Kamis, 19 Juni 2014

Piala Dunia: Empat Tahun yang Lalu

Tanpa bermaksud berlebihan, momen Piala Dunia mempunyai kesan tersendiri buat saya. Beberapa kali saya menikmati hiburan akbar empat tahunan itu, beberapa kali itu pula saya menerima babak penting dalam hidup saya. 

Tahun 1994, saya masih samar mengingat ketika Romario, Bebeto dan Mazinho merayakan gol dengan gerakan menimang bayi. Saat itu, saya baru mengerti bahwa di dunia ada sebuah permainan yang paling digilai manusia sepanjang peradaban mereka bergulir. Saya mulai mengenal sepakbola di tahun itu.

Empat tahun setelahnya, Piala Dunia 1998, saya dibaptis menjadi kaum penggila bola. Saya masih mengingat momen-momen penting kala itu. Roberto Baggio yang mencocor bola agar terkena tangan pemain belakang Chile--lantas ia meminta hadiah penalti kepada wasit, aksi teatrikal Diego Simeone yang membuat malu David Beckham, atau gol fantastis Dennis Bergkamp--pemain yang selalu berpikir sebelum menyentuh bola--ke gawang Argentina. 

Tapi Piala Dunia 2010, empat tahun yang lalu, saya kira salah satu yang paling berkesan. Dihubungkan dengan gairah menulis, Piala Dunia empat tahun lalu mengantarkan saya untuk belajar menulis sepakbola dari sisi-sisi lain. Sebuah hantaran yang membuat saya justru menjadi skeptis sebagai seorang penyuka bola. Momen yang membuat saya menanggalkan kebanggaan menjadi pendukung salah satu atau beberapa klub sepakbola, karena bagi saya sepakbola adalah persoalan yang profan. Jadi fanatisme terhadap satu atau beberapa klub menjadi hal yang naif buat saya. Sejak Piala Dunia 2010, saya memegang kredo saya sendiri: "Jika sepakbola adalah sebuah agama, saya adalah seorang agnostik".

Piala Dunia 2010 juga mengantarkan saya untuk memberanikan diri mengikuti kontes menulis, untuk pertama kali. Salah satu anak usaha Mizan, kala itu membuka lomba menulis resensi buku terbitan mereka. Judul bukunya adalah "Dari Sihir Afrika hingga Gereja Maradona". Saya mencoba turut serta. Dan syukurlah, saya meraih juara pertama--walau saya merasa tulisan saya sangat banyak cacat. Paket buku datang ke rumah sebagai hadiah. Bukan menyoal hadiah yang jelas tak seberapa harganya. Tapi buat saya, hal yang menjadi penting bahwa sepakbola mengantarkan saya menjadi berani mengikuti sayembara menulis semacam itu. Perkara menulis adalah perkara yang dulu sempat membuat saya rendah diri. Tetapi sekali lagi, sepakbola memberanikan saya. Itu adalah lomba menulis yang pertama kali saya ikuti. Karena saya rasa menghasilkan, saya keterusan menjadi pemburu kontes tulisan hingga kini.

Maka tanpa bermaksud jumawa, saya mengunggah tulisan saya yang kebetulan menang empat tahun lalu  itu di halaman ini. Sekadar sebagai pengingat, juga sebagai upaya mengarsip tulisan sendiri. 

Berikut isi tulisan itu:



Menghayati Sepakbola sebagai Drama
Judul Buku:  Dari Sihir Afrika hingga Gereja Maradona
Penulis:        Andy Marhaendra
Penerbit:       B First (PT. Bentang Pustaka)
Cetakan:       Pertama , Mei 2010
Tebal:           280 halaman; 23,5 cm
Sebuah asumsi menyatakan bahwa separuh lebih dari penduduk dunia adalah penggemar sepakbola. Jika memang secara data dan statistik asumsi itu bisa dipertanggungjawabkan menjadi sebuah fakta, selayaknya patut dicermati, bahwa tentu ada keanehan tersendiri pada sepakbola. Keanehan yang membuat lebih dari tiga milyar manusia penghuni planet ini menggilainya. Namun bila asumsi itu sekadar hadir belaka, rasa-rasanya tetap susah diingkari bahwa sepakbola adalah sebuah bentuk euforia yang dikhidmati secara global.

Tentunya, semua itu hadir karena sepakbola tidak hanya dihayati sebagai sebentuk permainan belaka. Bukan sekadar tempik sorai kemenangan, atau pula sedu sedan kekalahan. Bukan pula melulu menyoal gawang yang dibobol atau sekadar statistik dan baris angka-angka.

Yang membuat separuh jagad gila akan sepakbola, barangkali karena kedekatan sepakbola dengan lakon kehidupan penggilanya. Lakon, berarti dimaknai dengan saratnya nuansa drama yang diperankan. Ya, sepakbola adalah drama.

Drama yang memuat silih bergantinya babak-babak selebrasi, dendam, intrik, konflik dan tragedi. Drama yang kerapkali lebih dikenang daripada sekadar permainannya sendiri. Drama yang mengabadi. Keabadian drama sepakbola itulah yang coba direkam oleh Andy Marhaendra lewat buku ini. Buku yang memuat penggalan-penggalan babak sepakbola, di luar sekadar persoalan permainannya. Dengan menggunakan pendekatan momen, Andy yang juga wartawan majalah Tempo dan Koran Tempo itu merekam ceceran drama sepakbola dari ajang Euro 2008, sebagian dari Liga Inggris, Liga Italia, Liga Spanyol, Liga Argentina, Piala Afrika, dan tentu saja bulan suci sepakbola: World Cup.

Di sinilah bisa kita dapati bukti “keabadian” drama sepakbola. Artikel-artikel yang dikumpulkan pada buku ini sebenarnya adalah artikel-artikel lawas. Lawas secara momentum. Mengingat Andy menulisnya di saat-saat event sepakbola yang sudah terlewati. Tapi tetap saja, kisah drama yang tercecer tetap saja menarik untuk disimak. Mengungkap sepakbola dari banyak ragam sudut pandang. Drama–drama yang direkam Andy terbukti tidak lekang oleh waktu. Lagipula, bukankah sekadar momen terlampau sempit untuk mencoba membingkai keagungan sepakbola?

Secara anatomi, buku ini terbagi atas empat bab. Setiap bab berisi sebelas artikel (pas sekali dengan jumlah pemain sepakbola dalam satu tim). Artikel-artikel tadi mewakili tema besar yang diusung setiap bab.
Ada bab LINE UP yang berisi tulisan mengenai tokoh dengan profil langsung maupun tidak langsung. Semisal sosok Jurgen Klinsmann sebagai ayah yang baik, dimuat di bab ini. Bab WARMING UP yang berisi tulisan yang mengisahkan inspirasi semangat nasionalisme para pelaku lapangan hijau. Misalnya, soal patrotisme pasukan Taeguk (Korea Selatan) yang hendak menyaingi Jepang. Bab INJURY TIME yang berisi tentang hal-hal unik di luar lapangan maupun di dalam lapangan. Kisah soal kekhusyukan pesepakbola muslim dalam menjalankan ibadah puasa di tengah jadwal kompetisi yang padat bisa kita dapati di sini. Dan bab TACKLING yang bertema soal sisi negatif sepakbola yang diwakili oleh permusuhan, fanatisme buta, dan kebrutalan pemuja sepakbola. Contohnya adalah kisah soal ganasnya Barrabravas, hooligan dari Argentina.
Ditulis dengan bahasa yang lugas, dengan kepekaan yang jeli terhadap kaidah-kaidah jurnalistik, membuat buku ini layak dibaca. Pengelompokkan tiap bab yang jelas juga memudahkan sampainya makna dari pesan buku ini ke pembaca. Luasnya referensi penulis juga sebuah catatan tersendiri, membawa kita yang pada hal-hal baru yang jarang diungkap, membuat pembaca semakin mengkhidmati keagungan sepakbola.
Keagungan yang sebermula sudah diwakili oleh judul buku ini. Judul buku seakan menyiratkan, bahwa sepakbola pun bisa menyentuh aspek yang tidak terlihat, dan cenderung sensitif. Aspek tadi adalah menyoal spiritualisme. Kepercayaan yang sampai menyentuh ranah gaib macam sihir ataupun sebentuk “peribadatan”. Sepakbola telah dimaknai sebagai sebentuk kepercayaan oleh sebagian golongan.

Silakan cermati soal penggunaan vuvuzela di PIala Dunia 2010. “Bila orang-orang yang bermain bola mendengar vuvuzela, mereka akan mendapat kekuatan dari roh kudus kami,” kata juru bicara Jemaat Gereja Shembe, Afrika Selatan (halaman 17).

Ataupun menyoal maraknya penggunaan juju atau ilmu hitam khas Afrika yang berdampak melukai atau membuat tim lawan tidak beruntumg. Di Afrika, juju adalah hal yang terlampau dimaklumi. Pada pertandingan antara Benin melawan Mali, kata El Haji Anjorin Moucharaf (Presiden Federasi Sepakbola Benin), "Pertandingan ini bakal berlangsung di dua lapangan: lapangan hijau dan lapangan gaib." (halaman 163).
Drama soal  spiritualisme dalam sepakbola juga menyentuh para pemimpin spiritual dunia. Beberapa orang berpengaruh di dunia spiritual ternyata adalah pengkhidmat bola. Ternyata, Paus Johannes Paulus II adalah seorang mantan penjaga gawang di klub amatir. Dan penggantinya, Kardinal Ratzinger yang dikenal sekarang sebagai Paus Benedictus XVI adalah penggemar Bayern Muenchen ( halaman 146).

Dan di Rosario, Buenos Aires, ibukota Argentina , terdapat sebuah tempat “peribadatan” untuk memuja Diego Maradona.Tempat peribadatan itu disebut dengan Iglesias Maradoniana (Gereja Maradona). Manik-manik untuk beribadat mereka namakan golario, bukannya rosario. Jumlahnya 34, sebanyak torehan gol Maradona untuk Argentina. “Pembaptisan” dilakukan dengan memukul-mukul tangan mereka dengan bola, seperti saat Maradona mencetak gol dengan tangannya ke gawang Peter Shilton pada tahun 1986. Kalendernya pun khusus, mengikuti kelahiran Maradona (halaman 258).

Bukan hanya soal spiritualisme  yang diungkap oleh buku ini untuk mengahayati sepakbola sebagai sebuah drama. Masih banyak roman sepakbola yang lain. Semisal kekonyolan Raymond Domenech yang bebal memilih para pemain dari zodiaknya, paradoks nasionalisme anggota tim nasional Jerman, dilema besar para pelatih yang menghadapi timnas tanah airnya sendiri, sepakbola yang mengatasi masalah politik di Ukraina, tragedi kemanusiaan karena persaingan sepakbola, dan banyak lagi drama yang layak dikhidmati.

Sepakbola sebagai sebuah permainan adalah persoalan adu strategi, taktik, skill, dan keberuntungan. Namun sepakbola sebagai sebuah drama, memuat banyak kisah-kisah, yang sarat dengan nuansa pembelajaran mengenai hidup, bahkan relasi etis antar umat manusia.

Masih menghayati sepakbola adalah sekadar permainan? Lupakan saja.






Tidak ada komentar:

Posting Komentar