Sabtu, 24 November 2012

Gelas yang Kosong



Dulu, dalam suatu kesempatan, saya pernah berbincang dengan seorang kawan. Waktu itu, kami sedang membahas soal kasus gawat darurat jantung yang kami jumpai di sebuah rumah sakit. Saya lalu bertanya tentang bagaimana seharusnya prosedur tetap (protap) penanganan kasus  yang kami jumpai itu. Kawan saya tidak menjawab pertanyaan saya.

“Orang seperti kamu adalah orang yang berbahaya,” ujar kawan saya.

“Kenapa?” saya balas bertanya.

“Kamu orang yang selalu haus. Kamu hanya pura-pura,” kata kawan saya.

Kondisi saya waktu itu memang tidak mengetahui apa yang saya saya tanyakan. Tapi kawan saya menganggap saya hanya sekadar pura-pura tidak tahu, agar saya mendapatkan masukan informasi lebih banyak. Oleh karena itu, dia menganggap saya adalah orang yang berbahaya. Karena baginya, saya adalah orang yang “rakus”. Padahal saya memang benar-benar tidak tahu apa yang saya tanyakan.

Namun saya akhirnya meyadari, bahwa tak jadi soal apa yang menjadi asumsi kawan saya. Karena mulai saat itu, saya belajar satu hal yang penting: jika ingin menikmati minum anggur, kosongkan dulu gelasnya.



Saya percaya bahwa sifat ilmu mirip dengan sifat air. Ia hanya akan mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah. Dari hati yang tinggi menuju hati yang rendah. Dan sebagaimana air, ia akan menempati gelasnya sendiri-sendiri. Anggur yang mahal dan berkelas, tetap bisa menempati gelas dari kayu sekalipun. Syarat pertama, gelas itu harus lebih rendah posisinya dari anggur yang dituang. Dan syarat kedua, gelas itu harus kosong. Gelas mahal dari emas sekalipun, bila ia tidak kosong dan posisinya lebih tinggi dari posisi anggur, tidak akan bisa menampung  anggur dengan baik.

Saya lantas teringat sebuah lakon wayang yang berjudul Dewa Ruci. Di lakon itu, dikisahkan Bima, ksatria Pandawa yang dikenal paling susah mengendalikan diri itu, diharuskan menjalani sebuah perjalanan spiritual. Perjalanan itu sendiri pada akhirnya berhasil membuat Bima menemukan “tuhan”. Keberhasilan Bima ini karena ksatria yang konon tidak pernah duduk kecuali di hadapan ibunya itu lebih mengedepankan ketidaktahuannya dalam menghadapi perjalanannya. Bukan mengedepankan pengetahuannya.

Tuhan berhasil Bima temukan dengan mengeksplorasi kebodohan-kebodohannya sendiri. Semakin manusia tidak mengerti, semakin ia menemukan keagungan Tuhan. Kira-kira begitu pesan dari lakon Dewa Ruci. Sebagai lambang hikmah yang ia temukan dari perjalanannya, Bima mengenakan gelung (mahkota) yang diberi nama Minangkara. Gelung ini bentuknya kecil di bagian depan dan  besar di bagian belakang kepala. Itu sebagai simbol, bahwa Bima tidak boleh merasa sombong dan tahu segalanya. Justru sebaliknya, ia harus terus merasa bodoh, “menyembunyikan” pengetahuannya di belakang, dan mengedepankan ketidakmengertiannya. Jangan memenuhi gelas terlebih dahulu saat menuntut ilmu.

Stay hungry, stay foolish adalah motto milik Steve Jobs, sosok jenius di balik perusahaan teknologi komputer Apple. Motto itu semakin terasa efek dramatisnya karena diucapkan Jobs beberapa waktu sebelum ia meninggal dunia. Motto itu seakan menjadi sebuah wasiat Jobs kepada “umat”-nya.

Produk-produk Apple memang sesuai dengan motto Jobs tadi. Produk-produk Apple selalu gigih  berinovasi dan mencari terobosan. Selalu merasa “lapar” mencari cara dalam upaya mereka mencapai teknologi komputer dan multimedia yang terus berkembang memenuhi tuntuan kemauan manusia. Produk Apple juga dikenal dengan kesederhanaannya. Simple dan elegan. Bukan produk yang genit memoles tampilan. Tapi produk yang terus mendesain fungsi. Sebagaimana Jobs imani bahwa inti desain bukanlah persoalan estetika, tapi persoalan bagaimana memenuhi fungsi sesuai kebutuhan.

Manusia adalah makhluk yang dituntut terus melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan sekitarnya. Terus belajar. Manusia adalah makhluk pembelajar. Homo Ludens. Artinya proses belajar berlangsung terus menerus.  Dan kita harus sering mengosongkan gelas kita.

Kata petuah jawa, urip mung numpang ngombe. Hidup hanyalah menumpang minum. Jika memang demikian, mari menikmati apa yang kita minum setiap hari. Dan itu hanya bisa kita lakukan dengan sering mengosongkan gelas.

Mari bersulang!


Sabtu, 17 November 2012

Langkah Seimbang Eri Irawan


"Seorang terpelajar harus berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan.."
                                                                                          –Pramoedya Ananta Toer              

Dulu, sebelum bersinar terang di Jawa Pos, Dahlan Iskan, Menteri BUMN yang sekarang itu, pernah mengasah dirinya dengan bergabung bersama majalah TEMPO. Bahkan dia sempat menjadi Kepala Biro TEMPO untuk Jawa Timur yang berkedudukan di Surabaya. Di TEMPO, Dahlan mengaku banyak belajar dari orang-orang hebat yang memimpin TEMPO. Salah satunya adalah Pemimpin Redaksi TEMPO yang legendaris, Goenawan Mohamad. 

Dahlan mengakui, bahwa sosok semacam Goenawan Mohamad adalah manusia yang langka. GM, begitu Goenawan Mohamad dipanggil, adalah pribadi yang susah ditemui padanannya. GM adalah  manusia yang lengkap: dia intelektual, dia budayawan, dia seniman, dia wartawan, dia manajer. Label yang dia miliki mensyaratkan keseimbangan yang luar biasa. Dia secara mahir mampu menjaga keseimbangan antara cara berpikir yang “liar” (sebagai seniman dan budayawan) dengan cara berpikir yang “sistematis” (sebagai jurnalis dan manajer). Sangat susah menjaga keseimbangan cara berpikir yang bertentangan macam itu. Maka sebutan “manusia langka” untuk GM itu tepat, memang.

Namun, beruntunglah saya akhirnya bisa bertemu dengan manusia tipikal macam itu. Bahkan, saya bisa belajar banyak dari dia. Namanya, Mohammad Eri Irawan. 

Eri Irawan saat masih imut :D


Beberapa tahun yang lalu, ketika saya masih belum mengenal Eri, saya chatting dengan salah satu jurnalis dari kota Jember. Dengan sok akrab, saya menyapa jurnalis itu. Meminta kesediaannya untuk mengajari saya menulis dan berdiskusi soal banyak hal. Mungkin karena dia sibuk, dia menolak secara halus permintaan saya. Tapi dia menyodorkan satu nama untuk membantu saya. 

“Sampeyan hubungi saja Eri Irawan. Kenal?” tanyanya. 

“Gak, mas,” jawab saya singkat. 

Kemudian jurnalis itu sempat memplesetkan bahwa nama  lengkap  Eri adalah (Goenawan) Mohammad  Eri Irawan. Tentu saja, jurnalis itu bermaksud memberi persamaan antara Mohammad Eri Irawan dengan Goenawan Mohamad. Saya semakin tertarik, kemudian saya searching soal Eri Irawan. 

Eri memang memukau. Dari gaya menulis, ia memang memiliki kemiripan dengan gaya GM. Pemilihan kalimat yang pendek dan efektif, terkadang memilih diksi yang jarang dan unik, sampai pada upaya permenungan yang dalam sekaligus liris. 

Tak hanya dari gaya penulisan, setelah saya mengenal Eri, saya semakin yakin bahwa Eri memang memiliki kemiripan dengan Goenawan Mohamad. Katakanlah saya berlebihan, mungkin. Tapi memang demikian keadaannya. Eri, sebagaimana GM adalah orang-orang langka yang mampu berjalan seimbang pada dua arus deras yang mengalir bertentangan. 

Eri adalah penulis muda yang produktif. Tulisan-tulisannya rajin singgah di harian-harian nasional. Apalagi tulisan yang menyangkut latar belakang pendidikannya: ekonomi. Tak hanya itu, tulisan Eri soal sepakbola juga rutin muncul di koran. Apalagi saat berlangsung pentas sepakbola akbar macam Piala Dunia dan Piala Eropa. Lagi-lagi, Eri melihat sepakbola dengan kacamata ekonomi. Tapi Eri bukan hanya piawai menulis soal ekonomi. Ia mampu menulis soal humaniora dengan pendekatan prosa yang estetis.

Semasa kuliah ekonomi, Eri tergolong sprinter. Studi di Fakultas Ekonomi dia tempuh tidak sampai empat tahun. Padahal, Eri tergolong sibuk di kampus. Ia pernah menjadi Pemimpin Umum kelompok pers mahasiswa di Fakultas Ekonomi Universitas Jember. Semasa kuliah, ia juga aktif di percaturan aktivisme mahasiswa. 

Kini dia merambah dunia konsultan strategi komunikasi pemasaran. Di usia yang masih terbilang sangat muda, dia sudah memiliki perusahaan yang bergerak di bidang pelatihan dan konsultasi komunikasi pemasaran.  Eri memiliki kemampuan manajemen  yang sangat baik. Dia pernah berseloroh pada saya, “Manajemen, secara kasar, hanyalah perkara bagaimana memanfaatkan orang lain untuk mencapai tujuanmu.”

Eri adalah pemamah buku yang lahap dan rakus, tapi tidak pelit. Tulisan-tulisan Eri menunjukkan bahwa wacana yang dia miliki sangat luas dan urat baca yang dia miliki sangat liat. Tapi Eri juga gemar berbagi buku. Seringkali dia memberi donasi buku kepada kawan-kawan. Sedikit? Buku-buku hasil sumbangan Eri bisa berkardus-kardus. 

Hal penting yang saya pelajari dari Eri adalah kendati dia memiliki kapabilitas untuk berjalan dengan seimbang pada dua arus berlawanan, dia tetap konsisten menjaga fokus. Ia fokus memposisikan dirinya sebagai ahli ekonomi. Konsentrasinya belakangan tentang komunikasi pemasaran pun, tak lepas dari positioning-nya di bidang ekonomi. Kemampuan Eri di bidang yang lain, wacananya yang luas, serta kepekaan literasinya, tidak lantas mengurangi fokusnya di bidang ekonomi. Malah sebaliknya itu jadi penyokong kualitasnya sebagai seorang yang ahli di bidang ekonomi.

Barangkali, kuncinya adalah sikap adil. Adil berarti meletakkan sesuatu pada tempatnya. Tahu mana hal yang penting, tahu mana hal yang kurang penting. Proporsional. Eri Irawan maupun GM adalah orang-orang tipikal macam ini. Sehingga mereka tetap berjalan seimbang. Apapun arusnya.

 Eri adalah orang yang ­­­­­­­­­­­–meminjam istilah Pramoedya Ananta Toer­­­­­­­­­­­– sudah adil sejak dalam pikiran.

Jumat, 02 November 2012

Kudeta Ingatan


Kepada: Rizki Andriani 


Tak ada yang lebih mengerikan bagi manusia selain keterasingan. Dan barangkali kita mengalaminya kini.

Malam demi malam, dunia seakan kita pindahkan pelan-pelan dengan memencet tombol pengingat bernama masa lalu. Berkali-kali. Berulang-ulang. Yang tersisa hanya kita yang tersekat oleh bayangan sendiri-sendiri.

Malam ini nyaris sampai di ujung. Kata-kata menggantung. Aku masih berpijak pada tanah yang basah oleh nyanyian hujan. Bercampur suara parau yang berteriak di bilik-bilik surau. Hampir subuh. Dan angin semakin dingin, berbisik soal keraguan.

Jika memang masa lalu terlampau suram oleh gelap dan masa depan terlalu silau terang, maka biarlah aku menawarkan masa sekarang yang remang.  Masa kini yang teduh oleh upaya saling memaafkan. Toh, kita masih tetap bisa saling bergandeng tangan. 

Hidup yang indah adalah hidup yang penuh paradoks, mungkin. Semisal perkara yang harus kau ingat, bahwa kebahagiaan terkadang hadir saat kita lalai mengingat.