Selasa, 29 Januari 2013

Mengenang Njoto: Jejak Flamboyan Merah dari Kota Jember

Jember adalah kota yang memberikan banyak kesan buat saya. Maklum, saya hidup di kota ini. Tapi ternyata, saya sangat jarang menulis ihwal Jember dan tokoh-tokoh penting dari Kota Tembakau ini. Setelah membongkar arsip tulisan, saya menemukan tulisan saya tentang Njoto,  tokoh PKI berpengaruh yang memegang peranan besar bagi partai merah itu. Njoto, sempat melewatkan masa kecilnya yang bahagia di kota Jember. Berikut tulisan lengkap saya yang sumbernya banyak berasal dari serial bundel buku TEMPO yang berjudul "Orang Kiri Indonesia".
Njoto, Sang Flamboyan Merah

Kawasan Jalan Samanhudi sudah tampak ramai sedari pagi. Orang-orang mulai sibuk membuka lapak dagangannya. Maklum saja, ini adalah kawasan pasar tradisional. Warga Jember menamainya Pasar Tanjung. Di sini, bergaung bahasa pasar yang ramah. Jauh dari bahasa pasar yang angkuh ala ritel. Jauh pula dari gagah-gagahan kapital. Rasa-rasanya, Njoto, Sang Flamboyan Komunis itu, bakal senang sungguh melihat suasana pasar ini.

Pedagang, pembeli, dan orang-orang yang sibuk beraktivitas di sana, barangkali tak ada yang paham benar, bahwa tak jauh dari tempat itu, tepatnya di Kampung Tempean Gang Tiga, tersimpan banyak kenangan seorang Njoto. Di kawasan itulah, Njoto menghabiskan masa kecilnya, dalam asuhan kakeknya, Marjono, yang juga dikenal sebagai seorang pemborong. Sementara sang Bapak, Raden Sosro, adalah seorang pengusaha batik tulis, blangkon, dan jamu membuka usaha di kawasan Bondowoso.

Jejak Njoto, Wakil Ketua Comite Central PKI, memang pernah tertapak di kota tembakau, Jember. Ia menempuh ilmu di Hollands Indlandsche School (setaraf sekolah dasar) di Jember. Sore sepulang sekolah, ia kerap menghabiskan waktu dengan bermain sepatu roda menyusuri jalanan kota Jember. Sebuah kegiatan yang terbilang elit dan mewah untuk ukuran jaman itu, apalagi ia melakukannya dengan dua orang penjaga sekaligus. Terkadang Njoto juga bermain bola di tanah lapang di dekat kampung Tempean. Ia suka sepakbola, sebagaimana ayahnya. Tak ayal, ketika besar ia jago ngoceh soal sepakbola layaknya seorang analis. Bicara soal metode grendel dan metode lainnya, ia paham.

Di bawah langit kota Jember, Njoto kecil tumbuh dengan cita-cita menjadi seorang jurnalis. Ia bertekad menguasai ragam bahasa asing, macam Belanda, Rusia, Jerman, Perancis, dan tentunya Inggris. Njoto kecil rakus belajar. Di luar jam sekolah dan jam bermain, ia naik dokar ke rumah seorang pengajar tambahan bernama Meneer Darmo.

Njoto belajar di kota Jember sampai tingkat MULO (Meer Uitgebreid Lager Onderwijs), sebuah tingkatan macam sekolah lanjutan tingkat pertama. Karena tentara pendudukan Jepang datang, sekolah ini lantas tutup. Njoto dipindahkan oleh keluarga ke sekolah MULO yang dibuka tentara Jepang di Solo.

Keluarga Njoto memang kalangan ningrat Jawa yang terkenal gigih soal pendidikan. Mereka paham benar, bahwa pendidikan adalah kunci penting sekaligus berharga bagi anak-anaknya, apalagi di masa pergolakan. Raden Sosro, bapak Njoto sendiri adalah seorang patriot yang merangkap saudagar. Ia pernah ditangkap oleh Belanda karena toko batik yang ia bangun di Bondowoso sering menjadi tempat berkumpul para pejuang.

Sosro lalu ditahan di penjara Bondowoso, kemudian dipindah ke penjara Kalisosok, Surabaya, bersama seratus orang, diangkut dengan kereta. Kereta yang bergerbong rapat, tanpa jendela, tanpa ventilasi, selama 15 jam, tanpa udara segar. Insiden ini dikenal dengan dengan nama "Gerbong Maut". Sosro akhirnya keluar dari kereta karena salah seorang penumpang memecahkan kaca kecil. Ia lalu dipulangkan ke Bondowoso dan dirawat oleh Dokter Koesnadi, seorang dokter yang namanya kini diabadikan sebagai nama rumah sakit daerah di Bondowoso. Maut akhirnya benar-benar menjemput Sosro setelah insiden "Gerbong Maut". Dan Njoto tidak tahu soal kematian ayahnya.

Lebih jauh soal insiden "Gerbong Maut", untuk melawan lupa, dibangunlah Monumen Gerbong Maut karya seorang seniman bernama Fadly Rasyid, yang wafat kisaran tiga tahun silam di Rumah Sakit PTPN X Jember (Rumah Sakit Jember Klinik). Monumen itu masih berdiri kokoh di sebelah alun-alun Bondowoso hingga kini.

Masa kecil yang riang, indah, penuh gairah ilmu di Jember mengantar pribadi Njoto menjadi sosok yang cerdas dan intelek. Sepindahnya ke Solo, ia mulai karib dengan ideologi komunis. Ia melahap habis ajaran-ajaran Marx, Lenin, Stalin, dan tokoh-tokoh kiri yang lain. Ia tumbuh menjadi seorang komunis yang unik, berbeda dengan pentolan komunis pada umumnya. Ia selalu tampil dandy, necis, piawai menggesek biola dan meniup saxophone, menonton bioskop,pandai berdansa waltz dan jago menggubah puisi romantik. Njoto dikenal kurang begitu sepaham saat Lekra menentang Manifesto Kebudayaan, yang ditentang karena menolak asas politik sebagai panglima.

 Memang, ideologis yang ia usung mengharuskan muara kesenian dikembalikan pada sasaran kerakyatan. Tapi ia tetap kurang sepakat dengan upaya PKI terhadap Manifesto Kebudayaan. Njoto pula yang menghapus film adaptasi novel Ernest Hemingway, Old Man and The Sea, dari daftar film yang diharamkan oleh Partai Komunis Indonesia.

Dalam Gerakan 30 September 1965, Njoto tidak terlihat dalam peristiwa yang kisahnya diburamkan sekian lama itu. Pada prahara itu, ia “disingkirkan” oleh D.N. Aidit karena kemungkinan terlalu dekat dengan Presiden Sukarno. Di samping karena skandal percintaannya dengan Rita, seorang agen “Khong Guan Biscuit” alias KGB, biro mata-mata Soviet. Aidit memang dikenal sangat anti-poligami. Aidit juga membuat surat kabar tandingan, guna mengecilkan peran koran Harian Rakjat yang dipimpin Njoto. Aidit paham, bahwa Njoto terlalu berharga. Melawannya secara terang-terangan hanya akan membuat kisruh partai.

Njoto, bersama Lukman dan Aidit, adalah trisula PKI yang menghidupkan dan membesarkan partai komunis itu. Klaim Aidit, PKI di masa kejayaannya telah merangkul pengikut di angka 3,5 juta. Njoto sendiri bertanggung jawab di urusan agitasi dan propaganda. Ia memimpin Harian Rakjat, surat kabar bentukan PKI. Njoto juga berusaha menghapus tuduhan generalisir yang menganggap komunis tidak peduli agama. Ia komunis tulen, tapi tidak anti agama. Salah seorang sahabatnya, Joesoef Isak bercerita, Njoto pernah mengusahakan seorang ibu untuk naik haji ke Mekah. Saat itu tak sembarang orang bisa berangkat ke Mekah walau punya uang.

Kata Joesoef Isak, “Dulu orang naik haji berebutan. Ada jatahnya. Walau pun punya duit kalau gak dapat jatah gak bisa. Teman saya Tom Anwar, wartawan Bintang Timur. Ibunya udah 60 tahun, sudah tua. Kepingin naik haji. Kedengaran sama Njoto. Njoto orang PKI yang dibilang iblis, gak kenal Tuhan, itu mengusahakan satu jatah untuk ibunya Tom Anwar. Jadi ibunya Tom Anwar kemudian 20 tahun lagi saya ketemu, dia udah umur 80 tahun, tidak pernah dia lupakan, bisa haji berkat Njoto”

Njoto dikenal dekat dengan Presiden Soekarno. Bung Karno bahkan memanggilnya "Dik". Sebutan yang tergolong tak lazim di kalangan pejabat dan aktivis politik saat itu. Ia juga dikenal sebagai penulis andalan si Bung untuk pidato-pidatonya yang membakar. Bahkan konon, Njoto pula yang memunculkan istilah “Soekarnois”.

Selepas peristiwa Gerakan 30 September 1965, aktivis-aktivis PKI diburu. Njoto juga demikian. Ia hidup nomaden menghindari moncong bedil dan panasnya sergapan kelor tentara. Rakyat terlanjur dibutakan oleh gelapnya stigma komunis yang akhirnya melekat sekian lama, sehingga menyusahkan pelariannya.
Tak ada yang paham benar akhir hayat Njoto. Keberadaan jasadnya juga masih diselimuti kabut misteri. Ada yang bilang, ia dihabisi nyawanya di suatu tempat di Jakarta, lalu mayatnya dibuang di Kali Ciliwung. Versi lain, ia dibawa dari Rumah Tahanan Militer Budi Utomo, dan dihabisi di Bekasi pada 13 Desember 1965. Ia mati dalam kesunyian.

Saya berlalu, meninggalkan kawasan Jalan Samanhudi ketika matahari mulai meninggi. Mata saya lalu tak sengaja mendapati seorang pengemis yang duduk di bawah jembatan Jompo. Melihatnya, saya jadi teringat cuplikan puisi Wong Tjilik yang menurut Harian Rakjat  adalah karya Njoto.
“Makan tak enak, tidur tak nyenyak.
Nasi dimakan serasa sekam, air diminum serasa duri.
          Siang jadi angan-angan, malam jadi buah mimpi, teringat celaka badan diri.”
Entahlah, tiba-tiba saya malas pulang.
 

Selasa, 08 Januari 2013

Jarak, Sudut, dan Orang Ketiga


Gambar diunduh dari sini


Sejujurnya, saya adalah orang yang skeptis. Saya tidak mudah begitu saja percaya tentang apa yang saya dengar, saya lihat, saya baca, saya terima. Saya akan senantiasa mengambil jarak, agar lapang pandang saya lebih luas. Saya tidak mau berfokus pada daun yang jatuh, lalu menyalahkan angin. Namun saya akan melihat hutan, agar saya memperoleh celah untuk melihat ranting, melihat dahan dan mengamati gerak-gerik angin. 

Mungkin karena itulah saya kerap terlihat murung. Beberapa kawan bahkan mengatakan saya peragu. Mereka mungkin benar, tapi saya hanya berusaha mengambil jarak, mencari sudut lain, dan senantiasa memposisikan saya sebagai orang ketiga. 

Orang ketiga? Ya, orang ketiga.
Buat saya orang ketiga adalah posisi yang netral. Jangan disempitkan pada istilah hubungan antara lelaki dan perempuan, dimana orang ketiga selalu berkonotasi jelek. Orang ketiga adalah orang yang bisa melihat jelas subjektivitas orang pertama dan orang kedua. Ia juga senantiasa jernih melihat objektivitas masalah antara orang pertama dan orang kedua. Sebab dia menjauhkan diri dari belitan kepentingan antara orang pertama dan orang kedua. 

Kebiasaan saya ini mengingatkan saya pada sembilan elemen jurnalisme ala Bill Kovach yang terkenal itu. Elemen pertama adalah verifikasi. Seorang jurnalis seyogyanya harus menjadi skeptis seumur hidup. Bill Kovach sendiri adalah legenda jurnalisme Amerika, bahkan legenda jurnalisme modern. Goenawan Mohamad, redaktur pendiri majalah TEMPO, yang menurut saya sangat susah dalam menilai seseorang, sampai mengatakan bahwa sulit sekali menemukan kesalahan Kovach. 

Well, saya bukan jurnalis. Pekerjaan saya jauh dari dunia perburuan berita, desk demi desk, dimarahi redaktur senior, atau tekanan demi tekanan yang seakan memaksa kita menulis dengan kecepatan cahaya. Saya malah bekerja di rumah sakit, di Unit Gawat Darurat tepatnya. Unit yang menjadi surga buat mereka yang skeptis. Prinsip yang berlaku: semua harus dianggap salah sebelum terbukti benar.

Di luar itu, sikap skeptis menuntun saya agar merelatifkan kebenaran. Kebenaran senatiasa bisa direvisi. Pelajaran apapun bisa salah. Sehingga yang berlaku adalah kebenaran di tataran fungsional, bukan kebenaran filosofis. Bahwa seminggu ada tujuh hari, semenit ada 60 detik, nilai tukar rupiah terhadap dollar adalah sekian, masturbasi tidak mempengaruhi kesuburan pria, siklus menstruasi mempengaruhi emosional wanita, dan hal-hal lain yang bersifat semacam itu. Di luar itu, sisanya menjadi relatif. Apalagi siapa benar-siapa salah. Itu bias. Kecuali di sinetron. 

Saya selalu teringat omongan seorang kawan karib. Dia pernah berseloroh, jarak terpendek antara dua titik adalah garis, tapi hidup membuat kita melaluinya dengan jalan memutar.
Saya sepakat. Bahkan buat saya hidup membuat kita melalui jarak terpendek di antara dua titik tadi bukan dengan sekadar berputar, tapi berputar-putar. 

Hidup bukan perkara linier. Saya benar-benar memegang kredo ini. Banyak hal tak terduga dalam hidup yang membuat kita melakukan hal yang tak terduga juga. Sehingga saya selalu memilih diam ketika banyak orang menghakimi, mengolok-olok, atau justru menghujat kesalahan orang lain. 

Ambil contoh, ketika kasus video Ariel-Luna tersebar ke publik. Banyak orang menghujat Ariel sekaligus mencibir Luna. Tapi pertanyaannya, apakah mereka yang mencibir dan menghujat tadi bisa berlaku yang sama dengan mereka ucapkan ketika mereka dihadapkan pada kesempatan yang diperoleh Ariel-Luna sehingga mereka melakukan itu?


Kalau saya, bakal menjawab, "Entahlah". Saya tak bisa menjamin sikap saya diam saja ketika saya berada di posisi Ariel, ketika Luna Maya memberikan kesempatan macam itu. Maka saya tak berani menghakimi mereka. Menolak menjadi polisi moral dengan pangkat apapun. Saya juga menampik sikap nyinyir yang seakan memposisikan diri  lebih tinggi sehingga saya menganggap diri patut untuk mencemooh mereka dengan cara halus sekalipun. Sebab selain saya tidak punya hak, saya juga khawatir nantinya saya akan mendapat kesempatan yang sama dengan Ariel, kemudian saya tidak konsisten dengan sikap saya sebelumnya. Bisa jadi saya bertindak lebih dari sekadar apa yang dilakukan Ariel.


Kehidupan modern menjadikan manusia memiliki peluang yang sama besar untuk menjadi bijak bestari, menjadi asusila, atau justru menjadi pecundang yang tidak mendapatkan apa-apa sama sekali. 


Saya juga teringat kisah Musa yang menerima wahyu di Gunung Sinai. Konon, Musa diceritakan melihat sebuah semak belukar yang terbakar dan suara menggelegar yang mengaku itu adalah Tuhan. Jika Musa adalah skeptis dan hidup di jaman modern, maka Musa tidak bakal langsung percaya. Ia akan memeriksa lingkungan sekitar semak belukar yang tebakar itu. Barangkali menemukan puntung rokok yang dibuang sembarangan dan mengakibatkan terbakarnya semak belukar, sekaligus memastikan tidak ada sound system dan tape recorder di daerah sekitar semak yang memunculkan suara menggelegar. 


Anekdot yang sedikit berlebihan, mungkin. Tapi kira-kira begitulah gambaran orang skeptis.
Orang boleh bilang saya tidak punya prinsip, sembari menghardik saya dengan petuah macam if you don’t stand for something, you’ll fall for anything. Tapi buat saya, prinsip yang saya pegang adalah skeptis dalam perkara apapun. 


Sikap skeptis buat saya adalah sikap yang membebaskan. Dari jerat dogma. Dari kungkungan stigma. Sebab semuanya memang serba relatif.


Kehidupan ini adalah perkara menjadi pemulung. Ambil yang menurut saya baik, buang yang menurut kita buruk Saya hormati dan tidak saya permasalahkan pilihan orang lain. 


Semesta memberkati orang-orang ketiga yang senatiasa mengambil jarak dan melihat dari beragam sudut. 


Oh iya, jangan terlalu serius baca  tulisan keminter ini. Hidup cuma sebentar.