Saya
masih mengenang hari itu. Dua tahun yang lalu. Sebuah sore di hari Sabtu, di
sebuah selasar warung-warung yang sederhana, di halaman belakang kampus FISIP
Universitas Jember. Dibantu Cak Oyong dan Rahmad, saya mempersiapkan kelas
pertama Akademi Berbagi (Akber) Jember . Kami bertiga adalah relawan pertama
Akber Jember. Ditambah lagi satu orang bernama Arman Dhani yang waktu itu
datang ke kelas pertama dengan wajah kusut usai bangun tidur.
Usai
bersiap-siap, saya duduk dengan menggenggam secangkir kopi. Kopi saya hampir
dingin, disaput kecemasan. Bangku-bangku berderet kosong. Saya melirik arloji
di tangan kanan. Berharap detik melambat, agar waktu merambat pelan. Agar kelas
tak segera dimulai, karena belum ada yang datang. Saya melirik kepada Rahmad
dan Dhani—mencoba menebak perasaan mereka, sambil mengutak-atik laptop.
Pelan-pelan,
kecemasan saya menghilang ketika satu per satu peserta kelas hadir. Walau kelas
tidak terisi penuh sesak, tapi itu melegakan saya. Kecemasan saya benar-benar
hilang ketika melihat pemuda yang mengenakan kemeja flanel berwarna biru datang menuju kelas. Dia adalah Ayos—guru
kelas kala itu, yang datang dengan sedikit tergopoh karena menyadari dirinya
terlambat.
Sebuah
kelas perdana yang tidak buruk, menurut saya. Secara umum, semuanya berjalan dengan
lancar. Ayos bicara banyak tentang creative
writing, saya menjadi moderator, Arman Dhani mengetik untuk kultwit, Rahmad
berbaur di antara peserta kelas untuk memfasilitasi peserta
kelas. Kelas perdana usai, kecemasan saya menghilang tanpa bekas.
Time flies so fucking fast. Itu
sudah dua tahun yang lalu. Setelah kelas perdana itu, Akber Jember terus
berjalan dengan segala dinamika perjalanannya. Hingga kini. Tentu saja banyak
hal yang tidak mengenakkan terjadi. Beberapa relawan kemudian “berhenti”.
Selanjutnya hanya tersisa saya dan Cak Oyong. Jadwal kelas juga menjadi tidak
teratur. Tapi saya dan Cak Oyong memilih untuk tetap berjalan. Toh, dari Akber Jember, saya juga
mendapatkan banyak hal. Mulai dari relasi,
ilmu, wawasan, kepekaan sosial, dan banyak hal lagi. Sehingga pilihan berhenti
kami benamkan dalam-dalam.
Tadi
kami merayakan ulang tahun Akber Jember yang ke-2. Sebenarnya, saya adalah
orang yang kurang begitu peduli dengan perkara seremonial, semacam perayaan
ulang tahun. Perkara itu, saya selalu mengusung apologi bahwa semua hari harus
dikhidmati dengan laku yang sebaik-baiknya. Carpe
diem adalah mantra yang harus dirapal setiap hari. Sehingga perihal
perayaan ulang tahun, adalah urusan yang sekadar menyentuh permukaan dan
niresensi. Tapi sisi lain dalam diri saya juga kerap membantah. Tak ada
salahnya merayakan momen-momen penting, termasuk ulang tahun. Bukan sekadar
bergenit-genit. Namun menjadikannya sebagai pengingat. Tak bisa dipungkiri,
kenangan adalah tonggak yang diciptakan manusia untuk melawan kutukan hidup
bernama lupa.
Sekarang
wajah Akber Jember sudah berubah, kendati masih mengusung nilai-nilai yang
sama. Akber Jember sekarang lebih “segar”. Suntikan ide dan kreativitas dari
relawan-relawan baru yang hadir setelah saya dan Oyong, menjadi sebabnya.
Bagaimanapun, hal itu harus diakui dan diapresiasi. Niat baik mereka untuk
memberi sumbangsih buat Akber Jember harus diberi ruang. Saya banyak belajar
dari mereka. Saya juga memutuskan mundur dari posisi kepala sekolah untuk
belajar dipimpin.
Langkah
Akber Jember kini lebih tegap, tak lagi gontai. Jadwal kelasnya lebih teratur.
Akber Jember juga lebih bisa diterima dan lebih dikenal khalayak. Kendati tentu
saja, perjalanannya juga tak sekadar berisi hal-hal yang sesuai dugaan.
Tentu
saja saya menaruh harapan kepada Akber Jember. Agar mereka yang tergabung di
dalamnya dapat lebih saling menguatkan sehingga perjalanan bisa ditempuh kian
jauh, kian memberi makna.
Usai
kelas Akber Jember, saya menulis catatan ini. Sebelumnya saya membaca kompilasi
catatan perjalanan beberapa penulis yang kini sedang populer. Di
halaman-halaman belakang, saya menemukan dialog yang unik dari catatan Windy
Ariestanty yang berjudul Menerjemahkan
Bahagia
“Jadi, berapa persen kamu mencintai Ubud?”“Hm, tujuh puluh persen. Tiga puluh persennya untuk rasa ‘merindukan’”
Saya
tersenyum membaca dialog itu. Membayangkan ketika kelak ada yang bertanya
kepada saya, “Berapa persen kamu
mencintai Akber Jember?”, mungkin saya kan menjawab dengan jawaban yang
mirip.
Tujuh
puluh persen adalah jawaban yang realistis. Sisanya saya anggarkan untuk
perasaan ketika menyambangi tonggak-tonggak pengingat bernama kenangan, untuk
kegelisahan-kegelisahan, serta untuk harapan agar perjalanan menjadi lebih
baik.
Ibarat
kue, tujuh puluh persen adalah kue yang komposisinya pas. Tidak terlalu banyak
pemanis yang menggemukkan. Tapi tetap enak dimakan dan mengenyangkan.
Tujuh
puluh persen barangkali adalah kue ulang tahun dari saya untuk Akber Jember.
Selamat
ulang tahun, Akber Jember..