Rabu, 17 Juli 2013

Hikayat Anjing dan Kucing


Buat Neng,

Gambar diambil dari sini

Saya tidak sepenuhnya percaya bahwa anjing dan kucing itu bermusuhan. Saya yakin itu sekadar mitos. Kalaupun keyakinan saya meleset, menurut saya yang menjadi soal pada dasarnya adalah dendam keluarga lama. Dendam keluarga anjing (lama) versus keluarga kucing (lama), tentu saja. Lalu kebencian seakan mewaris pada setiap laju darah, menjadi alasan yang tidak penting dan dibuat-buat untuk  menjalin permusuhan yang sejatinya tidak pernah ada. Permusuhan fiktif. Imajiner. Dosa turunan, barangkali. Dosa terbesar mahkluk hidup menurut saya adalah kebencian terhadap sesama. Sesama hewan atau sesama manusia atau sesama tumbuhan sekalipun. Sisanya adalah perkara yang relatif, tidak jelas batasnya, tergantung dari mana kaki kita berpijak atau pantat kita bergeser. 

Saya memang bukan pakar mamalia. Saya hanya menganalisa. Saya kira Tuhan kendati Dia Maha Iseng, juga tidak akan sampai begitunya menanamkan kebencian pada makhluk lucu dan menggemaskan semacam anjing dan kucing agar mereka  saling bermusuhan.

Dulu Bapak saya permah memelihara anjing. Waktu itu saya masih berumur sekitar empat atau lima tahun. Praktis, saya belum merasakan emosi yang terikat kuat pada hewan yang konon sangat setia itu. Ibu juga pernah memelihara kucing, sebentar saja. Setelah beranak pinak, kucing itu akhirnya hilang entah ke mana. Ingatan saya terlalu samar mencatat. Mungkin diberikan ke saudara. Mungkin juga kucing itu kabur. Entahlah. Semasa keluarga saya pernah memelihara keduanya, tidak pernah ada cerita ke saya bahwa anjing saya bertikai dengan kucing tetangga, atau kucing saya cari gara-gara dengan anjing tetangga (saya dulu punya tetangga yang punya anjing cukup banyak). 

Maka saya sering membayangkan, bisakah anjing dan kucing itu berkawan baik atau justru berpacaran? Saya tidak tahu jawabnya yang pasti. Saya juga tidak bisa mengklarifikasi keduanya untuk mengulik pertanyaan demi sebuah jawaban yang mengentaskan rasa penasaran saya. Semisal, bagaimana bila kucing dan anjing menjalin affair? Apakah itu menodai dendam imajiner yang bertahan sekian generasi? Atau sebaliknya, itu akan menjadi sebuah pemantik harapan baru? Entahlah. 

Yang jelas, ketika mereka mengambil jalan itu, komitmen yang dijalin harus kuat. Sebab mereka akan menghadapi banyak rintangan. Rintangan pertama dimulai dengan dendam warisan yang uzur. Belum lagi menyoal hal-hal kecil menyangkut kebiasaan masing-masing, yang bisa menimbun besar dan kemudian menjadi aral yang serius. Bagaimanapun, kucing tetaplah kucing. Anjing juga demikian, ia tetap akan menjadi makhluk penggonggong, bukan makhluk yang mengeong mesra. 

Tapi kisah cinta di dunia manapun, selalu memegang prinsip yang sama: kita tidak bisa berkuasa sepenuhnya. Ada semesta yang mempunyai alur rumit nian, ada takdir yang punya sejuta rahasia. Kita hanya terjebak pada kemungkinan-kemungkinan misterius yang sukar ditebak. Sengotot apapun anjing untuk menjadi pasangan kucing (juga sebaliknya), pada akhirnya mereka harus paham bahwa mereka tidak bisa hidup bersama. 

Dan itu tidak lantas membuat benih kebencian layak disemai kembali. Sekali lagi, dosa terbesar makhluk hidup adalah kebencian terhadap sesama. Kandasnya hubungan tidak lantas membuat dendam uzur dipantik lagi apinya. Biasa saja. Hidup memang isinya bukan melulu apa-apa yang kita inginkan tercapai. 

Lantas bagaimana? Cara paling menyenangkan memulihkan luka adalah dengan belajar tentang kebaikan. Anjing belajar kebaikan kucing, juga sebaliknya. Itu menyenangkan dan perlu. 

Saya lantas teringat sebuah cerita pendek karangan penyair melankolis favorit saya, Aan Mansyur. Pemuda asal Bone itu pernah menulis sebuah cerita pendek berjudul Cinta (Kami) Seperti Anjing dan Kucing. Di akhir cerita dia menuliskan daftar hal-hal yang bisa dipelajari dari anjing dan kucing. Aan menulis daftar itu setelah membaca sebuah artikel pendek berbahasa asing yang ia temukan lewat mesin pencari di internet, lalu ia terjemahkan. Berikut saya tuliskan beberapa poin dari daftar tadi.

Hal-hal yang Bisa Kamu Pelajari dari Kucing

1.      Berbahagialah melihat orang yang kamu cintai.
2.      Bersemangatlah menjawab rasa penasaranmu sendiri kepada hal baru.
3.      Jangan pernah meremehkan kekuatan pujian.
4.      Jangan takut menunjukkan sukacita. Jika kamu senang, tunjukkan.
5.      Jangan menyimpan dendam
6.      Garuk gatalmu sendiri
7.      Tidurlah dalam posisi paling nyaman
8.       Baca sendiri

Hal-Hal yang Kamu Bisa Pelajari dari Seekor Anjing

1.       Istirahat dan relaksasi adalah kunci menuju kebahagiaan.
2.      Habiskan waktu dengan orang yang bisa kamu cintai.
3.      Nikmatilah sinar matahari.
4.      Bersikaplah mandiri.
5.      Tetap tenang. Jika kamu tidak ingin melakukan sesuatu, jangan berdebat.
6.     Jangan takut jika sesekali melihat sesuatu dari perspektif yang berbeda.  Duduklah di rak buku atau mengintiplah dari kolong kursi.     
7.      Baca sendiri.


Saya selalu percaya, bahwa hidup terlalu singkat dan berharga untuk diisi dengan dendam dan kebencian. Apalagi untuk usia anjing dan kucing. Berbahagialah dan rayakan hidup. Tetap menyalak, tetap mengeong. Kebencian dan dendam tidak akan membawa kita ke mana-mana.

Jumat, 05 Juli 2013

Jaga Malam



Hidup terlalu teratur, seringkali tidak menarik. Bukan hanya itu, hidup yang terlalu teratur, juga seringkali malah merepotkan. Bayangkan saja bila semua orang bekerja hanya di siang hari, dan menghabiskan waktu malam untuk tidur. Keteraturan macam itu justru akan merepotkan. Masalah hajat seringkali hidup tidak mengenal pembagian waktu siang dan malam. Untuk itulah, beberapa orang diberi sedikit kekuatan untuk melek ketika teman-temannya sedang pulas terlelap.

 Orang-orang tadi melawan circadiac system tubuhnya sendiri, demi melakukan sesuatu untuk orang lain. Tuhan memberkati mereka yang menjaga malam. Polisi, hansip, tukang jual ketan dan wedang ronde, paramedis, dokter, pemadam kebakaran, atau justru Batman adalah sekian contoh mereka yang menukar waktu istirahatnya untuk berbuat sesuatu. Bayangkan malam tanpa mereka berjaga, pasti merepotkan. 

Taruhlah saya menghimpun apologi untuk saya sendiri. Atau sekadar upaya menghibur diri sendiri sebab saya sedang menjalani laku yang saya maksudkan sebagaimana uraian pembuka yang tidak penting-penting amat di pembuka tulisan ini. Ya, saat saya menulis tulisan ini, saya sedang jaga malam di Unit Gawat Darurat (UGD). 

Jaga malam di UGD selalu menarik buat saya. Saya bukannya makhluk abnormal yang tidak memiliki peningkatan hormon kortisol di malam hari. Saya sama saja dengan manusia lainnya. Seharusnya, saya tidur di saat malam hari tiba. Tapi sekali lagi, hidup terlalu teratur itu tidak menarik. Ditambah lagi, mungkin saya kena balasan dari ilmu yang saya peroleh, khususnya menyoal kegawatdaruratan. Dulu –sampai sekarang–saya terus menuntut ilmu soal kegawatdaruratan. Giliran ilmu soal kegawatdaruratan saya cecap manisnya, giliran dia yang menuntut saya untuk mengamalkannya. Tak peduli siang, tak peduli malam. Sekali lagi hajat menyoal hidup –dan mati –seseorang, tak kenal siang-malam.  Mengapa saya antusias setiap jaga malam, tak lain karena saya kerap menemukan kasus menarik tentang kondisi gawat darurat, ketika saya jaga malam. 

Kasus terbanyak tentu saja dihuni oleh kasus kecelakaan lalu lintas alias trauma mekanik. Circadiac system kerap kali tidak bisa diajak bekerjasama ketika malam hari. Sistem yang mereka buat “memaksa” tubuh untuk beristirahat. Jika manusia memaksa untuk melawannya, maka fungsi asosiasi dan koordinasi tubuh akan menurun. Ini yang memicu kecelakaan lalu lintas sering terjadi. 

Kasus kecelakaan lalu lintas yang kemudian mampir ke UGD saat saya juga malam, kebanyakan juga terjadi  karena mengikuti kebiasaan buruk: mabuk. Mungkin kondisi malam hari yang dingin dan senyap, membuat mereka membiasakan diri minum minuman keras. Hanya saja karena dosisnya kelewat banyak, maka mabuklah  mereka. Lalu mencari angin dengan mengendarai mobil atau motornya, dan terjadilah kecelakaan. Saat di UGD, biasanya mereka sering meracau dan mulutnya masih berbau sengak alkohol. Kasus-kasus semacam ini mempunyai ciri khas: datangnya cepat, mematikan, dan mahal. 

Selain kasus-kasus trauma mekanik, jaga malam di UGD juga mengantarkan saya pada kasus-kasus gawat yang sebenarnya tidak gawat-gawat amat. Biasanya didominasi oleh kaum hawa. Dan biasanya lagi, kasus yang sering muncul, erat hubungannya dengan masalah-masalah asmara. Semisal seorang perempuan muda yang diputuskan oleh kekasihnya, lalu dia menenggak parfum dengan setengah hati, sang lelaki kemudian panik, dan membawanya ke UGD. Yang lebih menyayat, biasanya aksi tanggung untuk coba-coba menyayat nadi sendiri, tapi masih ragu. Jadilah sayatan-sayatan tadi tidak memotong nadi dan urung menghabiskan darah. Hanya sekadar goresan-goresan yang tidak terlalu dalam di pergelangan tangan. Khusus untuk kasus gawat semacam ini, biasanya berakhir dengan happy ending. Setidaknya untuk sesaat. Biasanya sang lelaki akan mengubah sikapnya sejenak, agar perempuannya tidak melanjutkan aksinya lebih jauh. Sang perempuan juga menjadi lebih asertif. Lalu mereka keluar UGD dengan perasaan yang lebih intim. Setidaknya itu yang saya lihat. 

Begitulah. Jaga malam selalu menarik buat saya. Kerapkali ketika jaga malam di UGD, saya menampik kantuk. Alih-alih demikian, kadang-kadang rasa kantuk juga tidak sempat hinggap. Saya bisa terjaga sampai pagi dengan fokus penuh. Padahal biasanya jika di rumah, saya sangat jarang begadang. 

Ketika jaga malam di UGD, saya cenderung lebih bersemangat saat subuh tiba. Saat-saat menjelang fajar. Saat-saat yang menurut kaum melankolis cum filosofis adalah saat paling reflektif. Sebab  di saat subuh, saat tergelap sekaligus saat menjelang terang hadir. Masa-masa yang kental dengsan paradoks. Biasanya, sangat jarang ada pasien datang di jam-jam seperti ini. Kalau pun datang, biasanya juga kasus yang unik (saya pernah menerima pasien sekitar jam empat pagi yang datang dengan keluhan panik setelah minum Viagra). 
Saat-saat jelang fajar, kerap saya manfaatkan untuk aktifitas kesukaan saya: melamun. Kalaupun tidak, saya biasanya menulis atau membaca. Kalaupun sedang malas melakukan keduanya, biasanya saya berolahraga ringan, melakukan peregangan otot, mencium bau parfum kesukaan saya, dan sesudahnya saya menghirup angin subuh yang dingin. 

Sepulang jaga malam, saya tidak langsung tidur. Rasa kantuk tak juga hinggap. Biasanya saya baru tidur selepas tengah hari. Molor sampai sore. 

 
Saat jaga malam. Oh iya, saya narsis maka saya ada.

Begitulah. Mereka yang terjaga di malam hari, bukanlah orang-orang yang luar biasa. Mereka sama-sama butuh tidur juga. Bukan manusia-manusia sok gagah yang coba melawan ketentuan alam. Tapi kadang-kadang mereka terjaga karena dibenturkan pada kepentingan dasar: bekerja untuk bertahan hidup. Atau juga terjaga karena demi menuntaskan “kutukan” ilmu pengetahuan yang harus mereka terima dan jalani. Saya melakoni melek di malam hari dengan dua alasan tadi sekaligus. 

Apapun alasannya, semoga akan terus ada orang-orang yang mau terjaga di malam hari, memeriahkannya dengan bekerja, hingga pagi tiba.