Gambar diambil dari sini |
Aku berterimakasih untuk Minggu
pagi yang hangat, udara yang berwarna biru tosca dan beraroma vanila,
serta jarum jam dinding yang bergulir
terburu-buru. Cuaca seperti berganti dalam kamar. Hujan, kemarau, dan keempat
musim berganti begitu cepat dalam hitungan beberapa jam saja. Lalu aku harus
pergi. Sejenak. Menitipkan seluruh rindu pada setiap titik tahi lalat yang
mendedah lekuk tubuh.
Aku berterima kasih untuk
kesempatan melarikan diri dari sirkuit hidup yang kerap menyeretku tersaruk-tersaruk,
menyuguhi ketidakadilan, sambil memberikan dongeng tentang amsal-amsal bahwa
dunia tidak berisi sekadar hal-hal yang selalu kita inginkan.
September, aku meminta.
Hadirkan aku kembali di awal almanak.
Mungkin tidak sebagai manusia. Sekadar menjadi ujung kukunya yang tumbuh tanpa
dia sadari, menjadi alasan baginya untuk berhenti sejenak dari kepenatan
hidup yang bangsat. Merawat ujung-ujung kuku agar tidak menjadi perkara
remeh yang tajam melukai. Meluangkan sedikit waktu senggang yang begitu intim.
Begitu hangat.
Atau menjadi alien yang tiba-tiba datang ke kamarnya, bercinta sekali-dua kali, lalu menculiknya ke galaksi entah. Atau menjadi buku catatan yang selalu dia bawa ke mana-mana. Menemani sengkarut lamunan dan keresahannya. Atau menjadi dinding-dinding kamar yang kerap diajaknya berbicara lirih. Atau menjadi cicak yang kerap berdecak, makhluk yang gemar mencuri pandang saat dia genit berdandan.
Atau menjadi alien yang tiba-tiba datang ke kamarnya, bercinta sekali-dua kali, lalu menculiknya ke galaksi entah. Atau menjadi buku catatan yang selalu dia bawa ke mana-mana. Menemani sengkarut lamunan dan keresahannya. Atau menjadi dinding-dinding kamar yang kerap diajaknya berbicara lirih. Atau menjadi cicak yang kerap berdecak, makhluk yang gemar mencuri pandang saat dia genit berdandan.
Atau September, setidaknya kabulkanlah satu hal. Berikan
senja yang temaram saat kami dan anak kami bercengkrama di beranda rumah kami
yang mungil. Bercanda sambil meminum teh
beraroma melati. Lalu menghadapi malam yang gelap dengan bernyanyi
bersama-sama. Sebelum angin subuh mengingatkan kami. Tentang hidup
yang riuh oleh paradoks. Tentang kaki-kaki yang saling menopang. Tentang
pelukan-pelukan yang menyembuhkan luka.