Rabu, 29 Mei 2013

Penjaga Pohon dari Panaongan

Ini gambar Mas Bro. Gambar diambil dari sini
Perawakannya kecil, postur tubuhnya  kurus–nyaris ringkih, langkahnya sigap dan cepat, gaya bicaranya pelan dan bertutur, tatapan matanya menghujam dalam. Rambutnya panjang terurai, sesekali lusuh. Sosoknya memang sederhana.  Di manapun dia hadir, kerapkali dia  cukup memakai kaos dipadu jaket tebal, celana jeans dan sandal jepit. 

Namanya adalah RZ Hakim.  Tapi kawan-kawan biasanya cukup memanggilnya Mas Bro. Ia pribadi yang ramah. Kawannya tersebar di mana-mana. Dia bisa masuk ke semua golongan dengan sikap yang tidak dibuat-buat. Mas Bro dikenal sebagai pecinta alam yang militan, musisi yang konsisten berkarya, penulis yang gigih, blogger yang tidak angin-anginan dan sejarawan muda yang tekun mencatat renik-renik peristiwa agar tidak kabur dari ingatan. 

Perkenalan saya dan Mas Bro bermula di sebuah portal tulisan di internet yang  memuat semangat citizen journalism. Saat itu, saya menulis soal Njoto, tokoh sentral PKI yang ternyata pernah menghabiskan masa kecilnya di Jember–dan tidak banyak orang yang tahu soal itu. Mas Bro kemudian mengirim komentar, saya merespon dan kemudian menjadi penikmat tulisan-tulisannya. 

Selanjutnya saya bertemu Mas Bro ketika saya didapuk menjadi moderator sebuah diskusi yang dihelat oleh salah satu lembaga pers mahasiswa di Jember. Saat itu, tema yang dipilih (lagi-lagi) menyoal citizen journalism. Dan Mas Bro menjadi pembicara utama. Sebagai blogger yang sudah  lama melanglang buana di dunia jurnalisme warga, malam itu Mas Bro tampil cukup memukau. 

Selalu  menyenangkan berbicara dengan Mas Bro. Wawasannya luas, pola pikirnya fleksibel, pemilihan katanya hati-hati dan orangnya objektif. Di samping menghormatinya sebagai pribadi biasa, saya juga menaruh hormat pada Mas Bro yang peka dan teguh menyuarakan isu-isu lingkungan. Saya juga salut pada sikap ajeg yang ia pelihara dalam menulis. Tulisannya cerkas, tidak bertele-tele, serta  terus memelihara laku menulis secara rutin. Di samping itu semua, saya juga menghormati Mas Bro sebagai seorang sejarawan muda yang tekun. 

Sejarah, Pohon dan Kesadaran

“Kata Sejarah berasal dari bahasa Arab: sajaratun, yang artinya adalah pohon,” kata Mas Bro suatu ketika. Saya mendengarkan dengan sungguh-sungguh. 

“Ibarat pohon, sejarah itu ilmu yang kuat. Akarnya menghujam ke tanah, dahan dan rantingnya menyeruak ke udara sekitarnya. Sejarah adalah ilmu yang tidak akan bisa dipisahkan dari kehidupan manusia, “ imbuhnya. 

Mas Bro menjelaskan dengan perlahan, saya menyimak dengan seksama. Waktu itu saya memintanya mengisi kelas Akademi Berbagi (Akber) Jember yang membahas tentang “Menulis Sejarah Kota”. 

Mas Bro memang intens menulis tentang sejarah kota Jember. Dengan gigih dia berjalan ke tempat terpencil, mengumpulkan data, menggali keterangan melalui upaya reportase dan riset ala kadar. Semua itu bermuara agar  remah-remah informasi  yang dihimpun tetap membentuk sebuah wajah kota Jember yang  telah  melalui banyak hal penting dan bernilai–tidak lenyap didera arus deras informasi lain yang datang bertubi-tubi. 

Ia bisa menjelaskan sejarah Jember dengan sangat kompleks. Mulai dari asal-usul kota Jember yang banyak versi, toponimi desa-desa di Jember, hubungan undang-undang agraria dengan pembentukan kota Jember,  sampai pemberontakan yang ditumpas oleh Gajah Mada di Puger (salah satu kawasan pesisir di Jember). Dari soal periodisasi sampai kisah-kisah unik yang terjadi di balik peristiwa besar yang terjadi, semuanya Mas Bro kuasai.

Yang terpenting, Mas Bro melakukan itu secara sadar, tanpa adanya intervensi dengan pihak manapun. Ia melakukan itu semata-mata  karena ia mencintai kota Jember. 

“Kalau bukan kita yang melakukannya, siapa lagi?” tanyanya lirih. 

Pribadinya yang menyenangkan, integritasnya yang dikenal kokoh, pergaulannya yang luas, membuatnya mudah masuk ke semua kaum. Dia diterima semua orang. Dari akademisi sampai preman, dari pengangguran sampai loper koran. 

Pernah suatu saat dia mengajak mengunjungi salah satu situs penting di kota Jember yang tidak diketahui banyak orang. Katanya, “Tapi kita akan masuk ke kawasan preman dan perjudian. Tolong nanti jangan memotret. Bisa-bisa aku yang dimarahi oleh mereka”.  

Sehari-hari, Mas Bro bergiat di Panaongan, di rumahnya, yang terletak di Jalan Brigjen Slamet Riyadi, Kecamatan Patrang-Jember. Rumah yang selalu ramai oleh kawan-kawannya. Panaongan semacam rest area bagi siapapun yang ingin singgah. Di sana Mas Bro tinggal bersama Mbak Prit (istrinya) dan keluarga besarnya.  Di Panaongan pula Mas Bro terus memelihara kesadaran untuk terus menjaga dan merawat pohon (baca: sejarah) kota Jember agar terus tumbuh, tidak tumbang oleh sikap apatis, tidak roboh diterpa ingatan yang lalai mencatat. 

Terlalu banyak sebenarnya yang ingin saya tuliskan soal Mas Bro, tapi lebih baik, silakan berkenalan dengan Mas Bro di sini.




Selasa, 28 Mei 2013

Guru



 
Gambar diambil dari sini


Ketika kecil, cita-cita saya kerap berganti. Pernah saya mengangankan menjadi seorang arsitek. Rasanya, nikmat sekali hidup dengan merancang gambar rumah, gedung, dan monumen-monumen. Saya juga pernah membayangkan mengisi usia dewasa saya dengan membuka toko bunga. Mengandaikan indahnya berinteraksi dengan pelanggan, berdiskusi soal bunga dan tanaman hias, atau menikmati keintiman menyiram bunga dengan menghirup semerbak bau tanah. Saya juga pernah menaruh cita-cita menjadi seorang komikus. Bekerja di dalam studio, sehari-hari menghadapi pucatnya kertas kosong, berpikir sinematografis, menggurat pensil, merancang panel demi panel, atau merasakan debar jantung saat meninta sketsa. Tapi semuanya tidak ada yang kesampaian. 

Selain hal itu semua, saya pernah memimpikan menjalani hidup menjadi seorang penebar ilmu pengetahuan. Lebih sederhananya, saya pernah bercita-cita menjadi guru atau seorang dosen. 

Saya membayangkan betapa menariknya berdiri di depan kelas. Menuang pelan-pelan pemahaman ke dalam bejana para pencari ilmu. Berdiskusi dengan murid, merayakan gairah keilmuan yang meluap-luap bersama  mereka, memberi inspirasi, sekadar cangkrukan bareng di kantin, atau menjadi kawan terbaik mereka di universitas atau di sekolah. 

Sudah terpancang dalam pikiran saya, bagaimana pola saya mengajar. Saya  akan sebisa mungkin tidak menerima mentah-mentah sistem pendidikan yang sudah berjalan. Saya tidak akan hanya mendidik, saya akan membagi inspirasi. Saya juga akan sebisa mungkin menghindari memberikan hal yang ruwet bagi murid saya. Buat saya seorang guru seharusnya senantiasa menjadi sosok yang menjaga etos to simplify complex things. Menyalin perihal yang ruwet menjadi perkara yang sederhana. Ketidakmengertian murid adalah kegelapan, dan guru bertugas mengusirnya. Memberikan hal-hal yang ruwet tidak akan menambah titik terang barang sedikitpun. Sedang guru berasal dari bahasa Sansekerta, gu artinya kegelapan dan ru artinya menghilangkan. 

Mungkin saya perlu belajar banyak pada mendiang  Ivan illich. Dia adalah seorang penentang sistem pendidikan di daerah Amerika Latin yang dirasanya sudah kelewat carut marut.  Bagi Illich, sistem pendidikan di daerahnya adalah omong kosong yang gagal mengatasi segenap ketimpangan sosial. 

Sejatinya Ivan tidak pernah menganjurkan penghapusan sekolah. Ia hanya ingin agar anak-anak dibebaskan dari sistem pendidikan umum yang dirasanya hanya sekadar menjadi belenggu. Kegagalan sistem sekolah ini karena sekolah hanya menjalankan tiga buah fungsi pokok: (1) menjadi gudang  mitos masyarakat; (2) melembagakan kontradiksi dalam mitos tersebut; (3) menyelubungi mitos tersebut dengan realitas. 

Mitos ini akhirnya menjadi semacam ketakutan yang turun temurun. Bahwa sekolah secara lembaga dianggap satu-satunya laboratorium tunggal  yang menentukan keberhasilan anak mengarungi perjalanan hidupnya kelak. Nilai ujian akhirnya dianggap lebih penting daripada nilai-nilai kehidupan.  Saya tidak ingin menjadi guru yang merupakan bagian dari upaya mewariskan mitos tersebut. 

Saat saya bercita-cita menjadi guru, saya membayangkan menjadi guru seperti   John Keating dalam  film Dead Poet Society. Atau menjadi kepala sekolah seperti  AS Neill di Summerhill School yang legendaris itu. Saya ingin menjadi guru yang menginspirasi macam mereka. Mendidik, bukan sekadar mengajar. 

Sebelum menjadi guru, saya ingin kuliah di tempat-tempat yang jauh. Berkeliling. Menjadi pejalan. Menjadi penjelajah. Lalu pulang ke kota asal. Mengajar di universitas kecil atau justru di sekolah-sekolah di desa. 

Tapi nasi sudah menjadi lontong. Dan lontong sudah diolah menjadi lontong sayur. Perjalanan hidup ternyata mengarahkan saya untuk tidak berprofesi sebagai guru atau dosen. Meskipun demikian, minat saya menjadi guru atau dosen masih ada.  Sampai sekarang. 

Serangan Balik

Saya sangat senang melihat fenomena dunia pendidikan belakangan.  Banyak sekali gerakan alternatif yang diciptakan orang-orang keren untuk melawan silang sengkarutnya sistem pendidikan formal. Kelas-kelas  softskill yang digelar tanpa bayar dan ramah, sekolah-sekolah non formal yang dikemas semenyenangkan mungkin, donatur yang melimpah, sampai banyaknya relawan yang membuktikan bahwa masih ada yang peduli dengan kegagalan dan kekonyolan sistem pendidikan formal.

 Maka ketika beberapa kawan mencibir sebuah gerakan mengajar di tempat-tempat yang terpencil (sebab ditengarai ada sokongan dana dengan kepentingan tertentu), saya tetap memilih mengapresiasi. Buat saya, bagaimanapun itu membawa dampak yang bagus. Sisanya hanya sekadar perkara pilihan untuk bergabung atau tidak. Buat saya gerakan-gerakan alternatif tadi–apapun namanya–adalah sebuah serangan balik yang masif terhadap kekacauan sistem pendidikan yang terjadi. 

Serangan balik ini pada akhirnya menjadi arus sistem pendidikan gaya baru yang alirannya kian deras. Setiap orang bisa menjadi guru sekaligus menjadi murid, dengan caranya sendiri-sendiri. Dengan pilihannya sendiri, tanpa dipaksa. Pilihan yang bertolak dari kesadaran bahwa pendidikan itu penting. Dan di balik pentingnya pendidikan itu, menganggap sekolah formal yang ada sebagai satu-satunya tempat belajar dan pemberi panduan utama menjalani hidup, hanyalah akan menciptakan manusia yang mirip zombie.  

Saya memilih ikut dalam arus serangan balik ini, sebab saya tidak akan kuat jika berjalan sendirian. Selain berpeluang tersesat, saya bisa juga berhenti di tengah jalan, ikut-ikutan apatis, lalu hanya mengutuk. 


Rasanya, semua sudah mahfum terhadap sistem pendidikan formal yang kacau di negeri tempat kita belajar ini. Tapi jalan keluarnya bukan dengan mencari kambing hitam, apalagi kambing tetangga. Setiap orang bisa menjadi guru dalam skalanya masing-masing. Menjadi guru  berarti  menjadi pengusir gelap dengan  mengambil bagian sesuai porsi yang dirasa cukup, lalu berhenti mengutuki gelap. 


Sebab sebagaimana diucap oleh Ludwig Witgenstein, seorang pemikir dari Jerman, “Jika yang kamu miliki hanyalah palu, segalanya akan tampak seperti paku”. 


Ah, saya jadi menggurui semacam ini. Maafkan saya.

Senin, 13 Mei 2013

Kutukan





Holmes memeluk Madam Shimza sambil berdansa. Tubuhnya bergoyang pelan mengikuti alunan musik yang mengiringi. Matanya awas, menatap sekeliling, lalu merekamnya di dalam ingatan. Ia sedang mencari Rene, adik Shimza yang sedang menyamar menjadi diplomat. Rene sendiri adalah pemuda tanggung yang menjadi korban indoktrinasi oleh Moriarty, musuh bebuyutan Holmes. 


Holmes sedang melakukan deduksi. Ia melihat orang-orang sekitarnya, menggali data lewat pakaian, atribut, gaya bicara, sampai gestur, lalu menarik kesimpulan tentang orang yang dilihatnya tadi. Sebuah gaya yang khas dari Holmes. 


“Ini kebiasaanmu?” tanya Madam Shimza pada detektif eksentrik itu. 


“Ini kutukanku, “ jawab Holmes santai. 

***


Penggalan cerita di atas saya tuliskan dari film Sherlock Holmes 2: A Game of Shadow besutan Guy Ritchie. Saya sudah pernah menuliskan review-nya di sini. Tak akan saya bahas ulang. Bukan pula saya hendak menggali lebih jauh soal kebiasaan deduksi detektif yang indekost di Baker Street 221 B itu. 


Saat itu, setelah menonton film itu (dan puas), saya membawa pulang sepaket pemahaman yang mengusik. Yang menarik buat saya adalah ketika Holmes membuat pernyataan bahwa kemampuan deduksi yang menjadi senjata utamanya itu adalah kutukan. 


Saya sepakat dengan itu. Kadang terlalu banyak tahu itu meresahkan. Knowledge is a weapon  adalah ungkapan yang terlalu lawas. Buat saya,  terkadang, knowledge is a curse. 


Terlalu banyak tahu itu kadang tidak menyenangkan. Sebab tahu saja kerapkali tidak cukup. Banyak masalah yang tidak selesai hanya dengan hanya sekadar tahu. Ketika sampai pada titik itu, pengetahuan kerapkali menampakkan wajahnya sebagai kutukan. Maksud saya ketika kita tahu banyak hal, tapi selanjutnya kita tidak bisa berbuat banyak–walau kita tahu apa yang harus dilakukan–ketika itu pula pengetahuan menjadi kutukan.
Pengetahuan juga menjadi kutukan ketika semakin banyak kita tahu, semakin itu pula kita merasa kurang tahu. Sisi paradoks pengetahuan yang membuat kita senantiasa haus . 


Selain itu, orang yang diberikan pengetahuan tertentu, mendapatkan “tanggung jawab” yang lebih besar daripada yang tidak tahu apa-apa. Mereka, yang mereguk pengetahuan lebih banyak daripada yang lain, harus mutlak melakukan sesuatu yang lebih daripada mereka yang sekadar mencicipi tetesan pengetahuan saja.  Sedikit lebih merepotkan, memang. 


Kutukan semakin terasa perih, saat ternyata upaya kita menunaikan tanggung jawab tadi ternyata dibenturkan pada realitas, bahwa ada hal lain di luar kapasitas kita, sehingga kita tidak dapat melakukan apa-apa. Kita serupa pejalan yang terperangkap pada lorong gelap, tahu caranya menyalakan api sebagai penerang, tapi kita tidak punya pemantik. Pada akhirnya serapah menjadi kawan karib. 


Maka saya semakin paham kenapa dalam cerita di kitab suci agama samawi,  Adam dan Hawa diturunkan ke dunia setelah Hawa mencicipi buah pengetahuan (khuldi). Terlalu banyak tahu itu merepotkan, maka Adam dan Hawa disuruh turun ke dunia dengan ketidakmengertian mereka. 


Pengetahuan menjadi kutukan, juga kerap saya alami. Misalnya, di saat saya bekerja di UGD. Unit yang sering mengantarkan saya pada batas-batas yang tidak boleh saya lewati, bahkan saya intip celahnya. 


Saya membekali diri saya dengan banyak hal yang terkait dengan penanganan kasus kegawatdaruratan, tapi kenyataan kerap menampar saya, bahwa itu semua hanyalah perkara yang terlampau kecil untuk sebuah keniscayaan bernama maut. Seterampil apapun saya menangani pasien gawat darurat, sebagaimanapun canggihnya kerjasama yang dibangun oleh tim kode biru di UGD, tetap saja maut selalu hadir dengan dingin dan tak bisa ditampik.
Di kala seperti itu, pengetahuan menjadi kutukan buat saya. Tak bisa saya tolak dan harus saya jalani tuahnya. 


Namun pada akhirnya saya harus memilih sikap. Kutukan ini, bagaimanapun akan menghinggapi saya. Dan saya harus menerima itu. Tapi saya menerima dengan senang hati. Lebih jelasnya, saya merayakan kutukan ini. Perkara batas-batas yang tidak bisa saya sentuh, itu bukan urusan saya. 


Saya akan terus berjalan pada lorong gelap dengan penuh kesadaran, dengan berbekal pengetahuan, sebab kita tidak akan pernah tahu di titik mana kita akan menemukan pemantik, lalu menyalakan terang.


Jika Chairil Anwar sambil menghisap rokok pernah menulis “nasib adalah kesunyian masing-masing”,  maka mungkin juga tidak ada salahnya bila saya bilang bahwa “pengetahuan adalah kutukan masing-masing”


Selamat merayakan.