Di mana,
Bung?
Saya membaca kalimat itu di
layar smartphone lewat layanan pesan
singkat. Saya segera menepi, menghentikan kendaraan, lalu segera membalas.
Otw. Nyampe
Kaliwates.
Lalu saya melanjutkan
perjalanan. Menuju sekretariat Unit Kegiatan Pers Kampus Mahasiswa (UKPKM) Tegalboto Universitas Jember. Tidak
ada acara apa-apa di sana, sebenarnya. Saya juga tidak punya hubungan dalam
bentuk apapun dengan organ kampus itu. Saya hanya sedang punya janji dengan
Aunurrahman Wibisono. Nuran, begitu ia kerap dimaki, meminta untuk bertemu di
sekretariat organ kampus yang membesarkan namanya dan turut andil dalam
perkembangan pikiran tengilnya itu.
Daerah sekitar kampus sepi.
Maklum, menurut kalender pendidikan, mahasiswa memang sedang libur panjang. Saya
sampai di sekretariat lebih dulu. Tidak ada orang sama sekali. Nuran belum
datang. Sampai saya dikejutkan oleh sapaan seseorang dari arah kanan saya.
“Wis suwi, cuk?”
Saya menjawab, “Tas teko aku.
Gak onok uwong.”
Nuran lalu mengajak saya masuk
ke dalam sekretariat, setelah dia membuka pintu sekretariat dengan cara yang
unik. Sebelumnya dia berseru.
“Iku, Bay. Majalahe nang motor.”
Jadi sebenarnya, saya yang ngrepoti Nuran. Ceritanya, saya titip
sesuatu ke dia, majalah lebih tepatnya. Dan dia menyanggupi. Setelah beberapa
kali gagal bertemu karena kesibukan masing-masing, akhirnya sore itu kami
berbincang-bincang. Nuran sendiri sebenarnya juga punya sedikit waktu, karena
ia hendak hadir dalam acara buka bersama yang diadakan dengan teman-teman
SMA-nya.
Majalah yang saya titipkan ke
Nuran adalah PLAYBOY edisi Indonesia, edisi pertama. Majalah kontroversial,
memang. Tahun 2006, majalah ini menyulut polemik. Banyak kalangan yang
keberatan majalah lisensi ini terbit di Indonesia. Beberapa mengusung dalih
moral dan etika, beberapa punya kepentingan lain. Majalah ini akhirnya hanya
bertahan beberapa edisi sebelumnya akhirnya ditutup, editor in chief-nya dipenjara karena dianggap melanggar tindak
pidana susila.
Buat saya, majalah ini
bersejarah sekali. Pertama, tentu mengingat riwayat terbitnya yang penuh aral.
Diprotes sana, dimaki sini. Kedua, tentu saja menyangkut kontennya. Bukan ihwal
pose seksi Andhara Early, yang menjadi model untuk edisi pertama. PLAYBOY
sebenarnya punya muatan tulisan yang sangat berkualitas. Kontributornya paten,
wawancaranya cerdas, feature panjangnya bernas-enak dibaca-tidak membosankan,
artikel-artikel pendeknya juga menarik disimak. Pendek kata, top.
Khusus untuk edisi pertama,
satu hal yang membuat saya sangat tertarik, yakni rubrik Playboy Interview yang
memuat wawancara majalah ini dengan Pramoedya Ananta Toer, junjungan saya.
Hehehe. Ini adalah wawancara terakhir Pram dengan media, sebelum beliau wafat. Buat
saya ini wawancara penting. Pram juga dikenal cenderung tidak terlalu terbuka
dengan media, tapi PLAYBOY punya akses ke sana. Dan seperti saya bilang,
wawancara PLAYBOY memang cerdas. Jadilah rubrik wawancara yang segar . Sebuah warna
lain, mengingat karakter Pram yang kerap dianggap pemurung dan terkesan “suram”.
Tapi menyoal karakter ini, saya kira itu hal yang wajar. Mengingat betapa pilu
laku yang dia tempuh dalam jalan kepenulisan.
Ia ditawan, naskahnya dibakar, fisiknya dianiaya (kuping Pram nyaris tuli
karena kerap dipopor senapan).
“Piro iki, Ran?”
“Gak usah , cuk. Iki nang
Jakarta gak onok regone.”
Nuran kemudian saya paksa
menerima uang sebagai ongkos ganti membeli majalah, tapi ia dengan keras
menampik. Akhirnya saya mengalah. Dia memang orang baik. Saya tidak akan
menghalangi niat baiknya.
Saya kemudian mengalihkan topik
pembicaraan. Kami lalu berbincang tentang banyak hal. Saya awali dengan membuka
obrolan soal kegiatan menulisnya. Lalu
obrolan semakin berkembang. Tentang proyek-proyek menulis yang ia lakukan,
tentang tesisnya, tentang seorang kawan penulis lain yang baik hati dan kerap
mentraktir, tentang pers mahasiswa sekarang, dan masih banyak lagi.
Pembicaraan kami kemudian
semakin menyenangkan ketika seorang setengah baya bertubuh kurus masuk ke
sekretariat, menyapa Nuran, berkenalan dengan saya, lalu turut bergabung
bersama kami. Namanya Cak Kandar. Saya pernah membaca tulisan Nuran di blog-nya
soal sosok menarik ini. Sehari-hari kegiatannya dihabiskan dengan “mengabdi” di
kawasan UKM Universitas Jember. Menunggu, bersih-bersih, sesekali bergabung
untuk membantu kegiatan mahasiswa di sana.
Dia memperkenalkan diri. “Saya
lahir tanggal 2 Mei. Hari Pendidikan Nasional,” katanya sambil terbatah-batah.
Saya dan Nuran senyum-senyum.
Cak Kandar yang polos itu berkisah
bahwa ibunya telah meninggal dunia. Saya dan Nuran mendengarkan penuh empati.
“Sampeyan jaga kesehatan, Cak.
Jangan banyak minum,” Nuran mengingatkan. Tentu saja minum yang dimaksud Nuran
adalah minum minuman keras, sebuah kebiasaan buruk Cak Kandar.
Cak Kandar memang hobi
menenggak minuman keras. Nuran bercerita bahwa Cak Kandar pernah menenggak arak
Bali langsung dari panci, ketika sedang ikut dalam acara kegiatan mahasiswa di
Bali. Saya tertawa terbahak-bahak mendengar cerita itu.
“Kalau memang suka minum,
jangan yang aneh-aneh. Bir saja lah, Cak,” Nuran menambahkan.
Cak Kandar mengangguk, mendengarkan wejangan Nuran.
“Kalau alkohol 70% itu gak
boleh diminum ya?” tanya Cak Kandar
“Ya gak boleh lah. Nanti organ
dalamnya sampeyan hancur. Nih, tanyain dia. Dia dokter lho, Cak,” setengah
serius setengah bercanda, Nuran menjawab sambil menujuk saya.
“Ngomong-ngomong, sampeyan
masih ingat saya kan, Cak?” Nuran seakan memverifikasi, mengingat dia sudah lulus cukup lama.
“Ingat. Au..Au..Aurohaman,” Cak
Kandar tergagap-gagap melafalkan nama panjang Nuran. Kami kemudian tertawa
bersama-sama.
Tentang
Playboy Bernama Nuran
Nuran, playboy yang membawakan
saya PLAYBOY itu sebenarnya belum
saya kenal begitu lama. Kami berkenalan sekitar dua tahun yang lalu. Saat itu,
saya menemui dia di kantin Fakultas Sastra untuk sekadar ngopi dan bercakap-cakap. Saya kenal dia tentu saja lewat internet,
mengingat saya tidak punya akses selain dari situ untuk menemui orang-orang
dalam lingkaran dunia kepenulisan. Saya banyak menghabiskan waktu di rumah
sakit, jadi mana ada akses soal itu kecuali dari internet. Sosok yang
mendekatkan kami adalah Pito, seorang freelance
copywriter (Apa kabar, Pit?).
Tentu saja kedatangan saya
untuk ngopi dengan Nuran saat itu
adalah mengunduh ilmu darinya. Mengingat saat itu dia baru saja datang dari
Eropa karena memenangkan esai penulisan majalah TEMPO. Ia menyusuri
Italia, Belanda, Jerman, Perancis.
Ziarah di makam Jim Morisson, naik gondola di Venezia, atau (mungkin) mencicipi
Red Light District di Amsterdam. Hahaha, bercanda, Bung!
Tapi dengan prestasi semacam
itu, Nuran tetap saja sosok yang rendah hati, sederhana dan senantiasa
bersahabat. Saya pernah memintanya menghadiri kelas Akademi Berbagi Jember.
Saat itu yang menjadi pembicara adalah Romdhi, seniornya. Itu kali kedua saya
bertemu Nuran. Dia tetap bersahaja. Tidak risih naik angkot dan berjalan kaki
menuju lokasi kelas. Dia bahkan datang on time, sedang kelas belum siap benar.
Romdhi sendiri datang telat karena sebuah urusan yang masih dia selesaikan.
Nuran sendiri yang menghubungi dia karena Nuran ingin acara segera berlangsung. Nuran juga pernah saya minta dengan hormat menjadi pembicara di kelas lain Akademi Berbagi Jember. Kali itu, dia mengupas soal jurnalisme musik.
Tentu saja saya banyak belajar
dari Nuran. Berbicara dengannya, selalu menyenangkan dan mendapatkan banyak hal.
Satu hal yang membuat menyenangkan karena Nuran adalah salah satu orang yang
membuat saya nyaman untuk bicara apa saja. Saya juga sangat biasa berucap “cuk”
,”taek”, “asu” dengan Nuran saat bercakap-cakap, entah secara langsung atau
obrolan tertulis lewat layanan pesan singkat. Begitupun sebaliknya. Mungkin
terkesan tidak sopan untuk sebagian kalangan, tapi kami saling menghormati dan
membangun keakraban. Itu bukan makian, tapi panggilan karena merasa karib.
Nuran juga melakukan hal serupa kepada
kawan-kawan karibnya yang lain, begitupun saya.
Soal menulis, saya banyak belajar dari Nuran tentang menulis dengan sederhana. Gaya menulis Nuran memang menarik. Ringkas, tidak rumit, tapi “bernyawa”. Saya adalah penikmat tulisan-tulisannya.
Soal menulis, saya banyak belajar dari Nuran tentang menulis dengan sederhana. Gaya menulis Nuran memang menarik. Ringkas, tidak rumit, tapi “bernyawa”. Saya adalah penikmat tulisan-tulisannya.
Berbekal itu semua, Nuran
sebenarnya punya banyak modal untuk menjadi seorang playboy. Tapi soal kehidupan asmaranya, saya tak hendak membuang
waktu untuk ikut campur. Nuran buat saya adalah playboy dalam artian lain. Dia adalah seorang yang senantiasa
melakukan sesuatu dengan senang hati, tanpa paksaan, sebagaimana orang bermain.
Dia juga memiliki pretensi seorang kanak-kanak, yang membiasakan diri untuk
selalu ingin tahu, bersemangat, tidak tendensius, dan sedikit nakal.
“Bay, aku pulang dulu ya. Wis
dienteni arek-arek iki. Mesti ngene iki lek ngobrol karo kowe. Keenakan,” kata
Nuran menutup obrolan.
Saya mengiyakan, menjabat
tangannya, sambil mengucapkan terima kasih. Ia lalu menaiki motornya , lalu
segera berlalu. Menghilang pelan-pelan dari jarak pandang saya.
Terima kasih, playboy!