Minggu, 27 Desember 2015

Pulang


 
Gambar diambil dari sini

Aku masih mengingat raut wajahmu, saat kita berpisah  di pintu stasiun. Angin subuh yang membelai dingin, riuh suara para porter, langkah-langkah penuh kecemasan, menemani kita untuk menghayati apa yang disebut sementara. Pergi beberapa saat lalu kembali lagi entah untuk sampai kapan.

Kumasuki perut gerbong kereta, mencari bangku bernomor 13 B, sesuai nomor tiketku. Menyandarkan punggungku yang letih di kursi, sambil mengamati orang-orang. Anak kecil yang berambut pendek yang tidur di belaian ibunya, lelaki baya dengan jaket kulit cokelat, pemuda tanggung berkumis tipis yang sedari tadi  tak mengalihkan pandangan dari gawainya.

Aku yang pelupa ini, kemudian memutar ingatan tentang kisah kita yang boleh dibilang unik. Pertemuan kita terjadi pertama kali di dalam gerbong kereta. Waktu yang singkat tidak menjadi soal untuk mengubah wajah-wajah sinis penuh kecurigaan di antara kita untuk membuka obrolan. Aku masih ingat kala itu, di luar hujan menderas, malam kian larut. Perjalanan yang panjang dan cenderung membosankan di dalam perut ular besi  membuat kita memilih memecahkan hening.

Aku canggung untuk berbasa-basi. Tapi  toh, akhirnya aku mampu melakukannya. Kita kemudian saling bertukar kisah. Aku berterima kasih pada lagu, film, dan buku sebagai mercusuar manusia modern yang sekaligus  pula bermanfaat sebagai pembuka percakapan yang paling manjur.

Usai kamu bercerita tentang anak-anak kucing yang terjebak di kolong atap, sambil melirik cincin yang melingkar di jari manismu, aku berkisah tentang sebuah film. Tentang rok Marylin Monroe yang terbang terangkat saat melewati lubang angin di pinggir jalan. Momen ikonik yang kemudian diabadikan pula dalam bentuk patung di Chicago itu ditukil dari film komedi romantik berjudul “The Seven Years Itch” yang memang dibintangi oleh Marylin Monroe dan Tom Ewell. Sambil berbuih-buih, kuceritakan film itu kepadamu. Film itu tentang Richard, seorang pria pekerja keras yang mengkhayalkan dirinya memiliki hubungan dengan tetangganya yang seksi, berambut pirang dan memiliki hobi aneh—menyimpan celana dalam di lemari es. Richard sebenarnya sudah menikah dan menjalani tahun ketujuh dalam mahligainya. Film itu kemudian dipatut-patutkan dengan statistik di dunia nyata yang menunjukkan bahwa godaan terbesar hubungan pasangan yang belum menikah sekaligus yang sudah menjalani biduk rumah tangga terjadi di tahun ketujuh.

Sabtu, 26 Desember 2015

Merawat Denyut Negeri Bersama PMI


Harapan kerap hadir di tempat yang tidak disangka, pada waktu yang tidak selalu bisa terduga. Di tengah kemelut perang kemerdekaan, di bawah represi penjajah, sebuah gagasan tentang organisasi sosial kemanusiaan untuk bangsa mencoba diwujudkan. Penolakan hadir berkali-kali, namun  asa tak layak surut. Lewat upaya yang gigih, organisasi itu akhirnya lahir sebagai harapan bangsa akan terpeliharanya nilai-nilai kemanusiaan dan kerelawanan. Tepat sebulan usai proklamasi kemerdekaan, di 17 September 1945, Presiden Soekarno meresmikan kelahiran organisasi penuh harapan tersebut, yang kemudian dinamai Palang Merah Indonesia (PMI). 

Gambar diambil dari sini

Kiprah PMI setelah itu tidak bisa dibilang sepele. PMI berandil besar terhadap penanganan berbagai peristiwa kemanusiaan di negeri ini. PMI berperan penting dalam upaya menjaga denyut negeri ini melalui berbagai aksinya di bidang sosial kemanusiaan. Mulai kiprah saat terjadi peperangan/konflik horizontal hingga kesigapan dalam penanganan berbagai bencana nasional. Dari rangkaian perang kemerdekaan hingga peristiwa Trikora di Irian Barat. Dari pemberontakan RMS hingga operasi kemanusiaan di Dilli. Dari bencana gempa bumi dahsyat di Bengkulu dan Jogjakarta, tsunami di Aceh, banjir di Gorontalo, hingga di banyak tempat lain yang dirundung duka karena bencana, PMI hadir di lini paling depan untuk menyokong aksi kemanusiaan.

Selasa, 22 Desember 2015

Surat untuk Ibu



Gambar diambil dari sini



Ibu, kuberanikan diri menulis catatan singkat ini setelah terjebak cukup lama dalam kerumunan lamunanku tentangmu. Lamunan tentang pijar di matamu yang terus membakar–hangat dan teduh. Pijar yang menemani hari-hariku yang gigil karena  dihembus kesepian yang dingin.

Ibu selalu menjadi pemenang buatku. Ketahuilah, Ibu, aku selalu nyaman memakai kemeja yang kau jahit sendiri untukku, melahap rakus makanan yang kau masak sedari subuh, menyisir bangga rambutku yang sudah kau pangkas karena kau melarangku gondrong.

Aku juga terus mengingat, Ibu, betapa aku sering merepotkanmu. Aku adalah bocah yang terlalu sering mengganggumu hanya karena sekadar ingin kerokan saat masuk angin. Aku pernah membuatmu khawatir karena mendengar aku berkelahi dengan teman-teman masa kecilku dan kemudian pulang dengan kepala yang bocor berdarah-darah. Aku juga pernah membuatmu menjerit panik ketika hampir seluruh tungkai kakiku terbakar karena tersiram minyak panas. Aku juga yang membuatmu sedih karena aku dulu seringkali pulang bermain bola dengan rajin membawa oleh-oleh: luka babras di lutut dan sekujur kaki.  Aku pula, Ibu, yang membuatmu menangis sedih usai suatu ketika kau dapati aku mencuri uang di dalam almari.

Sabtu, 12 Desember 2015

Ilusi Golongan Putih




 
Gambar diambil dari sini
Di luar sana, sedang riuh usai helatan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia.  Karena ini ajang pemilihan, maka ketentuannya adalah memilih. Baik  memilih pasangan calon (kerap disingkat menjadi paslon) maupun memilih untuk tidak memilih. Yang terakhir ini mendaku diri sebagai golongan putih atau kerapkali disebut golput.

Di daerah saya—sebagaimana di daerah lainnya, angka golputnya sangat tinggi. Nyaris  sama dengan jumlah penduduk yang menyumbangkan suara untuk memilih paslon yang berlaga.  Artinya, jumlah yang golput nyaris separuh dari total jumlah penduduk di daerah saya. Tentu saja itu bukan sebuah pencapaian yang baik,  saya kira. 

Kecenderungan menjadi golput kerapkali dimulai dengan adanya sikap antipati terhadap sistem politik yang berlangsung. Golongan ini berpikir bahwa menjadi golput adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap kegagahan sistem. Dengan golput, mereka berharap  bisa merobohkan sekaligus mencerabut kelemahan sistem hingga ke akar-akarnya.

Pertanyaannya sekarang: apakah sikap semacam ini masih relevan? Buat saya tidak. Menjadi golput dengan dasar seperti yang diujar di atas tidak menghasilkan apa-apa, selain kecenderungan kecurangan yang bisa membesar, ditambah peluang kemenangan jatuh ke tangan orang yang kurang tepat juga bertambah.  Menjadi golput berandil besar pada kertas-kertas yang menjadi sampah tanpa arti atau justru berpeluang disalahgunakan. Maka memang, menjadi golput juga segaris dengan pemborosan karena bagaimanapun sarana dan prasarana sudah mencoba disesuaikan dengan jumlah seluruh penduduk.