Jember adalah kota yang memberikan banyak kesan buat saya. Maklum, saya hidup di kota ini. Tapi ternyata, saya sangat jarang menulis ihwal Jember dan tokoh-tokoh penting dari Kota Tembakau ini. Setelah membongkar arsip tulisan, saya menemukan tulisan saya tentang Njoto, tokoh PKI berpengaruh yang memegang peranan besar bagi partai merah itu. Njoto, sempat melewatkan masa kecilnya yang bahagia di kota Jember. Berikut tulisan lengkap saya yang sumbernya banyak berasal dari serial bundel buku TEMPO yang berjudul "Orang Kiri Indonesia".
Njoto, Sang Flamboyan Merah |
Kawasan Jalan Samanhudi sudah tampak ramai sedari pagi. Orang-orang
mulai sibuk membuka lapak dagangannya. Maklum saja, ini adalah kawasan
pasar tradisional. Warga Jember menamainya Pasar Tanjung. Di sini,
bergaung bahasa pasar yang ramah. Jauh dari bahasa pasar yang angkuh ala
ritel. Jauh pula dari gagah-gagahan kapital. Rasa-rasanya, Njoto,
Sang Flamboyan Komunis itu, bakal senang sungguh melihat suasana
pasar ini.
Pedagang, pembeli, dan orang-orang yang sibuk beraktivitas di sana,
barangkali tak ada yang paham benar, bahwa tak jauh dari tempat itu,
tepatnya di Kampung Tempean Gang Tiga, tersimpan banyak kenangan
seorang Njoto. Di kawasan itulah, Njoto menghabiskan masa kecilnya,
dalam asuhan kakeknya, Marjono, yang juga dikenal sebagai seorang
pemborong. Sementara sang Bapak, Raden Sosro, adalah seorang pengusaha
batik tulis, blangkon, dan jamu membuka usaha di kawasan Bondowoso.
Jejak Njoto, Wakil Ketua Comite Central PKI, memang pernah tertapak di kota tembakau, Jember. Ia menempuh ilmu di Hollands Indlandsche School
(setaraf sekolah dasar) di Jember. Sore sepulang sekolah, ia kerap
menghabiskan waktu dengan bermain sepatu roda menyusuri jalanan kota
Jember. Sebuah kegiatan yang terbilang elit dan mewah untuk ukuran
jaman itu, apalagi ia melakukannya dengan dua orang penjaga sekaligus.
Terkadang Njoto juga bermain bola di tanah lapang di dekat kampung
Tempean. Ia suka sepakbola, sebagaimana ayahnya. Tak ayal, ketika
besar ia jago ngoceh soal sepakbola layaknya seorang analis. Bicara
soal metode grendel dan metode lainnya, ia paham.
Di bawah langit kota Jember, Njoto kecil tumbuh dengan cita-cita
menjadi seorang jurnalis. Ia bertekad menguasai ragam bahasa asing,
macam Belanda, Rusia, Jerman, Perancis, dan tentunya Inggris. Njoto
kecil rakus belajar. Di luar jam sekolah dan jam bermain, ia naik dokar
ke rumah seorang pengajar tambahan bernama Meneer Darmo.
Njoto belajar di kota Jember sampai tingkat MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs),
sebuah tingkatan macam sekolah lanjutan tingkat pertama. Karena
tentara pendudukan Jepang datang, sekolah ini lantas tutup. Njoto
dipindahkan oleh keluarga ke sekolah MULO yang dibuka tentara Jepang di Solo.
Keluarga Njoto memang kalangan ningrat Jawa yang terkenal gigih soal
pendidikan. Mereka paham benar, bahwa pendidikan adalah kunci penting
sekaligus berharga bagi anak-anaknya, apalagi di masa pergolakan. Raden
Sosro, bapak Njoto sendiri adalah seorang patriot yang merangkap
saudagar. Ia pernah ditangkap oleh Belanda karena toko batik yang ia
bangun di Bondowoso sering menjadi tempat berkumpul para pejuang.
Sosro lalu ditahan di penjara Bondowoso, kemudian dipindah ke penjara
Kalisosok, Surabaya, bersama seratus orang, diangkut dengan kereta.
Kereta yang bergerbong rapat, tanpa jendela, tanpa ventilasi, selama 15
jam, tanpa udara segar. Insiden ini dikenal dengan dengan nama "Gerbong
Maut". Sosro akhirnya keluar dari kereta karena salah seorang
penumpang memecahkan kaca kecil. Ia lalu dipulangkan ke Bondowoso dan
dirawat oleh Dokter Koesnadi, seorang dokter yang namanya kini
diabadikan sebagai nama rumah sakit daerah di Bondowoso. Maut akhirnya
benar-benar menjemput Sosro setelah insiden "Gerbong Maut". Dan Njoto
tidak tahu soal kematian ayahnya.
Lebih jauh soal insiden "Gerbong Maut", untuk melawan lupa, dibangunlah Monumen
Gerbong Maut karya seorang seniman bernama Fadly Rasyid, yang wafat
kisaran tiga tahun silam di Rumah Sakit PTPN X Jember (Rumah Sakit Jember Klinik).
Monumen itu masih berdiri kokoh di sebelah alun-alun Bondowoso hingga
kini.
Masa kecil yang riang, indah, penuh gairah ilmu di Jember mengantar
pribadi Njoto menjadi sosok yang cerdas dan intelek. Sepindahnya ke
Solo, ia mulai karib dengan ideologi komunis. Ia melahap habis
ajaran-ajaran Marx, Lenin, Stalin, dan tokoh-tokoh kiri yang lain. Ia
tumbuh menjadi seorang komunis yang unik, berbeda dengan pentolan
komunis pada umumnya. Ia selalu tampil dandy, necis, piawai menggesek biola dan meniup saxophone, menonton bioskop,pandai berdansa waltz
dan jago menggubah puisi romantik. Njoto dikenal kurang begitu sepaham
saat Lekra menentang Manifesto Kebudayaan, yang ditentang karena
menolak asas politik sebagai panglima.
Memang, ideologis yang ia usung
mengharuskan muara kesenian dikembalikan pada sasaran kerakyatan.
Tapi ia tetap kurang sepakat dengan upaya PKI terhadap Manifesto
Kebudayaan. Njoto pula yang menghapus film adaptasi novel Ernest
Hemingway, Old Man and The Sea, dari daftar film yang diharamkan oleh Partai Komunis Indonesia.
Dalam Gerakan 30 September 1965, Njoto tidak terlihat dalam peristiwa
yang kisahnya diburamkan sekian lama itu. Pada prahara itu, ia
“disingkirkan” oleh D.N. Aidit karena kemungkinan terlalu dekat dengan
Presiden Sukarno. Di samping karena skandal percintaannya dengan Rita,
seorang agen “Khong Guan Biscuit” alias KGB, biro mata-mata Soviet.
Aidit memang dikenal sangat anti-poligami. Aidit juga membuat surat
kabar tandingan, guna mengecilkan peran koran Harian Rakjat yang dipimpin
Njoto. Aidit paham, bahwa Njoto terlalu berharga. Melawannya secara
terang-terangan hanya akan membuat kisruh partai.
Njoto, bersama Lukman dan Aidit, adalah trisula PKI yang menghidupkan
dan membesarkan partai komunis itu. Klaim Aidit, PKI di masa
kejayaannya telah merangkul pengikut di angka 3,5 juta. Njoto sendiri
bertanggung jawab di urusan agitasi dan propaganda. Ia memimpin Harian
Rakjat, surat kabar bentukan PKI. Njoto juga berusaha menghapus
tuduhan generalisir yang menganggap komunis tidak peduli agama. Ia
komunis tulen, tapi tidak anti agama. Salah seorang sahabatnya,
Joesoef Isak bercerita, Njoto pernah mengusahakan seorang ibu untuk
naik haji ke Mekah. Saat itu tak sembarang orang bisa berangkat ke
Mekah walau punya uang.
Kata Joesoef Isak, “Dulu orang naik haji berebutan. Ada jatahnya.
Walau pun punya duit kalau gak dapat jatah gak bisa. Teman saya Tom
Anwar, wartawan Bintang Timur. Ibunya udah 60 tahun, sudah tua.
Kepingin naik haji. Kedengaran sama Njoto. Njoto orang PKI yang
dibilang iblis, gak kenal Tuhan, itu mengusahakan satu jatah untuk
ibunya Tom Anwar. Jadi ibunya Tom Anwar kemudian 20 tahun lagi saya
ketemu, dia udah umur 80 tahun, tidak pernah dia lupakan, bisa haji
berkat Njoto”
Njoto dikenal dekat dengan Presiden Soekarno. Bung Karno bahkan
memanggilnya "Dik". Sebutan yang tergolong tak lazim di kalangan
pejabat dan aktivis politik saat itu. Ia juga dikenal sebagai penulis
andalan si Bung untuk pidato-pidatonya yang membakar. Bahkan konon,
Njoto pula yang memunculkan istilah “Soekarnois”.
Selepas peristiwa Gerakan 30 September 1965, aktivis-aktivis PKI
diburu. Njoto juga demikian. Ia hidup nomaden menghindari moncong bedil
dan panasnya sergapan kelor tentara. Rakyat terlanjur dibutakan oleh
gelapnya stigma komunis yang akhirnya melekat sekian lama, sehingga
menyusahkan pelariannya.
Tak ada yang paham benar akhir hayat Njoto. Keberadaan jasadnya juga
masih diselimuti kabut misteri. Ada yang bilang, ia dihabisi nyawanya
di suatu tempat di Jakarta, lalu mayatnya dibuang di Kali Ciliwung.
Versi lain, ia dibawa dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, dan
dihabisi di Bekasi pada 13 Desember 1965. Ia mati dalam kesunyian.
Saya berlalu, meninggalkan kawasan Jalan Samanhudi ketika matahari
mulai meninggi. Mata saya lalu tak sengaja mendapati seorang pengemis
yang duduk di bawah jembatan Jompo. Melihatnya, saya jadi teringat
cuplikan puisi Wong Tjilik yang menurut Harian Rakjat adalah
karya Njoto.
“Makan tak enak, tidur tak nyenyak.Nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri.Siang jadi angan-angan, malam jadi buah mimpi, teringat celaka badan diri.”
Entahlah, tiba-tiba saya malas pulang.