Rumah Sakit Jember Klinik tahun 1910 |
Wanita itu masih bertutur dengan tatapan yang
sesekali menerawang. Bola matanya kerap
bergerak ke arah kiri bawah. Secara ilmu psikologis itu adalah gestur yang
tidak disadari ketika seseorang memutar
ingatan tentang masa lalunya. Sesekali wajahnya termenung, sesekali datar. Tapi
sorot matanya tidak bisa berganti—memancarkan antusias yang meluap-luap ketika
dia bercerita tentang sebuah rumah sakit.
Beliau bernama Endang. Karib dipanggil Endang
Soehadi, dengan nama belakang yang mengikuti nama suaminya. Suaminya sendiri
adalah seorang dokter bedah umum yang kemudian memperdalam ilmu bedah tulang.
Sama dengan dr. Soehadi, Endang juga berprofesi sebagai dokter. Ia kemudian
memperdalam ilmu manajemen sehingga lantas diberi kepercayaan dan menjadi
direktur rumah sakit.
“Saya menjadi direktur rumah sakit selama 28
tahun,” katanya sambil menyajikan teh. Dr. Endang menjadi direktur sebuah rumah
sakit yang menjadi salah satu ikon kota Jember selama nyaris tiga dekade.
Banyak orang berseloroh sebagai pengingat, lama jabatan dr. Endang sebagai
direktur rumah sakit mirip dengan lama jabatan mantan Presiden Soeharto. Tahun
ketika dr. Endang turun dari jabatan direktur rumah sakit juga sama dengan
tahun di mana tokoh kontroversial itu lengser dari jabatan presiden, yakni
tahun 1998.
Dr. Endang adalah direktur dengan masa jabatan
paling panjang dari rumah sakit terkenal di Jember ini. Rumah sakit yang
dikenal masyarakat awam sebagai “warisan” Belanda, baik sebagai bangunan fisik
maupun secara nilai-nilai yang dijalankan sejak dulu. Sebagai direktur yang
masa jabatannya paling lama, dr. Endang berhasil membangun citra rumah sakit tersebut sebagai rumah sakit yang
terbaik di kota Jember. Itu yang ia coba wariskan kepada generasi sesudahnya.
Dr. Endang sendiri adalah direktur kedua rumah
sakit tersebut. Tentunya, ia menerima tongkat estafet dari generasi sebelumnya.
Banyak hal menarik dalam perjalanan kariernya sebagai direktur rumah sakit.
Salah satunya periode ketika rumah sakit benar-benar berada di titik nadir.
“Pihak PTPN seperti melepas rumah sakit kita.
Kita dipasrahi nasib karyawan rumah sakit yang begitu banyak. Tapi saya tidak
menyerah. Sedikitpun,” kata dr. Endang.
“Waktu itu sekitar tahun 1982,” Dokter Soehadi
mencoba mengingat dan menambahkan keterangan dari istrinya.
Dokter Soehadi juga menjadi bagian penting dalam
perjalanan sejarah rumah sakit saat istrinya menjadi direktur. Ia adalah dokter
bedah yang paling mumpuni di jamannya kala itu. Dari dokter bedah, beliau
memperdalam ilmunya menjadi dokter bedah tulang. “Saya dokter bedah tulang urutan
ke-25 di Indonesia. Pertama di Jember dan di sekitarnya. Bahkan daerah luar
Jawa masih banyak yang belum memiliki dokter bedah tulang,” kata kakek yang hobi
sekali membaca itu.
Dokter Soehadi memang cerdas. Ingatannya sangat
tajam. Wawasannya luas. Ketika saya mengamati daftar koleksi bukunya, beliau
berkomentar, “Kamu suka baca buku? Suka baca buku apa? Sekarang baca buku apa?”
Saya menjawab sekenanya, “Oh. Saya membaca History of God”. Sebenarnya buku itu
buku lama. Tapi entah, buku itu yang terlintas dalam kepala saya.
“Ah. Karya Karen Armstrong. Saya punya beberapa
jilid,” katanya. Saya sedikit kaget. Terlebih saat dia kemudian bercerita
tentang buku-buku sejarah perang. Dia menanyai apakah saya suka buku sejarah
perang. Saya mengangguk lalu menjawab, “Saya suka buku-buku sejarah perang
karyanya PK Ojong.”
Lalu kami bercerita sedikit tentang Perang Dunia.
Mulai tentang penyerangan Normandia yang lazim disebut D-Day War itu hingga kisah Vasily Zaitsev, sniper legendaris dari
Rusia pada Perang Dunia 2 yang ditakuti Hitler.
“Itu ada filmnya kan? Akhirnya si penembak jitu
bertemu kekasihnya di rumah sakit. Ya mirip lah dengan kisah bapak dan ibu
ini,” katanya sambil menggoda istrinya. Dr. Endang sendiri tersenyum lebar
dengan memperlihatkan deretan giginya yang putih berbaris itu. Saya mengangguk.
Film yang beliau maksud adalah Enemy at
The Gate yang dibintangi Jude Law
dan Rachel Weisz.
Pasutri tersebut semacam menjadi dynamic duo yang memimpin lokomotif
rumah sakit dari titik bawah menuju titik kejayaannya. Ketika saya menanyakan
apa yang menjadi kunci kejayaan itu, beliau berdua menjawab nyaris bersamaan. “Rahasianya
adalah kualitas layanan,” kata mereka kompak.
“It was all
about service,” kata Dokter Soehadi yang juga fasih berbahasa Belanda itu.
Kualitas pelayanan memang kunci utama dari segala
nilai yang terwaris dari generasi ke generasi dalam sejarah rumah sakit ini.
Yang menjadi menarik tentu saja bagaimana sistem yang dibangun dan diwariskan
untuk menjaga harta karun bernama kualitas layanan. Di sisi lain, keberadaan
rumah sakit yang terletak di jantung kota Jember ini secara fisik memang
menarik. Pola arsitektur yang khas jaman pendudukan Belanda adalah salah satu
nilai lebihnya. Sehingga mayoritas warga
Jember menyepakati bahwa rumah sakit ini tergolong bangunan heritage yang layak dipertahankan dan
dirawat. Bukan sekadar ingin terjebak pada romantisme masa lalu, tetapi lebih
kepada upaya menjaga warisan dari generasi silam.
Dari data yang saya temukan, pada tahun 1910,
rumah sakit yang menjadi kebanggaan warga Jember itu pertama kali membuka
layanannya. Nama rumah sakit itu adalah Rumah Sakit Perkebunan Jember. Tetapi
orang-orang Jember lebih karib menyebutnya dengan nama Rumah Sakit Jember
Klinik.
Rumah Sakit
Jember Klinik, LMOD, dan Sejarah Jember
Anggapan masyarakat bahwa Rumah Sakit Jember
Klinik adalah “warisan” Belanda memang benar. Dari penggunaan nama saja,
masyarakat lebih nyaman menyebut nama “Rumah Sakit Jember Klinik” kendati nama
resminya justru “Rumah Sakit Perkebunan Jember”. Padahal secara gramatika ada
yang kurang pas ketika rumah sakit yang sekarang menjadi anak perusahaan PTPN
10 ini disebut dengan nama “Rumah Sakit Jember Klinik”. Kata “Rumah Sakit” dan
“Klinik” kerap membuat orang yang pertama kali mendengar menjadi heran. Terasa
aneh dan terkesan ambigu, mengingat pola layanan dan fungsi antara “Rumah
Sakit” dan “Klinik” memang berbeda. Nama
“Jember Klinik” yang terlanjur melekat dan mudah diingat secara kolektif oleh
banyak kalangan berasal dari bahasa Belanda: “Djemberscheklinik”, ketika cikal
bakal rumah sakit ini dibangun pertama kali.
Djemberscheklinik merupakan pusat pengobatan karyawan dari sebuah
perusahaan perkebunan milik Belanda yang bernama Landbouw
Maatschappij Oup Djember atau kerap disingkat LMOD.
Djemberscheklinik
didirikan pada kondisi peliknya permasalahan
kesehatan saat itu, di mana kerap terjadi adanya benturan sistem kesehatan
tradisional yang mendominasi pola pikir pekerja
perkebunan pribumi dengan sistem kesehatan modern yang diusung oleh pekerja
perkebunan dari Eropa. Sama dengan
perusahaan perkebunan Belanda di daerah lainnya kala itu, sentra layanan
kesehatan dibangun untuk memerangi tiga penyakit paling mewabah, yakni kolera,
malaria, dan disentri.
LMOD
sendiri sangat erat kaitannya dengan sejarah berdirinya Kabupaten Jember.
Berdasarkan sumber yang saya gali dari penjelasan kawan saya yang juga seorang
sejarawan muda Jember bernama RZ Hakim, sejarah Jember sejauh ini hanya bisa
terlacak secara otentik sejak tahun 1859. “Sebelum itu, hanya berupa praduga.
Bisa jadi ini karena Jember bukanlah daerah reruntuhan kerajaan,” jelasnya.
Walaupun sebenarnya masih bisa dilacak dengan menarik garis sejarah dari sisi
lain sebelum tahun 1859, semisal ketika semasa pembangunan Jalan Deandles. Juga
pada tahun 1359, ketika Raja Hayam Wuruk sedang melakukan perjalanan darat
menuju Panarukan dan sampai Jember. Berdasarkan data yang pernah saya baca, rombongan
ini juga singgah di daerah pesisir Watu Ulo yang kala itu disebut Kuta Bacok.
Tapi
karena upaya itu belum digagas, maka menengok sejarah kota Jember berarti
mengingat tahun 1859. Itu adalah tahun ketika LMOD berdiri.
LMOD adalah perusahaan perkebunan yang didirikan
sebagai salah satu dampak penerapan kebijakan system of onterprice (sistem pembangunan perusahaan atau industri)
yang menggantikan system of cultivation
(sistem pengolahan bahan).
LMOD didirikan oleh pengusaha-pengusaha asal
Belanda. Mereka mempunyai 3 orang pimpinan yakni, George Birnie, Mathhiasen dan Van
Gennep. Di antara ketiganya, George Bernie merupakan nama yang paling sering
disebut dalam kaitannya dengan sejarah Jember.
George Birnie adalah seorang pengusaha Belanda keturunan
Skotlandia yang menikah dengan wanita pribumi keturunan Madura bernama Rabina.
Mereka dikaruniai 8 orang anak yang pada mulanya dibawa ke Belanda untuk
mendapat pendidikan dan pengajaran yang layak sebelum kemudian mereka kembali
ke Jember pada akhir 1850-an. Tahun 1859, LMOD berdiri dengan fokus komoditi
utama berupa tembakau. Ini sesuai dengan kontur tanah di Jember yang banyak
terdiri atas bukit-bukit (kerap pula disebut gumuk). George Bernie mendapat hak
guna usaha atau hak erfpacht untuk jangka waktu 75 tahun. Komoditi andalannya
adalah tembakau BNO (Besuki Na Oogst).
Sebagaimana dijelaskan di atas, bahwa dengan
didirikannya perusahaan perkebunan, maka Belanda membutuhkan tempat yang
memberikan pelayanan kesehatan kepada pekerja-pekerjanya, baik pekerja pribumi
maupun pekerja dari Eropa. Dibangunnya Djemberscheklinik
menjadi jawaban dari wacana itu. Pihak Belanda menganggap sistem kesehatan
tradisional memiliki kekurangan sebagai penjamin kesehatan bagi pekerja
perkebunan.
Tak hanya itu,
dari sudut pandang sosial budaya keberadaan Djemberscheklinik juga menjadi segresi antara golongan pribumi dan
pekerja dari Eropa. Keberadaan pribumi mulai diperhatikan dengan adanya
perhatian yang mendalam terhadap aspek kesehatan mereka. Sisi sosial budaya
yang berubah dengan segresi antara pekerja Eropa dan pribumi juga tampak pada
keberadaan rumah sakit yang dikelilingi perumahan bagi pekerja perkebunan.
Sehingga di sekitar bangunan Djemberscheklinik, banyak pula pemukiman keturunan Eropa yang
bermukim. Bahkan salah satunya adalah kakek musisi terkenal, Ahmad Dhani. Nama
kakek Dhani adalah Freddy Rudi Paul Kohler. Dia dulu tinggal di Jalan Irian
(Sekarang Jl. Ciliwung, dekat dengan gedung Poliklinik Terpadu Rumah Sakit
Jember Klinik) setelah sebelumnya tinggal di kawasan Jl. Raung (sekarang
bernama Jl. Bondoyudo, letaknya di depan Rumah Sakit Jember Klinik).
Bahkan ketika kami membicarakan tentang sejarah
Rumah Sakit Jember Klinik di halaman Facebook, Joyce Kohler (ibunda Ahmad
Dhani) ikut menimpali, “Saya dulu sering bermain-main di bawah jembatan (di
sebelah gedung poliklinik terpadu Rumah Sakit Jember Klinik).”
LMOD
(Landbouw Maatschappij Oup Djember) akhirnya dinasionalisasi pada tahun 1956 yang merupakan asal dari PTP
XXVII, PTP XXVI dan PTP XXIII di Kabupaten Jember. Setelah masa nasionalisasi,
Rumah Sakit Jember Klinik menjadi bagian dari PPN Baru Pra Unit Tembakau. Setelah itu, PPN kemudian mengalami
beberapakali reorganisasi dari tahun 1957 hingga menjadi Unit Kesehatan PTP
XXVII
Pada
tanggal 14 Februari 1996, beberapa elemen dari PT. Perkebunan Nusantara yakni
PTP XXVII, PTP XIX dan PTP XXI-XXII melakukan fusi. Peleburan ini pada nantinya
akan mengelola lebih dari satu komoditas yang secara tata niaga digabung dalam
naungan PTPN X. Ini sebagaimana yang
tertuang dalam PP nomor 15 tahun 1996.
Rumah
Sakit Jember Klinik tergabung dalam Strategi Bisnis Unit (SBU) Rumah Sakit dari
PTPN X. Gagasan tentang SBU ini lantas secara legal diakui melalui persetujuan
Menteri Negara BUMN dan SK Direksi PTPN X Nomor XX-SURKP/03.149 tentang
Strategi Bisnis Unit terhitung sejak 07 Oktober 2003.
Pada
tahun 2013, tepatnya berdasarkan Akte Notaris tanggal 19 Januari 2013, SBU
Rumah Sakit PTPN X yang membawahi 3 rumah sakit (RS Perkebunan/RS Jember
Klinik, RS Gatoel Mojokerto, RS HVA Toelongredjo Kediri) resmi menjadi anak
perusahaan PTPN X, dengan menggunakan nama PT. Nusantara Medika Utama (PT. NMU)
Rumah Sakit Jember Klinik tahun 2014 |
RS Jember Klinik sebagai Produk Heritage
Perjalanan
panjang yang bertalian erat dengan sejarah Jember membuat RS Perkebunan atau RS
Jember Klinik dianggap sebagai salah satu produk heritage. Heritage sendiri pada dasarnya memiliki makna yang cukup
luas. John M Echols dan Hasan Shadily dalam Kamus Inggris-Indonesia mengatakan
bahwa heritage artinya adalah warisan
atau pusaka. Kamus Oxford memiliki definisi yang lebih luas tentang heritage. Oxford menulis bahwa heritage adalah sejarah, tradisi, dan
nilai-nilai yang dimiliki oleh suatu tempat (bangsa/negara) selama
bertahun-tahun dan dianggap sebagai bagian penting dari karakter mereka. Peter
Howard dalam bukunya, Heritage:
Management, Interpretaion, Identity, mengungkapkan bahwa heritage sebagai segala sesuatu yang
ingin diselamatkan orang, termasuk budaya, material, maupun alam.
Dari
berbagai permaknaan tersebut, heritage
tidak bisa dianggap sebagai warisan/pusaka yang hanya sebatas aspek fisik. Heritage juga dimaknai sebagai
warisan/pusaka di luar aspek kebendaan, yakni budaya dan nilai-nilai.
Membicarakan
aspek fisik, Rumah Sakit Jember Klinik tentu masuk dalam kategori bangunan heritage kota Jember. Dihubungkan dengan
sisi regulasi pemerintah, telah digagas UU No. 11 tahun 2010 tentang bangunan
cagar budaya. Regulasi ini menetapkan beberapa klasifikasi zona yang
diperuntukkan untuk perumahan atau pemukiman, perdagangan, perkantoran,
pendidikan dan lain-lain. Rumah Sakit Jember Klinik sendiri terletak di sebaran bangunan
bersejarah ring (lingkaran) I, yaitu ring utama yang terdiri dari beragam
bangunan bersejarah dan latar belakang di kota Jember. Pasal-pasal yang
termaktub di dalam UU No. 11 tahun 2010 juga
memberi penegasan bahwa bangunan cagar budaya perlu dilestarikan keberadaannya
karena sarat nilai penting bagi sejarah.
Menjaga Warisan Penting
Ketika
saya menanyakan pendapat tentang pembongkaran sisi sebelah timur Rumah Sakit Jember
Klinik untuk pembangunan Gedung Medik Sentral, baik dr. Soehadi maupun dr.
Endang sedikit menyayangkan perihal tersebut. Tapi beliau berdua berusaha
memahami, bahwa tuntutan jaman selalu bergerak terus, sehingga rumah sakit
harus sedikit menyesuaikan, namun tanpa benar-benar wajah rumah sakit sebagai
bangunan heritage secara keseluruhan.
dr. Soehadi dan dr. Endang |
“Dulu
banyak lansia Belanda yang melakukan wisata rumah sakit. Mereka datang jauh-jauh
dari Belanda. Mereka berjalan menyusuri Rumah Sakit Jember Klinik, dan
mengenang bahwa mereka lahir di sana. Atau pernah dirawat di sana,” kata dr.
Endang.
Kenangan
yang terpantik dalam benak lansia itu dipicu ketika melihat bangunan Rumah
Sakit Jember Klinik yang saat itu benar-benar masih menjaga keotentikan aspek
fisiknya.
“Orang-orang
Belanda itu ingat betul sampai hal terkecil. Mulai dari gagang pintu sampai
dengan pemanas air di kamar mandi,” imbuh dr. Endang.
Namun
sekali lagi, memasuki pasar industri penyedia layanan kesehatan yang derunya
semakin cepat, Rumah Sakit Jember Klinik melakukan penyesuaian dan pengembangan.
Bangunan di sayap sebelah kanan sudah luruh dengan tanah, menyambut berdirinya
Gedung Medik Sentral untuk mengembangkan layanan. Sisi yang lain secara umum
masih diupayakan menjaga kelestarian dan keotentikan sisi fisiknya.
Sebab
memang berbicara soal heritage tidak
lantas sekadar hanya mengupas sisi bangunan. Ada hal penting yang jauh lebih
berharga sebagai sebuah warisan. Itu adalah nilai-nilai yang mengedepankan
kualitas pelayanan. Ketika saya tanya upaya yang harus ditempuh untuk menjaga
warisan itu, dr. Soehadi memberikan wejangan.
“Small is beautiful,” tukasnya. “Saya
lebih suka konsep itu. Tidak perlu berkoar-koar ke luar tentang layanan kita,
tapi bekerja dengan penuh kualitas sampai pada hal-hal kecil, maka yang di luar
juga bakal tahu siapa kita,” imbuhnya.
Dokter
Endang lantas menambahkan, “Pertama-tama yang perlu diperhatikan adalah sumber
daya manusianya. Pastikan kualitas sumber daya manusia yang dimiliki adalah
unggul. Ini didapat melalui proses seleksi yang ketat. Selanjutnya, perhatian
pada aspek fisik. Kebersihan, kerapian, dan sebagainya. Setelah itu, baru
perhatian pada aspek mesin/alat penunjang. Mengapa alat/mesin ditaruh pada
prioritas ketiga? Sebab jaman terus berkembang, alat/mesin di bidang kedokteran
terus menyesuaikan.”
Sudah
lebih dari seabad Rumah Sakit Jember Klinik berdiri dan memberikan pelayanan.
Usia yang setua itu tidak mungkin bisa dicapai tanpa adanya pusaka yang terus
diwariskan dari generasi ke generasi. Yang menjadi tugas setiap generasi adalah
menjaga warisan pusaka itu sebaik mungkin, lalu meneruskannya kepada generasi
selanjutnya. Warisan pusaka itu adalah pelayanan yang berkualitas. Bahwa tolok
ukur kualitas berbeda di setiap jaman mungkin tidak bisa diperdebatkan. Tapi
yang paling penting adalah bagaimana menciptakan pelayanan yang peka terhadap
kebutuhan pelanggan, lalu memfasilitasinya sebaik mungkin, demi peningkatan
derajat kesehatan yang lebih baik. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar