Gambar diambil dari sini |
Di
luar sana, sedang riuh usai helatan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan
serentak di seluruh Indonesia. Karena
ini ajang pemilihan, maka ketentuannya adalah memilih. Baik memilih pasangan calon (kerap disingkat
menjadi paslon) maupun memilih untuk tidak memilih. Yang terakhir ini mendaku
diri sebagai golongan putih atau kerapkali disebut golput.
Di
daerah saya—sebagaimana di daerah lainnya, angka golputnya sangat tinggi.
Nyaris sama dengan jumlah penduduk yang
menyumbangkan suara untuk memilih paslon yang berlaga. Artinya, jumlah yang golput nyaris separuh
dari total jumlah penduduk di daerah saya. Tentu saja itu bukan sebuah
pencapaian yang baik, saya kira.
Kecenderungan
menjadi golput kerapkali dimulai dengan adanya sikap antipati terhadap sistem
politik yang berlangsung. Golongan ini berpikir bahwa menjadi golput adalah
sebuah bentuk perlawanan terhadap kegagahan sistem. Dengan golput, mereka
berharap bisa merobohkan sekaligus mencerabut
kelemahan sistem hingga ke akar-akarnya.
Pertanyaannya
sekarang: apakah sikap semacam ini masih relevan? Buat saya tidak. Menjadi
golput dengan dasar seperti yang diujar di atas tidak menghasilkan apa-apa,
selain kecenderungan kecurangan yang bisa membesar, ditambah peluang kemenangan
jatuh ke tangan orang yang kurang tepat juga bertambah. Menjadi golput berandil besar pada
kertas-kertas yang menjadi sampah tanpa arti atau justru berpeluang
disalahgunakan. Maka memang, menjadi golput juga segaris dengan
pemborosan karena bagaimanapun sarana dan prasarana sudah mencoba disesuaikan
dengan jumlah seluruh penduduk.
Kecenderungan
lainnya yang secara umum membuat orang memilih menjadi golput adalah anggapan
bahwa politik itu tidak penting dan terpisah dengan kehidupan sehari-hari. “Siapapun
yang menang, hidup saya tidak berubah”. Biasanya itu yang menjadi gumam orang
kebanyakan. Menyoal ini, tentu saja saya memilih berseberangan. Politik adalah
hal penting dan sangat erat dengan kehidupan sehari-hari. Mulai mata melek usai terbangun dari tidur,
kemudian menjalani sengkarut aktivitas hingga rehat, merem lagi, dan ditempa
siklus yang terus berulang dengan ragam
variasinya hingga kita mati, kita selalu berbenturan dengan produk hasil
kebijakan politik. Listrik, air, kendaraan, pendidikan, kesehatan, pelayanan
publik, bahan pokok, dan berderet-deret kebutuhan kita sehari-hari sangat
melekat erat dengan kebijakan politik.
Permasalahannya
adalah kita buta akan politik. Kemungkinan lebih tepatnya lagi, “dibutakan”
secara politik. Akses informasi akan kesadaran politik tidak berimbang dengan
tingginya kesibukan akan pemenuhan kebutuhan hidup yang menghimpit. Sehingga
alih-alih memiliki kesadaran dan pemahaman politik, banyak orang yang justru
meributkan perkara-perkara yang teramat mendasar, semisal lapangan kerja yang
menipis, harga kebutuhan pokok yang melambung, biaya kesehatan yang meroket,
biaya pendidikan yang sukar digapai, maraknya kerusuhan horizontal, sentimen
antar agama, atau sederet distraksi lainnya. Tak kurang, sebagai pelengkap juga dihadirkan
banyak perkara yang membutuhkan tenaga lebih untuk menyimak, semisal
ketimpangan hukum, tingginya angka kriminalitas, dan lain sebagainya.
Buat
saya ini unik. Segerombol masalah yang disebut di atas sebenarnya justru
memiliki banyak jalan keluar melalui sektor politik. Masyarakat yang seharusnya
paham akan hal itu justru menjadi sebaliknya karena energi mereka sudah habis.
Akhirnya mereka menjadi antipati terhadap politik. Dan ketika setiap helatan
yang berbau politik digelar, mereka menjadi enggan. Ini seirama dengan apa yang
diujar secara pedas oleh Bertolt Brecht, seorang pemikir dan penyair dari
Jerman, tentang hal ini. Katanya, “Buta
yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan
tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup,
harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada
keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh hingga ia bangga dan
membusungkan dadanya dengan mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu
tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan
pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi busuk, rusaknya perusahaan
nasional dan multinasional.”
Namun
apakah semua yang golput itu benar-benar melakukan secara sadar karena mereka
abai akan perihal politik? Tentu saja tidak. Ini negeri yang aneh,
barangkali. Begitu banyak orang menjadi
golput padahal mereka sebenarnya ingin tidak menjadi buta politik—meminjam
istilah Brecht tadi. Di rumah sakit, misalnya, adalah tempat di mana begitu
banyak hak pilih raib karena perihal kebijakan pemungutan suara dalam pemilihan
umum. Mereka yang bekerja di rumah sakit, pasien, keluarga pasien, tidak dapat
berpartisipasi karena memang tidak bisa memberikan suaranya akibat
peraturan-peraturan. Mereka ini biasanya berasal dari berbagai daerah dan
diharuskan memilih di tempat yang sudah ditentukan berdasarkan daerah
masing-masing. Sehingga ketika mereka sudah berada di daerah rumah sakit, hak pilih
mereka raib. Sebenarnya bisa diatasi dengan meminta surat perpindahan
pemungutan suara. Tapi alih-alih mengurusi itu, mereka yang sakit atau
menunggui keluarga yang sakit tentu saja lebih memfokuskan diri untuk mengurus keluarganya
yang sakit.
Selanjutnya,
apakah mereka yang tidak golput semuanya mutlak berniat tulus untuk kebaikan
segala renik di negeri ini dengan berpartisipasi pada sistem politik? Saya
tentu saja enggan menjadi naïf dengan mengamini mentah-mentah pertanyaan ini.
Berangkat dari antipati terhadap dunia politik, ditambah kemampuan menambah
wawasan politik yang tipis karena alihnya perhatian kepada hal-hal dasar, maka
bukan tidak mungkin mereka yang tidak golput juga memilih secara sembarangan.
Menggunakan hak suara tidak dikhidmati sebagai perkara yang diyakini penting.
Orang-orang ini akhirnya menggunakan hak suara tidak atas dasar pemahaman dan
keyakinannya lagi, melainkan karena iming-iming. Tentu saja uang adalah
iming-iming yang paling menggoda.
Yang
tak kalah penting ditanyakan, seberapa jauh kredibilitas sistem politik di negeri ini sehingga suara pemilih menjadi
sangat berarti dan mereka yang tidak memilih menjadi patut disayangkan? Tentu
saja, ada baiknya kita tidak menggeneralisir. Namun akui saja, bahwa sistem politik di tempat
kita juga tidak baik-baik amat. Kita sebenarnya tidak memilih sesuai hati
nurani kita, melainkan mencoba memilih orang-orang yang sudah dipilihkan untuk
dipilih sesuai hati nurani. Apakah yang kita pilih kelak tidak memiliki
kecenderungan menjadi bejat sekaligus tiran? Tentu saja kita tidak bisa
menjamin. Dan politik bukan hanya perkara menjamin sifat manusia.
Menjadi
tidak golput—meminjam istilah Franz Magnis Suseno, adalah bukan untuk memilih yang terbaik, tapi untuk
mencegah yang terburuk berkuasa. Tentu saja kita sejatinya harus kembali
mengingat, bahwa kita semua adalah
manusia yang punya sama-sama mempunyai kecenderungan menjadi bijak bestari
sekaligus menjadi Brutus. Maka sebaiknya kita menggunakan akal sehat untuk berpartisipasi dalam sistem tertua yang
dibangun oleh peradaban manusia ini. Akal sehat yang mengingatkan kita bahwa
kelak, suka atau tidak suka, andil dari akumulasi pilihan semua orang akan
mengantarkan kita pada kebijakan sistem yang mempengaruhi hampir semua gerak
kita. Maka yang menjadi selemah-lemah
iman bukan sekadar berdoa menunggu kebaikan datang, melainkan ketidakpedulian
yang diikuti oleh gerutu dan keluhan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar