Tulisan lama, dua tahun silam. Sedikit di-edit dan ditayang ulang untuk kepentingan..emm..eksistensi. :-))
Jika dikaitkan dengan momen, tulisan ini memang sepatutnya disajikan tanggal 23 April kemarin. Niatnya juga begitu. Saat perayaan "Hari Buku" dikhidmati, tanpa tepuk-tepuk ramai, tanpa sorak, dan tanpa sorai. Hari yang saya rasa sebenarnya tidak perlu. Buku tak butuh seremonial macam itu. Buku lebih mementingkan upaya laku yang gigih sekaligus sepi, dengan menggiati upaya baca tulis, dan-tentu saja-berimplikasi pada kehidupan di luar buku.
Dan apa yang saya tulis ini mencoba menawarkan profil orang yang berdemikian. Lewat sebuah buku yang merupakan memoar lakunya yang begitu mengundang kagum sekaligus keheranan. Buku yang mengisahkan perjalanan orang yang barangkali lebih terlihat "bodoh" daripada pintar.
Betapa tidak "bodoh", saat ia menukar segenap pencapaian kariernya demi upaya berbagi buku? Atau justru kita yang bodoh. Mungkin ia lebih mengkhidmati, bahwa kebahagiaan adalah masalah menentukan prioritas yang nilainya begitu relatif. Dan bagi John Wood, nama lelaki itu, berbagi buku,yang berarti pula membagi ilmu pengetahuan adalah prioritas kebahagiaan yang tanpa tukar.
John Wood, seorang eksekutif muda, sebelumnya bekerja di perusahaan teknologi informasi yang mirip gurita raksasa dengan ribuan tentakel, Microsoft. Ia dibebani tanggung jawab wilayah kerja di area Asia Pasifik. Tujuh tahun ia bekerja di Microsoft, dan ia tidak puas. Dihimpit tekanan yang hebat oleh orang-orang yang mengajaknya berputar pada sebuah sistem kerja yang menggairahi jam-jam kerja yang gila. Ia menjadi prajurit korporat yang segenap langkahnya bergantung komando pemegang modal.
Prioritasnya beralih saat ia berlibur menikmati selusur pegunungan Himalaya di Nepal yang dingin. Di sana, ia mendapati sekolah-sekolah yang tidak dimeriahkan oleh buku. 450 siswa di sekolah yang ia temui hanya membaca buku-buku macam Lonely Planet milik para backpacker yang tertinggal. John miris. Ia merasa dunia tidak adil saat di luar sana buku begitu melimpah, anak-anak di negara-negara miskin macam Nepal tidak menikmatinya. Padahal semangat belajar anak-anak malang itu dapat ia rasakan.
Maka John bertindak. Ia menyebar email ke 100 orang di kontak surat elektroniknya. Ia mengemis buku. Ia mengajak semua temannya menyumbang buku, agar gerombolan yak (binatang ternak semacam sapi di Nepal) mengusung buku-buku di pundak mereka.
Upaya bersambut baik. Pikiran besar selalu mempengaruhi orang-orang berjiwa besar. John mendapatkan sumbangan buku-buku yang melimpah ruah. Dan sesuai niatannya, anak-anak malang di Nepal itu kini bisa mengakrabi buku-buku.
Upaya yang diempu John juga membuahkan konsekwensi lain. Ia memenggal laju kariernya yang tergolong cemerlang di Microsoft dengan mengundurkan diri dari korporasi gigantik yang didirikan Bill Gates itu. Bahkan, demi kegiatan donasi buku itu,ia berpisah dari Sophie, wanita terdekatnya, yang juga membangun karier di Microsoft.
Donasi buku itu memerlukan wadah yang lebih besar. Sebab laku yang ia lakoni semakin besar. Ia membentuk yayasan donasi buku bernama Room to Read dan melanjutkan ekspansi di negara-negara dunia ketiga yang buta buku.Dan mereka, John dan teman-teman di Room to Read, berhasil membangun lebih dari 7000 perpustakaan di seluruh dunia.
Buku yang mengisahkan memoar John Wood ini pada mulanya berjudul Leaving Microsoft to Change The World, tapi kemudian tampil dengan edisi baru berjudul sama dengan organisasi yang John Wood dirikan: Room to Read.
Seperti halnya memoar pada umumnya, ditulis dengan sudut pandang orang pertama sehingga kita lebih bisa merasakan sisi personal dari John Wood. Pikiran-pikirannya yang selalu gelisah, dilemanya terhadap pilihan-pilihan yang ia hadapi, juga harapan-harapannya yang platonis.
Kita juga bisa mendapati, bahwa menggiati buku adalah menggiati dua hal yang tak terpisah layaknya dua sisi mata uang. Dua hal itu adalah membaca dan menulis. Lewat buku ini, kita bisa melihat kecintaan John pada dunia buku diimbangi pada konsistensinya menulis apapun. Ia kerap membawa jurnalnya kemana-mana, lalu merekam apa yang ia lihat, ia dengar, ia rasa, dan ia pikirkan. Tak peduli tempatnya.
Saya kira momentum itu memang penting. Agar kita terbebas dari penjara lupa. Seremoni-seremoni ada;ah sama halnya dengan anak kunci yang membuka pintu. Itu penting. Tapi ada yang lebih penting dari sekadar upaya mengingat yang terjebak dalam penjara almanak. Yaitu upaya laku yang nyata, menggiati proses, dan mempercayai harapan. Itu yang akan mendobrak kurungan kita. Bukan sekedar menunggu anak kunci.
John Wood sudah memberi contoh.