Gambar diambil dari sini |
Banyak
orang yang bilang, dengan sikap yang biasa saja atau justru dengan sok bijak,
bahwa hidup adalah pilihan. Setiap saat manusia dihadapkan pada pilihan-pilihan
dan keputusan-keputusan, termasuk keputusan untuk tidak membuat keputusan dan
pilihan untuk tidak memilih sekalipun. Jika memang benar hidup adalah persoalan
semacam itu, lalu bagaimana sesungguhnya proses pembuatan keputusan itu
berlangsung?
Beberapa
hari yang lalu, saya menonton sebuah program acara televisi yang digagas oleh
salah satu kanal siaran luar negeri. Kanal ini memang mengkhususkan diri untuk
membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan eksplorasi ilmu pengetahuan
dari banyak sisi. Selo banget lah pokoknya. Jauh berbeda dengan
kesibukan kanal-kanal televisi kita yang sibuk dan ramai membahas tentang
drama-drama politikus, pelestarian musik lokal—konon begitu—dengan kontes yang
terlalu banyak komentar, serta renik-renik kehidupan pribadi para pesohor—dari tingkepan sampai acara babaran pun diliput. Kita tidak
semenganggur penggagas acara yang saya tonton, acara yang mengupas bagaimana
otak bekerja untuk menuntun manusia membuat keputusan-keputusan terhadap
pilihan-pilihan yang dihadapi. Kok ya
sempat.
Di
program tersebut, dilakukan sebuah eksperimen sederhana yang melibatkan enam
orang relawan yang masing-masing terdiri dari tiga orang lelaki dan tiga orang
perempuan. Enam orang tersebut sama-sama dihadapkan pada enam buah tablet
elektronik, yang menampilkan slideshow
foto wajah orang. Masing-masing layar tablet menampilkan sekitar lima wajah
orang yang berbeda. Wajah yang ditampilkan di tablet elektronik tersebut adalah
wajah lawan jenis relawan. Sehingga relawan lelaki dihadapkan pada wajah-wajah
perempuan di tablet mereka, begitupun sebaliknya. Semua relawan diberi waktu
untuk mengamati wajah-wajah di layar tablet, lalu mereka diharuskan memilih
satu wajah yang menurut mereka paling menarik.