Selasa, 28 Mei 2013

Guru



 
Gambar diambil dari sini


Ketika kecil, cita-cita saya kerap berganti. Pernah saya mengangankan menjadi seorang arsitek. Rasanya, nikmat sekali hidup dengan merancang gambar rumah, gedung, dan monumen-monumen. Saya juga pernah membayangkan mengisi usia dewasa saya dengan membuka toko bunga. Mengandaikan indahnya berinteraksi dengan pelanggan, berdiskusi soal bunga dan tanaman hias, atau menikmati keintiman menyiram bunga dengan menghirup semerbak bau tanah. Saya juga pernah menaruh cita-cita menjadi seorang komikus. Bekerja di dalam studio, sehari-hari menghadapi pucatnya kertas kosong, berpikir sinematografis, menggurat pensil, merancang panel demi panel, atau merasakan debar jantung saat meninta sketsa. Tapi semuanya tidak ada yang kesampaian. 

Selain hal itu semua, saya pernah memimpikan menjalani hidup menjadi seorang penebar ilmu pengetahuan. Lebih sederhananya, saya pernah bercita-cita menjadi guru atau seorang dosen. 

Saya membayangkan betapa menariknya berdiri di depan kelas. Menuang pelan-pelan pemahaman ke dalam bejana para pencari ilmu. Berdiskusi dengan murid, merayakan gairah keilmuan yang meluap-luap bersama  mereka, memberi inspirasi, sekadar cangkrukan bareng di kantin, atau menjadi kawan terbaik mereka di universitas atau di sekolah. 

Sudah terpancang dalam pikiran saya, bagaimana pola saya mengajar. Saya  akan sebisa mungkin tidak menerima mentah-mentah sistem pendidikan yang sudah berjalan. Saya tidak akan hanya mendidik, saya akan membagi inspirasi. Saya juga akan sebisa mungkin menghindari memberikan hal yang ruwet bagi murid saya. Buat saya seorang guru seharusnya senantiasa menjadi sosok yang menjaga etos to simplify complex things. Menyalin perihal yang ruwet menjadi perkara yang sederhana. Ketidakmengertian murid adalah kegelapan, dan guru bertugas mengusirnya. Memberikan hal-hal yang ruwet tidak akan menambah titik terang barang sedikitpun. Sedang guru berasal dari bahasa Sansekerta, gu artinya kegelapan dan ru artinya menghilangkan. 

Mungkin saya perlu belajar banyak pada mendiang  Ivan illich. Dia adalah seorang penentang sistem pendidikan di daerah Amerika Latin yang dirasanya sudah kelewat carut marut.  Bagi Illich, sistem pendidikan di daerahnya adalah omong kosong yang gagal mengatasi segenap ketimpangan sosial. 

Sejatinya Ivan tidak pernah menganjurkan penghapusan sekolah. Ia hanya ingin agar anak-anak dibebaskan dari sistem pendidikan umum yang dirasanya hanya sekadar menjadi belenggu. Kegagalan sistem sekolah ini karena sekolah hanya menjalankan tiga buah fungsi pokok: (1) menjadi gudang  mitos masyarakat; (2) melembagakan kontradiksi dalam mitos tersebut; (3) menyelubungi mitos tersebut dengan realitas. 

Mitos ini akhirnya menjadi semacam ketakutan yang turun temurun. Bahwa sekolah secara lembaga dianggap satu-satunya laboratorium tunggal  yang menentukan keberhasilan anak mengarungi perjalanan hidupnya kelak. Nilai ujian akhirnya dianggap lebih penting daripada nilai-nilai kehidupan.  Saya tidak ingin menjadi guru yang merupakan bagian dari upaya mewariskan mitos tersebut. 

Saat saya bercita-cita menjadi guru, saya membayangkan menjadi guru seperti   John Keating dalam  film Dead Poet Society. Atau menjadi kepala sekolah seperti  AS Neill di Summerhill School yang legendaris itu. Saya ingin menjadi guru yang menginspirasi macam mereka. Mendidik, bukan sekadar mengajar. 

Sebelum menjadi guru, saya ingin kuliah di tempat-tempat yang jauh. Berkeliling. Menjadi pejalan. Menjadi penjelajah. Lalu pulang ke kota asal. Mengajar di universitas kecil atau justru di sekolah-sekolah di desa. 

Tapi nasi sudah menjadi lontong. Dan lontong sudah diolah menjadi lontong sayur. Perjalanan hidup ternyata mengarahkan saya untuk tidak berprofesi sebagai guru atau dosen. Meskipun demikian, minat saya menjadi guru atau dosen masih ada.  Sampai sekarang. 

Serangan Balik

Saya sangat senang melihat fenomena dunia pendidikan belakangan.  Banyak sekali gerakan alternatif yang diciptakan orang-orang keren untuk melawan silang sengkarutnya sistem pendidikan formal. Kelas-kelas  softskill yang digelar tanpa bayar dan ramah, sekolah-sekolah non formal yang dikemas semenyenangkan mungkin, donatur yang melimpah, sampai banyaknya relawan yang membuktikan bahwa masih ada yang peduli dengan kegagalan dan kekonyolan sistem pendidikan formal.

 Maka ketika beberapa kawan mencibir sebuah gerakan mengajar di tempat-tempat yang terpencil (sebab ditengarai ada sokongan dana dengan kepentingan tertentu), saya tetap memilih mengapresiasi. Buat saya, bagaimanapun itu membawa dampak yang bagus. Sisanya hanya sekadar perkara pilihan untuk bergabung atau tidak. Buat saya gerakan-gerakan alternatif tadi–apapun namanya–adalah sebuah serangan balik yang masif terhadap kekacauan sistem pendidikan yang terjadi. 

Serangan balik ini pada akhirnya menjadi arus sistem pendidikan gaya baru yang alirannya kian deras. Setiap orang bisa menjadi guru sekaligus menjadi murid, dengan caranya sendiri-sendiri. Dengan pilihannya sendiri, tanpa dipaksa. Pilihan yang bertolak dari kesadaran bahwa pendidikan itu penting. Dan di balik pentingnya pendidikan itu, menganggap sekolah formal yang ada sebagai satu-satunya tempat belajar dan pemberi panduan utama menjalani hidup, hanyalah akan menciptakan manusia yang mirip zombie.  

Saya memilih ikut dalam arus serangan balik ini, sebab saya tidak akan kuat jika berjalan sendirian. Selain berpeluang tersesat, saya bisa juga berhenti di tengah jalan, ikut-ikutan apatis, lalu hanya mengutuk. 


Rasanya, semua sudah mahfum terhadap sistem pendidikan formal yang kacau di negeri tempat kita belajar ini. Tapi jalan keluarnya bukan dengan mencari kambing hitam, apalagi kambing tetangga. Setiap orang bisa menjadi guru dalam skalanya masing-masing. Menjadi guru  berarti  menjadi pengusir gelap dengan  mengambil bagian sesuai porsi yang dirasa cukup, lalu berhenti mengutuki gelap. 


Sebab sebagaimana diucap oleh Ludwig Witgenstein, seorang pemikir dari Jerman, “Jika yang kamu miliki hanyalah palu, segalanya akan tampak seperti paku”. 


Ah, saya jadi menggurui semacam ini. Maafkan saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar