Minggu, 26 April 2015

Misalkan Aku Hidup Kembali

Sarah, aku pernah berujar kepadamu, bahwa aku tidak percaya karma. Lebih tepatnya, tidak sepenuhnya percaya. Karena bagiku, tidak semua hal di dunia hanya perkara balas membalas. Jangan lantas diarahkan kepada kehidupan setelah mati, kita tidak sedang membicarakan itu dan kita belum mengetahuinya. Sebagaimana yang pernah kuracaukan kepadamu, dunia tempat kita hidup sekarang ini, segala variabelnya berjalan dengan hukum kausalitas. Sebab akibat dengan silang sengkarut kemungkinan yang kompleks. Itu lebih tepat dan lebih bisa diterima. Lebih mudah ditangkap sekaligus dijelaskan. Walaupun sebenarnya, banyak  hal dan banyak kemungkinan yang dilingkupi hukum sebab akibat ini—karena keterbatasan kita,  tidak selalu dapat dijelaskan dan ditangkap pula.

“Lalu bagaimana dengan reinkarnasi?” kau bertanya dengan antusias, mirip anak kecil yang girang melihat kue terang bulan.

Aku terdiam sejenak. Dua detik berlalu, aku mantap menjawab tanpa ragu bahwa aku pun tidak mempercayai konsep itu. Betapa anehnya kehidupan yang terus berulang-ulang. Aku kira, semesta yang sebegitu dahsyatnya diciptakan ini,  terlalu mempunyai segala hal yang  lebih penting daripada sekadar memutar ulang kehidupan sebagaimana kaset pita. 

Tapi bagaimanapun, aku juga manusia biasa. Noktah terlampau kecil di belantara semesta yang gigantik. Kita adalah dengan lingkar kepala dan—meminjam istilah Hercule Poirot—sel abu-abu yang kelewat terbatas. Sehingga mungkin, celotehku tadi memang ngawur dan salah. Reinkarnasi bisa jadi memang benar ada.

Maka jika urusan hidup yang diulang-ulang itu benar-benar ada dan bukan sekadar gaung mitologi, aku akan menaruh harapan agar aku bisa hidup bersamamu. Berdua menjadi petani modern yang rajin menulis, memelihara ikan,  membangun rumah di atas bukit, atau justru menjadi nomaden seumur-umur denganmu.

Kamu tergelak, mengerkah khayalanku.

Baiklah, aku sederhanakan saja.

Aku ingin menjadi sikat gigi yang kau genggam erat untuk melupakan dunia dalam dua menit dengan ritual menggosok gigi. Dua kali sehari. Mungkin juga lebih, karena kamu suka durian.

Aku juga ingin menjadi cangkir  yang kerap kau genggam untuk menikmati teh hangat di pagi hari, juga di setiap mood-mu  naik turun dengan cepat seperti roller-coaster di taman bermain.

Aku juga menaruh keinginan untuk menjelma menjadi dinding-dinding kamarmu. Tempatmu berbagi tangis di kala sedih. Menemanimu meracau atau hanya mendengarkanmu mengadu.

Atau perkenankan aku menjadi lembar-lembar kertas buku catatan yang kau sembunyikan di dalam almari, tempatmu mengurai keresahan dengan membariskan huruf-huruf lewat coretan ballpoint—barangmu yang paling sering hilang karena kau kadang terlampau ceroboh.

Begitulah, Sarah. Jika itu semua masih dianggap terlalu berlebihan, maka aku akan meminta untuk menjadi sebelah matamu.  Membantumu memandang hidup yang kerap kita puji, rutuk, sekaligus kita tertawakan bersama-sama setiap hari.