Gambar diambil dari sini |
Ibu, kuberanikan diri menulis catatan
singkat ini setelah terjebak cukup lama dalam kerumunan lamunanku tentangmu.
Lamunan tentang pijar di matamu yang terus membakar–hangat dan teduh. Pijar
yang menemani hari-hariku yang gigil karena dihembus kesepian yang dingin.
Ibu selalu menjadi pemenang buatku.
Ketahuilah, Ibu, aku selalu nyaman memakai kemeja yang kau jahit sendiri
untukku, melahap rakus makanan yang kau masak sedari subuh, menyisir bangga
rambutku yang sudah kau pangkas karena kau melarangku gondrong.
Aku juga terus mengingat, Ibu, betapa
aku sering merepotkanmu. Aku adalah bocah yang terlalu sering mengganggumu
hanya karena sekadar ingin kerokan saat
masuk angin. Aku pernah membuatmu khawatir karena mendengar aku berkelahi dengan
teman-teman masa kecilku dan kemudian pulang dengan kepala yang bocor
berdarah-darah. Aku juga pernah membuatmu menjerit panik ketika hampir seluruh
tungkai kakiku terbakar karena tersiram minyak panas. Aku juga yang membuatmu
sedih karena aku dulu seringkali pulang bermain bola dengan rajin membawa
oleh-oleh: luka babras di lutut dan sekujur kaki. Aku pula, Ibu, yang membuatmu menangis sedih
usai suatu ketika kau dapati aku mencuri uang di dalam almari.
Ibu juga pernah bilang bahwa Ibu senang
naik kereta api. Ibu ingin berdua bersamaku menyusuri jalur-jalur kereta api,
singgah di stasiun demi stasiun. Menyaksikan kepergian. Mengkhidmati
kepulangan.
Ibu adalah pustakawan paling cantik
sedunia. Ibu yang kerap menata buku-buku di perpustakaan kecilku, sambil
terkadang mengomel jika ada beberapa dari mereka tergeletak berantakan di
lantai, mengingatkan keacuhanku. Tentu saja, Ibu juga adalah perpustakaan
pertamaku. Tempat yang selalu rindu kujelajahi selasar-selasarnya untuk kubaca
agar dapat kumaknai kalam-kalam di luar sana. Ibulah yang mengerkah kelu di
lidahku, memberikan cakrawala luas untuk kugayuh.
Tahukah kau, Ibu, bahwa pernah kucuri
fotomu diam-diam dari album keluarga, kusembunyikan di balik buku catatan kecil
yang kubawa ke mana-mana? Ketahuilah, ibu, itu yang dulu kerap menyelamatkanku
kala aku dikepung rindu yang menyerangku di tanah perantauan selain upaya
meneleponmu di malam hari. Suaramu di seberang sana adalah senandung agung yang
membuaiku dari deru kehidupan yang berisik.
Ibu, kuminta maaf darimu jika kusering
merutuki hidup yang bagiku kerap tak adil. Aku dulu sering ingin terlihat
heroik dengan mati muda. Betapa konyol, ya, Ibu? Aku tidak sepertimu yang tidak
pernah mengeluh. Mungkin anakmu ini, Ibu, kadang hanya sukar mengakui kelemahan
sendiri lalu mencari muara pembenaran dan bermain-main di sana.
Ibu, pada helai-helai rambutmu yang
beruban, kutemukan kebijaksanaan yang menjulang. Pada keriput-keriput di
jidatmu yang kerap kucium, kudapatkan luasnya waskita. Pada lengan tuamu yang
memeluk badanku yang bongsor, kudapatkan dunia.
Maka, Ibu, tak sedikitpun anak lelakimu
ini akan berani menentang apapun yang kau ucap—setitik noktah pun. Doamu
menyeruak dan meraupi semesta. Cintamu
sebenar-benar abadi. Kasihmu kekal.
Ibu, kau adalah nilai tanpa sumpah, api
tanpa debu*. Ibu adalah mata air yang terus mengalir, udara yang terus
berhembus, cahaya yang terus bersinar.
Ibu adalah aksara yang terus menerus tertulis, kisah yang tak akan usai,
kebaikan yang tiada terputus.
Kepada Ibu, kupersembahkan diriku.
---
*Ungkapan yang dipinjam dari Pramoedya
Ananta Toer
Tidak ada komentar:
Posting Komentar