Gambar diambil dari sini |
Aku
masih mengingat raut wajahmu, saat kita berpisah di pintu stasiun.
Angin subuh yang membelai dingin, riuh suara para porter, langkah-langkah penuh
kecemasan, menemani kita untuk menghayati apa yang disebut sementara. Pergi beberapa saat lalu kembali lagi entah untuk sampai kapan.
Kumasuki
perut gerbong kereta, mencari bangku bernomor 13 B, sesuai nomor tiketku. Menyandarkan
punggungku yang letih di kursi, sambil mengamati orang-orang. Anak kecil yang
berambut pendek yang tidur di belaian ibunya, lelaki baya dengan jaket kulit
cokelat, pemuda tanggung berkumis tipis yang sedari tadi tak mengalihkan pandangan dari gawainya.
Aku yang
pelupa ini, kemudian memutar ingatan tentang kisah kita yang boleh dibilang
unik. Pertemuan kita terjadi pertama kali di dalam gerbong kereta. Waktu yang singkat tidak menjadi soal untuk
mengubah wajah-wajah sinis penuh kecurigaan di antara kita untuk membuka
obrolan. Aku masih ingat kala itu, di luar hujan menderas, malam kian larut.
Perjalanan yang panjang dan cenderung membosankan di dalam perut ular besi membuat kita memilih memecahkan hening.
Aku
canggung untuk berbasa-basi. Tapi toh, akhirnya aku mampu melakukannya. Kita
kemudian saling bertukar kisah. Aku berterima kasih pada lagu, film, dan buku
sebagai mercusuar manusia modern yang sekaligus pula bermanfaat sebagai pembuka percakapan
yang paling manjur.
Usai kamu
bercerita tentang anak-anak kucing yang terjebak di kolong atap, sambil melirik
cincin yang melingkar di jari manismu, aku berkisah tentang sebuah film.
Tentang rok Marylin Monroe yang terbang terangkat saat melewati lubang angin di
pinggir jalan. Momen ikonik yang kemudian diabadikan pula dalam bentuk patung
di Chicago itu ditukil dari film komedi romantik berjudul “The Seven Years Itch” yang memang dibintangi oleh Marylin Monroe
dan Tom Ewell. Sambil berbuih-buih, kuceritakan film itu kepadamu. Film itu
tentang Richard, seorang pria pekerja keras yang mengkhayalkan dirinya memiliki
hubungan dengan tetangganya yang seksi, berambut pirang dan memiliki hobi aneh—menyimpan
celana dalam di lemari es. Richard sebenarnya sudah menikah dan menjalani tahun
ketujuh dalam mahligainya. Film itu kemudian dipatut-patutkan dengan statistik
di dunia nyata yang menunjukkan bahwa godaan terbesar hubungan pasangan yang
belum menikah sekaligus yang sudah menjalani biduk rumah tangga terjadi di
tahun ketujuh.
Melihatmu
antusias menyimak, aku iseng bertanya, “Kau sudah menjalani tahun ke berapa?”
Kau ternyata
tak langsung menjawab. Sambil gamang dan menatap cincinmu, kamu menjawab lirih,
“Lima tahun.”
Seperti
ada hal yang kau sembunyikan, namun tak coba kuusik. Aku saat itu tiba-tiba
teringat kalimat yang pernah ditulis oleh Aan Mansyur, penyair favoritmu itu. Tulisnya,
“Seringkali ada kesedihan yang terlampau
besar sehingga cuma rahasia yang mampu menampungnya.”
Kereta
melaju melambat. Derunya terdengar mengeras. Di luar, hujan terdengar kian
menderas.
***
“Apa
impianmu?”
Pertanyaanmu
ragu terucap. Aku tak lekas menjawab. Karena aku sama-sama ragu bila mendapat
pertanyaan semacam ini. Aku mengerti, apalah arti manusia tanpa impian.
Peradaban manusia mencatat impian adalah penyelamat hidup—sekaligus penjerumusnya.
Maka menjawab pertanyaan soal impian aku harus berhati-hati.
Dulu
aku ingin belajar ilmu hitung hingga ke luar negeri. Mengerkah ilmu dengan
rakus. Menyusupi keheningan angka-angka matematika yang sebenarnya begitu
puitis. Terseret dalam pusaran sensasi dan kedalaman pengetahuan. Berpindah-pindah dari
perpustakaan ke perpustakaan, dari forum ke forum yang lain, menyalakan api
ilmu. Tentu tidak saja hanya itu. Aku juga ingin melakukan perjalanan demi
perjalanan. Menikmati tempat-tempat indah di seluruh dunia. Ah, betapa
mengasyikkannya.
Impian
bukan kembang gula kehidupan, tentu saja. Kecuali untuk orang-orang yang
beruntung sejak dalam lahir. Jangan lupa, hidup tak adil-adil amat. Dunia
memang begitu, ingatlah. Dan aku mendapat bagian peran normal, yaitu
orang-orang yang memang harus berletih-letih dan bersusah payah untuk menggapai
apa yang ditanamnya di dalam impian.
Kendati
hanya sedikit bergeser, aku mungkin berhasil berada pada titik yang aku impikan
dulu. Aku berhasil menjadi sarjana lulusan universitas tersohor. Mengajar
sekaligus plesir di banyak tempat. Hanya saja, negara yang aku singgahi tak
sebanyak yang aku angankan dulu. Gairah ilmu yang membara juga kadang berpendar
lemah karena di manapun, kulihat selalu ada celah untuk disusupi orang-orang lancung.
Hingga
usia menuntunku pada jembatan-jembatan yang memisahkan pola pikir satu dengan pola
pikir yang lain. Jembatan yang membuatku
mengerti bahwa hidup tak selinear impian kita. Jembatan yang menyadarkanku
bahwa di mana saja, hidup bisa sama indah sekaligus sama kejamnya. Manusia bisa
sama bijak sekaligus sama bengisnya. Bianglala sama eloknya. Subuh sama
sunyinya. Hujan sama syahdunya. Di Venezia atau di Surabaya. Di Moskow atau
di Makassar. Di Kyoto atau di Mojokerto.
***
Aku
terjaga ketika kereta sudah sampai di stasiun akhir. Tertidur cukup pulas di
sepanjang perjalanan membuatku tidak menyadari banyak bangku di sekitarku
kosong. Aku menggamit ranselku, lalu bergegas turun. Orang-orang melangkah
cepat menuju pintu keluar. Di ujung sana, terlihat sekerumunan manusia menanti
orang-orang yang ditunggunya masing-masing.
Aku
memilih melambat. Berjalan pelan sambil mengingatmu dan pertanyaan yang pernah
kauajukan. Tentang impian, barangkali sebaiknya manusia menyusunnya
berundak-undak seperti anak tangga. Yang menjadi penting bukan seberapa tinggi
tangga membawa kita. Tapi sejauh mana kita mengkhidmati perjalanan di setiap
undakan. Menyadari setiap langkah. Kesadaran memang kian langka.
Aku
ingat, dulu seorang pendeta Budha pernah bilang kepadaku, bahwa tujuan mereka
bermeditasi adalah hanya untuk mengkhidmati dan menyadari keberadaan mereka
saat itu. Tanpa terikat masa lalu, tanpa terseret masa depan. Meditasi buat
mereka adalah latihan untuk menjaga tubuh agar selalu
eling ketika menjalani laku sehari-hari.
Di
pintu keluar, kulihat wajah-wajah yang riang. Senyum yang lepas dan tawa yang
berderai. Orang-orang itu, berbahagialah mereka, ketika mereka bertemu dengan
orang-orang yang menunggu dan yang mereka tunggu. Orang-orang yang menjadi
alasan untuk pulang.
Aku
duduk di bangku di luar peron. Sambil mengunyah kudapan ringan, aku mencoba
menyadarkan diriku sendiri tentang impianku pada tangga yang aku pijak
sekarang. Tangga yang kubuat dengan sederhana.
Aku
ingin terus menjadikanmu alasan untukku pulang. Alasan untukku selalu kembali
dari perjalananku. Alasan yang memelukku hangat dan mengajakku menertawakan
hidup. Alasan yang mengajakku berbicara tentang hal-hal kecil. Alasan untuk
memperbaiki kesalahan bersama-sama. Alasan yang juga membuatku berani mengebiri
egoku untuk terus berjalan bersamamu.
Dari
luar stasiun, kudengar suara melengking penanda kereta selanjutnya bersiap
berangkat. Aku segera melangkah menjauh. Tanpa pernah kutahu, barangkali di
antara orang-orang di dalam kereta itu ada mereka yang memiliki alasan serupa
denganku. Alasan yang menguatkan mereka saat harus pergi untuk kembali suatu
saat nanti. Mereka adalah orang-orang yang merawat impian untuk menjadikan
seseorang menjadi alasan pulang. Impian yang membuat mereka sedikit bebal
karena tidak peduli, bahwa sebagaimana baja rel kereta, ada kisah-kisah yang
pada akhirnya ditakdirkan terus berjalan, berdekatan, dan beriringan, namun
tidak pernah bermuara pada titik yang sama.
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapus