Ini gambar Mas Bro. Gambar diambil dari sini |
Namanya adalah RZ Hakim. Tapi kawan-kawan biasanya cukup memanggilnya
Mas Bro. Ia pribadi yang ramah. Kawannya tersebar di mana-mana. Dia bisa masuk
ke semua golongan dengan sikap yang tidak dibuat-buat. Mas Bro dikenal sebagai
pecinta alam yang militan, musisi yang konsisten berkarya, penulis yang gigih, blogger yang tidak angin-anginan dan
sejarawan muda yang tekun mencatat renik-renik peristiwa agar tidak kabur dari
ingatan.
Perkenalan saya dan Mas Bro
bermula di sebuah portal tulisan di internet yang memuat semangat citizen journalism. Saat itu, saya menulis soal Njoto, tokoh
sentral PKI yang ternyata pernah menghabiskan masa kecilnya di Jember–dan tidak
banyak orang yang tahu soal itu. Mas Bro kemudian mengirim komentar, saya merespon
dan kemudian menjadi penikmat tulisan-tulisannya.
Selanjutnya saya bertemu Mas
Bro ketika saya didapuk menjadi moderator sebuah diskusi yang dihelat oleh
salah satu lembaga pers mahasiswa di Jember. Saat itu, tema yang dipilih
(lagi-lagi) menyoal citizen journalism.
Dan Mas Bro menjadi pembicara utama. Sebagai
blogger yang sudah lama melanglang
buana di dunia jurnalisme warga, malam itu Mas Bro tampil cukup memukau.
Selalu menyenangkan berbicara dengan Mas Bro.
Wawasannya luas, pola pikirnya fleksibel, pemilihan katanya hati-hati dan
orangnya objektif. Di samping menghormatinya sebagai pribadi biasa, saya juga
menaruh hormat pada Mas Bro yang peka dan teguh menyuarakan isu-isu lingkungan.
Saya juga salut pada sikap ajeg yang ia pelihara dalam menulis. Tulisannya
cerkas, tidak bertele-tele, serta terus
memelihara laku menulis secara rutin. Di samping itu semua, saya juga
menghormati Mas Bro sebagai seorang sejarawan muda yang tekun.
Sejarah,
Pohon dan Kesadaran
“Kata Sejarah berasal dari
bahasa Arab: sajaratun, yang artinya adalah pohon,” kata Mas Bro suatu ketika.
Saya mendengarkan dengan sungguh-sungguh.
“Ibarat pohon, sejarah itu ilmu
yang kuat. Akarnya menghujam ke tanah, dahan dan rantingnya menyeruak ke udara
sekitarnya. Sejarah adalah ilmu yang tidak akan bisa dipisahkan dari kehidupan
manusia, “ imbuhnya.
Mas Bro menjelaskan dengan
perlahan, saya menyimak dengan seksama. Waktu itu saya memintanya mengisi kelas
Akademi Berbagi (Akber) Jember yang membahas tentang “Menulis Sejarah Kota”.
Mas Bro memang intens menulis
tentang sejarah kota Jember. Dengan gigih dia berjalan ke tempat terpencil,
mengumpulkan data, menggali keterangan melalui upaya reportase dan riset ala
kadar. Semua itu bermuara agar remah-remah informasi yang dihimpun tetap membentuk sebuah wajah
kota Jember yang telah melalui banyak hal penting dan bernilai–tidak
lenyap didera arus deras informasi lain yang datang bertubi-tubi.
Ia bisa menjelaskan sejarah
Jember dengan sangat kompleks. Mulai dari asal-usul kota Jember yang banyak
versi, toponimi desa-desa di Jember, hubungan undang-undang agraria dengan
pembentukan kota Jember, sampai pemberontakan
yang ditumpas oleh Gajah Mada di Puger (salah satu kawasan pesisir di Jember). Dari soal periodisasi sampai kisah-kisah unik yang terjadi di
balik peristiwa besar yang terjadi, semuanya Mas Bro kuasai.
Yang terpenting, Mas Bro
melakukan itu secara sadar, tanpa adanya intervensi dengan pihak manapun. Ia
melakukan itu semata-mata karena ia
mencintai kota Jember.
“Kalau bukan kita yang
melakukannya, siapa lagi?” tanyanya lirih.
Pribadinya yang menyenangkan,
integritasnya yang dikenal kokoh, pergaulannya yang luas, membuatnya mudah
masuk ke semua kaum. Dia diterima semua orang. Dari akademisi sampai preman,
dari pengangguran sampai loper koran.
Pernah suatu saat dia mengajak
mengunjungi salah satu situs penting di kota Jember yang tidak diketahui banyak
orang. Katanya, “Tapi kita akan masuk ke kawasan preman dan perjudian. Tolong
nanti jangan memotret. Bisa-bisa aku yang dimarahi oleh mereka”.
Terlalu banyak sebenarnya yang
ingin saya tuliskan soal Mas Bro, tapi lebih baik, silakan berkenalan dengan
Mas Bro di sini.