Sarah, aku pernah berujar kepadamu, bahwa aku
tidak percaya karma. Lebih tepatnya, tidak sepenuhnya percaya. Karena bagiku,
tidak semua hal di dunia hanya perkara balas membalas. Jangan lantas diarahkan
kepada kehidupan setelah mati, kita tidak sedang membicarakan itu dan kita
belum mengetahuinya. Sebagaimana yang pernah kuracaukan kepadamu, dunia tempat
kita hidup sekarang ini, segala variabelnya berjalan dengan hukum kausalitas.
Sebab akibat dengan silang sengkarut kemungkinan yang kompleks. Itu lebih tepat
dan lebih bisa diterima. Lebih mudah ditangkap sekaligus dijelaskan. Walaupun sebenarnya,
banyak hal dan banyak kemungkinan yang
dilingkupi hukum sebab akibat ini—karena keterbatasan kita, tidak selalu dapat dijelaskan dan ditangkap
pula.
“Lalu bagaimana dengan reinkarnasi?” kau bertanya dengan
antusias, mirip anak kecil yang girang melihat kue terang bulan.
Aku terdiam sejenak. Dua detik berlalu, aku mantap menjawab
tanpa ragu bahwa aku pun tidak mempercayai konsep itu. Betapa anehnya kehidupan
yang terus berulang-ulang. Aku kira, semesta yang sebegitu dahsyatnya diciptakan
ini, terlalu mempunyai segala hal
yang lebih penting daripada sekadar
memutar ulang kehidupan sebagaimana kaset pita.
Tapi bagaimanapun, aku juga manusia biasa. Noktah terlampau
kecil di belantara semesta yang gigantik. Kita adalah dengan lingkar kepala dan—meminjam
istilah Hercule Poirot—sel abu-abu yang kelewat terbatas. Sehingga mungkin,
celotehku tadi memang ngawur dan salah. Reinkarnasi bisa jadi memang benar ada.
Maka jika urusan hidup yang diulang-ulang itu benar-benar
ada dan bukan sekadar gaung mitologi, aku akan menaruh harapan agar aku
bisa hidup bersamamu. Berdua menjadi petani modern yang rajin menulis,
memelihara ikan, membangun rumah di atas
bukit, atau justru menjadi nomaden seumur-umur denganmu.
Kamu tergelak, mengerkah khayalanku.
Baiklah, aku sederhanakan saja.
Aku ingin menjadi sikat gigi yang kau genggam erat untuk
melupakan dunia dalam dua menit dengan ritual menggosok gigi. Dua kali sehari.
Mungkin juga lebih, karena kamu suka durian.
Aku juga ingin menjadi cangkir yang kerap kau genggam untuk menikmati teh
hangat di pagi hari, juga di setiap mood-mu
naik turun dengan cepat seperti roller-coaster di taman bermain.
Aku juga menaruh keinginan untuk menjelma menjadi
dinding-dinding kamarmu. Tempatmu
berbagi tangis di kala sedih. Menemanimu meracau atau hanya mendengarkanmu
mengadu.
Atau perkenankan aku menjadi lembar-lembar kertas buku
catatan yang kau sembunyikan di dalam almari, tempatmu mengurai keresahan
dengan membariskan huruf-huruf lewat coretan ballpoint—barangmu yang paling
sering hilang karena kau kadang terlampau ceroboh.
Begitulah, Sarah. Jika itu semua masih dianggap terlalu
berlebihan, maka aku akan meminta untuk menjadi sebelah matamu. Membantumu memandang hidup yang kerap kita puji,
rutuk, sekaligus kita tertawakan bersama-sama setiap hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar