Minggu, 28 Juni 2015

Singa dari Rosario





Saya sering mengucap syukur karena betapa saya beruntung hidup di sebuah jaman yang merupakan jaman keemasan seorang Lionel Messi. Mungkin terdapat ribuan—atau lebih tepatnya jutaan—manusia lain di muka bumi yang menyepakati rasa syukur yang saya ucap. Itu semua karena Lionel Messi adalah keajaiban. Empat kali disematkan sebagai pesepakbola terbaik sejagad, mencetak hampir 500 gol dan  menyumbang 182 assist dari 583 pertandingan (sampai tulisan ini dibuat), beragam catatan pecahan rekor, atau permainan yang terlalu sering mengundang decak kagum—bercampur dengan umpatan—karena nyaris tidak percaya dengan apa yang ia lakukan dalam sebuah pertandingan adalah beberapa hal yang membuat Messi sebagai padanan keajaiban sepakbola modern. 

Silakan tuduh saya berlebihan, namun kenyataannya memang demikian. Messi terlalu sarat dengan kelebihan sebagai pesepakbola. Ada baiknya kita menyimak ungkapan beberapa pesohor dalam dunia sepakbola yang tidak kalah lebay dalam mengomentari Messi. Misalnya Arda Turan (pemain Atletico Madrid), yang ketika ditanya siapa pemain terbaik di dunia malah justru menjawab, “Tentu saja pemain terbaik dunia adalah (Cristiano) Ronaldo. Sebab Messi adalah makhluk dari planet lain”.  Hampir mirip dengan Arda Turan, penjaga gawang legendaris Juventus, Gianluigi Buffon, dalam sebuah kesempatan pernah iseng menyentuh pipi Lionel Messi. Kata Buffon, “Saya hanya ingin memastikan dia adalah manusia sebagaimana kita semua”.  Legenda Barcelona, Hristo Stoickhov, bahkan pernah berseloroh bahwa satu-satunya cara menghentikan Messi ketika beraksi di lapangan adalah  menggunakan senapan mesin. Messi adalah Messiah (Juru Selamat) dengan daya magis yang memukau. Tak ayal rekan seklub dan senegaranya, Javier Mascherano, pun memujinya, “Sepakbola telah mengontrol kita semua, tapi Messi adalah yang mengontrol sepakbola”. 

Karena sekian hal itulah, buat saya membicarakan Messi kadang sama halnya membicarakan pemain yang sudah “selesai”. Ia sudah tidak butuh lagi pembuktian apapun untuk mentahbiskan dia sebagai yang terbaik. Di jaman ini, atau mungkin di sepanjang sejarah sepakbola itu sendiri. Bahkan mengingat “dosa”nya yang belum pernah mengantar Argentina memenangkan Piala Dunia pun, ia masih termaafkan mengingat apa yang ia lakukan sepanjang kariernya sebagai pesepakbola. Selalu memerlihatkan visi yang tajam, keahlian mengolah bola yang susah ditandingi, kecepatan yang kerap tak terkejar, kecerdasan di atas rata-rata, kemampuan bermain secara tim, mental bermain yang kokoh, serta komitmen yang tinggi sebagai pesepakbola profesional. 

Tentang hal yang terakhir ini saya teringat cerita bahwa Messi kadang lebih memilih segera kembali ke kamp latihan alih-alih menghabiskan seluruh jatah berliburnya. Ia juga lebih memilih tidur untuk melakukan recharging terhadap tubuhnya daripada melakukan hal lain. Ingat penampilan Messi yang tidak begitu bagus di tahun lalu karena rentetan hantaman cedera yang dideranya? Messi membalas dendam di tahun 2015 dengan menjalani program diet yang teramat ketat demi percepatan perbaikan penampilan. Hasilnya bisa di lihat sendiri, dia adalah pemain teramat vital yang mengantarkan Barcelona merengkuh treble winner tahun ini. 

Melihat Messi bermain bola, saya teringat sebuah tagline yang dikeluarkan oleh salah satu apparel,  yakni “Play the Messi’s Way”. Sebuah tagline yang mengapresiasi bagaimana ia bermain: berani, pantang menyerah dan tidak manja. Messi bukanlah pemain yang nyalinya menciut ketika kakinya terus menerus diincar dengan buas oleh lawan-lawannya. Alih-alih membalas, ia terus berlari, memainkan bola, mencetak gol, dan menang. Ia tidak akan buang-buang waktu untuk melakukan diving atau protes keras kepada wasit. Ia lebih memilih diam, fokus pada pertandingan dan membalas lawan-lawannya dengan melewati mereka sambil meliuk-liuk dengan indah. Seperti singa, dia tidak terlalu banyak mengaum. Ia lebih memusatkan perhatian pada lawan-lawannya, lalu memangsa mereka dengan mencetak  gol atau membuat assist. “Tidak ada yang berubah dari cara saya bermain. Dari waktu saya kecil dan bermain bola di Rosario (Argentina), begitulah gaya saya bermain,” katanya. 

Pep Guardiola, adalah pawang yang mengerti betul bagaimana menjinakkan “singa” bernama Lionel Messi. “Pahamilah ketika dia diam, ciptakan suasana kebersamaan di sekitarnya,  berikanlah dia bola, dan jangan sekali-kali menggantinya,” kata Pep. Pep tahu betul bahwa Messi adalah pemain yang teramat istimewa. Karenanya, Pep juga pernah berkata, “Tak usah menulis tentang dia. Tak usah mendeskripsikan dia. Cukup lihatlah dia bermain”. 

Tapi tentu saja, Lionel Messi adalah singa yang tidak lekas puas dengan pencapaiannya, seistimewa apapun dirinya. Setidaknya, ia ingin berbuat lebih banyak di timnas Argentina. Di timnas, Messi seakan benar-benar menjadi alien yang terlalu sulit dipahami oleh orang lain di sekitarnya. Ia seperti air  yang salah wadah. 

Pelatih timnas Argentina sebagai pawang tidak bisa membuatnya seperti di Barcelona.  Para pawang di timnas Argentina seakan lupa bahwa cara menjinakkan—sekaligus memaksimalkan—Messi adalah dengan menciptakan permainan tim di sekitarnya. Di Barcelona, sebelum dia memporakporandakan barisan pertahanan lawan dan mencetak gol, ia dan rekan-rekannya saling melakukan puluhan passing. Di timnas Argentina kondisinya seakan lain, karena bola (dan harapan)  terlalu banyak diserahkan kepada Messi. 

Tapi sekali lagi, buat saya, Messi adalah pemain yang sudah “selesai”. Ia tidak butuh lagi pembuktian apapun bahwa ia adalah yang terbaik. Sejak saya dibaptis untuk mencintai permainan sepakbola, saya belum pernah melihat pemain yang sehebat dia. Messi mampu membuat “orgasme” mereka yang menonton permainannya. Sampai sekarang saya punya kebiasaan unik. Ketika penat, saya sering menonton ulang video-video yang merekam kehebatan Messi di lapangan hijau. Rasanya menenangkan dan saya seperti tidak pernah bosan. Sepakbola kadang bisa menjadi obat. Dan Lionel Messi adalah dokter yang hebat.