Sabtu, 12 Desember 2015

Ilusi Golongan Putih




 
Gambar diambil dari sini
Di luar sana, sedang riuh usai helatan pemilihan kepala daerah yang dilaksanakan serentak di seluruh Indonesia.  Karena ini ajang pemilihan, maka ketentuannya adalah memilih. Baik  memilih pasangan calon (kerap disingkat menjadi paslon) maupun memilih untuk tidak memilih. Yang terakhir ini mendaku diri sebagai golongan putih atau kerapkali disebut golput.

Di daerah saya—sebagaimana di daerah lainnya, angka golputnya sangat tinggi. Nyaris  sama dengan jumlah penduduk yang menyumbangkan suara untuk memilih paslon yang berlaga.  Artinya, jumlah yang golput nyaris separuh dari total jumlah penduduk di daerah saya. Tentu saja itu bukan sebuah pencapaian yang baik,  saya kira. 

Kecenderungan menjadi golput kerapkali dimulai dengan adanya sikap antipati terhadap sistem politik yang berlangsung. Golongan ini berpikir bahwa menjadi golput adalah sebuah bentuk perlawanan terhadap kegagahan sistem. Dengan golput, mereka berharap  bisa merobohkan sekaligus mencerabut kelemahan sistem hingga ke akar-akarnya.

Pertanyaannya sekarang: apakah sikap semacam ini masih relevan? Buat saya tidak. Menjadi golput dengan dasar seperti yang diujar di atas tidak menghasilkan apa-apa, selain kecenderungan kecurangan yang bisa membesar, ditambah peluang kemenangan jatuh ke tangan orang yang kurang tepat juga bertambah.  Menjadi golput berandil besar pada kertas-kertas yang menjadi sampah tanpa arti atau justru berpeluang disalahgunakan. Maka memang, menjadi golput juga segaris dengan pemborosan karena bagaimanapun sarana dan prasarana sudah mencoba disesuaikan dengan jumlah seluruh penduduk.


Kecenderungan lainnya yang secara umum membuat orang memilih menjadi golput adalah anggapan bahwa politik itu tidak penting dan terpisah dengan kehidupan sehari-hari. “Siapapun yang menang, hidup saya tidak berubah”.  Biasanya itu yang menjadi gumam orang kebanyakan. Menyoal ini, tentu saja saya memilih berseberangan. Politik adalah hal penting dan sangat erat dengan kehidupan sehari-hari.  Mulai mata melek usai terbangun dari tidur, kemudian menjalani sengkarut aktivitas hingga rehat, merem lagi, dan ditempa siklus yang terus  berulang dengan ragam variasinya hingga kita mati, kita selalu berbenturan dengan produk hasil kebijakan politik. Listrik, air, kendaraan, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, bahan pokok, dan berderet-deret kebutuhan kita sehari-hari sangat melekat erat dengan kebijakan politik. 

Permasalahannya adalah kita buta akan politik. Kemungkinan lebih tepatnya lagi, “dibutakan” secara politik. Akses informasi akan kesadaran politik tidak berimbang dengan tingginya kesibukan akan pemenuhan kebutuhan hidup yang menghimpit. Sehingga alih-alih memiliki kesadaran dan pemahaman politik, banyak orang yang justru meributkan perkara-perkara yang teramat mendasar, semisal lapangan kerja yang menipis, harga kebutuhan pokok yang melambung, biaya kesehatan yang meroket, biaya pendidikan yang sukar digapai, maraknya kerusuhan horizontal, sentimen antar agama, atau sederet distraksi lainnya. Tak  kurang, sebagai pelengkap juga dihadirkan banyak perkara yang membutuhkan tenaga lebih untuk menyimak, semisal ketimpangan hukum, tingginya angka kriminalitas, dan lain sebagainya.

Buat saya ini unik. Segerombol masalah yang disebut di atas sebenarnya justru memiliki banyak jalan keluar melalui sektor politik. Masyarakat yang seharusnya paham akan hal itu justru menjadi sebaliknya karena energi mereka sudah habis. Akhirnya mereka menjadi antipati terhadap politik. Dan ketika setiap helatan yang berbau politik digelar, mereka menjadi enggan. Ini seirama dengan apa yang diujar secara pedas oleh Bertolt Brecht, seorang pemikir dan penyair dari Jerman, tentang hal ini. Katanya, “Buta yang terburuk adalah buta politik. Dia tidak mendengar, tidak berbicara, dan tidak berpartisipasi dalam peristiwa politik. Dia tidak tahu bahwa biaya hidup, harga tepung, biaya sewa, harga sepatu dan obat, semua tergantung pada keputusan politik. Orang yang buta politik begitu bodoh hingga ia bangga dan membusungkan dadanya dengan mengatakan bahwa ia membenci politik. Si dungu tidak tahu bahwa dari kebodohan politiknya lahir pelacur, anak terlantar, dan pencuri terburuk dari semua pencuri, politisi busuk, rusaknya perusahaan nasional dan multinasional.”

Namun apakah semua yang golput itu benar-benar melakukan secara sadar karena mereka abai akan perihal politik? Tentu saja tidak. Ini negeri yang aneh, barangkali.  Begitu banyak orang menjadi golput padahal mereka sebenarnya ingin tidak menjadi buta politik—meminjam istilah Brecht tadi. Di rumah sakit, misalnya, adalah tempat di mana begitu banyak hak pilih raib karena perihal kebijakan pemungutan suara dalam pemilihan umum. Mereka yang bekerja di rumah sakit, pasien, keluarga pasien, tidak dapat berpartisipasi karena memang tidak bisa memberikan suaranya akibat peraturan-peraturan. Mereka ini biasanya berasal dari berbagai daerah dan diharuskan memilih di tempat yang sudah ditentukan berdasarkan daerah masing-masing. Sehingga ketika mereka sudah berada di daerah rumah sakit, hak pilih mereka raib. Sebenarnya bisa diatasi dengan meminta surat perpindahan pemungutan suara. Tapi alih-alih mengurusi itu, mereka yang sakit atau menunggui keluarga yang sakit tentu saja lebih memfokuskan diri untuk mengurus keluarganya yang sakit.  

Selanjutnya, apakah mereka yang tidak golput semuanya mutlak berniat tulus untuk kebaikan segala renik di negeri ini dengan berpartisipasi pada sistem politik? Saya tentu saja enggan menjadi naïf dengan mengamini mentah-mentah pertanyaan ini. Berangkat dari antipati terhadap dunia politik, ditambah kemampuan menambah wawasan politik yang tipis karena alihnya perhatian kepada hal-hal dasar, maka bukan tidak mungkin mereka yang tidak golput juga memilih secara sembarangan. Menggunakan hak suara tidak dikhidmati sebagai perkara yang diyakini penting. Orang-orang ini akhirnya menggunakan hak suara tidak atas dasar pemahaman dan keyakinannya lagi, melainkan karena iming-iming. Tentu saja uang adalah iming-iming yang paling menggoda.

Yang tak kalah penting ditanyakan, seberapa jauh kredibilitas sistem politik  di negeri ini sehingga suara pemilih menjadi sangat berarti dan mereka yang tidak memilih menjadi patut disayangkan? Tentu saja, ada baiknya kita tidak menggeneralisir. Namun akui saja, bahwa sistem politik di tempat kita juga tidak baik-baik amat. Kita sebenarnya tidak memilih sesuai hati nurani kita, melainkan mencoba memilih orang-orang yang sudah dipilihkan untuk dipilih sesuai hati nurani. Apakah yang kita pilih kelak tidak memiliki kecenderungan menjadi bejat sekaligus tiran? Tentu saja kita tidak bisa menjamin. Dan politik bukan hanya perkara menjamin sifat manusia.

Menjadi tidak golput—meminjam istilah  Franz  Magnis Suseno, adalah bukan  untuk memilih yang terbaik, tapi untuk mencegah yang terburuk berkuasa. Tentu saja kita sejatinya harus kembali mengingat,  bahwa kita semua adalah manusia yang punya sama-sama mempunyai kecenderungan menjadi bijak bestari sekaligus menjadi Brutus. Maka sebaiknya kita menggunakan akal sehat untuk  berpartisipasi dalam sistem tertua yang dibangun oleh peradaban manusia ini. Akal sehat yang mengingatkan kita bahwa kelak, suka atau tidak suka, andil dari akumulasi pilihan semua orang akan mengantarkan kita pada kebijakan sistem yang mempengaruhi hampir semua gerak kita.  Maka yang menjadi selemah-lemah iman bukan sekadar berdoa menunggu kebaikan datang, melainkan ketidakpedulian yang diikuti oleh gerutu dan keluhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar