Minggu, 13 Maret 2016

Narsis Sejak Dalam Pikiran




Gambar diambil dari sini


Banyak orang yang bilang, dengan sikap yang biasa saja atau justru dengan sok bijak, bahwa hidup adalah pilihan. Setiap saat manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan dan keputusan-keputusan, termasuk keputusan untuk tidak membuat keputusan dan pilihan untuk tidak memilih sekalipun.  Jika memang benar hidup adalah persoalan semacam itu, lalu bagaimana sesungguhnya proses pembuatan keputusan itu berlangsung?

Beberapa hari yang lalu, saya menonton sebuah program acara televisi yang digagas oleh salah satu kanal siaran luar negeri. Kanal ini memang mengkhususkan diri untuk membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan eksplorasi ilmu pengetahuan dari banyak sisi. Selo banget lah pokoknya. Jauh berbeda dengan kesibukan kanal-kanal televisi kita yang sibuk dan ramai membahas tentang drama-drama politikus, pelestarian musik lokal—konon begitu—dengan kontes yang terlalu banyak komentar, serta renik-renik kehidupan pribadi para pesohor—dari tingkepan sampai acara babaran pun diliput. Kita tidak semenganggur penggagas acara yang saya tonton, acara yang mengupas bagaimana otak bekerja untuk menuntun manusia membuat keputusan-keputusan terhadap pilihan-pilihan yang dihadapi. Kok ya sempat.

Di program tersebut, dilakukan sebuah eksperimen sederhana yang melibatkan enam orang relawan yang masing-masing terdiri dari tiga orang lelaki dan tiga orang perempuan. Enam orang tersebut sama-sama dihadapkan pada enam buah tablet elektronik, yang menampilkan slideshow foto wajah orang. Masing-masing layar tablet menampilkan sekitar lima wajah orang yang berbeda. Wajah yang ditampilkan di tablet elektronik tersebut adalah wajah lawan jenis relawan. Sehingga relawan lelaki dihadapkan pada wajah-wajah perempuan di tablet mereka, begitupun sebaliknya. Semua relawan diberi waktu untuk mengamati wajah-wajah di layar tablet, lalu mereka diharuskan memilih satu wajah yang menurut mereka paling menarik.