Tulisan
terakhir saya untuk proyek #5BukuDalamHidupku
=====================================================================
“Tidak perlu jawaban untuk semua
persoalan..”
--Surat Ahmad kepada Sampaguita, Selamat Pagi Urbaz
Saya
berhutang pada dunia komik. Masa kecil saya lumayan kenyang dengan ragam bacaan
komik di sekitar saya. Mulai dari komik tentang neraka buatan komikus lokal
(saya belum tahu namanya hingga kini) yang terlalu menakut-nakuti, komik-komik
tentang wayang, komik-komik Eropa sampai komik Jepang dengan segala varian
temanya. Alhasil, saya sempat bercita-cita menjadi seorang komikus. Saya
membayangkan serunya berpikir secara sinematografis, menata panel demi panel,
membuat sketsa, meninta, dan dikejar deadline.
Dan
saya menempatkan sebuah komik di jajaran pertama komik favorit saya. Saya juga
memasukkannya sebagai salah satu buku penting dalam perjalanan hidup saya.
Komik itu berjudul Selamat Pagi Urbaz, pengarangnya adalah Beng Rahadian.
Selamat Pagi Urbaz (SPU) bagi sebagian kalangan bukanlah komik biasa. SPU
bukanlah komik konvensional. SPU adalah novel grafis.
Saya
membaca SPU saat saya baru tinggal beberapa hari di kota Malang sebagai
mahasiswa baru. Di sebuah toko buku yang gagah nian, berdiri menghadap patung
Chairil Anwar di jantung kota, saya membelinya. Saya ingat, SPU adalah buku
pertama yang saya beli di kota Malang.
Dari SPU
saya semakin yakin bahwa komik bukanlah bacaan kasta rendah. Komik adalah bahasa
visual yang membutuhkan kemampuan khusus agar pesan dapat disampaikan pada
pembacanya. Bahkan menurut saya, membuat komik jauh lebih susah daripada
membuat buku biasa. Dan ironisnya, hal ini tidak membuat hilangnya anggapan
terhadap komik yang kerap dilabeli sebagai bacaan remeh temeh.
SPU
juga sebuah bukti konkrit bahwa komik bisa bertansformasi dengan sedemikian
rupa untuk beralih menjadi bacaan berkualitas. Ia tidak hadir sekadar
gambar-gambar dalam panel yang berjajar, dengan balon dialog berisi teks yang
berisi omongan tokoh-tokoh di dalamnya. SPU memberi ketegasan bahwa komik
bukanlah cerita yang bergambar, namun gambar yang bercerita dengan teks sebagai bagian integral dari
sebuah karya seni yang mencoba menyampaikan pesan pengarangnya.
Jangan tanya
soal aspek visual SPU. Beng dengan begitu detail menggambar komik ini. Caranya mengambil
angle, mengarsir, menampilkan
kedalaman gambar benar istimewa. Dan Beng melakukannya sendirian, tanpa tim.
Dia sendiri yang mengawali proses berkarya dengan sketsa, membuat outline, memoles background, sampai merangkai panel.
Elemen-elemen
vital dalam penyusunan cerita (atau mungkin novel) benar-benar Beng garap
dengan serius. Plot, penokohan, konflik, cara penyampaian gagasan dalam SPU benar-benar
cemerlang. Membaca SPU, saya seakan melihat sebuah film yang begitu menarik dalam imajnasi saya.
SPU
menceritakan tentang seorang gadis yang menjalani liburannya di Jogja. Kirin, begitu nama gadis itu, selalu membawa
kawan setianya berupa buku harian. Buku harian itu diberi nama “Urbaz”.
Perjalanan Kirin di Jogja—dan dia ceritakan dalam Urbaz , inilah yang
melatarbelakangi SPU.
Selain
cerita soal Kirin dan buku hariannya, SPU juga berisi cerita berjudul “Benda
Terbang”. Cerita yang diplot secara mundur ini mengisahkan kisah seorang pemuda
bernama Ahmad yang menulis surat-surat untuk kekasihnya. Cerita kemudian
berkembang tentang Gombloh, seorang pemuda desa yang juga menganut paham “kiri”
yang dikejar-kejar masyarakat karena paham yang ia yakini sekaligus karena
dianggap mempunyai ilmu gaib. Gombloh sendiri sebagaimana Kirin, mempunyai
kebiasaan menulis di buku harian dan kerap membawanya ke manapun ia pergi.
Dari
SPU saya berkenalan dengan banyak hal. Mulai lagu-lagu Pearl Jam (Beng adalah
penggemar Pearl Jam) sampai buku Anthony Giddens. Dari SPU juga saya akhirnya
membuat blog untuk pertama kali. Awalnya hanya karena ingin membaca
tulisan-tulisan Beng sekaligus melihat karya-karyanya grafisnya yang lain. Dari
situ akhirnya saya membuat akun di multiply
dan berkenalan dengan banyak narablog. SPU juga memberi pengingat pada saya
tentang pentingnya sebuah tulisan, apalagi tulisan tangan. SPU seakan mengajarkan
frasa scripta manent verba volant
dengan caranya sendiri. Lebih jauh tentang hal ini, saya tuliskan cuplikan
surat dari Ahmad untuk kekasihnya, saat dia menerima pertanyaan, “Kenapa masih ribet surat-suratan pake pos
segala, sekarang jaman internet, pake email kan lebih praktis?”
Ahmad
menjawab lewat sebuah surat yang dia
selipkan di novel Supernova untuk
kekasihnya:
“Bagiku surat dengan tulisan tangan
memiliki nilai personal yang khas, utuh dan tidak terganti. Setiap bentik hurufnya mewakili kepribadian dan pola
pikir. Tulisan tangan harus hati-hati karena tidak ada tuts delete atau cancel
Ada desahan nafas dalam setiap tarikan
garis, ada detak jantung dalam susunan huruf. Barangkali ini terlalu emosional
buat kamu, tapi buat aku tidak.
Seharusnya kamu tahu, semua hal personal
dari aku, layak kuberikan untuk orang yang sangat personal juga buat aku..”
Ahmad
sendiri dikisahkan meninggalkan Indonesia dan bermukim di San Fransisco. Ia
seakan menghilang begitu saja, meninggalkan kekasihnya. Kekasihnya yang bernama Sampaguita, hanya bisa
“menghidupkan” kembali Ahmad dalam ingatan lewat surat-surat berisi tulisan
tangan yang dia kirim sebelumnya. Begitu dahysat kekuatan tulisan yang ditulis
dengan hati. Sampaguita akhirnya menjadi seorang jurnalis. Semangatnya untuk
menulis feature di sebuah majalah
wanita terus tumbuh setiap kali ia membaca surat-surat dari Ahmad.
Setiap detik telah kuhitung
dalam kesendirian
aku menjinjing rembulan
Hingga suatu saat matahari
bersandar di bahuku
Dan kuhapus semua dukanya..
Kesetiaan itu diperjuangkan.
SPU
telah mengantarkan saya pada banyak hal penting dalam perjalanan saya.
Karenanya, saya menaruh hormat yang dalam kepada buku ini. Karenanya pula,
tulisan ini hadir sebagai bentuk penghormatan kepadanya, menempatkannya sebagai
salah satu buku penting dalam hidup saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar