Seorang
kawan bernama Irwan Bajang mengajak saya menuliskan 5 buku yang paling
berpengaruh dalam hidup. “Proyek” ini diberi nama #5BukuDalamHidupku dan berlangsung 5 hari. Satu hari, satu buku.
Berikut adalah tulisan pertama untuk “proyek” ini.
==================================================================
“Ingat-ingatlah kalian, hai penulis-penulis belia. Bila kalian memilih jalan sunyi ini, maka yang kalian camkan baik-baik adalah terus membaca, terus menulis, terus bekerja, dan bersiap hidup miskin. Bila empat jalan itu kalian terima dengan lapang dada sebagai jalan hidup, niscaya kalian tidak akan berpikir untuk bunuh diri secepatnya.”--Muhidin M Dahlan, Aku, Buku dan Sepotong Sajak Cinta
Malang,
April 2004
Saya
bolos kuliah. Memilih menyusuri trotoar di antara pohon-pohon palem yang
berjejer di sepanjang Jalan Ijen. Langkah saya agak tergesa. Langit mendung.
Saya sedikit terburu-buru.
15
menit kemudian, saya sampai di sebuah bangunan tua yang baru direnovasi. Di
seberang jalan, berjajar sepasang tank tua di Museum Brawijaya yang moncongnya
mengarah ke gedung yang saya tuju. Inilah gedung yang menemani jatuh cinta saya
pada dunia baca-tulis yang gigil dan sedikit angkuh. Di gedung itu, saya
menggairahi dunia literasi. Mengenal banyak buku. Membuat saya kian sering
bolos kuliah.
Orang-orang
kerap bilang, cinta datang tanpa alasan. Tapi cinta saya pada dunia baca tulis
datang dengan alasan. Banyak sekali alasan. Satu dari sekian banyak alasan itu
adalah buku yang membaptis saya menjadi kutu buku. Buku yang mengutuk saya
menjadi seorang maniak buku yang rela memangkas sebagian besar uang kiriman
kuliah (dan uang gaji kini) untuk membeli buku. Buku yang mengantarkan saya
menjadi seorang pandir yang tengil–yang kerap sok intelek menenteng buku tebal
ke mana-mana, sambil kadang-kadang menggapitnya dengan ketiak ketika berjalan.
Buku itu adalah Aku, Buku, dan Sepotong
Sajak Cinta.
Buku
itu semacam memoar. Kisah tentang anak dari pesisir pantai di Sulawesi yang
hidupnya berubah drastis karena buku. Buku juga yang mengantarkannya merantau ke pulau Jawa. Buku
pula yang mengantarkannya drop out
dari tempatnya kuliah sebanyak dua kali (ya, dua kali). Buku juga yang mengantarkannya dari menara gading dunia
ide kepada culasnya kepentingan pasar.
Membaca
Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta,
seperti menanamkan pada ladang ingatan sendiri tentang keteguhan sikap ternyata
tak selamanya penuh kobar. Ia juga kadang hadir seperti angin dingin yang
menusuk. Atau kadang ia hadir menjadi kekonyolan-kekonyolan yang sukar dinalar.
Semua lalu seakan diaduk menjadi sebuah pembelajaran akan nilai hidup yang
menyiratkan satu pesan penting: jangan menyesali jalan yang kamu pilih.
Saat
saya menemukan buku itu pertama kali di selasar rak buku di perpustakaan
kota Malang, saya tergoda dengan
covernya yang unik. Seorang pemuda menaiki sepeda kumbang dengan membawa
setumpuk buku. Menarik sekali. Di buku itu diceritakan, si Aku sebagai tokoh
utama cerita, mempunyai sekitar 1000 buku saat itu. Dan itu harus dia usungi
setiap hari menggunakan sepeda kumbang tuanya ketika dia berpindah tempat
tinggal.
Judul Aku,
Buku, dan Sepotong Sajak Cinta juga
menggoda minat saya. Dikisahkan, selain jatuh cinta pada dunia buku, si Aku
juga menaruh hati pada seorang gadis. Berbekal luasnya pemahaman literasi yang
dia punya, ia lalu mengutarakan isi hatinya kepada gadis pujaan dengan membuat buletin
yang berisi tulisannya sendiri. Sayang, cintanya ditolak.
Karena judul
dan cover-nya yang menarik, saya
melirik buku ini. Sedikit mengecewakan, kemudian buku ini terbit ulang dengan cover yang
berganti dua kali. Buat saya, sampul terbaik adalah tetap buku pertama yang
digarap oleh penerbit terkenal kala itu (akhirnya penerbit ini bangkrut). Setelah
terbit ulang, judulnya pun juga diganti menjadi Jalan Sunyi Seorang Penulis. Kurang mengigit, menurut saya.
Kendati
ada yang mengkritik buku ini biasa-biasa saja (bahkan jelek), buat saya, buku
ini masuk dalam daftar buku yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Saya
pernah membaca, ada yang menilai buku ini semacam buku yang ditulis seperti
(maaf) orang berak, sebab semua seperti “dikeluarkan” tanpa kepekaan. Sekali
lagi, bicara buku adalah bicara urusan personal. Tak usah terlalu diperdebatkan
terlalu panjang.
Yang
jelas, buku ini seperti mengajari saya bahwa kata adalah keajaiban semesta.
Selaras dengan apa yang ditulis secara puitis oleh Joko Pinurbo dalam puisinya
yang berjudul “Malam Pembreidelan”, kata-kata
adalah kupu-kupu yang berebut bunga, adalah bunga-bunga yang berebut warna,
adalah warna-warna yang berebut cahaya, adalah cahaya yang berebut cakrawala,
adalah cakrawala yang berebut saya.
anjir, deskripsinya menyentuh banget mas, hahaha.
BalasHapusayo kita gugat gus muh dan penerbit barunya untuk mengembalikan buku ini ke cover pertamanya. hahaha
Hahaha.. :D
HapusAyo! Bikin hasthag di twitter, bikin grup di facebook, bikin petisi online!! :D