok itu
adalah seorang gundik wanita pribumi bernama asli Sanikem. Setelah menikah
dengan Herman Mellema (pemilik Perusahaan Boerderij Buitenzorg di
Wonokromo), Sanikem lebih dikenal sebagai Nyai Ontoroh. Nyai Ontosoroh inilah
yang banyak pengaruh kuat dalam pemikiran-pemikiran Minke sebagai pejuang yang
bergerak di jalur intelektual.
Di masa
itu, nyai-nyai semacam Sanikem dikucilkan oleh masyrakat pribumi karena
dianggap besusila rendah. Ontosoroh seakan membalik stigma yang melekat itu
dengan segala kecerdasannya. Minke pun pada mulanya cemas dengan stigma
masyarakat itu mengingat ia berdarah priyayi. Namun pada akhirnya ia melawan
stigma. Dari sana kemudian lahir kuotasi “Seorang
terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam
perbuatan” dalam buku ini yang kerap
dikutip di mana-mana.
Bumi Manusia
menurut saya adalah salah satu dari karya terbaik Pram. Pram menulis buku ini
dengan istimewa di setiap elemen cerita. Mulai dari deskripsi yang begitu
detail, penggunaan bahasa, pengaturan alur, perwatakan, sampai pengaturan
klimaksnya. Pembaca seakan diseret pelan-pelan untuk mengambil peran di antara tokoh-tokoh yang
ditampilkannya.
Buku
pertama Tetralogi Pulau Buru ini diterbitkan setelah mengumpulkan serakan
tulisan Pram selama pengasingan di Pulau Buru. Bahkan dalam proses kreatifnya,
buku ini ditulis ulang selama dua tahun, karena sebelumnya cerita dalam buku
ini sudah Pram tuturkan secara lisan kepada kawan-kawannya di pengasingan.
Dalam perjalanannya, buku fenomenal ini diterjemahkan dalam 34 bahasa.
Tulisan-tulisan
Pram tidak banyak mengutak-atik keindahan bahasa. Buat Pram, menulis adalah
sebuah tugas kemanusiaan. Ia tidak suka menulis dengan kata-kata yang kelewat
puitik. Sebagai penulis, Pram menganggap bahwa keindahan terletak pada pesan
tulisan menjadi alat perjuangan untuk kemanusiaan dan melawan penindasan.
Itulah sebabnya, tulisan Pram kerap terasa kelam dan dingin, bahkan untuk urusan
yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat “kenikmatan hidup” (seks
misalnya).
Di lembar-lembar akhir buku Bumi Manusia, Pram menulis tentang perasaan Minke usai persetubuhannya dengan Annelies, kekasihnya: “Aku balas pelukannya. Dan tiba-tiba jantungku berdeburan diterpa angin timur. Satu ulangan telah memaksa kami menjadi manusia purba, sehingga akhirnya kami tergolek. Sekarang gumpalan hitam tidak lagi memenuhi antariksa hatuku. Dan kami berpelukan kembali seperti boneka kayu”.
Di lembar-lembar akhir buku Bumi Manusia, Pram menulis tentang perasaan Minke usai persetubuhannya dengan Annelies, kekasihnya: “Aku balas pelukannya. Dan tiba-tiba jantungku berdeburan diterpa angin timur. Satu ulangan telah memaksa kami menjadi manusia purba, sehingga akhirnya kami tergolek. Sekarang gumpalan hitam tidak lagi memenuhi antariksa hatuku. Dan kami berpelukan kembali seperti boneka kayu”.
Bumi Manusia adalah
buku yang mengantarkan saya pada kekaguman pada sosok Pram. Buku ini yang
mengawali perkenalan saya dengan karya-karya Pram yang lain. Tanpa bermaksud
berlebihan, buku-buku Pram selayaknya jadi buku-buku wajib di pelajaran
anak-anak sekolah sejak usia dini.
Satu
hal lagi kenapa saya mengistimewakan buku ini. Tak lain closing yang begitu lirih dan menyayat. Closing berupa dialog antara Minke dan Nyai Ontosoroh.
“Kita kalah, Ma,” bisikku.“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar