Kamis, 19 Juni 2014

Piala Dunia: Empat Tahun yang Lalu

Tanpa bermaksud berlebihan, momen Piala Dunia mempunyai kesan tersendiri buat saya. Beberapa kali saya menikmati hiburan akbar empat tahunan itu, beberapa kali itu pula saya menerima babak penting dalam hidup saya. 

Tahun 1994, saya masih samar mengingat ketika Romario, Bebeto dan Mazinho merayakan gol dengan gerakan menimang bayi. Saat itu, saya baru mengerti bahwa di dunia ada sebuah permainan yang paling digilai manusia sepanjang peradaban mereka bergulir. Saya mulai mengenal sepakbola di tahun itu.

Empat tahun setelahnya, Piala Dunia 1998, saya dibaptis menjadi kaum penggila bola. Saya masih mengingat momen-momen penting kala itu. Roberto Baggio yang mencocor bola agar terkena tangan pemain belakang Chile--lantas ia meminta hadiah penalti kepada wasit, aksi teatrikal Diego Simeone yang membuat malu David Beckham, atau gol fantastis Dennis Bergkamp--pemain yang selalu berpikir sebelum menyentuh bola--ke gawang Argentina. 

Tapi Piala Dunia 2010, empat tahun yang lalu, saya kira salah satu yang paling berkesan. Dihubungkan dengan gairah menulis, Piala Dunia empat tahun lalu mengantarkan saya untuk belajar menulis sepakbola dari sisi-sisi lain. Sebuah hantaran yang membuat saya justru menjadi skeptis sebagai seorang penyuka bola. Momen yang membuat saya menanggalkan kebanggaan menjadi pendukung salah satu atau beberapa klub sepakbola, karena bagi saya sepakbola adalah persoalan yang profan. Jadi fanatisme terhadap satu atau beberapa klub menjadi hal yang naif buat saya. Sejak Piala Dunia 2010, saya memegang kredo saya sendiri: "Jika sepakbola adalah sebuah agama, saya adalah seorang agnostik".

Piala Dunia 2010 juga mengantarkan saya untuk memberanikan diri mengikuti kontes menulis, untuk pertama kali. Salah satu anak usaha Mizan, kala itu membuka lomba menulis resensi buku terbitan mereka. Judul bukunya adalah "Dari Sihir Afrika hingga Gereja Maradona". Saya mencoba turut serta. Dan syukurlah, saya meraih juara pertama--walau saya merasa tulisan saya sangat banyak cacat. Paket buku datang ke rumah sebagai hadiah. Bukan menyoal hadiah yang jelas tak seberapa harganya. Tapi buat saya, hal yang menjadi penting bahwa sepakbola mengantarkan saya menjadi berani mengikuti sayembara menulis semacam itu. Perkara menulis adalah perkara yang dulu sempat membuat saya rendah diri. Tetapi sekali lagi, sepakbola memberanikan saya. Itu adalah lomba menulis yang pertama kali saya ikuti. Karena saya rasa menghasilkan, saya keterusan menjadi pemburu kontes tulisan hingga kini.

Maka tanpa bermaksud jumawa, saya mengunggah tulisan saya yang kebetulan menang empat tahun lalu  itu di halaman ini. Sekadar sebagai pengingat, juga sebagai upaya mengarsip tulisan sendiri. 

Berikut isi tulisan itu:



Menghayati Sepakbola sebagai Drama
Judul Buku:  Dari Sihir Afrika hingga Gereja Maradona
Penulis:        Andy Marhaendra
Penerbit:       B First (PT. Bentang Pustaka)
Cetakan:       Pertama , Mei 2010
Tebal:           280 halaman; 23,5 cm
Sebuah asumsi menyatakan bahwa separuh lebih dari penduduk dunia adalah penggemar sepakbola. Jika memang secara data dan statistik asumsi itu bisa dipertanggungjawabkan menjadi sebuah fakta, selayaknya patut dicermati, bahwa tentu ada keanehan tersendiri pada sepakbola. Keanehan yang membuat lebih dari tiga milyar manusia penghuni planet ini menggilainya. Namun bila asumsi itu sekadar hadir belaka, rasa-rasanya tetap susah diingkari bahwa sepakbola adalah sebuah bentuk euforia yang dikhidmati secara global.

Tentunya, semua itu hadir karena sepakbola tidak hanya dihayati sebagai sebentuk permainan belaka. Bukan sekadar tempik sorai kemenangan, atau pula sedu sedan kekalahan. Bukan pula melulu menyoal gawang yang dibobol atau sekadar statistik dan baris angka-angka.

Yang membuat separuh jagad gila akan sepakbola, barangkali karena kedekatan sepakbola dengan lakon kehidupan penggilanya. Lakon, berarti dimaknai dengan saratnya nuansa drama yang diperankan. Ya, sepakbola adalah drama.

Drama yang memuat silih bergantinya babak-babak selebrasi, dendam, intrik, konflik dan tragedi. Drama yang kerapkali lebih dikenang daripada sekadar permainannya sendiri. Drama yang mengabadi. Keabadian drama sepakbola itulah yang coba direkam oleh Andy Marhaendra lewat buku ini. Buku yang memuat penggalan-penggalan babak sepakbola, di luar sekadar persoalan permainannya. Dengan menggunakan pendekatan momen, Andy yang juga wartawan majalah Tempo dan Koran Tempo itu merekam ceceran drama sepakbola dari ajang Euro 2008, sebagian dari Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, Liga Argentina, Piala Afrika, dan tentu saja bulan suci sepakbola: World Cup.

Di sinilah bisa kita dapati bukti “keabadian” drama sepakbola. Artikel-artikel yang dikumpulkan pada buku ini sebenarnya adalah artikel-artikel lawas. Lawas secara momentum. Mengingat Andy menulisnya di saat-saat event sepakbola yang sudah terlewati. Tapi tetap saja, kisah drama yang tercecer tetap saja menarik untuk disimak. Mengungkap sepakbola dari banyak ragam sudut pandang. Drama–drama yang direkam Andy terbukti tidak lekang oleh waktu. Lagipula, bukankah sekadar momen terlampau sempit untuk mencoba membingkai keagungan sepakbola?

Secara anatomi, buku ini terbagi atas empat bab. Setiap bab berisi sebelas artikel (pas sekali dengan jumlah pemain sepakbola dalam satu tim). Artikel-artikel tadi mewakili tema besar yang diusung setiap bab.
Ada bab LINE UP yang berisi tulisan mengenai tokoh dengan profil langsung maupun tidak langsung. Semisal sosok Jurgen Klinsmann sebagai ayah yang baik, dimuat di bab ini. Bab WARMING UP yang berisi tulisan yang mengisahkan inspirasi semangat nasionalisme para pelaku lapangan hijau. Misalnya, soal patrotisme pasukan Taeguk (Korea Selatan) yang hendak menyaingi Jepang. Bab INJURY TIME yang berisi tentang hal-hal unik di luar lapangan maupun di dalam lapangan. Kisah soal kekhusyukan pesepakbola muslim dalam menjalankan ibadah puasa di tengah jadwal kompetisi yang padat bisa kita dapati di sini. Dan bab TACKLING yang bertema soal sisi negatif sepakbola yang diwakili oleh permusuhan, fanatisme buta, dan kebrutalan pemuja sepakbola. Contohnya adalah kisah soal ganasnya Barrabravas, hooligan dari Argentina.
Ditulis dengan bahasa yang lugas, dengan kepekaan yang jeli terhadap kaidah-kaidah jurnalistik, membuat buku ini layak dibaca. Pengelompokkan tiap bab yang jelas juga memudahkan sampainya makna dari pesan buku ini ke pembaca. Luasnya referensi penulis juga sebuah catatan tersendiri, membawa kita yang pada hal-hal baru yang jarang diungkap, membuat pembaca semakin mengkhidmati keagungan sepakbola.
Keagungan yang sebermula sudah diwakili oleh judul buku ini. Judul buku seakan menyiratkan, bahwa sepakbola pun bisa menyentuh aspek yang tidak terlihat, dan cenderung sensitif. Aspek tadi adalah menyoal spiritualisme. Kepercayaan yang sampai menyentuh ranah gaib macam sihir ataupun sebentuk “peribadatan”. Sepakbola telah dimaknai sebagai sebentuk kepercayaan oleh sebagian golongan.

Silakan cermati soal penggunaan vuvuzela di PIala Dunia 2010. “Bila orang-orang yang bermain bola mendengar vuvuzela, mereka akan mendapat kekuatan dari roh kudus kami,” kata juru bicara Jemaat Gereja Shembe, Afrika Selatan (halaman 17).

Ataupun menyoal maraknya penggunaan juju atau ilmu hitam khas Afrika yang berdampak melukai atau membuat tim lawan tidak beruntumg. Di Afrika, juju adalah hal yang terlampau dimaklumi. Pada pertandingan antara Benin melawan Mali, kata El Haji Anjorin Moucharaf (Presiden Federasi Sepakbola Benin), "Pertandingan ini bakal berlangsung di dua lapangan: lapangan hijau dan lapangan gaib." (halaman 163).
Drama soal  spiritualisme dalam sepakbola juga menyentuh para pemimpin spiritual dunia. Beberapa orang berpengaruh di dunia spiritual ternyata adalah pengkhidmat bola. Ternyata, Paus Johannes Paulus II adalah seorang mantan penjaga gawang di klub amatir. Dan penggantinya, Kardinal Ratzinger yang dikenal sekarang sebagai Paus Benedictus XVI adalah penggemar Bayern Muenchen ( halaman 146).

Dan di Rosario, Buenos Aires, ibukota Argentina , terdapat sebuah tempat “peribadatan” untuk memuja Diego Maradona.Tempat peribadatan itu disebut dengan Iglesias Maradoniana (Gereja Maradona). Manik-manik untuk beribadat mereka namakan golario, bukannya rosario. Jumlahnya 34, sebanyak torehan gol Maradona untuk Argentina. “Pembaptisan” dilakukan dengan memukul-mukul tangan mereka dengan bola, seperti saat Maradona mencetak gol dengan tangannya ke gawang Peter Shilton pada tahun 1986. Kalendernya pun khusus, mengikuti kelahiran Maradona (halaman 258).

Bukan hanya soal spiritualisme  yang diungkap oleh buku ini untuk mengahayati sepakbola sebagai sebuah drama. Masih banyak roman sepakbola yang lain. Semisal kekonyolan Raymond Domenech yang bebal memilih para pemain dari zodiaknya, paradoks nasionalisme anggota tim nasional Jerman, dilema besar para pelatih yang menghadapi timnas tanah airnya sendiri, sepakbola yang mengatasi masalah politik di Ukraina, tragedi kemanusiaan karena persaingan sepakbola, dan banyak lagi drama yang layak dikhidmati.

Sepakbola sebagai sebuah permainan adalah persoalan adu strategi, taktik, skill, dan keberuntungan. Namun sepakbola sebagai sebuah drama, memuat banyak kisah-kisah, yang sarat dengan nuansa pembelajaran mengenai hidup, bahkan relasi etis antar umat manusia.

Masih menghayati sepakbola adalah sekadar permainan? Lupakan saja.






Rabu, 18 Juni 2014

Menghirup Aroma Heritage Rumah Sakit Perkebunan Jember


Rumah Sakit Jember Klinik tahun 1910


Wanita itu masih bertutur dengan tatapan yang sesekali menerawang.  Bola matanya kerap bergerak ke arah kiri bawah. Secara ilmu psikologis itu adalah gestur yang tidak disadari ketika seseorang  memutar ingatan tentang masa lalunya. Sesekali wajahnya termenung, sesekali datar. Tapi sorot matanya tidak bisa berganti—memancarkan antusias yang meluap-luap ketika dia bercerita tentang sebuah rumah sakit. 

Beliau bernama Endang. Karib dipanggil Endang Soehadi, dengan nama belakang yang mengikuti nama suaminya. Suaminya sendiri adalah seorang dokter bedah umum yang kemudian memperdalam ilmu bedah tulang. Sama dengan dr. Soehadi, Endang juga berprofesi sebagai dokter. Ia kemudian memperdalam ilmu manajemen sehingga lantas diberi kepercayaan dan menjadi direktur rumah sakit. 

“Saya menjadi direktur rumah sakit selama 28 tahun,” katanya sambil menyajikan teh. Dr. Endang menjadi direktur sebuah rumah sakit yang menjadi salah satu ikon kota Jember selama nyaris tiga dekade. Banyak orang berseloroh sebagai pengingat, lama jabatan dr. Endang sebagai direktur rumah sakit mirip dengan lama jabatan mantan Presiden Soeharto. Tahun ketika dr. Endang turun dari jabatan direktur rumah sakit juga sama dengan tahun di mana tokoh kontroversial itu lengser dari jabatan presiden, yakni tahun 1998. 

Dr. Endang adalah direktur dengan masa jabatan paling panjang dari rumah sakit terkenal di Jember ini. Rumah sakit yang dikenal masyarakat awam sebagai “warisan” Belanda, baik sebagai bangunan fisik maupun secara nilai-nilai yang dijalankan sejak dulu. Sebagai direktur yang masa jabatannya paling lama, dr. Endang berhasil membangun citra  rumah sakit tersebut sebagai rumah sakit yang terbaik di kota Jember. Itu yang ia coba wariskan kepada generasi sesudahnya.  

Dr. Endang sendiri adalah direktur kedua rumah sakit tersebut. Tentunya, ia menerima tongkat estafet dari generasi sebelumnya. Banyak hal menarik dalam perjalanan kariernya sebagai direktur rumah sakit. Salah satunya periode ketika rumah sakit benar-benar berada di titik nadir. 

“Pihak PTPN seperti melepas rumah sakit kita. Kita dipasrahi nasib karyawan rumah sakit yang begitu banyak. Tapi saya tidak menyerah. Sedikitpun,” kata dr. Endang.   

“Waktu itu sekitar tahun 1982,” Dokter Soehadi mencoba mengingat dan menambahkan keterangan dari istrinya. 

Dokter Soehadi juga menjadi bagian penting dalam perjalanan sejarah rumah sakit saat istrinya menjadi direktur. Ia adalah dokter bedah yang paling mumpuni di jamannya kala itu. Dari dokter bedah, beliau memperdalam ilmunya menjadi dokter bedah tulang. “Saya dokter bedah tulang urutan ke-25 di Indonesia. Pertama di Jember dan di sekitarnya. Bahkan daerah luar Jawa masih banyak yang belum memiliki dokter bedah tulang,” kata kakek yang hobi sekali membaca itu. 

Dokter Soehadi memang cerdas. Ingatannya sangat tajam. Wawasannya luas. Ketika saya mengamati daftar koleksi bukunya, beliau berkomentar, “Kamu suka baca buku? Suka baca buku apa? Sekarang baca buku apa?”

Saya menjawab sekenanya, “Oh. Saya membaca History of God”. Sebenarnya buku itu buku lama. Tapi entah, buku itu yang terlintas dalam kepala saya. 

“Ah. Karya Karen Armstrong. Saya punya beberapa jilid,” katanya. Saya sedikit kaget. Terlebih saat dia kemudian bercerita tentang buku-buku sejarah perang. Dia menanyai apakah saya suka buku sejarah perang. Saya mengangguk lalu menjawab, “Saya suka buku-buku sejarah perang karyanya PK Ojong.”

Lalu kami bercerita sedikit tentang Perang Dunia. Mulai tentang penyerangan Normandia yang lazim disebut D-Day War itu hingga kisah Vasily Zaitsev, sniper legendaris dari Rusia pada Perang Dunia 2 yang ditakuti Hitler. 

“Itu ada filmnya kan? Akhirnya si penembak jitu bertemu kekasihnya di rumah sakit. Ya mirip lah dengan kisah bapak dan ibu ini,” katanya sambil menggoda istrinya. Dr. Endang sendiri tersenyum lebar dengan memperlihatkan deretan giginya yang putih berbaris itu. Saya mengangguk. Film yang beliau maksud adalah Enemy at The Gate  yang dibintangi Jude Law dan Rachel Weisz. 

Pasutri tersebut semacam menjadi dynamic duo yang memimpin lokomotif rumah sakit dari titik bawah menuju titik kejayaannya. Ketika saya menanyakan apa yang menjadi kunci kejayaan itu, beliau berdua menjawab nyaris bersamaan. “Rahasianya adalah kualitas layanan,” kata mereka kompak. 

It was all about service,” kata Dokter Soehadi yang juga fasih berbahasa Belanda itu.
Kualitas pelayanan memang kunci utama dari segala nilai yang terwaris dari generasi ke generasi dalam sejarah rumah sakit ini. Yang menjadi menarik tentu saja bagaimana sistem yang dibangun dan diwariskan untuk menjaga harta karun bernama kualitas layanan. Di sisi lain, keberadaan rumah sakit yang terletak di jantung kota Jember ini secara fisik memang menarik. Pola arsitektur yang khas jaman pendudukan Belanda adalah salah satu nilai lebihnya.  Sehingga mayoritas warga Jember menyepakati bahwa rumah sakit ini tergolong bangunan heritage yang layak dipertahankan dan dirawat. Bukan sekadar ingin terjebak pada romantisme masa lalu, tetapi lebih kepada upaya menjaga warisan dari generasi silam. 

Dari data yang saya temukan, pada tahun 1910, rumah sakit yang menjadi kebanggaan warga Jember itu pertama kali membuka layanannya. Nama rumah sakit itu adalah Rumah Sakit Perkebunan Jember. Tetapi orang-orang Jember lebih karib menyebutnya dengan nama Rumah Sakit Jember Klinik.  

Rumah Sakit Jember Klinik, LMOD, dan Sejarah Jember

Anggapan masyarakat bahwa Rumah Sakit Jember Klinik adalah “warisan” Belanda memang benar. Dari penggunaan nama saja, masyarakat lebih nyaman menyebut nama “Rumah Sakit Jember Klinik” kendati nama resminya justru “Rumah Sakit Perkebunan Jember”. Padahal secara gramatika ada yang kurang pas ketika rumah sakit yang sekarang menjadi anak perusahaan PTPN 10 ini disebut dengan nama “Rumah Sakit Jember Klinik”. Kata “Rumah Sakit” dan “Klinik” kerap membuat orang yang pertama kali mendengar menjadi heran. Terasa aneh dan terkesan ambigu, mengingat pola layanan dan fungsi antara “Rumah Sakit” dan “Klinik” memang berbeda.  Nama “Jember Klinik” yang terlanjur melekat dan mudah diingat secara kolektif oleh banyak kalangan berasal dari bahasa Belanda: “Djemberscheklinik”, ketika cikal bakal rumah sakit ini dibangun pertama kali. 

Djemberscheklinik merupakan pusat pengobatan karyawan dari sebuah perusahaan perkebunan milik Belanda yang bernama Landbouw Maatschappij Oup Djember atau kerap disingkat LMOD. 

Djemberscheklinik didirikan pada kondisi peliknya permasalahan kesehatan saat itu, di mana kerap terjadi adanya benturan sistem kesehatan tradisional yang mendominasi pola pikir pekerja  perkebunan pribumi dengan sistem kesehatan modern yang diusung oleh pekerja perkebunan  dari Eropa. Sama dengan perusahaan perkebunan Belanda di daerah lainnya kala itu, sentra layanan kesehatan dibangun untuk memerangi tiga  penyakit paling mewabah, yakni kolera, malaria, dan disentri. 

LMOD sendiri sangat erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Kabupaten Jember. Berdasarkan sumber yang saya gali dari penjelasan kawan saya yang juga seorang sejarawan muda Jember bernama RZ Hakim, sejarah Jember sejauh ini hanya bisa terlacak secara otentik sejak tahun 1859. “Sebelum itu, hanya berupa praduga. Bisa jadi ini karena Jember bukanlah daerah reruntuhan kerajaan,” jelasnya. Walaupun sebenarnya masih bisa dilacak dengan menarik garis sejarah dari sisi lain sebelum tahun 1859, semisal ketika semasa pembangunan Jalan Deandles. Juga pada tahun 1359, ketika Raja Hayam Wuruk sedang melakukan perjalanan darat menuju Panarukan dan sampai Jember. Berdasarkan data yang pernah saya baca, rombongan ini juga singgah di daerah pesisir Watu Ulo yang kala itu disebut Kuta Bacok. 

Tapi karena upaya itu belum digagas, maka menengok sejarah kota Jember berarti mengingat tahun 1859. Itu adalah tahun ketika LMOD berdiri. 

LMOD adalah perusahaan perkebunan yang didirikan sebagai salah satu dampak penerapan kebijakan system of onterprice (sistem pembangunan perusahaan atau industri) yang menggantikan system of cultivation (sistem pengolahan bahan).

LMOD didirikan oleh pengusaha-pengusaha asal Belanda. Mereka mempunyai 3 orang pimpinan  yakni, George Birnie, Mathhiasen dan Van Gennep. Di antara ketiganya, George Bernie merupakan nama yang paling sering disebut dalam kaitannya dengan sejarah Jember. 

George Birnie adalah seorang pengusaha Belanda keturunan Skotlandia yang menikah dengan wanita pribumi keturunan Madura bernama Rabina. Mereka dikaruniai 8 orang anak yang pada mulanya dibawa ke Belanda untuk mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak sebelum kemudian mereka kembali ke Jember pada akhir 1850-an. Tahun 1859, LMOD berdiri dengan fokus komoditi utama berupa tembakau. Ini sesuai dengan kontur tanah di Jember yang banyak terdiri atas bukit-bukit (kerap pula disebut gumuk). George Bernie mendapat hak guna usaha atau hak erfpacht untuk jangka waktu 75 tahun. Komoditi andalannya adalah tembakau BNO (Besuki Na Oogst). 

Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa dengan didirikannya perusahaan perkebunan, maka Belanda membutuhkan tempat yang memberikan pelayanan kesehatan kepada pekerja-pekerjanya, baik pekerja pribumi maupun pekerja dari Eropa. Dibangunnya Djemberscheklinik menjadi jawaban dari wacana itu. Pihak Belanda menganggap sistem kesehatan tradisional memiliki kekurangan sebagai penjamin kesehatan bagi pekerja perkebunan.

Tak hanya itu,  dari sudut pandang sosial budaya keberadaan Djemberscheklinik juga menjadi segresi antara golongan pribumi dan pekerja dari Eropa. Keberadaan pribumi mulai diperhatikan dengan adanya perhatian yang mendalam terhadap aspek kesehatan mereka. Sisi sosial budaya yang berubah dengan segresi antara pekerja Eropa dan pribumi juga tampak pada keberadaan rumah sakit yang dikelilingi perumahan bagi pekerja perkebunan.

Sehingga di sekitar bangunan Djemberscheklinik, banyak pula pemukiman keturunan Eropa yang bermukim. Bahkan salah satunya adalah kakek musisi terkenal, Ahmad Dhani. Nama kakek Dhani adalah Freddy Rudi Paul Kohler. Dia dulu tinggal di Jalan Irian (Sekarang Jl. Ciliwung, dekat dengan gedung Poliklinik Terpadu Rumah Sakit Jember Klinik) setelah sebelumnya tinggal di kawasan Jl. Raung (sekarang bernama Jl. Bondoyudo, letaknya di depan Rumah Sakit Jember Klinik). 

Bahkan ketika kami membicarakan tentang sejarah Rumah Sakit Jember Klinik di halaman Facebook, Joyce Kohler (ibunda Ahmad Dhani) ikut menimpali, “Saya dulu sering bermain-main di bawah jembatan (di sebelah gedung poliklinik terpadu Rumah Sakit Jember Klinik).”

LMOD (Landbouw Maatschappij Oup Djember) akhirnya dinasionalisasi  pada tahun 1956 yang merupakan asal dari PTP XXVII, PTP XXVI dan PTP XXIII di Kabupaten Jember. Setelah masa nasionalisasi, Rumah Sakit Jember Klinik menjadi bagian dari PPN Baru Pra Unit Tembakau.  Setelah itu, PPN kemudian mengalami beberapakali reorganisasi dari tahun 1957 hingga menjadi Unit Kesehatan PTP XXVII

Pada tanggal 14 Februari 1996, beberapa elemen dari PT. Perkebunan Nusantara yakni PTP XXVII, PTP XIX dan PTP XXI-XXII melakukan fusi. Peleburan ini pada nantinya akan mengelola lebih dari satu komoditas yang secara tata niaga digabung dalam naungan PTPN X.  Ini sebagaimana yang tertuang dalam PP nomor 15 tahun 1996. 

Rumah Sakit Jember Klinik tergabung dalam Strategi Bisnis Unit (SBU) Rumah Sakit dari PTPN X. Gagasan tentang SBU ini lantas secara legal diakui melalui persetujuan Menteri Negara BUMN dan SK Direksi PTPN X Nomor XX-SURKP/03.149 tentang Strategi Bisnis Unit terhitung sejak 07 Oktober 2003. 

Pada tahun 2013, tepatnya berdasarkan Akte Notaris tanggal 19 Januari 2013, SBU Rumah Sakit PTPN X yang membawahi 3 rumah sakit (RS Perkebunan/RS Jember Klinik, RS Gatoel Mojokerto, RS HVA Toelongredjo Kediri) resmi menjadi anak perusahaan PTPN X, dengan menggunakan nama PT. Nusantara Medika Utama (PT. NMU)

Rumah Sakit Jember Klinik tahun 2014

RS Jember Klinik sebagai Produk Heritage

Perjalanan panjang yang bertalian erat dengan sejarah Jember membuat RS Perkebunan atau RS Jember Klinik dianggap sebagai salah satu produk heritage. Heritage sendiri pada dasarnya memiliki makna yang cukup luas. John M Echols dan Hasan Shadily dalam Kamus Inggris-Indonesia mengatakan bahwa heritage artinya adalah warisan atau pusaka. Kamus Oxford memiliki definisi yang lebih luas tentang heritage. Oxford menulis bahwa heritage adalah sejarah, tradisi, dan nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu tempat (bangsa/negara) selama bertahun-tahun dan dianggap sebagai bagian penting dari karakter mereka. Peter Howard dalam bukunya, Heritage: Management, Interpretaion, Identity, mengungkapkan bahwa heritage sebagai segala sesuatu yang ingin diselamatkan orang, termasuk budaya, material, maupun alam. 

Dari berbagai permaknaan tersebut, heritage tidak bisa dianggap sebagai warisan/pusaka yang hanya sebatas aspek fisik. Heritage juga dimaknai sebagai warisan/pusaka di luar aspek kebendaan, yakni budaya dan nilai-nilai. 

Membicarakan aspek fisik, Rumah Sakit Jember Klinik tentu masuk dalam kategori bangunan heritage kota Jember. Dihubungkan dengan sisi regulasi pemerintah, telah digagas UU No. 11 tahun 2010 tentang bangunan cagar budaya. Regulasi ini menetapkan beberapa klasifikasi zona yang diperuntukkan untuk perumahan atau pemukiman, perdagangan, perkantoran, pendidikan dan lain-lain. Rumah Sakit Jember Klinik sendiri terletak di sebaran bangunan bersejarah ring (lingkaran) I, yaitu ring utama yang terdiri dari beragam bangunan bersejarah dan latar belakang di kota Jember. Pasal-pasal yang termaktub di dalam  UU No. 11 tahun 2010 juga memberi penegasan bahwa bangunan cagar budaya perlu dilestarikan keberadaannya karena sarat nilai penting bagi sejarah. 

Menjaga Warisan Penting 

Ketika saya menanyakan pendapat tentang pembongkaran sisi sebelah timur Rumah Sakit Jember Klinik untuk pembangunan Gedung Medik Sentral, baik dr. Soehadi maupun dr. Endang sedikit menyayangkan perihal tersebut. Tapi beliau berdua berusaha memahami, bahwa tuntutan jaman selalu bergerak terus, sehingga rumah sakit harus sedikit menyesuaikan, namun tanpa benar-benar wajah rumah sakit sebagai bangunan heritage secara keseluruhan. 

dr. Soehadi dan dr. Endang

“Dulu banyak lansia Belanda yang melakukan wisata rumah sakit. Mereka datang jauh-jauh dari Belanda. Mereka berjalan menyusuri Rumah Sakit Jember Klinik, dan mengenang bahwa mereka lahir di sana. Atau pernah dirawat di sana,” kata dr. Endang. 

Kenangan yang terpantik dalam benak lansia itu dipicu ketika melihat bangunan Rumah Sakit Jember Klinik yang saat itu benar-benar masih menjaga keotentikan aspek fisiknya.
“Orang-orang Belanda itu ingat betul sampai hal terkecil. Mulai dari gagang pintu sampai dengan pemanas air di kamar mandi,” imbuh dr. Endang. 

Namun sekali lagi, memasuki pasar industri penyedia layanan kesehatan yang derunya semakin cepat, Rumah Sakit Jember Klinik melakukan penyesuaian dan pengembangan. Bangunan di sayap sebelah kanan sudah luruh dengan tanah, menyambut berdirinya Gedung Medik Sentral untuk mengembangkan layanan. Sisi yang lain secara umum masih diupayakan menjaga kelestarian dan keotentikan sisi fisiknya. 

Sebab memang berbicara soal heritage tidak lantas sekadar hanya mengupas sisi bangunan. Ada hal penting yang jauh lebih berharga sebagai sebuah warisan. Itu adalah nilai-nilai yang mengedepankan kualitas pelayanan. Ketika saya tanya upaya yang harus ditempuh untuk menjaga warisan itu, dr. Soehadi memberikan wejangan. 

Small is beautiful,” tukasnya. “Saya lebih suka konsep itu. Tidak perlu berkoar-koar ke luar tentang layanan kita, tapi bekerja dengan penuh kualitas sampai pada hal-hal kecil, maka yang di luar juga bakal tahu siapa kita,” imbuhnya. 

Dokter Endang lantas menambahkan, “Pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah sumber daya manusianya. Pastikan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki adalah unggul. Ini didapat melalui proses seleksi yang ketat. Selanjutnya, perhatian pada aspek fisik. Kebersihan, kerapian, dan sebagainya. Setelah itu, baru perhatian pada aspek mesin/alat penunjang. Mengapa alat/mesin ditaruh pada prioritas ketiga? Sebab jaman terus berkembang, alat/mesin di bidang kedokteran terus menyesuaikan.”

Sudah lebih dari seabad Rumah Sakit Jember Klinik berdiri dan memberikan pelayanan. Usia yang setua itu tidak mungkin bisa dicapai tanpa adanya pusaka yang terus diwariskan dari generasi ke generasi. Yang menjadi tugas setiap generasi adalah menjaga warisan pusaka itu sebaik mungkin, lalu meneruskannya kepada generasi selanjutnya. Warisan pusaka itu adalah pelayanan yang berkualitas. Bahwa tolok ukur kualitas berbeda di setiap jaman mungkin tidak bisa diperdebatkan. Tapi yang paling penting adalah bagaimana menciptakan pelayanan yang peka terhadap kebutuhan pelanggan, lalu memfasilitasinya sebaik mungkin, demi peningkatan derajat kesehatan yang lebih baik. []