Gambar diambil dari sini |
Ketika kecil, cita-cita saya
kerap berganti. Pernah saya mengangankan menjadi seorang arsitek. Rasanya,
nikmat sekali hidup dengan merancang gambar rumah, gedung, dan monumen-monumen.
Saya juga pernah membayangkan mengisi usia dewasa saya dengan membuka toko
bunga. Mengandaikan indahnya berinteraksi dengan pelanggan, berdiskusi soal
bunga dan tanaman hias, atau menikmati keintiman menyiram bunga dengan
menghirup semerbak bau tanah. Saya juga pernah menaruh cita-cita menjadi
seorang komikus. Bekerja di dalam studio, sehari-hari menghadapi pucatnya
kertas kosong, berpikir sinematografis, menggurat pensil, merancang panel demi
panel, atau merasakan debar jantung saat meninta sketsa. Tapi semuanya tidak
ada yang kesampaian.
Selain hal itu semua, saya pernah
memimpikan menjalani hidup menjadi seorang penebar ilmu pengetahuan. Lebih sederhananya,
saya pernah bercita-cita menjadi guru atau seorang dosen.
Saya membayangkan betapa
menariknya berdiri di depan kelas. Menuang pelan-pelan pemahaman ke dalam
bejana para pencari ilmu. Berdiskusi dengan murid, merayakan gairah keilmuan
yang meluap-luap bersama mereka, memberi
inspirasi, sekadar cangkrukan bareng
di kantin, atau menjadi kawan terbaik mereka di universitas atau di sekolah.
Sudah terpancang dalam pikiran
saya, bagaimana pola saya mengajar. Saya akan sebisa mungkin tidak menerima
mentah-mentah sistem pendidikan yang sudah berjalan. Saya tidak akan hanya
mendidik, saya akan membagi inspirasi. Saya juga akan sebisa mungkin menghindari memberikan
hal yang ruwet bagi murid saya. Buat saya seorang guru seharusnya senantiasa
menjadi sosok yang menjaga etos to
simplify complex things. Menyalin perihal yang ruwet menjadi perkara yang
sederhana. Ketidakmengertian murid adalah kegelapan, dan guru bertugas
mengusirnya. Memberikan hal-hal yang ruwet tidak akan menambah titik terang
barang sedikitpun. Sedang guru berasal dari bahasa Sansekerta, gu artinya kegelapan dan ru artinya menghilangkan.
Mungkin saya perlu belajar
banyak pada mendiang Ivan illich. Dia
adalah seorang penentang sistem pendidikan di daerah Amerika Latin yang
dirasanya sudah kelewat carut marut. Bagi Illich, sistem pendidikan di daerahnya
adalah omong kosong yang gagal mengatasi segenap ketimpangan sosial.
Sejatinya Ivan tidak pernah
menganjurkan penghapusan sekolah. Ia hanya ingin agar anak-anak dibebaskan dari
sistem pendidikan umum yang dirasanya hanya sekadar menjadi belenggu. Kegagalan
sistem sekolah ini karena sekolah hanya menjalankan tiga buah fungsi pokok: (1)
menjadi gudang mitos masyarakat; (2)
melembagakan kontradiksi dalam mitos tersebut; (3) menyelubungi mitos tersebut
dengan realitas.
Mitos ini akhirnya menjadi
semacam ketakutan yang turun temurun. Bahwa sekolah secara lembaga dianggap satu-satunya
laboratorium tunggal yang menentukan
keberhasilan anak mengarungi perjalanan hidupnya kelak. Nilai ujian akhirnya
dianggap lebih penting daripada nilai-nilai kehidupan. Saya tidak ingin menjadi guru yang merupakan
bagian dari upaya mewariskan mitos tersebut.
Saat saya bercita-cita menjadi
guru, saya membayangkan menjadi guru seperti
John Keating dalam film Dead Poet Society. Atau menjadi kepala
sekolah seperti AS Neill di Summerhill
School yang legendaris itu. Saya ingin menjadi guru yang menginspirasi macam
mereka. Mendidik, bukan sekadar mengajar.
Sebelum menjadi guru, saya
ingin kuliah di tempat-tempat yang jauh. Berkeliling. Menjadi pejalan. Menjadi
penjelajah. Lalu pulang ke kota asal. Mengajar di universitas kecil atau justru
di sekolah-sekolah di desa.
Tapi nasi sudah menjadi
lontong. Dan lontong sudah diolah menjadi lontong sayur. Perjalanan hidup
ternyata mengarahkan saya untuk tidak berprofesi sebagai guru atau dosen. Meskipun
demikian, minat saya menjadi guru atau dosen masih ada. Sampai sekarang.
Serangan
Balik
Saya sangat senang melihat
fenomena dunia pendidikan belakangan.
Banyak sekali gerakan alternatif yang diciptakan orang-orang keren untuk
melawan silang sengkarutnya sistem pendidikan formal. Kelas-kelas softskill
yang digelar tanpa bayar dan ramah, sekolah-sekolah non formal yang dikemas
semenyenangkan mungkin, donatur yang melimpah, sampai banyaknya relawan yang
membuktikan bahwa masih ada yang peduli dengan kegagalan dan kekonyolan sistem
pendidikan formal.
Maka ketika beberapa kawan mencibir sebuah gerakan mengajar
di tempat-tempat yang terpencil (sebab ditengarai ada sokongan dana dengan
kepentingan tertentu), saya tetap memilih mengapresiasi. Buat saya, bagaimanapun
itu membawa dampak yang bagus. Sisanya hanya sekadar perkara pilihan untuk
bergabung atau tidak. Buat saya gerakan-gerakan alternatif tadi–apapun namanya–adalah
sebuah serangan balik yang masif terhadap kekacauan sistem pendidikan yang terjadi.
Serangan balik ini pada
akhirnya menjadi arus sistem pendidikan gaya baru yang alirannya kian deras.
Setiap orang bisa menjadi guru sekaligus menjadi murid, dengan caranya
sendiri-sendiri. Dengan pilihannya sendiri, tanpa dipaksa. Pilihan yang
bertolak dari kesadaran bahwa pendidikan itu penting. Dan di balik pentingnya
pendidikan itu, menganggap sekolah formal yang ada sebagai satu-satunya tempat belajar
dan pemberi panduan utama menjalani hidup, hanyalah akan menciptakan manusia
yang mirip zombie.
Saya memilih ikut dalam arus
serangan balik ini, sebab saya tidak akan kuat jika berjalan sendirian. Selain berpeluang
tersesat, saya bisa juga berhenti di tengah jalan, ikut-ikutan apatis, lalu
hanya mengutuk.
Rasanya, semua sudah mahfum
terhadap sistem pendidikan formal yang kacau di negeri tempat kita belajar ini.
Tapi jalan keluarnya bukan dengan mencari kambing hitam, apalagi kambing
tetangga. Setiap orang bisa menjadi guru dalam skalanya masing-masing. Menjadi
guru berarti menjadi pengusir gelap dengan mengambil bagian sesuai porsi yang dirasa
cukup, lalu berhenti mengutuki gelap.
Sebab sebagaimana diucap oleh
Ludwig Witgenstein, seorang pemikir dari Jerman, “Jika yang kamu miliki hanyalah palu, segalanya akan tampak seperti paku”.
Ah, saya jadi menggurui semacam
ini. Maafkan saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar