Selasa, 22 Desember 2015

Surat untuk Ibu



Gambar diambil dari sini



Ibu, kuberanikan diri menulis catatan singkat ini setelah terjebak cukup lama dalam kerumunan lamunanku tentangmu. Lamunan tentang pijar di matamu yang terus membakar–hangat dan teduh. Pijar yang menemani hari-hariku yang gigil karena  dihembus kesepian yang dingin.

Ibu selalu menjadi pemenang buatku. Ketahuilah, Ibu, aku selalu nyaman memakai kemeja yang kau jahit sendiri untukku, melahap rakus makanan yang kau masak sedari subuh, menyisir bangga rambutku yang sudah kau pangkas karena kau melarangku gondrong.

Aku juga terus mengingat, Ibu, betapa aku sering merepotkanmu. Aku adalah bocah yang terlalu sering mengganggumu hanya karena sekadar ingin kerokan saat masuk angin. Aku pernah membuatmu khawatir karena mendengar aku berkelahi dengan teman-teman masa kecilku dan kemudian pulang dengan kepala yang bocor berdarah-darah. Aku juga pernah membuatmu menjerit panik ketika hampir seluruh tungkai kakiku terbakar karena tersiram minyak panas. Aku juga yang membuatmu sedih karena aku dulu seringkali pulang bermain bola dengan rajin membawa oleh-oleh: luka babras di lutut dan sekujur kaki.  Aku pula, Ibu, yang membuatmu menangis sedih usai suatu ketika kau dapati aku mencuri uang di dalam almari.


Ibu juga pernah bilang bahwa Ibu senang naik kereta api. Ibu ingin berdua bersamaku menyusuri jalur-jalur kereta api, singgah di stasiun demi stasiun. Menyaksikan kepergian. Mengkhidmati kepulangan.

Ibu adalah pustakawan paling cantik sedunia. Ibu yang kerap menata buku-buku di perpustakaan kecilku, sambil terkadang mengomel jika ada beberapa dari mereka tergeletak berantakan di lantai, mengingatkan keacuhanku. Tentu saja, Ibu juga adalah perpustakaan pertamaku. Tempat yang selalu rindu kujelajahi selasar-selasarnya untuk kubaca agar dapat kumaknai kalam-kalam di luar sana. Ibulah yang mengerkah kelu di lidahku, memberikan cakrawala luas untuk kugayuh.

Tahukah kau, Ibu, bahwa pernah kucuri fotomu diam-diam dari album keluarga, kusembunyikan di balik buku catatan kecil yang kubawa ke mana-mana? Ketahuilah, ibu, itu yang dulu kerap menyelamatkanku kala aku dikepung rindu yang menyerangku di tanah perantauan selain upaya meneleponmu di malam hari. Suaramu di seberang sana adalah senandung agung yang membuaiku dari deru kehidupan yang berisik.

Ibu, kuminta maaf darimu jika kusering merutuki hidup yang bagiku kerap tak adil. Aku dulu sering ingin terlihat heroik dengan mati muda. Betapa konyol, ya, Ibu? Aku tidak sepertimu yang tidak pernah mengeluh. Mungkin anakmu ini, Ibu, kadang hanya sukar mengakui kelemahan sendiri lalu mencari muara pembenaran dan bermain-main di sana.

Ibu, pada helai-helai rambutmu yang beruban, kutemukan kebijaksanaan yang menjulang. Pada keriput-keriput di jidatmu yang kerap kucium, kudapatkan luasnya waskita. Pada lengan tuamu yang memeluk badanku yang bongsor, kudapatkan dunia.

Maka, Ibu, tak sedikitpun anak lelakimu ini akan berani menentang apapun yang kau ucap—setitik noktah pun. Doamu menyeruak dan meraupi semesta.  Cintamu sebenar-benar abadi. Kasihmu kekal.

Ibu, kau adalah nilai tanpa sumpah, api tanpa debu*. Ibu adalah mata air yang terus mengalir, udara yang terus berhembus, cahaya yang terus bersinar.  Ibu adalah aksara yang terus menerus tertulis, kisah yang tak akan usai, kebaikan yang tiada terputus.

Kepada Ibu, kupersembahkan diriku.

---
*Ungkapan yang dipinjam dari Pramoedya Ananta Toer




Tidak ada komentar:

Posting Komentar