Jumat, 15 November 2013

Pohon Oak di Belantara Bumi Manusia


Tulisan keempat untuk proyek #5BukuDalamHidupku

 ==================================================================


“Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”
--Pramoedya Ananta Toer , Bumi Manusia

Jika ada sebuah nama yang saya kira semua penulis di Indonesia menghormatinya, maka nama itu adalah Pramoedya Ananta Toer. Pram adalah sosok yang saya yakini tak ada satu pun penulis di Indonesia berani nglamak kepadanya. Tentu tak lain tak bukan karena kekuatan pribadi Pram. Ia adalah sosok yang teguh pendirian, keras kepala, keyakinannya sekuat karang. Dari segi kepenulisan, tak ada yang membantah militansi Pram dalam menulis. Ia  adalah suri tauladan agung bagi penulis muda dalam hal itu. 

Satu hal lagi kenapa Pram begitu dihormati oleh semua penulis Indonesia, karena Pram sangat mencintai Indonesia dengan sepenuh hati. Tak peduli ia digilas tiran, tak peduli dia diasingkan, tak peduli karya-karyanya dibredel dan dibakar. 

Kecintaan Pram pada Indonesia pula yang menjadi benih lahirnya sejumlah karya Pram yang fenomenal itu. Tentu saja, menyebut Pram tidak bisa tidak menyebut Roman Tetralogi Buru yang dia tulis dalam pengasingan tahanan politik. Dan menyebut Tetralogi Buru, Bumi Manusia adalah buku pembuka yang mengantarkan saya pada kebrilianan Pram. Tak pelak, saya menggolongkan buku yang sempat dilarang peredarannya ini sebagai satu dari lima buku yang berpengaruh dalam hidup saya. 

Saya tergolong generasi yang beruntung. Bagaimana tidak, saya hidup di era yang membebaskan saya membaca apapun yang saya inginkan. Apalagi dibantu dengan keajaiban akhir jaman bernama internet yang memungkinkan saya menjelajahi arus informasi sesuka hati. Jika saya membaca Bumi Manusia di tahun 1980-an, saya harus membacanya dengan sembunyi-bunyi. Buku ini dilarang beredar karena dianggap menyebarluaskan paham Marxisme-Leninisme. Tiga buku setelahnya yang menjadi bagian dari Tetralogi Buru juga mendapat label yang sama. Tidak sampai setahun setelah terbit, anak-anak ruhani Pram ini dicekal. Disekap dalam gelapnya  pemikiran penguasa. 

Bumi Manusia mengambil latar belakang negeri ini di awal abad ke-20. Dikisahkan seorang putra priyayi bernama Minke, menyemai kegelisahannya untuk keluar dari jerat tradisi yang membelenggu menjadi manusia yang bebas dan merdeka. Pikiran-pikiran Minke seperti pohon oak yang berani menentang angin. Minke juga hadir sebagai sosok pribumi yang melawan kepongahan budaya Eropa yang mencoba menindas bangsanya. Perjuangan Minke dijalani dengan menulis, mengadu pendapat, dan berdialog.

Di Bumi Manusia, Minke mengawali perkenalannya dengan sosok yang ia kagumi sepanjang hidupnya kelak. Sosok itu adalah seorang gundik wanita pribumi bernama asli Sanikem. Setelah menikah dengan Herman Mellema (pemilik Perusahaan Boerderij Buitenzorg di Wonokromo), Sanikem lebih dikenal sebagai Nyai Ontoroh. Nyai Ontosoroh inilah yang banyak pengaruh kuat dalam pemikiran-pemikiran Minke sebagai pejuang yang bergerak di jalur intelektual. 

Di masa itu, nyai-nyai semacam Sanikem dikucilkan oleh masyrakat pribumi karena dianggap besusila rendah. Ontosoroh seakan membalik stigma yang melekat itu dengan segala kecerdasannya. Minke pun pada mulanya cemas dengan stigma masyarakat itu mengingat ia berdarah priyayi. Namun pada akhirnya ia melawan stigma. Dari sana kemudian lahir kuotasi “Seorang terpelajar harus juga berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan”  dalam buku ini yang kerap dikutip di mana-mana.

Bumi Manusia menurut saya adalah salah satu dari karya terbaik Pram. Pram menulis buku ini dengan istimewa di setiap elemen cerita. Mulai dari deskripsi yang begitu detail, penggunaan bahasa, pengaturan alur, perwatakan, sampai pengaturan klimaksnya. Pembaca seakan diseret pelan-pelan untuk mengambil  peran di antara tokoh-tokoh yang ditampilkannya. 

Buku pertama Tetralogi Pulau Buru ini diterbitkan setelah mengumpulkan serakan tulisan Pram selama pengasingan di Pulau Buru. Bahkan dalam proses kreatifnya, buku ini ditulis ulang selama dua tahun, karena sebelumnya cerita dalam buku ini sudah Pram tuturkan secara lisan kepada kawan-kawannya di pengasingan. Dalam perjalanannya, buku fenomenal ini diterjemahkan dalam 34 bahasa.

Tulisan-tulisan Pram tidak banyak mengutak-atik keindahan bahasa. Buat Pram, menulis adalah sebuah tugas kemanusiaan. Ia tidak suka menulis dengan kata-kata yang kelewat puitik. Sebagai penulis, Pram menganggap bahwa keindahan terletak pada pesan tulisan menjadi alat perjuangan untuk kemanusiaan dan melawan penindasan. Itulah sebabnya, tulisan Pram kerap terasa kelam dan dingin, bahkan untuk urusan yang berhubungan dengan hal-hal yang bersifat “kenikmatan hidup” (seks misalnya). 

Di lembar-lembar akhir buku Bumi Manusia, Pram menulis tentang perasaan Minke usai persetubuhannya dengan Annelies, kekasihnya: “Aku balas pelukannya. Dan tiba-tiba jantungku berdeburan diterpa angin timur. Satu ulangan telah memaksa kami menjadi manusia purba, sehingga akhirnya kami tergolek. Sekarang gumpalan hitam tidak lagi memenuhi antariksa hatuku. Dan kami berpelukan kembali seperti boneka kayu”.

Bumi Manusia adalah buku yang mengantarkan saya pada kekaguman pada sosok Pram. Buku ini yang mengawali perkenalan saya dengan karya-karya Pram yang lain. Tanpa bermaksud berlebihan, buku-buku Pram selayaknya jadi buku-buku wajib di pelajaran anak-anak sekolah sejak usia dini. 

Satu hal lagi kenapa saya mengistimewakan buku ini. Tak lain closing yang begitu lirih dan menyayat. Closing berupa dialog antara Minke dan Nyai Ontosoroh. 

“Kita kalah, Ma,” bisikku. 

“Kita telah melawan, Nak, Nyo, sebaik-baiknya, sehormat-hormatnya.”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar